Você está na página 1de 13

Anatomi Virus Hiv Beserta Penjelasanya – Bentuk Morfologi Dan Anatomi Virus Hiv – Struktur Bagian

Dalam Virus Hiv Aids – Struktur Anatomi Virus Hiv Aids

Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid yang
berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24, protein
nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase
dan integrase. Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan target antibodi
dalam tes screening HIV.

Inti virus dikelilingi oleh matriks protein dinamakan p17, yang merupakan lapisan dibawah selubung
lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam proses
infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen gag, pol, dan env yang akan
mengkode protein virus. Hasil translasi berupa protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh
protease menjadi protein mature.

Perjalanan penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh. Terdapat tiga
fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu fase permulaan/akut, fase
pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis. Fase akut menandakan respon imun tubuh yang masih
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut ditandai oleh penyakit yang sembuh
dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi HIV.

Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia), demam, ruam kulit, dan terkadang radang
selaput otak (meningitis asepsis). Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus
dalam darah) dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T CD4+.

Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul sehingga terjadi serokonversi.
Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T CD8+ (sel T pembunuh, T sitotoksik cell)
yang menyebabkan penurunan jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4+ kembali. Walaupun
demikian, penurunan virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi
virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4+.

Fase kronik ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang berlangsung
bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem imun. Setelah bertahun-tahun,
sistem imun tubuh mulai melemah, sementara replikasi virus sudah mencapai puncaknya sehingga
perjalanan penyakit masuk ke fase krisis. Tanpa pengobatan, pasien HIV akan mengalami sindrom
AIDS setelah fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun.

Fase krisis ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem imun, meningkatnya jumlah virus dalam
darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Pasien mengalami demam lebih dari 1 bulan, lemah,
penurunan berat badan dan diare kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/µL.

http://d5d.org/struktur-anatomi-virus-hiv-aids.2015

eprints.undip.ac.id/44613/3/Bab_2.pdf
Perjalanan Penyakit dan Respon
Imunologi HIV AIDS
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk
menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk
menghancurkan HIV.

Tahap-tahap dan patogenesis infeksi HIV


Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang
kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa
jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada
fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan
berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya
dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh
reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4 + dan
monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel
yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap
virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan
protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan
besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit
dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau
T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran
infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap
antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi
virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih
kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi
klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency
period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak
mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan
limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin
berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan
limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada
awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+yang hancur dengan yang baru.
Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru
berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di
jaringan limfoid dan sirkulasi.

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan
limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel
T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun
alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu
produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain,
terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.

Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari
200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati
HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).
Manifestasi klinis infeksi HIV.
Fase penyakit Manifestasi klinis

Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis,


Penyakit HIV akut limfadenopati generalisata, eritema

Masa laten klinis Berkurangnya jumlah sel T CD4+

Infeksi oportunistik
Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)
Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium,
Nocardia, Salmonella)
Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum)

Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)


AIDS
Tumor

Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan


EBV)

Sarkoma Kaposi

Karsinoma servikal

Ensefalopati
Wasting syndrome
Mekanisme imunodefisiensi
Infeksi HIV menyebabkan terganggunya fungsi sistem imun alamiah dan didapat.
Gangguan yang paling jelas adalah pada imunitas selular, dan dilakukan melalui
berbagai mekanisme yaitu efek sitopatik langsung dan tidak langsung. Penyebab
terpenting kurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV adalah efek sitopatik langsung.
Beberapa efek sitopatik langsung dari HIV terhadap sel T CD4+ antara lain:
 Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma dan buddingpartikel
virus, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma dan masuknya
sejumlah besar kalsium yang akan menginduksi apoptosis atau lisis osmotik akibat
masuknya air. Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan ekspresi protein dalam sel
sehingga menyebabkan kematian sel.
 DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam jumlah besar
bersifat toksik terhadap sel tersebut.
 Membran plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4+ yang
belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan membentuk multinucleated
giant cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan kematian sel-sel T yang bergabung
tersebut. Fenomena ini banyak diteliti in vitro, dan syncytia jarang ditemukan pada
pasien AIDS
Pembentukan sel sinsitia.

