Você está na página 1de 11

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA USIA, INDEKS MASSA TUBUH,

DIABETES, TEKANAN DARAH SISTEMIK, DAN TEKANAN INTRAOCULAR DI


ASIA: PENELITIAN LONGITUDINAL SELAMA 6 TAHUN

Latar Belakang: Menyelidiki efek biologis penuaan dengan tekanan intraocular (IOP) dan
faktor resikonya menggunakan penelitian berbasis populasi pada orang dewasa etnis Melayu
dan India.

Metode: Peserta berusia 40 – 80 tahun direkrut untuk Follow up selama 6 tahun, antara
tahun 2004 – 2009 dan 2010 – 2015. Tekanan darah (BP) diukur menggunakan pencatat BP
otomatis dan IOP diperoleh dari Goldmann applanation tonometry. Hasil utamanya adalah
perubahan pada IOP, adanya perbedaan antara IOP 6 tahun kemudian dengan IOP awal.
Model regresi linier digunakan untuk menyelelidiki hubungan antara perubahan IOP dengan
faktor-faktor resiko.

Hasil: Peserta tanpa riwayat glaukoma atau operasi katarak diikutsertakan (n = 3188; rata-
rata usia: 54 ± 9 tahun). IOP rata-rata mereka menurun (-0.5 ± 3.1 mmHg), kecuali pada
mereka yang memiliki kondisi hipertensi pada saat follow up (0.0 ± 3.1 mmHg). Setelah
menyesuaikan kovariat, hubungan perubahan IOP negatif terhadap usia (β = -0.07, 95% CI
-0.13 hingga -0.01) dan positif terhadap indeks massa tubuh, diabetes, hipertensi
(normotensive sebagai acuan; hipertensi awal (β = 0.67, 95% CI 0.39 hingga 0.95) dan
hipertensi kronis (β = 0.46, 95% CI 0.22 hingga 0.70)), BP sistolik (SBP) (β = 0.33, 95%CI
0.14 hingga 0.26), dan BP diastolik (DBP) (β = 0.33, 95% CI 0.22 hingga 0.44), serta
terhadap SBP yang meningkat selama 6 tahun (β = 0.27, 95% CI 0.21 hingga 0.33) dan DBP
yang meningkat selama 6 tahun (β = 0.52, 95% CI 0.41 hingga 0.63).

Kesimpulan: Penuaan dan menurunnya BP berhubungan dengan menurunnya IOP pada


orang dewasa etnis Melayu dan India. Meningat peningkatan IOP merupakan faktor resiko
glaukoma, hasil penelitian kami menyoroti pentingnya kontrol hipertensi pada orang dewasa
lanjut, dimana hipertensi dan terjadinya glaukoma meningkat.
PENDAHULUAN

Secara klinis, tekanan intraocular (IOP) merupakan satu-satunya faktor resiko yang dapat
dirubah (modified) pada primary open-angle glaucoma (POAG). Peningkatan IOP bisa saja
terjadi tanpa adanya penyakit yang terindentifikasi merupakan bagian dari penuan. Ada
kontroversi mengenai perubahan biologis terhadap IOP seiring bertambahnya usia. Penelitian
terbaru menunjukan mungkin ada unsur perbedaan rasial/etnis dalam pola IOP. Dalam studi
ini, IOP menurun pada populasi Asia seiring waktu, sedangkan IOP cukup stabil pada orang
kaukasia dan asal Afrika. Perbandingan langsung berdasarkan etnis/ras ini merupakan suatu
tantangan. Pertama, tidak ada data IOP dalam periode waktu tertentu pada populasi Asia,
kecuali bagian Asia Timur (Jepang, Korea, dan Cina). Secara umum, orang Jepang lebih
rentan terkena normal tension glaucoma, sedangkan orang Cina lebih beresiko menderita
angle closure glaucoma. Sehingga, tidak jelas dapatkah riwayat alami IOP di Asia Timur
mencerminkan populasi lain di Asia, yang sebagian besar cenderung menderita POAG.
Kedua, studi pada orang kaukasia dan Afrika telah menggunakan Goldmann applanation
tonometry (GAT), dimana mayoritas studi pada orang Asia menggunakan non-contact
tonometer, kecuali studi pada orang Jepang. Ketiga, meskipun Nakano dkk. telah
menggunakan gold standard GAT, studi mereka hampir hanya dilakukan pada pria dewasa
muda yang sehat saja, sedangkan studi di barat dan Afrika dilakukan pada orang dewasa yang
tinggal di komunitas. Jadi kesimpulannya, data dari orang Jepang, harus dibatasi pada pria
muda, dan harus diinterpretasi secara hati-hati untuk orang-orang yang lebih dewasa dan
wanita. Secara keseluruhan, masih belum jelas apakah perbedaan hasil tersebut disebabkan
oleh perbedaan etnis/ras, atau ketidaksamaan dalam bentuk penelitian dan teknik pengukuran
IOP.

