Você está na página 1de 8

Analisis Perbedaan UU no.40 th.1999 dan UU no.32 th.

2002

Filed under: Weblogs — riandita88 at 11:21 pm on Wednesday, March 26, 2008

Dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, disebutkan salah satu yang menjadi
pertimbangan dirancangnya undang-undang ini adalah bahwa pers
dianggap sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur
yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sedangkan pertimbangan dibuatnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 diantaranya adalah bahwa spektrum
frekuensi radio merupakan sumber daya alam yang terbatas dan bahwa
siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan
bebas, memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan
perilaku khalayak. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 merupakan
perluasan aturan yang dijelaskan lebih terperinci dari Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999.

Undang-undang
no.40 Th.1999 mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga
yang melakukan kegiatan jurnalistik untuk disebarluaskan pada
khalayak. Pers yang dimaksud disini adalah media cetak dan
elektronik. Namun pada prakteknya lebih berperan menjadi pedoman
dalam pers media cetak. Sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
mengatur tentang penyiaran media elektronik, radio dan televisi.

Undang-undang
no.40 Th.1999 terdiri dari IX bab dengan 21 pasal, sedangkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 terdiri dari XII dengan 64 pasal.

Pada
undang-undang no.40 Th.1999 pasal 4 ayat 2 menjelaskan bahwa
penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku
pada media cetak dan elektronik nasional. Hal ini berkebalikan dengan
yang tercantum dalam undang-undang no.32 Th.2002 yang menyebutkan
bahwa jasa penyiaran televisi harus mengantongi tanda lulus sensor
untuk setiap mata acara dalam bentuk film dan/atau iklan. Adanya
perubahan ini mungkin karena dipengaruhi oleh fenomena yang terjadi
saat ini. Seperti yang kita ketahui, dewasa ini banyak bermunculan
tayangan televisi yang tidak menjaga siaran dan waktu siarannya
sehingga memungkinkan anak-anak dibawah umur menyaksikan tayangan
yang bukan diperuntukkan pada mereka. Diberlakukannya penyensoran di
setiap film dan/atau iklan akan membantu menghindari terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan.

Terdapat
badan pengawas pada undang-undang no.40 Th.1999 dan undang-undang
no.32 Th.2002 yang sama-sama sifatnya independen yang berfungsi
mengontrol agar undang-undang yang telah dibuat tersebut dijalankan
sebagaimana tujuan yang sesungguhnya. Dalam undang-undang no.40
Th.1999 badan pengawas tersebut dinamakan Dewan Pers. Dewan Pers
bertugas mengembangkan kemerdekaan pers Indonesia dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas pers nasional. Selain itu juga Dewan Pers
bertugas mengawasi penerapan undang-undang ini di
perusahaan-perusahaan pers. Sedangkan dalam undang-undang no.32
Th.2002, badan pengawas tersebut bernama Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Berbeda dengan Dewan Pers, KPI terdiri atas KPI Pusat
(dibentuk di tingkat pusat dan diawasi oleh DPR RI) dan KPI Daerah
(dibentuk di tingkat provinsi dan diawasi DPRD Provinsi). KPI
merupakan refleksi peran serta masyarakat yang mewadahi aspirasi dan
mewakili kepentingan masyarakat terkait penyiaran. Selain itu juga
KPI bertugas menetapkan standar program siaran dan menyusun peraturan
pedoman perilaku penyiaran. Pendanaan kedua badan tersebut juga
berbeda. Dewan Pers memperoleh dana melalui organisasi pers,
perusahaan pers, dan bantuan Negara serta bantuan lain yang tidak
mengikat. Sedangkan pendanaan KPI berasal dari APBN (untuk KPI Pusat)
dan APBD (untuk KPI Daerah).