Selain efek sitopatik langsung, terdapat beberapa mekanisme tidak langsung yang
mengakibatkan gangguan jumlah dan fungsi sel T yaitu:

 Sel yang tidak terinfeksi HIV akan teraktivasi secara kronik oleh infeksi lain yang
mengenai pasien HIV dan oleh sitokin yang terbentuk pada infeksi lain tersebut.
Aktivasi ini diikuti apoptosis yang disebut dengan activation-induced cell death.
Mekanisme ini menjelaskan terjadinya kematian sel T yang jumlahnya jauh melebihi sel
terinfeksi HIV.
 Sel T sitotoksik yang spesifik HIV terdapat pada banyak pasien AIDS. Sel ini dapat
membunuh sel T CD4+ yang terinfeksi HIV.
 Antibodi terhadap protein envelope HIV dapat berikatan dengan sel T CD4+ yang
terinfeksi dan menyebabkan antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC).
 Penempelan gp120 pada CD4 intrasel yang baru disintesis akan mengganggu
pemrosesan protein di retikulum endoplasma dan menghambat ekspresi CD4 di
permukaan sel, sehingga tidak dapat merespons stimulasi antigen.
 Terjadi gangguan maturasi sel T CD4+ di timus.
Pentingnya peranan berbagai mekanisme tidak langsung ini terhadap kurangnya sel
T CD4+ pada pasien HIV masih belum jelas dan kontroversial.
Gangguan sistem imun pada pasien HIV dapat dideteksi bahkan sebelum terjadi
kekurangan sel T CD4+ yang signifikan. Gangguan ini mencakup penurunan respons
sel T memori terhadap antigen, penurunan respons sel T sitotoksik terhadap infeksi
virus, dan lemahnya respons imun humoral terhadap antigen walaupun kadar IgE
total mungkin meningkat. Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV juga akan
mengakibatkan aktivasi sel T CD4 cenderung ke arah aktivasi sel TH2, yaitu aktivasi
imunitas humoral (sel B). Terjadi aktivasi sel B poliklonal sehingga kadar
imunoglobulin serum meningkat, yang dapat mengakibatkan pula produksi
autoantibodi dengan akibat timbulnya penyakit autoimun seperti purpura
trombositopenik idiopatik dan neutropenia imun. Aktivasi poliklonal sel B ini juga
dapat membuat sel B menjadi refrakter sehingga tidak dapat bereaksi dengan
antigen baru.
Mekanisme terjadinya gangguan ini masih belum jelas. Dikatakan bahwa gangguan
ini akibat efek langsung HIV terhadap sel T CD4+ dan efek gp120 yang berikatan
dengan sel yang tidak terinfeksi. CD4 yang berikatan dengan gp120 tidak dapat
berinteraksi dengan MHC kelas II pada APC, sehingga respons sel T terhadap
antigen dihambat. Selain itu, penempelan gp120 pada CD4 ini akan mengeluarkan
sinyal untuk menurunkan fungsi sel T. Beberapa studi menunjukkan bahwa proporsi
sel TH1 (mensekresi IL-2 dan IFN-γ) menurun dan proporsi sel TH2-like (mensekresi
IL-4 dan IL-10) meningkat pada pasien HIV. Perubahan ini dapat menjelaskan
kerentanan pasien HIV terhadap infeksi mikroba intraselular karena IFN-γ berperan
untuk aktivasi, sedangkan IL-4 dan IL-10 untuk menghambat pemusnahan mikroba
oleh makrofag.
Protein Tat berperan pada patogenesis imunodefisiensi akibat HIV. Di dalam sel
T, Tatberinteraksi dengan berbagai protein regulator seperti p300 koaktivator
transkripsi, yang akan mengganggu fungsi sel T misalnya sintesis sitokin. Tat tidak
hanya dapat masuk ke nukleus, namun dapat pula melewati membran plasma dan
memasuki sel di dekatnya.
Makrofag, sel dendrit, dan sel dendrit folikular juga berperan penting dalam infeksi
HIV dan progresifitas imunodefisiensi.
 Makrofag mengekspresikan CD4 jauh lebih sedikit dibandingkan sel TH, tetapi
mengekspresikan koreseptor CCR5 sehingga rentan terhadap infeksi HIV. Beberapa
strain HIV cenderung menginfeksi makrofag karena predileksi ikatan dengan koreseptor
CCR5 di makrofag daripada koreseptor CXCR4 pada sel T. Makrofag relatif resisten
terhadap efek sitopatik HIV, mungkin karena diperlukan ekspresi CD4 yang tinggi untuk
terjadinya virus-induced cytotoxicity. Makrofag juga terinfeksi melalui fagositosis sel
terinfeksi atau endositosis virion HIV yang diselubungi antibodi. Karena makrofag dapat
terinfeksi namun sulit dibunuh oleh virus, makrofag menjadi reservoir HIV. Makrofag
yang terinfeksi HIV akan terganggu fungsinya dalam hal presentasi antigen dan sekresi
sitokin.
 Seperti makrofag, sel dendrit tidak secara langsung dirusak oleh infeksi HIV. Sel dendrit
dan makrofag dapat menginfeksi sel T naif selama proses presentasi antigen sehingga
dianggap sebagai jalur yang penting dalam kerusakan sel T.
 Sel dendrit folikular (FDC) di kelenjar getah bening dan limpa menangkap HIV dalam
jumlah besar di permukaannya, sebagian melalui ikatan virus dan antibodi. Meskipun
FDC tidak terinfeksi secara efisien berkontribusi dalam patogenesis efisiensi
imun melalui virus HIV yang terikat di permukaan selnya dan mampu menginfeksi
makrofag dan sel T CD4 di kelenjar getah bening.
 Sel ini turut berperan pada imunodefisiensi akibat HIV melalui 2 cara. Pertama,
permukaan sel ini merupakan reservoir HIV sehingga dapat menginfeksi makrofag dan
sel T CD4+ di kelenjar getah bening. Kedua, fungsi sel ini dalam respons imun terganggu
sehingga pada akhirnya sel ini juga akan dihancurkan oleh HIV.