Seperti kita ketahui, produksi aqueous humour dan alirannya berubah seiring bertambanya
usia, dan kurangnya pengukuran IOP pada populasi Asia usia lanjut menggunakan GAT.
Sedangkan pada saat yang bersamaan, resiko berbagai macam penyakit dan penggunaan
obat-obatan, meningkat tajam setelah berumur 40 tahun. Mengingat hubungan yang
konsisten antara tingkat tekanan darah (BP) dan hipertensi dengan IOP, maka jelas bahwa
pengaruh usia dan BP terhadap IOP sangat kompleks dan tidak dapat diteliti secara terpisah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kami menyelidiki efek biologis pada penuaan terhadap
IOP dan faktor resiko dari perubahan tersebut selama jangka waktu 6 tahun pada populasi
Asia Tenggara, orang Singapura etnis Melayu dan etnis India yang berumur 40 tahun keatas.
Kami berhipotesis, bahwa ada efek biologis pada penuaan terhadap IOP dan adanya
sikronisasi antara perubahan IOP dan perubahan sistem BP, yang sering menyertai
pengobatan hipertensi.

METODE

Populasi Penelitian

Singapore Malay Eye study (SiMES) dan Singapore Indian Eye Study (SINDI) merupakan
studi berbasis populasi pada orang dewasa etnis Melayu dan etnis India. Pemeriksaan awal
dilakukan pada 3280 etnis Melayu di tahun 2004 – 2006 dan 3400 etnis India di tahun 2007
– 2009. Sampling acak untuk pengelompokan usia (jarak umur 10 tahun) digunakan pada
etnis Melayu dan etnis India, berumur ≥ 40 tahun yang tinggal dibagian barat daya Singapura.
Jumlah yang terpilih adalah 4168 etnis Melayu dan 4497 etnis India. Dari jumlah tersebut,
yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 3280 etnis Melayu dan 3400 etnis India.
Pemeriksaan lanjutan 6 tahun kemudian dilakukan pada tahun 2011 – 2013 untuk etnis
Melayu (SiMES-2) dan tahun 2007 – 2009 untuk etnis India (SINDI-2). Dari 3280 peserta
etnis Melayu, 415 telah meninggal dunia; 229 sakit parah, mengalami gangguuan mobilitas
atau kognitif, atau telah pindah; dan 1901 peserta melakukan pemeriksaan lanjut (tingkat
respons 72%). Sedangkan untuk peserta etnis India, dari 3400 peserta yang melakukan
pemeriksaan awal, 201 telah meninggal; 285 sakit parah, mengalami gangguan mobilitas atau
kognitif atau telah pindah; dan 2200 peserta melakukan pemeriksaan lanjut (tingkat respons
75%).

Baik peserta etnis Melayu dan etnis India yang melakukan pemeriksaan lanjut cenderung
lebih muda (p < 0.001), sebagian besar wanita (p = 0.001), dan memiliki BP systolic (SBP)
yang lebih rendah dibanding non-peserta. Namun para peserta Melayu memiliki BP diastolic
(DBP) yang lebih rendah (79.4 ± 11.0 mmHg vs 80.4 ± 11.7 mmHg; p = 0.017) dibanding
non-perserta; sedangkan tidak ada perbedaan DBP pada peserta India dengan non-peserta
(77.7 ± 10.1 mmHg vs 77.5 ± 10.6 mmHg; p = 0.51). Persetujuan untuk melakukan penelitian
pada pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjut, termasuk izin prosedur, diperoleh dari
Singapore Eye Research Institute Review Board, dan semua prosedur penelitian mengikuti
anjuran dari Declaration of Helsinki. Penjelasan dan persetujuan tertulis juga diperoleh dari
semua peserta.

Prosedur Penelitian

Baik peserta etnis Melayu dan etnis India menjalani pemeriksaan klinis yang serupa dan
pemeriksaan mata di Singapore Eye Research Clinic. SBP dan DBP diukur setelah peserta
duduk selama minimal 5 menit. menggunakan pengukur BP digital otomatis (Dinamap model
Pro Series DP110X-RW, Milwaukee, Wisconsin, USA). BP diukur dua kali, dengan interval
waktu 5 menit. Pengukuran ketiga dilakukan jika ada perbedaan pada dua pembacaan SBP
sebelumnya sebesar > 10 mmHg atau perbedaan pembacaan DBP sebesar > 5 mmHg. BP
peserta diambil dari rata rata dua pembacaan dengan nilai terdekat.

