Você está na página 1de 7

ASAS LEGALITAS, KRIMINALISASI, PEMIDANAAN DALAM R-KUHP

SERTA DAMPAKNYA TERHADAP HUKUM PIDANA NASIONAL1


Oleh: Marcus Priyo Gunarto2

Judul diatas merupakan modifikasi dari judul yang diberikan oleh panitia, yaitu Penyimpangan Asas
Legalitas dan Pemberatan Pemidanaan (over Criminalization) dalam R-KUHP serta dampaknya
terhadap Hukum Pidana Nasional”. Perubahan judul tersebut diatas sengaja dilakukan oleh penulis,
karena seolah-olah para perancang R-KUHP telah dengan sengaja melakukan penyimpangan terhadap
asas legalitas. Padahal kita semua tahu asas legalitas adalah asas yang paling fundamental di dalam
hukum pidana. Demikian pula soal pemberatan pemidanaan (over Criminalization), mengesankan
bahwa para perancang R-KUHP telah menetapkan sanksi pidana lebih berat dari pada sanksi pidana yang
berlaku pada saat ini. Padahal soal penetapan sanksi pidana, sampai dengan selesainya penulisan
makalah ini masih berproses. Betapa tidak mudahnya menetapkan sanksi pidana dengan melihat sifat
berbahayanya perbuatan atau kepentingan hukum yang dilindungi, sehingga soal penetapan sanksi
pidana itu terpaksa ditempatkan pada bagian akhir pembahasan yang sampai saat ini belum tuntas
keseluruhannya.Bahwa terdapat perbedaan pendapat antara tim perumus dengan pihak lain (calon
pengguna KUHP) itu adalah hal biasa/ lumrah, bahkan perbedaan itu juga terjadi diantara para anggota
Tim Perumus. Perbedaan itu sangat tergantung pada cara pandang mereka tentang hukum dan
keadilan. Diantara anggota tim ada yang menyetujui, ada yang menolak, ada yang menyetujui dengan
penambahan atau pengurangan unsur delik, tetapi ada pula yang menyetujui seperti yang telah
dirumuskan di dalam R-KUHP, namun seluruh anggota tim sepakat bahwa R-KUHP ini harus disahkan
sebagai UU oleh pembentuk UU periode ini.

A. Persoalan asas legalitas.


Penyimpangan asas legalitas merupakan salah satu isu utama yang sering dialamatkan kepada para
perancang R-KUHP, karena diadopsinya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dirumuskan pada Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Pengertian berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
dibatasi oleh Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”.Dengan
demikian tidak semua hukum yang hidup di dalam masyarakat akan dijadikan dasar dalam
pemidanaan, tetapi hukum yang hidup di dalam masyarakat itu harus sesuai/ tidak bertentangan
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi
manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Mengapa perancang
mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat ?tentunya terdapat beberapa alasan yang
dipertimbangkan, antara lain:

1
Disampaikan pada acara Seminar & Lokakarya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-Kuhp) “Mewujudkan Pembaharuan
Hukum Pidana Melalui R-Kuhp Yang Berkeadilan, Demokratis Dan Responsif Pada Perkembangan Tindak Pidana”, Koalisi Perempuan
Indonesia, Kamis - Jumat, 15-16 Maret 2018 di Jakarta
2
Guru Besar Hukum Pidana FH-UGM
1. Pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat sejalan dengan UUD 1945. Pasal 24
ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Selanjutnya Pasal 28 D
UUD 1945 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Frasa “Hukum dan Keadilan “ serta frasa“kepastian hukum yang adil” tentu tidak hanya hukum
berdasarkan UU atau hukum tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis, sehingga
kepastian hukum yang adil, tidak selalu bersandarkan pada hukum tertulis, tetapi kepastian
hukum yang adil juga mempertimbangkan hukum yang tidak tertulis atau hukum yang hidup
dalam masyarakat.
2. Sejak Indonesia memiliki UU Kekuasaan Kehakiman, sampai dengan saat ini di dalamnya selalu
mengakui Hukum yang hidup dalam masyarakat. UU Kekuasaan Kehakiman yang pernah kita
miliki antara lain adalah:
a. UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 20
ayat (1) menyatakan Hakim sebagai alat Revolusi wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat
guna benar-benar mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.
b. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 27
ayat (1) menyatakan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti, dan memahaminilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
c. UU No. 4 TAHUN 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 ayat (1) menyatakan Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahaminilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalammasyarakat.
d. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 menyatakan Hakim dan
Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