Replikasi virus tersebut akan mempergunakan komponen pejamu yang dapat


mengakibatkan perubahan jumlah dan struktur sitokin yang akan diproduksi sel
pejamu. Replikasi HIV di dalam sel makrofag membuat sel makrofag menjadi
reservoir HIV hingga dapat ditranspor oleh monosit ke organ lain seperti paru dan
otak.

Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan menghambat
maturasi sel prekursor T CD4 sehjngga jumlah sel T CD4 perifer berkurang.
Di samping itu, meskipun jumlah sel T CD4 belum banyak menurun, fungsinya sudah
terganggu. Hal ini disebabkan karena antara lain sel APC (antigen presenting cell)
yang sudah terinfeksi HIV tidak dapat mempresentasikan antigen lagi sehingga sel T
CD4 tidak terstimulasi. Lagipula, molekul gpl20 dan gp41 virus mempunyai struktur
yang homolog dengan domain molekul MHC kelas II, akibatnya antibodi yang
terbentuk terhadap molekul gp120 dan gp41 virus akan bereaksi silang dengan
molekul MHC kelas II yang terdapat pada sel APC, sehingga sel APC tidak dapat
mempresentasikan antigen dan sel T CD4 tidak terstimulasi.
Respons imun terhadap HIV

Pada pasien HIV terjadi respons imun humoral dan selular terhadap produk gen HIV.
Respons awal terhadap infeksi HIV serupa dengan pada infeksi virus lainnya dan
dapat menghancurkan sebagian besar virus di dalam darah dan sel T yang
bersirkulasi. Kendati demikian, respons imun ini gagal untuk menghilangkan semua
virus, dan selanjutnya infeksi HIV mengalahkan sistem imun pada sebagian besar
individu.