GAT digunakan untuk mengukur IOP (Haag-Streit Keoniz, Switzerland) sebelum dilatasi
pupil. Satu tetes anastesi topical (amethocaine hydrochloride 0.5%) diteteskan pada kantung
konjungtiva inferior dan satu strip kering fluorescein pada kornea. Masing-masing mata
diukur. Jika pembacaan > 21 mmHg, maka dilakukan pengukuran ulang, dan pengukuran
kedua yang digunakan.

Pengukuran Lainnya

Kuesioner mendetail digunakan pewawancara untuk mengumpulkan data demografi, faktor


resiko gaya hidup (misalnya, merokok), riwayat medis (misalnya, hipertensi dan diabetes),
riwayat ocular (misalnya, glaucoma) dan penggunaan obat-obatan. Etnis diatur oleh sensus
Singapura, dan peserta diberi pilihan untuk diwawancarai dalam bahasa Inggris, Melayu, atau
Tamil. Sampel darah diambil untuk analisis hemoglobin A1c (HbA1c) dan plasma glukosa.
Disebut hipertensi jika SBP ≥ 140 mmHg dan/atau DBP ≥ 90 mmHg dan/atau adanya laporan
diagnosa hipertensi dari dokter peserta dan/atau riwayat obat antiipertensi. Peserta yang baru
didiagnosa hipertensi dianggap hipertensi pada saat Follow up, dan disebut normotensive
pada kunjungan awal. Disebut diabetes jika HbA1c ≥ 6.5%, glukosa plasma non-puasa ≥ 11.1
mmol/L, laporan diagnosa diabetes dari dokter peserta atau riwayat pengobatan penurun
glukosa. Tinggi peserta diukur dalam sentimeter menggunakan pita pengukur yang dipasang
didinding, dan berat badan peserta diukur dalam kilogram menggunakan skala digital
(SECA, model 782 2321009, Jerman). Opsi status merokok adalah tidak pernah merokok,
perokok aktif, dan bekas perokok. Berat badan (dalam kilogram) dihitung dari Indeks Massa
Tubuh (BMI) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat.

Analisis Statistik

Semua data baseline diperoleh dari pemeriksaan awal. Hasil utamanya adalah perubahan
IOP, yaitu perbedaan antara IOP 6 tahun kemudian dengan IOP awal (IOP pada Follow up 6
tahun kemudian dikurang IOP pada kunjungan awal). Untuk membandingkan karakteristik
para peserta, analisis satu arah pada uji varian digunakan untuk variable kontinyu, dan tes X2
untuk variable kategori. Terdapat hubungan yang kuat antara IOP intereye pada kunjungan
awal (r = 0.893, p < 0.001) dan Follow up (r = 0.891, p < 0.001). GEE merupakan perhitungan
yang tepat untuk korelasi intereye dan untuk memaksimalkan daya (power) dan ketepatan
data. Hubungan antara faktor ocular dan faktor sistemik (variable independen) terhadap
perubahan IOP (variable dependen) dinilai dengan regresi linier multivariat menggunakan
persamaan umum untuk memperhitungkan korelasi intereye. Usia, jenis kelamin, dan IOP
awal, faktor-faktor yang nilai p < 0.10 pada model pertama dimasukan kedalam model
multivariat. Status hipertensi dijadikan satu set variable indikator dan normotension
dijadikan sebagai acuan pada kelompok. Data-data diatas dianalisis menggunakan software
statistic (STATA, V.13.1).

HASIL

Dari 4101 peserta yang berpartisipasi pada pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjutan 6
tahun kemudian, kami mengurangi/ekslusi 188 peserta (376 mata) dengan riwayat diagnosa
glaucoma atau operasi/pengobatan glaucoma, disebabkan IOP mereka yang berbeda pada
masing-masing mata. Selanjutnya kami mengurangi 701 peserta (1402 mata) yang telah
menjalani operasi katarak, karena mata pseudophakic cenderung memiliki IOP yang rendah.
Kami juga mengurangi 24 peserta di awal, karena variable klinis IOP dan BP-nya hilang
(Gambar 1). Dari 3188 orang yang tersisa, 484 (15%) peserta terkena hipertensi pada
pemeriksaan lanjutan 6 tahun kemudian.