3. Bahwa pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) bukanlah
kebijakan baru, tetapi merupakan kebijakan lama yang direformulasi di dalam R-KUHP. UU No. 1
Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil Tentang Tindakan-Tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil secara tegas masih mengakui hukum pidana adat sebagaimana dinyatakan di
dalam Pasal 5 ayat 3 huruf b:

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai
kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh
Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan
oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum;
bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan
pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan
zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan
yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada
bandingnya dalam Kitab Hukum pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana
itu.

4. Diakuinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana, membawa konsekuensi
patut dipidananya suatu perbuatan harus ada unsur pencelaan dari masyarakat.

Bahwa berdasarkan alasan yuridis maupun politik hukum terhadap hukum adat di atas, para
perancang R-KUHP mereformulasi pengakuan hukum pidana adat (hukum yang hidup dalam
masyarakat) dalam hukum nasional. Memang disadari di lingkungan para perancang R-KUHP sendiri
masih menjadi pemikiran bagaimanakah menentukan adanya hukum pidana adat yang dipandang
masih hidup/ berlakudi suatu tempat. Menjawab persoalan ini, Prof. Muladi telah berprakarsa
mengumpulkan para Begawan hukum pidana Indonesia untuk membahasnya. Dalam hal ini ada
beberapa pemikiran yang sempat mengemuka :

a. Hukum adat dikeluarkan dari KUHP tertulis (Prof. Sahetapy) sehingga tetap berlaku seperti pada
saat ini;
b. Dihidupkan kembali peradilan adat (Prof. Romly Atmasasmita);
c. Dinyatakan melalui Perda mengenai perbuatan pidana adat yang masih berlaku di daerah
setempat (Prof Andy Hamzah) ;
d. Dibuat kompilasi hukum adat (Prof. Harkristuty-Prof Enny Nurbaningsih)

Dari sekian banyak pendapat yang disampaikan oleh para Begawan Hukum Pidana tersebut, tidak
ada satupun yang menolak bahwa hukum pidana adat/ hukum yang hidup dalam masyarakat adalah
kenyataan hukum yang masih ada dan harus diakui keberadaannya.

B. Persoalan Kriminalisasi.
Pandangan sebagian masyarakat yang menganggap adanya perluasan jenis perbuatan pidana oleh
para perancang R-KUHP mungkin dikarenakan jumlah pasal yang ada dalam R-KUHP jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah pasal yang ada di dalam KUHP yang berlaku saat ini. Pendapat
itu bisa dimengerti, karena jumlah pasal yang ada di dalam R-KUHP sampai dengan penulisan
makalah ini sejumlah 786 pasal, sedangkan di dalam KUHP yang berlaku sekarang hanya 569 pasal,
sehingga ada selisih sekitar 217 pasal. Dengan adanya selisih jumlah pasal tersebut tidaklah terlalu
salah apabila disimpulkan adanya perbuatan pidana yang semula tidak diatur di dalam KUHP, pada
saat ini dikriminalisasi melalui RKUHP. Pada kenyataannya tidakdemikian, perbedaan jumlah pasal
tersebut terjadi karena:
a. Jumlah pasal pada Ketentuan Umum R-KUHP jauh lebih banyak dibandingkan dengan KUHP.
Ketentuan umum pada KUHP hanya 103 pasal sedangkan pada R-KUHP mencapai 218
pasalsehingga untuk ketentuan umum saja ada selisih 115 pasal. Perbedaan jumlah pasal itu
dikarenakan di dalam ketentuan umum memuat hal-hal yang selama ini tidak diatur di dalam
KUHP tetapi berlaku dan dilaksanakan di dalam praktek peradilan, seperti misalnya, Waktu
Tindak Pidana, Tempat Tindak Pidana, Pengertian Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana,
Usia Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak, Diversi, Perbuatan Persiapan, Alasan Pembenaran,
Alasan Permaafan, Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, Perubahan atau Penyesuaian
Pidana, Pelaksanaan Pidana Denda, Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi,Pidana Kerja
Sosial, Tindakan, Pidana dan Tindakan Bagi Anak dan lain sebagainya.
b. Penambahan pasal terjadi karena perkembangan tindak pidana di luar KUHP diintegrasikan
kedalam R-KUHP, diantaranya ialah:
i. Tindak pidana umum yang bersifat mala perse/ mala inse di luar KUHP;
ii. Tindak pidana inti (core crime) dari Tindak pidana khusus;
iii. Tindak pidana yang bersumber dari konvensi internasional yang sudah diratifikasi;
iv. Tindak pidana yang bersumber dari perkembangan hukum pidana dan kriminologi;
c. R-KUHP memuat ketentuan peralihan dan ketentuan penutup, sedangkan KUHP yang berlaku
pada saat ini tidak memuatnya.