Terdapat 3 karakteristik respons imun terhadap HIV. Pertama, respons imun dapat
berbahaya terhadap pejamu, misalnya dengan menstimulasi uptake virus yang
teropsonisasi kepada sel yang tidak terinfeksi melalui endositosis yang diperantarai
Fc reseptor atau melalui eradikasi sel T CD4+ yang mengekspresi antigen virus oleh
sel T sitotoksik CD8+. Kedua, antibodi terhadap HIV merupakan petanda infeksi HIV
yang digunakan secara luas untuk uji tapis tetapi sedikit yang memiliki efek
netralisasi. Ketiga, pembuatan vaksin HIV memerlukan pengetahuan tentang epitop
virus yang paling mungkin menstimulasi imunitas protektif.
Respons imun awal terhadap infeksi HIV mempunyai karakteristik ekspansi masif sel
T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap protein HIV. Respons antibodi terhadap
berbagai antigen HIV dapat dideteksi dalam 6-9 minggu setelah infeksi, namun
hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa antibodi mempunyai efek yang
bermanfaat untuk mengontrol infeksi. Molekul HIV yang menimbulkan respons
antibodi terbesar adalah glikoproteinenvelope, sehingga terdapat titer anti-gp120 dan
anti-gp41 yang tinggi pada sebagian besar pasien HIV. Antibodi anti-
envelope merupakan inhibitor yang buruk terhadap infektivitas virus atau efek
sitopatik. Terdapat antibodi netralisasi dengan titer rendah pada pasien HIV.
Antibodi netralisasi ini dapat menginaktivasi HIV in vitro. Terdapat pula antibodi
yang memperantarai ADCC. Semua antibodi ini spesifik terhadap gp120. Belum
ditemukan korelasi antara titer antibodi dengan keadaan klinis. Uji tapis standar
untuk HIV menggunakan imunofluoresensi atau enzyme-linked immunoassay untuk
mendeteksi antibodi anti-HIV pada serum. Setelah dilakukan uji tapis dengan hasil
yang positif, sering dilanjutkan dengan Western blot atau radioimmunoassay untuk
mendeteksi antibodi spesifik terhadap protein virus tertentu.
Mekanisme penghindaran imun oleh HIV
Kegagalan respons imun selular dan humoral untuk mengatasi infeksi HIV
disebabkan berbagai faktor. Karena gangguan dalam hal jumlah dan fungsi sel T
CD4+, respons imun tidak mampu mengeliminasi virus. Selain itu, HIV mempunyai
berbagai cara utuk menghindari imunitas tubuh.
 HIV mempunyai tingkat mutasi yang sangat tinggi sehingga HIV dapat menghindari
deteksi oleh antibodi atau sel T yang terbentuk. Diperkirakan pada seseorang yang
terinfeksi, mutasi titik (point mutation) pada genom virus dapat terjadi setiap hari. Satu
area protein pada molekul gp120 yang disebut V3 loop mampu mengubah komponen
antigeniknya, dan dapat bervariasi walaupun bahannya diambil dari individu yang sama
pada waktu yang berbeda.
 Sel terinfeksi HIV dapat menghindari sel T sitotoksik dengan cara down-
regulationekspresi molekul MHC kelas I. Protein HIV Nef menghambat ekspresi
molekul MHC kelas I, khususnya HLA-A dan HLA-B, dengan cara meningkatkan
internalisasi molekul-molekul tersebut.
 Infeksi HIV dapat menghambat imunitas selular. Sel TH2 yang spesifik untuk HIV dan
mikroba lain dapat meningkat secara relatif terhadap sel TH1. Karena sitokin TH2
menghambat imunitas selular, hasil dari ketidakseimbangan ini adalah disregulasi
(disebut juga deviasi imun) yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap infeksi
mikroba intraselular, termasuk HIV itu sendiri.
Apoptosis sel T reaktif.
dokterindonesiaonline.com/...penyakit-dan-respon-imunologi-hiv-aids
PENDAHULUAN
• HIV adalah masalah infeksi utama di negara berkembang karena :
