Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Makalah ini di susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2
B (Perkemihan, Pencernaan)
Oleh
November 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt, atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “ Asuhan Keperawatan Pada Apendisitis ”.
Penyusunan makalah ini dapat memenuhui tugas Keperawatan Medikal Bedah 2 B (Perkemihan,
Pencernaan) yang dibina oleh Ibu Laily Isro' in S.Kep., Ners., M.Kes.,. Penulis menyadari
bahwa makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari pihak-pihak lain. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini :
1) Sulistyo Andarmoyo, S.Kep., Ners., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Unmuh Ponorogo
2) Saiful Nurhidayat, S.Kep., M.Kep., selaku Kaprodi S-1 Keperawatan
3) Laily Isro' in S.Kep., Ners., M.Kes., selaku dosen pembimbing, serta
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan didalamnya.
Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm),
dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu.
Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan
salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing.
Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya
adalah caecum. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor.
Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris dapat juga
menimbulkan penyumbatan. Apendisitis kronik disebabkan fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada negara berkembang. Namun
dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap
100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan
pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data
epidemologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai
puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang
dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber,
sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka yang
tinggi ini menurun pada pria.
1.2. Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah diperoleh gambaran secara teoritis dalam
merawat pasien dengan apendisitis.
Tujuan Khusus
KONSEP DASAR
2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2010).
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2005).
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut
(Price, 2005).
Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks
dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.6
1. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm, dan berpangkal di
sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian,
pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens 6apendisitis pada usia itu (Departemen
Bedah UGM, 2010). Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat misalnya karena thrombosis pada
infeksi, apendiks akan mengalami gangren Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal
dari saraf simpatis dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis
berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis berasal dari kedua
nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks vermiformis mengiringi saraf simpatis ke
segmen medula spinalis thorakal 10 (Moore, 2006). Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal
(65%), pelvical (30%), patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%) (R.Putz
dan R.Pabst, 2006). Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya6
2.3 Fisiologi
7Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa mengandung
amilase dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi
tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi 7
2.4 Epidemiologi7
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus
disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan
peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden
tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan
perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik :
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai
cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum
lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral
didaerah epigastriumdisekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut
kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya
sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
2.5 Patofisiologi8
2.6 Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor
apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari
kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya:
Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh
infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid sub mukosa, 35%
karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing.
Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith
dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena
terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak
ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-
bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang
terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal
ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang
dulunya pola makan rendah serat mempunyai risiko lebih tinggi dari Negara yang pola
makannya banyak serat.
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis,
jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran
pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.
Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc Burney bila dilakukantekanan. Nyeri
tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai.
Derajat nyeri tekan spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada
beratnya infeksi dan lokal apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum dan nyeri tekan
dapat terasa didaerah lumbar; ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya
pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum;
nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau
ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi.
Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah
ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi
pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut
dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada
apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan
perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
2.8 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses, insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak
kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup
demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu.
Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah infeksi, perforasi, abses intra abdominal/pelvis,
sepsis, syok, dehisensi. Perforasi yang ditemukan baik perforasi bebas maupun perforasi pada
apendiks yang telah mengalami pendindingan, sehingga membentuk massa yang terdiri dari
kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi
utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi
intra-abdomen.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan
leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme
yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi
lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk halus yang diencerkan
dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10
jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter
spesialis radiologi.
b. Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan
dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura (Penfold, 2008)11
c. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen,
appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh
anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix
maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah. Terapi
medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana
pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat
terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis
saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi
yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal
berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society
menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5
jam untuk apendisitis perforasi.
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan
pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
1. Cairan intravena
Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena,
jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang
pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer
laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan
darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan
atau dengan perdarahan secara bersamaan.
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial
diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin-sulbaktam dan metronidazol atau
klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubeah berdasarkan
kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal
leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1.Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, alamat, nomor register.
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, pendapatan, alamat.
3.Keluhan Utama
Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul
keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di
epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus,
dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien
mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
4. Riwayat kesehatan masa lalu, biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien
sekarang.
Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan, perasaan takut, penampilan yang tidak tenang.
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama,
perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses, prosedur invasif insisi bedah.
Intervensi :
Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/ atau pengawasan
penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik. Berikan perawatan
paripurna.
jumlah mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan
penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen.
152. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan
berlebih, pembatasan pascaoperasi, status hipermetaabolik, inflamasi peritonium dengan cairan
asing.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dan elektrolit
menjadi kuat.
KH : kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil dan secara individual
haluaran urine adekuat. 15
Intervensi :
c. Awasi masukan dan haluaran : catat catat warna urine/ konsentrasi, berat jenis.
Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/
kebutuhan peningkatan cairan.
e. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkan peroral dimulai, dan lanjutkan
dengan diet sesuai toleransi.
163. Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh
inflamasi ; adanya insisi bedah.
KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks, mampu istirahat/ tidur dengan tepat
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan perubahan
nyeri dengan tepat.16
Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis,
menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang.
4. Kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi dan salah
interpretasi informasi.
Intervensi :
a. Kaji ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi, contoh : mengangkat berat, olahraga, seks,
latihan, menyetir.
Rasional : Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas biasa tanpa
menimbulkan masalah.
b. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri, edema/
eritema luka, adanya drainase, demam.
d. Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi dan kembali ke
dokter untuk mengangkat jahitan/ pengikat.
2.12 17Implementasi
Implementasi adalah melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan. Implementasi
merupakan tahap keempat dari proses keperawatan. Pada tahap ini, perawat siap untuk
melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan
pasien. Bentuk implementasi keperawatan, yaitu :
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria NOC. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. Jakarta: EGC.
Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi, edisi 2. Jakarta: EGC.