Contoh
sebuah kasus di Jatim, Oktober 2005 lalu, saat itu banyak perusahaan
pers mengajukan permohonan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)
secara bersamaan. Dari hasil verifikasi KPID Jatim, Perlahan tapi
Pasti proses verifikasi administratif dan faktual untuk 188 Pemohon
baru, 5 pemohon TV Nasional berjaringan dan 88 Radio FM komersial
baru yang memperebutkan sisa kanal radio 113 Kanal radio FM dan 89
Kanal TV di Jawa Timur sedang dilaksanakan dan diharapkan pada akhir
Agustus tahun berikutnya dapat direalisasikan 30 Lembaga Penyiaran
pemohon baru (yaitu 22 Radio dan 8 TV Lokal Baru) untuk segera
dikirimkan sebagai rekomendasi IPP. (sumber contoh kasus:
http://www.kpi.go.id/).

Melihat
banyaknya lembaga pemohon penyiaran baru, maka tepat jika Pemerintah
tidak begitu saja meloloskan IPP. Pemerintah tidak memberikan IPP
pada setiap pemohon penyiaran baru, melainkan melalui seleksi lebih
dulu terhadap lembaga para pemohon tersebut. IPP dapat diberikan jika
konsep siaran lembaga pemohon tersebut berorientasi pada
undang-undang no.32 Th.2002. Sesuai dengan pasal 33 ayat (2) dan (3),
pemohon harus mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang
akan diselenggarakan yang tidak menyimpang dari ketentuan
Undang-undang ini. Selain itu, pemberian IPP harus jelas berdasarkan
minat, kepentingan, dan kenyamanan publik. Pedoman tersebut berguna
untuk menjaga kualitas siaran nasional, memelihara spektrum frekuensi
radio yang jumlahnya terbatas, dan mengantisipasi adanya
penyalahgunaan hak penyiaran. Selain itu pembatasan pemberian IPP
juga demi menjaga kesinambungan media elektronik yang sudah banyak
jumlahnya agar tidak menimbulkan persaingan tidak sehat.

Contoh
kasus lain yang dapat di analisis menggunakan undang-undang no.40
Th.1999 adalah mengenai kasus seteru antara majalah Tempo dengan Tomy
Winata pada tahun 2004 lalu. Saat itu Tomy melaporkan pemimpin
redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo, Bambang Harymurti, dalam kasus
pencemaran nama baik Tomy Winata terkait dengan artikel pada Majalah
Tempo edisi 3/9 Maret 2003 berjudul "Ada Tomy di Tenabang?".

(sumber
contoh kasus: http://www.dewankehormatanpwi.com/)

Dalam
kasus ini, pihak Tempo merasa tidak menyalahi aturan
perundang-undangan atau melanggar kode etik jurnalistik namun pihak
Tomy merasa nama baiknya tercemar. Sebetulnya sebelum kasus ini
ditangani pihak kepolisian, Tomy dapat menggunakan hak jawab sesuai
dengan pasal 1 dalam undang-undang no.40 Th.1999. Hak jawab ini
digunakan untuk menyanggah atau menanggapi pemberitaan yang merugikan
nama baiknya. Sayang sekali, hak tersebut tidak digunakan dengan baik
oleh Tomy. Sedangkan pers dalam hal ini dapat menggunakan hak tolak
pada pasal 4 ayat 4 undang-undang no.40 Th.1999 untuk mengamankan
sumber informasi. Hak tolak berfungsi agar pers dapat melindungi
sumber informasi yang menolak diketahui identitasnya oleh publik.

KPI tegur Metro


TV
Warta
WASPADA ONLINE

MEDAN - KPI berkomitmen menjunjung tinggi kemerdekaan pers dan demokratisasi di


bidang penyiaran dalam mendukung tercapainya cita-cita bangsa. Demikian yang
disampaikan Komisi Penyiaran Indonesia dalam rilisnya, siang ini.

Perihal protes dari sebagian pihak yang menganggap teguran yang diberikan KPI kepada
Metro TV atas penghentian sementara acara Headline News sekira pukul 05.00 Wib,
terkait penayangan siaran yang mengandung pornografi pada tanggal 14 Juni 2010
sebagai pembatasan kepada kebebasan pers.