Penyebarannya cepat & luas Terutama Mengenai usia muda, wanita dan anaknya
Berdampak besar pada sosial, ekonomi, psikologis Masih mendapat stigmata dan
diskriminasi luas Morbiditas dan mortalitas tinggi • Banyak masalah diagnosis dan
penatalaksanaan HIV di negara berkembang dengan sumber daya terbatas
Diagnosis HIV/AIDS di negara berkembang
• Diagnosis sering terlambat karena : Diagnosis klinis dini sulit karena periode
asimptomatik yang lama. Pasien enggan / takut periksa ke dokter Sering pasien
berobat pada stadium AIDS dengan infeksi oportunistik yang sulit didiagnosis
karena : kurang dikenal manifestasi klinis atipikal sarana diagnostik kurang
DIAGNOSIS Klinis
Curiga AIDS secara klinis : • Batuk lebih dari 2 – 3 minggu • Penurunan berat badan
menyolok > 10 % • Panas > 1 bulan • Diare > 1 bulan • Perhatikan : kandidiasis
oral • Herpes zooster yang luas, kambuhan • Sariawan rekuren dan berat
DIAGNOSIS klinis
Curiga AIDS secara klinis : • Penyakit kulit : dermatitis seborroik kambuhan,
psoriasis prurigo noduler, dermatitis generalisata • Limfadenopati generalisata •
Infeksi jamur kambuhan ( kandidiasis vagina / keputihan ) pada alat kelamin wanita
• Pneumonia berat berulang • Pasien TBC terutama : TB ekstrapulmonal :
limfadenitis TB, efusi pleura TB, TB intestinal, TB peritoneal, TB kulit TB paru +
kandida oral TB – MDR , TB-XDR
DIAGNOSIS
Curiga HIV secara klinis : • Riwayat perilaku seksual • Riwayat penggunaan narkoba
• Riwayat pekerjaan : pelaut, sopir truk, dll • Riwayat bekerja di daerah endemis
dengan perilaku risiko tinggi • Riwayat transfusi • Perhatikan ciri khas / tanda
kelompok risiko misal : tato , perilaku tertentu • Sekarang HIV sudah berkembang
pada bukan kelompok risti misal ibu rumah tangga
DIAGNOSIS Laboratorium HIV 2. Diagnosis Laboratorium : Serologis / deteksi
antibodi : rapid tes, ELISA, Western Blot ( untuk konfirmasi ) Deteksi virus : RT-
PCR, antigen p24 • Indikasi : Pasien secara klinis curiga AIDS Orang dengan
risiko tinggi Pasien infeksi menular seksual Ibu hamil di antenatal care ( PMTCT )
Pasangan seks atau anak dari pasien positip HIV
DIAGNOSIS laboratorium
• Perhatikan negatif palsu karena periode jendela Pada risiko tinggi , tes perlu
diulang 3 bulan kemudian, dan seterusnya tiap 3 bulan. • Hati-hati positif palsu
terutama pada pasien yang asimptomatik. Pemeriksaan serologi harus dikonfirmasi
dengan western blot, atau setidaknya harus dengan strategi 3 test dengan metode
berbeda yang melibatkan ELISA .
Tes serologis strategi III
tes 1 (T1)
positif negatif
tes 2 ( T2 )
Positif negatif laporkan negatif
ulangi T1, T2
T1+T2+ T1+T2- T1-T2
Tes 3 (T3) laporkan negatif
T1+T2+T3+ T1+T2-T3+ T1+T2-T3T1+T2+T3risiko tinggi risiko
rendah
Positif indeterminate indeterminate anggap negatif
DIAGNOSIS
• Sebelum tes harus dikonseling dulu dan harus menandatangani surat persetujuan (
inform consent ) Konseling dapat dilakukan di : klinik Voluntary Conseing and
testing (VCT ) oleh konselor terlatih Tempat praktek, puskesmas oleh petugas
kesehatan terlatih secara provider initiative testing and conseling ( PITC ). • Jaga
kerahasiaan status pasien
http://www.njo.nl/blobs/hiv_hef/73758/2011/27/diagnosis_and_treatment.pdf.agun
g nugroho
http://library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/0910712024/bab2.pdf
http://www.aidsindonesia.or.id/contents/37/78/Info-HIV-dan-
AIDS#sthash.K1MwYWgz.dpbs
Info HIV dan AIDS
Apakah yang dimaksud dengan HIV dan AIDS?