Jumlah pasal dalam RKUHP yang sudah lebih banyak dari KUHP tersebut, para perumus sengaja
telah tidak memasukkan Hukum Pidana Administrasi yang juga sudah berkembang sedemikian pesat
sejak Indonesia merdeka, dengan pertimbangan Hukum Pidana Administrasi berkaitan dengan
kebijakan pemerintah yang sewaktu-waktu bisa berubah. Keadaan itu berkaiatan dengan prinsip
kriminalisasi perbuatan tidak boleh bersifat ad hoc, sedangkan kebijakan pemerintah setiap waktu
bisa berubah sesuai dengan politik sosial yang dianutnya.

Khusus terkait dengan delik kesusilaan yang banyak menjadi sorotan masyarakat, menyangkut
perluasan perbuatan zina serta pasal hidup bersama tanpa perkawinan yang sah. Dalam catatan
penulis berdasarkan draft hasil pembahasan tanggal 26 Januari, masih terdapat catatan yang
berbunyi untuk ditunda dengan catatan 3 fraksi menyarankan untuk dihapus dan 7 fraksi tetap.
Dengan catatan itu, maka dimuat atau tidaknya delik itu di dalam R-KUHP masih akan ditentukan
berdasarkan keputusan politik pembentuk UU.

Perluasan perbuatan zina yang meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat
dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dirumuskan pada Pasal 484 ayat (1) huruf e,
yang berbunyi:

(1) Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan


perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan
dengan laki-laki yang bukan suaminya;
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan
perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan
laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan
perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah
melakukan persetubuhan.

Dalam hal ini, diantara tim ahli tidak ada yang menolak bahwa persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan itu bertentangan dengan nilai-nilai
sosio kultural dan agama-agama yang diakui di Indonesia. Kritik terhadap perluasan delik zina itu,
mungkin terletak pada persoalan siapa yang dapat mengadukan ? Semula, selain ayah/ ibunya,
yang berhak mengadukan meliputi juga pihak ketiga yang tercemar atau pihak yang
berkepentingan. Adanya pihak ketiga yang tercemar atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat
menjadi pengadu dipandang terlalu luas dan bisa menjadi faktor kriminogen dan viktimogen.
Perkembangan terakhir, khusus untuk perzinahan laki-laki dan perempuan yang masing-masing
tidak terikat dalam perkawinan yang sah yang berhak mengadukan hanyalah ayah /ibunya,
termasuk ayah/ ibu angkat atau walinya. Dengan ditetapkannya ayah/ ibu atau wali pelaku yang
berhak mengadukan, maka ayah/ ibu atau wali dapat mempertimbangkan mana lebih penting
antara penegakan hukum yang mengakibatkan anaknya dipidana ataukah ingin tetap menjaga
hubungan baik (harmoni) orang tua dengan anaknya.

