Você está na página 1de 7

Anafilaktik

Definisi
Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Jika seseorang sensitif
terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan
timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat berujung pada
syok anafilaktik. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul
segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.
Etiologi
Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik yaitu:
a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)
b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)
c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)
d. Bisa binatang
e. Lateks
Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan Cryoglobulinemia )
dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Riwayat keluarga atopi tidak
meningkatkan risiko kejadian anafilaktik, namun dapat meningkatkan risiko kematian ketika
reaksi anafilaktik terjadi.
Patofisiologi
Anafilaktik termasuk dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaktik melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi
merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel Mast (mastosit) dan basofil. Sedangkan fase aktivasi
merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan menyekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk
antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi
akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin, dan beberapa bahan vasoaktif lain dari
granula yang disebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi. Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak
menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada umumnya muncul dalam 15 menit sejak terjadinya paparan.
Gejala dapat melibatkan kulit, saluran nafas atas maupun bawah, sistem kardiovaskular, dan GI
tract. Satu atau lebih area mungkin terkena, dan gejalanya tidak harus diawali gejala ringan
(urtikaria) terlebih dahulu sampai berat (obstruksi saluran nafas, atau syok). Gejala bervariasi
dari ringan sampai berat, seperti gatal, urtika, bersin, rhinorea, nausea, kram abdomen,
diare, dispneu, palpitasi, dan pusing. Keadaan syok ditandai dengan hipotensi, takikardi,
urtikaria, angioedema, wheezing, stridor, sianosis, dan sinkop. Syok dapat berkembang
dalam hitungan menit, dan mungkin timbul kejang, tidak sadar, dan kematian. Kolaps
kardiovaskular dapat terjadi tanpa gejala lainnya.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Reaksi anafilaktik mungkin terjadi jika ditemui
beberapa gejala disertai gejala mendadak berikut ini:
a. Syok
b. Gejala respiratori (dispneu, stridor, wheezing)
c. Dua atau lebih gejala lain (angioedema, rhinorea, dan gejala GI tract)
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak
spesifik dari anafilaktik mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit
lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaktik mempengaruhi
seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam
mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki
afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang
menyerupai reaksi anafilaktik dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut,
reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma
bronkiale, dan rhinitis alergika.
Penatalaksanaan
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan
menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaktik. Segera
baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar
lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway
manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.
Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Obat-obatan sampai sekarang adrenalin masih
merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaktik. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam
sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine
dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah
naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Pemberian adrenalin secara intramuskuler
pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan
pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat
setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler
lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-
0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa
kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaktik, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian
antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaktik berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin
(150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila
penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya
dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg
secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak
banyak membantu pada tata laksana akut anafilaktik dan hanya digunakan pada reaksi sedang
hingga berat untuk memperpendek episode anafilaktik atau mencegah anafilaktik berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB
Terapi Cairan. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau
kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah
3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila
diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial, dan
intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik
terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita
dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaktik.
Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi
terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes
kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut,
tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes
kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-
3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat
yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan
alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang
menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk
mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan.
Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi
anafilaktik jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaktik tersebut dapat kambuh
kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi
setelah terjadinya serangan anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang
lebih luas lagi.

Você também pode gostar