Menurut KPI, sanksi penghentian sementara Headline News Metro TV pagi itu, selama 7
hari berturut-turut dan permintaan maaf secara terbuka secara lisan kepada publik
selama 3 hari berturut-turut, masing-masing sebanyak 3 kali dalam surat keputusan KPI
1 Juli 2010 sudah sesuai dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, PP 50 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, dan P3-SPS.

“Sanksi tersebut dijatuhkan karena Headline News Metro TV pada tanggal 14 Juni 2010,
pukul 05.00 Wib, menayangkan adegan pasangan yang sedang bersenggama selama
hampir 5 detik. Penghentian sementara Headline News Metro TV, pagi bukan
pembredelan pers serta upaya mengancam kebebasan pers,” tegas KPI.

Alasannya, pertama, KPI tidak mencabut izin penyelenggaraan siaran Metro TV. Kedua,
KPI tidak menghentikan keseluruhan program Headline News, karena Headline News
adalah program yang ditayangkan setiap jam sebanyak 24 kali dalam sehari.

Dengan demikian, lanjutnya, 23 dari 24 program acara tersebut tetap berjalan. Bahkan
menurut pengakuan pihak MetroTV, informasi yang perlu disampaikan dalam waktu jam 5
pagi tetap bisa ditampilkan dalam program lainnya.

“Artinya di sini pun tidak ada hak publik atas informasi (public right to inform) yang
tercederai. Ketiga, semua putusan KPI didasarkan pada tindakan normatif yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam ranah penyiaran yang telah
menjadi hukum positif.

Keempat, KPI tetap harus melindungi hak dan kepentingan publik untuk mendapat
informasi yang layak dan benar, di samping publik adalah pemilik sah atas frekuensi
yang digunakan oleh semua lembaga penyiaran.” Katanya.

Dalam kasus Metro TV, lanjutnya, hak publik telah di langgar seperti yang tercantum
dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah, dan
P3-SPS KPI.

Berkaitan dengan isi P3-SPS sendiri, KPI Pusat akan segera melakukan pengkajian sesuai
rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) untuk merevisi Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
KPI telah membentuk tim kecil untuk melakukan kerja sesuai dengan UU Penyiaran (UU
No. 32 Tahun 2002) melalui tahap mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan,
yaitu lembaga penyiaran, pemerintah, dan masyarakat sebelum memutuskan untuk
dimasukkan dalam P3-SPS yang baru.

Kajian yang akan dilakukan berkaitan dengan ketegorisasi program siaran, termasuk
program anak, iklan, dan ketentuan pemberlakuan sanksi denda.

Sementara itu, mengenai infotainment dan reality show, di samping mengkaji kategori
programnya, KPI juga akan mengkaji mengenai substansi dan jam tayangnya, yang
dipandang tidak pantas disaksikan oleh anak-anak. Ini merupakan aduan dan masukan
yang paling kuat.

“Tindakan KPI dalam memberikan sanksi atas pelanggaran isi siaran tetap berdasarkan
peraturan yang berlaku,” tegas KPI dalam rilisnya. Dalam rilisnya, KPI mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung, terutama dari DPR RI, KPID
seluruh Indonesia, dan Dewan Pers.

“KPI berterimakasih atas masukan dan dukungan dari organisasi profesi yang terkait
dengan jurnalis, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AJI Jakarta, Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI), Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI) serta juga organisasi
masyarakat seperti Pimpinan Pusat AISYIYAH, Dewan Pimpinan Pusat Korps Perempuan
Majelis Dakwah Islamiyah, Gerakan Nasional Anti Pornografi (GNAP), Yayasan
Pengembangan Media Anak (YPMA), Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi
dan Pornoaksi (KIP3), Ikatan Mahasiswa Komunikasi Indonesia (IMIKI) serta pihak-pihak
lainnya.” urainya.