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang
mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan
belum membutuhkan pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan
hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain.

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya
kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang
tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak
dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam
tubuh sehingga bisa sehat kembali.

Bagaimana HIV bisa ditularkan kepada orang lain?

 Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan cairan mani atau cairan
vagina yang mengandung virus HIV masuk ke dalam tubuh pasangannya
 Dari seorang ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan, waktu persalinan dan/atau
waktu menyusui.
 Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat pemakaian alat suntik yang sudah
tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat
suntik di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun).

Apakah transfusi darah di fasilitas kesehatan berisiko menularkan HIV?


Tidak berisiko karena umumnya, Palang Merah Indonesia dan fasilitas kesehatan selalu melakukan pengecekan atau skrining
HIV pada darah donor sebelum melakukan transfusi kepada orang lain. Darah tercemar HIV tidak digunakan.

Apakah infeksi HIV dapat dicegah?


Ya. dengan cara:

1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat)


2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan
3. Condom – Gunakan kondom di setiap hubungan seks berisiko
4. Drugs – Jauhi narkoba

Bagaimana cara mengetahui status HIV?


Orang yang sedang dalam tahap HIV tidak bisa kita kenali. Mereka tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit
apapun. Status terinfeksi HIV hanya dapat diketahui setelah mengikuti test HIV yang disertai konseling. Segera kunjungi
fasilitas kesehatan terdekat (Klinik VCT) untuk tes HIV.

Apa yang dimaksud dengan tes HIV?


Layanan test HIV dan konseling ini disebut sebagai VCT (Voluntary Counseling and Testing). Tes HIV biasanya berupa tes
darah untuk memastikan adanya antibodi HIV di dalam sampel darah. Tes HIV bersifat sukarela dan rahasia. Sebelum
melakukan tes HIV, akan dilakukan konseling untuk mengetahui tingkat risiko infeksi dari perilaku selama ini dan bagaimana
nantinya harus bersikap setelah mengetahui hasil tes HIV. Untuk tes cepat dapat juga digunakan tes usapan selaput lendir
mulut (Oraquick)

Apakah ada pengobatan untuk HIV dan AIDS?


Terinfeksi HIV bukanlah vonis mati. AIDS dapat dicegah dengan pengobatan antiretroviral atau ARV. Pengobatan ARV
menekan laju perkembangan virus HIV di dalam tubuh sehingga orang dengan infeksi HIV dapat kembali “sehat” atau ‘bebas
gejala’. Namun virus HIV masih ada di dalam tubuhnya dan tetap bisa menularkan pada orang lain.

Apakah orang yang telah terinfeksi HIV boleh berkeluarga dan memiliki keturunan?
Risiko penularan kepada pasangan melalui hubungan seksual dapat dicegah dengan penggunaan kondom. Pengobatan dengan
ARV juga dapat menekan pertumbuhan virus HIV dalam tubuh manusia sampai ke batas yang tidak terdeteksi sehingga risiko
penularan ke pasangan dapat dikurangi, namun harus tetap menggunakan kondom.
Orang yang telah terinfeksi HIV bahkan tetap dapat memiliki keturunan dengan aman. Melalui program Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA/PMTCT), penularan HIV dari ibu ke anak saat kehamilan, melahirkan dan menyusui dapat
dikurangi sampai 0%. Calon orang tua dapat menekan risiko penularan pada anak dengan mengetahui status HIV sejak dini.
Berkonsultasilah dengan dokter yang merawat.