Demikian pula hal yang menyangkut hidup bersama tanpa perkawinan yang sah, dalam catatan
penulis masalah ini masih “dipending”dengan catatan 4 fraksi mengusulkan dihapus dan 6 fraksi
tetap. Rumusan R-KUHP terhadap delik itu adalah Setiap orang yang melakukan hidup bersama
sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Selain akan menimbulkan persoalan yuridis, dibeberapa daerah akan bertentangan dengan
kebiasaan yang berlaku didaerah tertentu ( Nias, Bali, Maluku ?). Didaerah-daerah tertentu ada
kebiasaan bahwa menjelang perkawinan, laki-laki tinggal di rumah perempuan untuk membantu
persiapan pelaksanaan perkawinan mereka. Konflik antara hukum pidana dengan kebiasaan daerah
harus dihindarkan, karena hukum pidana tidak boleh bertentangan dengan culture norm dimana
hukum pidana itu akan diberlakukan. Secara yuridis juga akan menimbulkan persoalan dengan
perkawinan yang belum dicatatkan. Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada Pasal 2 , sahnya perkawinan selain harus dilaksanakan menurut hukum
agamanya masing-masing, perkawinan itu harus dicatat menurut UU. Tanpa adanya bukti
pencatatan perkawinan, maka dapat diartikan perkawinan itu tidak sah atau tidak ada bukti sahnya
perkawinan. Dalam kenyataannya, perkawinan yang tidak/ belum dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku sangat banyak di Indonesia, baik yang baru dilaksanakan menurut hukum
agamanya saja, maupun karena adanya keterbatasan atau kurangnya petugas pegawai pencatat
perkawinan di pelosok-pelosok , sehingga mereka yang tidak mempunyai bukti buku catatan
perkawinan berpotensi menjadi korban dari delik hidup bersama tanpa perkawinan yang sah.

Ada usulan solusi yang ditawarkan yaitu , kata sah pada rumusan delik dihapuskan, sehingga
berbunyi Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan,
dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
II.Dengan dihapuskannya kata sah, sepanjang perkawinan itu telah dilaksanakan menurut hukum
agamanya masing-masing maka keabsahan perkawinan tidak perlu dibuktikan melalui buku catatan
perkawinan yang karenanya tidak dapat dikenai delik melakukan hidup bersama sebagai suami istri
di luar perkawinan.
Didalam R-KUHP terdapat pasal baru yang sebenarnya juga bermaksud melindungi kaum
perempuan, yaitu pasal tentang Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan karena janji
akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut karena tipu muslihat sebagaimana diatur pada
Pasal 485 R-KUHP:

(1) Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
484 ayat (1) dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian
mengingkari janji tersebut karena tipu muslihat yang lain, dipidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak kategori III.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kehamilan dan
laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya
menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dipidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak kategori IV.
(3) Dalam hal perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai korban janji-
janji akan dikawini, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e tidak
berlaku.
Dengan adanya ayat (3) maka seorang perempuan yang menjadi korban tipu muslihat dan telah
hamil tidak akan dikenai delik perzinahan, sepanjang laki-laki yang menghamili belum terikat
perkawinan, karena ayat ini hanya mengecualikan berlakunya Pasal 484 ayat (1) huruf e. Menjadi
persoalan, apabila orang yang menghamili itu dengan tipu muslihatnya mengatakan masih lajang/
perjaka, padahal senyatanya telah terikat perkawinan dengan perempuan lain. Dalam hal ini secara
yuridis istri sah dari suami yang menghamili berhak mengadukan perbuatan zinah,karena tidak
termasuk yang dikecualikan oleh ayat (3). Dalam kondisi yang demikian, maka perempuan yang
dihamili itu akan menjadi korban ganda, yaitu korban dari perbuatan penipuan, dihamili di luar
perkawinan, dan akan dijatuhi pidana. Tujuan awal untuk melindungi perempuan dari janji palsu/
tipu muslihat menjadi tidak tercapai. Mungkin perlindungan perempuan sebagai korban janji
palsu/tipu muslihat akan mendapatkan tujuannya apabila yang dikecualikan adalah Pasal 484 ayat
(1) huruf a dan huruf e.