Catatan Kecil Penyiaran Televisi Swasta

Tiga tahun pasca berlakunya UU Penyiaran No 32 tahun 2002 belum juga


menunjukkan tanda-tanda perubahan signifikan di dunia penyiaran kita. Perubahan
yang dimaksud adalah bergantinya pola penyiaran yang dahulu berskala nasional
menjadi lokal. Untuk penyiaran radio bolehlah kita anggap menunjukkan perubahan
yang lumayan dengan beroperasinya radio-radio jaringan di sejumlah daerah. Akan
halnya dengan stasiun televisi, amanat UU Penyiaran No 32 tahun 2002 bahwa
sistem penyiaran nasional menganut pola penyiaran jaringan dan stasiun lokal
nampaknya belum ditaati oleh hampir semua stasiun televisi swasta berskala
nasional.

Sampai hari ini kita masih dapat mengakses siaran televisi swasta berskala nasional,
padahal pada Bab XI Ketentuan Peralihan UU penyiaran No 32 th 2002 (pasal 60
ayat 2) disebutkan bahwa lembaga penyiaran televisi wajib menyesuaikan dengan
ketentuan dalam UU Penyiaran paling lama 3 tahun setelah diterbitkannya undang-
undang tersebut. Sejak tahun akhir 2005 mestinya khalayak penonton hanya dapat
menyaksikan siaran dari televisi jaringan maupun televisi lokal, karena siaran
swasta berskala nasional tidak lagi dizinkan oleh undang-undang. Konsekuensinya,
sebuah lembaga penyiaran televisi swasta seandainya ingin siaran di daerah
mestinya membuka stasiun-stasiun baru di daerah sebagai bagian dari jaringan. Jika
cara ini dianggap terlalu mahal, lembaga penyiaran berskala nasional dapat juga
berjaringan dengan stasiun televisi lokal yang sudah ada di daerah.

Secara normatif, konsekuensi tersebut sebenarnya lebih sesuai dengan semangat


UU Penyiaran No 32 th 2005 untuk mengembangkan penyiaran di daerah. Negara
beritikad mewujudkan sistem penyiaran yang menjamindiversity of content dan
diversity of ownership. Dalam konteks keragaman muatan siaran, hadirnya stasiun
televisi lokal mestinya memberi warna baru dalam dunia pertelevisian kita dimana
muatan siaran nanti akan berkembang sesuai dengan kondisi daerah. Di era
otonomi sekarang ini, keragaman potensi ekonomi dan kebudayaan sesungguhnya
merupakan aset siaran yang dapat dieksplorasi sedemikian rupa sehingga muatan
siaran akan lebih variatif dan lebih bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat
setempat. Harapannya, khalayak lokal akan lebih banyak tahu akan informasi-
informasi di lingkungan sekitarnya dan karenanya dapat membuka kesempatan-
kesempatan baru di bidang ekonomi. Di sisi lain, ragam kebudayaan setempat akan
menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton stasiun lokal, sehingga masyarakat
tidak perlu lagi merasa terjajah oleh kebudayaan “pusat” yang hingga kini masih
tercitra melalui siaran berskala nasional.

Di sisi lain, semangat UU Penyiaran No 32 th 2002 bersesuaian dengan hak setiap warga
negara untuk mendirikan lembaga penyiaran televisi. Pengaturan cakupan siaran dari
nasional menjadi lokal, mestinya merangsang pemodal-pemodal baru di daerah untuk
mendirikan stasiun televisi lokal sehingga kepemilikan media televisi pun idealnya akan
makin beragam. Keragaman kepemilikan alias diversity of ownership lambat laun
menjadi antitesis dari monopoli kepemilikan lembaga penyiaran televisi yang hingga kini
masih didominasi oleh pengusaha-pengusaha ”pusat”. Dengan demikian diharapkan
tercipta iklim penyiaran yang sehat karena terbebas dari monopolikepemilikan.

Bagaimanapun, persoalan kepemilikan media yang terpusat memiliki risiko tersendiri


bagi perkembangan demokrasi, kebebasan pendapat, dan tumbuhnya iklim industri
media yang sehat. Dalam banyak analisis, terkonsentrasinya kepemilikan media
penyiaran di tangan satu atau sekelompok orang pengusaha menjadikan media
penyiaran sebagai alat untuk kepentingan pengumpulan laba sebesar-besarnya. Hal ini
bukan saja tidak sehat bagi perkembangan industri media karena persaingan yang tidak
wajar. Belum lagi konsentrasi kepemilikan tersebut dikaitkan ke ranah politik: monopoli
kepemilikan media memberi dampak yang lebih buruk karena lazimnya pemilik media
akan menggalang opini publik secara massif kepentingan politiknya.