Apakah orang yang telah terinfeksi HIV perlu dihindari?


Anda tidak perlu menghindari orang yang telah terinfeksi HIV. Penularan HIV terjadi melalui cara-cara yang spesifik.
Berinteraksi sosial dengan orang yang telah terinfeksi HIV tidak menyebabkan penularan HIV.

Mendobrak Mitos HIV:

 HIV tidak menular di kolam renang umum


 HIV tidak menular melalui batuk atau bersin
 HIV tidak menular melalui gigitan nyamuk atau serangga lainnya
 HIV tidak menular dengan berbagi alat makan bersama
 HIV tidak menular karena berjabat tangan
 HIV tidak menular karena berciuman
Adakah keterkaitan infeksi HIV dan Infeksi Menular Seksual?
Infeksi Menular Seksual atau IMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual baik melalui vagina, anus atau
mulut. Orang yang mengidap IMS memiliki risiko yang lebih besar untuk terinfeksi HIV. Perlukaan pada kelamin karena
adanya IMS dapat mempermudah seseorang tertular HIV saat berhubungan seks tanpa pengaman.
Gejala yang timbul tergantung pada jenis IMS yang diderita. Beberapa gejala IMS yang mungkin timbul adalah:
 Keluarnya sekret atau nanah dari penis, vagina atau anus
 Nyeri atau terasa panas waktu kencing
 Benjolan, bintil atau luka pada penis, vagina, anus atau mulut
 Pembengkakan di pangkal paha
 Perdarahan setelah berhubungan kelamin
 Nyeri pada perut bawah (wanita)
 Nyeri pada buah pelir

Penyakit IMS misalnya:


 Sifilis
 Kencing Nanah (Gonore)
 Klamidia
 Herpes Genitalis
 Infeksi Trikomunas
 Kutil Kelamin

 Bila terdapat gejala di atas, jangan mengobati diri sendiri dengan obat bebas di pasaran. IMS itu mencakup
banyak jenis penyakit. Segera periksakan diri anda ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan
pengobatan yang tepat.
 Hindari hubungan seks atau gunakan kondom dalam hubungan seks selama masih dalam pengobatan.
Agar infeksi tidak berulang, ajak pasangan untuk diperiksa dan diobati pula.
 Bila IMS tidak mendapakan pengobatan yang tepat, dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV,
kemandulan, keguguran, atau penularan IMS kepada pasangan atau bayi yang dikandung.

Pengobatan HIV:

Pengobatan HIV dan AIDS pada dasarnya meliputi aspek Medis Klinis, Psikologis dan Aspek Sosial yang meliputi
pengobatan supportive (dukungan), pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik dan pengobatan
antiretroviral.

ARV atau Antiretroviral

ARV merupakan singkatan dari Antiretroviral, yaitu obat yang dapat menghentikan reproduksi HIV didalam
tubuh. Bila pengobatan tersebut bekerja secara efektif, maka kerusakan kekebalan tubuh dapat ditunda bertahun–
tahun dan dalam rentang waktu yang cukup lama sehingga orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah
AIDS. Dengan semakin meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV tersebut, ARV memiliki peran penting dalam
menciptakan masyarakat sehat melalui strategi penanggulangan AIDS yang memadukan upaya pencegahan
dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan.

Hingga saat ini, ARV masih merupakan cara paling efektif serta mampu menurunkan angka kematian dan
berdampak pada peningkatan kualitas hidup orang terinfeksi HIV sekaligus meningkatkan harapan masyarakat
untuk hidup lebih sehat. Sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat
dikendalikan seperti diabetes, asma atau darah tinggi dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang pembunuh
yang menakutkan

Você também pode gostar