Você está na página 1de 23

KONSEP MEDIK

PERITONITIS GENERALISATA

A. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam
bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan
dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas,
atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis.
Perinonitis Generalisata adalah suatu proses inflamasi local atau menyeluruh pada
peritoneum ( membrane serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera
abdomen ) yang terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen yang tersebar luas pada permukaan
peritoneum
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder
(berkaitan dengan proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi
rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen
dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local infeksi
peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi
apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab
iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas,
saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan
oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis
sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk
penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi
berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko
terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan
duodenum, pancreas perforasi kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan
transfuse yang pasif.
B. Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di
antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron
didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus
saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi
dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang
berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut
ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan
pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga
peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar
(omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung.
Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung berjalan
keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Fungsi peritoneum:

1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.


2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen.
Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi.
C. Etiologi
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukan disentri amuba/colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.

1. Secara langsung dari luar.


a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis


(SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,
tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan
akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites,
semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan
opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella
pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri
gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,
dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi
campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh
perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi
bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang
setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan
berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau
flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis
steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu,
barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ
dalam (Misalnya penyakit Crohn).

D. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen
pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik: misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang
disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari
usus.
c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.

3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier, misalnya:
a. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
b. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
c. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
1) Aseptik/steril peritonitis.
2) Granulomatous peritonitis.
3) Hiperlipidemik peritonitis.
4) Talkum peritonitis.
E. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit
dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
F. Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya
(peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita
dengan paraplegia dan penderita geriatric.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Test laboratorium
a. Leukositosis

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih


dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur.
Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.

1. Hematokrit meningkat
2. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis
didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
3. X. Ray

Dari tes X Ray didapat:

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:

1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.


2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

2. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat


mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset
dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya
adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen
3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:

a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada


tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.
H. Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan
terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok,
anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus,
extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan
saluran cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :


1. Mengeliminasi sumber infeksi.
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus


mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah a.l :

1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.


2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis a.l :

1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan
infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan
pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi a.l:

1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus
pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

Terapi

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah
keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian


volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

1. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.


Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum
luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama
operasi.
2. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.
Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung
pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
3. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum,
karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
4. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan
dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

Pengobatan

Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat,


terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang
panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan
antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.

Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk


menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika
keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring
kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat
mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah,
menjalani wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi
yang diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan
mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif ditempat
ruang operasi.
2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien
masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup
aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse (IV), memberikan
medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang
prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa
contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanyapada menggemgam tangan
pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai
perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja
operasi dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan
dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan kliniik atau
dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama
periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek
dari agen anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi.
Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting
untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan
pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan
berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.
I. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovolemik.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem.
d. Abses residual intraperitoneal.
e. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
a. Adhesi.
b. Obstruksi intestinal rekuren.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
 Nama pasien
 Umur
 Jenis kelamin
 Suku /Bangsa
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Alamat
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian
perut sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia,
peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post
operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini
disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan
diturunkan ada.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu
pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan
hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama
jantung irregular akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau
septik), akral : dingin, basah, dan pucat.
c. Sistem Persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak
namun hanya mengalami penurunan kesadaran.
d. Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e. Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul
akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara
sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen,
bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut
dengan aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan
volume cairan.
7. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial
yang sering dilakukan.
8. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
9. Pengkajian Spiritual
10. Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count.
Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan
beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis
dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih
(seperti pyelonephritis, renal stone disease)
f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan
dari pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai
LDH
11. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos
b. USG
c. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous
leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
d. Scintigraphy
e. MRI
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:
a. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat


mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset
dan film ukuran 35 x 43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya
adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen
3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:

a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada


tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di
proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance. Jadi gambaran
radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air
fluid level, dan herring bone appearance.