Dengan berkaca pada UU Penyiaran No. 32 Th 2002 itu, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa sesungguhnya sekarang ini telah terjadi pelanggaran undang-undang selama
lebih dari satu setengah tahun. Fenomena semacam ini tentu saja menggelisahkan, dan
sepatutnya kita senantiasa mempertanyakan: mengapa terjadi pelaggaran praktik
penyiaran televisi? Nampaknya juga bukan kebetulan jika pelanggaran tersebut justru
berlangsung secara seragam. Setidaknya kita dapat menilik persoalan ini dari dua faktor:

Pertama, televisi swasta yang masih berskala nasional itu tentu tidak ingin kehilangan
pendapatan dari iklan yang masuk. Lebih dari 200 juta orang penduduk merupakan
pangsa iklan yang besar, dan jika televisi swasta nasional dipaksa untuk tunduk pada
undang-undang, berarti mereka akan kehilangan omset iklan yang luar biasa banyak.
Kondisi ini tentu tidak diharapkan sama sekali oleh pengusaha televisi swasta. Membuka
stasiun jaringan baru pun tentu bukan pilihan menarik bagi para pengusaha nasional.
Dapat dibayangkan berapa rupiah yang harus ditanam untuk mendirikan stasiun televisi
jaringan. Atas dasar kepentingan pasar yang sangat luas, mengubah jangkauan siaran
dari nasional ke lokal maupun membuka stasiun jaringan adalah pilihan yang tidak
menguntungkan sama sekali alias bunuh diri.

Kedua, perubahan pola siaran juga tidak menguntungkan para pengusaha televisi swasta
nasional secara politik. Apalagi rata-rata pemilik televisi swasta nasional lazimnya
berkolaborasi dengan kelompok politik tertentu untuk menggolkan kepentingan
politiknya melalui penggalangan informasi dan opini publik. Untuk yang terakhir ini kita
masih dapat menyaksikan belum sembuhnya penyakit orde terdahulu dimana states
apparatus sering berkolaborasi para pengusaha dalam rangka menarik dukungan politik
massa. Dalam hubungan kolaboratif ini terdapat simbiosis mutualisme antara aparat
negara atau aparat parpol yang mempunyai kepentingan plus kekuasaan politik serta
kepentingan pengusaha untuk tetap melanggengkan usahanya. Maka wajar jika sampai
sekarang tidak juga muncul tanda-tanda bahwa undang-undang tersebut akan
dilaksanakan secara serius.

Pelanggaran terhadap UU penyiaran menampakkan ironinya kembali karena pemerintah


sendiri telah menerbitkan PP Penyiaran No. 50 tahun 2005 yang mengatur
penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta. Meski belum dapat dikatakan
sempurna, PP ini mestinya dapat menjadi acuan penyelenggaraan stasiun televisi lokal
dan jaringan. Seharusnya pemerintah dapat bertindak tegas untuk menuntaskan
pelanggaran penyiaran ini. Jika tidak, hal ini dapat menyebabkan runtuhnya cita-cita
demokrasi dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh UU Penyiaran
No 32 tahun 2002. Lebih dari itu, lambatnya penanganan televisi penyiaran akan
memperkukuh spekulasi bahwa states apparatus berkepentingan untuk tetap
mempertahankan keberadaan siaran swasta berskala nasional demi pencapaian target-
target politik –minimal– pada pemilu mendatang. Bayangkan saja jika potensi siaran
politik yang luas itu harus dipangkas menjadi siaran lokal, biaya yang harus dikeluarkan
untuk kampanye sosialisasi program maupun tokoh tentu akan sangat besar.