C. Persoalan pemidanaan.
Tudingan terhadap para perumus R-KUHP melakukan,pemberatan pidana dalam pengertian
terhadap perbuatan pidana yang berlaku pada saat ini diancam dengan pidana yang lebih berat
menyangkut lamanya maupun jenis pidananya, penulis belum dapat menyajikan datanya, karena
sampai dengan selesainya penulisan makalah ini, pembahasan sanksi pidana masih berproses.
Sepengetahuan penulis, justru sebaliknya dalam penetapan sanksi pidana, para perumus sangat
memperhatikan sifat berbahayanya perbuatan dan kepentingan hukum yang akan dilindungi
dengan tetap memperhatikan pembuatnya (daad-daderstrafrecht). Dari sisi jenis pidana
(strafsoort), R-KUHP justru mengintroduksi beberapa jenis pidana yang sedapat mungkin
mengurangi dampak stigmatisasi dan prisonisasi sebagai akibat dari penjatuhan pidana. Beberapa
jenis pidana yang dipandang memberi dampak pengurangan stigmatisasi dan prisonisasi antara lain
ialah pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Selain itu di dalam pedoman
pemidanaan juga diatur tentang Rechterlijk Pardon (permaafan hakim), yaitu hakim dapat tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan
kemanusiaan meskipun terdakwa bersalah. Lembaga permaafan hakim dimaksudkan untuk
mengurangi kekakuan dalam pemidanaan (menjaga kelenturan hukum pidana), sehingga kasus
seperti pencurian sandal jepit, sisa-sisa kapuk randu, dan tiga butir Kakao tidak akan terjadi lagi di
kemudian hari. Terhadap pidana yang paling berat, yaitu pidana mati, R-KUHP memuat ketentuan
Pidana Mati bersyarat sebagai jalan tengah (Indonesian way) pertentangan antara kaum abolisionis
dengan kaum retensionis. Melalui pidana mati bersyarat, sangat dimungkinkan terpidana yang
menunjukkan adanya perbaikan perilaku selama 10 tahun berturut-turut diubah menjadi pidana
seumur hidup, dan selanjutnya dari pidana seumur hidup diubah menjadi pidana sementara waktu.

D. Dampaknya Terhadap Hukum Pidana Nasional

Dengan disahkannya R-KUHP menjadi UU, maka dipastikan akan merubah/ mengganti
secara menyeluruh WvS menjadi KUHP Nasional. Perubahan itu tidak sebatas secara partial
dengan mengubah dan menambah beberapa pasal, tetapi Perubahan atas “Sistem (Rancang
Bangun) Hukum Pidana Substantif Nasional” secara total atau secara integral. Perubahan secara
drastis dari KUHP yang lama dengan KUHP yang baru tentu akan menimbulkan dampak tertentu di
masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan didalam
RKUHP diatur masa transisi pemberlakuan KUHP (akan diatur antara 3 s.d 5 tahun).

Dengan disahkannya R-KUHP menjadi UU, maka semua orang yang berkepentingan dengan
hukum pidana cukup berpedoman pada satu KUHP saja, tanpa harus membanding-
bandingkan terjemahan KUHP yang berbeda-beda (Moeljatno, Soesilo, Lamintang, BPHN dsb) ,
sehingga akan memudahkan pelaksanaan hukum pidana nasional di kemudian hari.

Sehubungan R-KUHP memuat tujuan pidana dan pedoman pemidanaan, tentu juga akan merubah
cara pandang penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Di masa yang
akan datang, seorang hakim yang akan menjatuhkan pidana, selain harus mempertimbangkan
terpenuhinya unsur delik (actus reus) dan kesalahan (mensrea), hakim juga harus
mempertimbangkan apakah pidana yang dijatuhkan sesuai dengan tujuan dari pemidanaan.

Dengan dianutnya hukum yang hidup dalam masyarakat, maka keadilan yang diharapkan
tidak hanya keadilan berdasarkan pada UU sesuai dengan prinsip lex scripta, lex stricta, dan
lex certa, tetapi juga memperhatikan nilai keadilan yang berlaku di masyarakat sehingga
akan diperoleh “kepastian hukum yang adil” sesuai dengan amanat UUD Negara RI 1945.

Jakarta, 15 Maret 2018

Você também pode gostar