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

a. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga


kadang-kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang
melebar atau intestinum crassum.
b. Air fluid level.
c. Herring bone appearance.

Bedanya dengan ileus obstruktif: pelebaran usus menyeluruh sehingga


air fluid level ada yang pendek-pendek (usus halus) dan panjang-panjang
(kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus
obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas


pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan
USG (ultrasonografi).

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada


pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah
karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda
utama radiologi adalah:

a. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
b. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk
bulan sabit (semilunair shadow).
c. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.

B. Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi
abdomen dan menghindari nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
C. Intervensi
DIAGNOSA NOC NIC
KEPERAWATAN
Nyeri berhubungan dengan Tujuan: Nyeri klien berkurang 1. Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, lama, intensitas (skala 0-10) dan
proses inflamasi, demam dan karakteristiknya (dangkal, tajam, konstan)
Kriteria hasil :
kerusakan jaringan. 2. Pertahankan posisi semi Fowler sesuai indikasi
3. Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung, napas
1. Laporan nyeri
dalam, latihan relaksasi atau visualisasi
hilang/terkontrol
4. Berikan perawatan mulut dengan sering. Hilangkan rangsangan
2. Menunjukkan penggunaan
lingkunagan yang tidak menyenangkan
ketrampilan relaksasi.
5. Kolaborasi:
3. Metode lain untuk
Berikan obat sesuai indikasi:
meningkatklan kenyamanan
a. Analgesik, narkotik
b. Antiemetik, contoh hidroksin (Vistaril)
c. Antipiretik, contoh asetaminofen (Tylenol)

Risiko tinggi infeksi Tujuan: Mengurangi infeksi yang 1. Catat faktor risiko individu contoh trauma abdomen, apendisitis
berhubungan dengan trauma terjadi, meningkatkan kenyamanan akut, dialisa peritoneal.
jaringan. pasien. 2. Kaji tanda vital dengan sering, catat tidak membaiknya atau
berlanjutnya hipotensi, penurunan tekanan nadi, takikardia, demam,
Kriteria hasil:
takipnea.
3. Catat perubahan status mental (contoh bingung, pingsan).
1. Meningkatnya
penyembuhan pada 4. Catat warna kulit, suhu, kelembaban
waktunya, bebas drainase 5. Awasi haluaran urine
purulen atau eritema, tidak 6. Pertahankan teknik aseptic ketat pada perawatan drein abdomen,
demam. luka insisi/terbuka, dan sisi invasif. Bersihkan dengan Betadine atau
2. Menyatakan pemahaman larutan lain yang tepat kemudia bilas dengan PZ.
penyebab individu / faktor 7. Observasi drainase pada luka.
resiko. 8. Pertahankan teknik steril bila pasien dipasang kateter, dan berikan
perawatan kateter/ atau kebersihan perineal rutin
9. Awasi/batasi pengunjung dan staf sesuai kebutuhan. Berikan
perlindungan isolasi bila diindikasikan
10. Kolaborasi:
a. Ambil contoh/awasi hasil pemeriksaan seri darah, urine, kultur
luka.
b. Bantu dalam aspirasi peritoneal, bila diindikasikan.
c. Berikan antibiotik, contoh gentacimin (Garamycyin), amikasin
(amikin), Klindamisin (Cleocin). Lavase pritoneal/IV
d. Siapkan untuk intervensi bedah bila diindikasikan

Perubahan nutrisi kurang dari Tujuan: Setelah dilakukan tindakan 1. Awasi haluan selang NG, dan catat adanya muntah atau diare
kebutuhan berhubungan keperawatan nafsu makan dapat 2. Timbang berat badan tiap hari.
dengan anoreksia dan muntah timbul kembali dan status nutrisi 3. Auskultasi bising usus, catat bunyi tak ada atau hiperaktif
terpenuhi. 4. Catat kebutuhan kalori yang dibutuhkan
Kriteria Hasil: 5. Monitor Hb dan albumin
6. Kaji abdomen dengan sering untuk kembali ke bunyi yang lembut,
1. Status nutrisi terpenuhi
penampilan bising usus normal, dam kelancaran flatus.
2. Nafsu makan klien timbul
7. Kolaborasi:
kembali
a. Kolaborasi pemasangan NGT jika klien tidak dapat makan dan
3. Berat badan normal
minum peroral.
4. Jumlah Hb dan albumin
b. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam diet.
normal
c. Berikan informasi tentang zat-zat makanan yang sangat
penting bagi keseimbangan metabolisme tubuh