Walhasil, kesadaran bahwa akan terjadinya pelanggaran tentunya harus senantiasa


ditumbuhkan di kalangan masyarakat. Semua pihak; lembaga swadaya masyarakat,
akademisi, dan media cetak atau media penyiaran lokal semestinya terus bergerak untuk
menggugat kesalahan praktik penyiaran ini. Di sisi lain, itikad baik pemerintah dan
lembaga ekstraeksekutif (KPI) senantiasa diharapkan karena penyiaran mempunyai
dampak yang luar biasa pada masyarakat sehingga penanganan pelanggaran penyiaran
seharusnya menjadi prioritas. Wallahu’alam bisshowab. * Artikel ini telah dimuat di
harian BERNAS JOGJA edisi 5 Juli 2007.

KPI bentuk timsus revisi UU


penyiaran
Warta
DIAN WULANSARI SITUMORANG
WASPADA ONLINE

MEDAN – Melalui rapat koordinasi nasional (Rakornas), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
akan membentuk tim khusus (timsus) untuk mengawal rencana revisi Undang undang No.
32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), Demikian diungkapkan Ketua Komisi
Penyiaran Indonesia, Dadang Rahmat Hidayat, dalam rilisnya.

Anggota dari tim khusus ini, kata Dadang, akan merepresentasikan bidang kelembagaan,
isi siaran, dan perizinan yang berasal dari perwakilan masing-masing KPI Daerah.

“Tim Khusus Revisi UU Penyiaran ini juga dimandatkan untuk menegaskan bahwa pola
relasi KPI Pusat dan KPI Daerah adalah koordinatif dalam hal fungsi dan struktural dalam
hal anggaran (APBN). Bidang kelembagaan Rakornas KPI 2010 juga memandatkan KPI
Pusat untuk berperan aktif dalam rangka pembentukan sekretariat KPI Daerah yang
belum terbentuk,” katanya, siang ini.

Dalam bidang struktur penyiaran, KPI mendesak pemerintah dalam konteks ini,
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk melakukan pemetaan
ulang frekuensi.

“Terkait pengaturan Lembaga Penyiaran, Kemkominfo diminta untuk segera menyusun


peta wilayah layanan TV berlangganan melalui kabel serta peta wilayah layanan Radio
dan TV komunitas. Bersamaan dengan itu, KPI juga akan mendorong berdirinya Lembaga
Penyiaran Publik Lokal (LPPL) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (TV Kabel ilegal),”
tuturnya.

Lebih jauh dikatakannya, secara internal, di bidang struktur penyiaran, KPI juga akan
membentuk tim penyelaras yang bertugas menyempurnakan SOP (Standar Operating
Procedure) perizinan dan menyusun penyelesaian permasalahan Lembaga Penyiaran
Berlangganan (TV Kabel ilegal).

Sedangkan mengenai materi dalam Standar Program Siaran (SPS), lanjutnya, rakornas
KPI 2010 merekomendasikan untuk mengatur standar siaran anak, program faktual dan
spesifikasi iklan.

“Rakornas KPI 2010 juga merekomendasikan KPI Pusat untuk melakukan MoU dengan
Dewan Pers dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta melakukan literasi
media, bekerjasama dengan kelompok masyarakat (civil society). Sebagai informasi, KPI
juga telah menandatangani MoU dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Selain itu, KPI juga akan membuat peraturan tentang mekanisme serta penerapan denda
administrasi,” terangnya.

Dilanjutkannya, KPI juga akan mendorong pelaksanaan self regulation di bidang isi siaran,
peningkatan profesionalisme pekerja industri media dan memperkuat muatan lokal dalam
konteks Sistem Stasiun Jaringan (SSJ).

“Desakan dan permintaan di atas merupakan butir-butir yang dihasilkan oleh Rakornas
KPI yang diselenggarakan di Hotel Golden Flower, Bandung, 5-8 Juli 2010. Rakornas KPI
2010 kali ini dihadiri oleh seluruh sembilan orang Ketua, Wakil Ketua, Anggota KPI Pusat
serta Ketua, Wakil Ketua dan Anggota KPI Daerah dari 28 provinsi.” pungkasnya.

Você também pode gostar