Kekurangan volume cairan Tujuan: Mengidentifikasi intervensi 1. Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi (termasuk perubahan
berhubungan dengan untuk memperbaiki keseimbangan postural), takikardia, takipnea, demam, Ukur CVP bila ada
kehilangan volume cairan cairan dan meminimalisir proses 2. Pertahankan intake dan output yang adekuat lalu hubungkan dengan
aktif. peradangan untuk meningkatkan berat badan harian
kenyamanan. 3. Rehidrasi/ resusitasi cairan
4. Ukur berat jenis urine
Kriteria hasil:
5. Observasi kulit/membran mukosa untuk kekeringan, turgor, catat
edema perifer/sacral.
1. Haluaran urine adekuat
6. Hilangkan tanda bahaya/bau dari lingkungan. Batasi pemasukan es
dengan berat jenis normal,
batu.
2. Tanda vital stabil
7. Ubah posisi dengan sering berikan perawatan kulit dengan sering,
3. Membran mukosa lembab
dan pertahankan tempat tidur kering dan bebas lipatan
4. Turgor kulit baik
5. Pengisian kapiler meningkat 8. Kolaborasi:
6. Berat badan dalam rentang a. Awasi pemerikasaan laboratorium, contoh Hb/Ht, elektrolit,
normal protein, albumin, BUN, kreatinin.
b. Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit.

Ketidakefektifan pola nafas Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai 1. Pantau hasil analisa gas darah dan indikator hipoksemia: hipotensi,
b.d penurunan kedalaman bunyi nafas normal, tekanan O2 dan takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis.
pernafasan sekunder distensi saturasi O2 normal. 2. Auskultasi paru untuk mengkaji ventilasi dan mendeteksi komplikasi
abdomen dan menghindari pulmoner.
Kriteria Hasil:
nyeri. 3. Pertahankan pasien pada posisi semifowler
4. Berikan O2 sesuai program
1. Pernapasan tetap dalam
batas normal
2. Pernapasan tidak sulit
3. Istirahat dan tidur dengan
tenang
4. Tidak menggunakan otot
bantu napas

Ansietas berhubungan dengan Tujuan: Mengurangi ansietas klien 1. Evaluasi tingkat pemahaman klien/orang terdekat tentang diagnosa.
perubahan status kesehatan 2. Akui rasa takut/masalah klien dan dorong mengekspresikan
Kriteria hasil:
perasaan.
3. Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur.
1. Mengakui dan
mendiskusikan masalah Yakinkan bahwa klien dan perawat mempunyai pemahaman yang
2. Penampilan wajah tampak sama.
rileks 4. Terima penyangkalan klien tetapi jangan dikuatkan
3. Mampu menerima 5. Catat komentar perilaku yang menunjukkan menerima dan/atau
kondisinya mengurangi strategi efektif menerima situasi
6. Libatkan klien/orang terdekat dalam perencanaan perawatan.
Berikan waktu untuk menyiapkan pengobatan.
7. Berikan kenyamanan fisik klien
8. Pasien dan orang terdekat mendengar dan mengasimilasi informasi
baru yang meliputi perubahan ada gambaran diri dan pola hidup.
9. Dukungan memampukan klien mulai membuka/menerima
kenyataan infeksi peritonium dan pengobatannya. Klien mungkin
perlu waktu untuk mengidentifikasi perasaan maupun
mengekspresikannya.
10. Membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan
persepsi/interpretasi terhadap informasi

Você também pode gostar