Tabel 1 menunjukan karakteristik klinis awal peserta yang dikelompokan berdasarkan status
hipertensi. Rata-rata usia dan SD peserta adalah 54.4 ± 8.5 tahun, 53% -nya perempuan dan
48%- nya etnis Melayu. Pada keadaan awal, IOP rata-ratanya adalah 15.4 ± 3.0 mmHg, bagi
peserta normotensive IOP rata-ratanya lebih rendah dibanding peserta hipertensi (14.9
mmHg vs 15.4 – 15.7 mmHg; p < 0.001). IOP rata-rata menurun sebesar -0.4 menjadi -0.8
mmHg pada sebagian besar kelompok; sebaliknya, IOP sedikit berubah disekitaran nol pada
peserta yang baru didiagnosis hipertensi (subkelompok 2: 0. ± 3.1 mmHg; p = 0.299).

Faktor yang berhubungan dengan perubahan IOP selama 6 tahun diselidiki menggunakan
model regresi linier (tabel 2). Analisis perubahan IOP yang diatur berdasarkan usia, jenis
kelamin, etnis, dan IOP awal, menunjukan bawa perubahan IOP berhubungan dengan jenis
kelamin perempuan, etnis, IOP awal, BMI, diabetes, HbA1c dan hipertensi (model 1, tabel
2). Analisis multivariable menunjukan bahwa hubungan perubahan IOP negatif terhadap usia
(β = -0.07, 95% CI -0.13 hingga -0.01) dan terhadap IOP awal (β = -0.69, 95% CI -0.71
hingga -0.66), hubungan perubahan IOP positif terhadap jenis kelamin perempuan (β = 0.35,
95% CI 0.12 hingga 0.58), etnis India (β = 0.70, 95% CI 0.52 hingga 0.89), BMI (β = 0.02,
95% CI 0.01 hingga 0.04), diabetes (β = 0.27, 95% CI 0.06 hingga 0.49), hipertensi
(normotensive sebagai acuan; hipertensi awal (β = 0.67, 95% CI 0.39 hingga 0.95) dan
hipertensi kronis (β = 0.46, 95% CI 0.22 hingga 0.70; model 2, tabel 2)). Tidak ada catatan
pengaruh antara usia dengan jenis kelamin atau etnis (p untuk pengaruh jenis kelamin =
0.854; p untuk pengaruh etnis = 0.144).

Pada model lain, sebagai pengganti hipertensi, perubahan SBP atau DBP dihubungkan
dengan perubahan IOP; perubahan IOP berhubungan dengan SBP awal yang lebih tinggi (β
= 0.20, 95% CI 0.14 hingga 0.26) dan DBP awal yang lebih tinggi (β = 0.33, 95% CI 0.22
hingga 0.44), serta peningkatan SBP selama 6 tahun (β = 0.27, 95% CI 0.21 hingga 0.33)
atau DBP selama 6 tahun (β = 0.52, 95% CI 0.41 hingga 0.63, tabel 3). Setiap meningkatnya
10 mmHg SBP atau DBP, ada peningkatan juga untuk IOP, secara berturut-turut, untuk SBP
0.27 mmHg atau untuk DBP 0.52 mmHg. Pada analisis lebih lanjut yang dikelompokan
berdasarkan hipertensi, ditunjukan tren peningkatan IOP yang terjadi bersamaan dengan
meningkatnya SBP atau DBP pada sebagian besar kelompok (table 3). Peningkatan IOP
hanya berhubungan dengan penggunaan obat antihipertensi pada pemeriksaan awal, namun
tidak dengan penggunaan obat pada saat pemeriksaan lanjutan.

Kami kemudian mempertimbangkan efek dari berbagai pengobatan antihipertensi pada


peserta hipertensi yang menerima pengobatan antihipertensi hanya pada saat pemeriksaan
lanjutan (file tambahan online 1). Peserta-peserta tersebut adalah 139 peserta dari
subkelompok 2 dan 361 peserta dari subkelompok 3. Setelah diatur berdasarkan usia, jenis
kelamin, etnis, IOP, diabetes, SBP, dan perubahan SBP, peserta yang memakai β-blocker
memiliki IOP lebih rendah (β = - 0.55, 95% CI -0.96 hingga -0.13; p = 0.01). Hubungan IOP
dengan β-blocker tetap signifikan ketika diatur berdasarkan DBP (β = -0.50, 95% CI -0.93
hingga -0.07). Namun, perubahan IOP tidak berhubungan secara signifikan terhadap peserta
dengan jenis pengobatan lainnya (table tambahan online 1; p > 0.05). Pada model lain,
dimana β-blocker dianggap lebih baik dari pengobatan antihipertensi (table tambahan online
2), perubahan IOP selama 6 tahun berhubungan dengan peningkatan SBP atau DBP selama
6 tahun (SBP; β = 0.27, 95% CI 0.17 hingga 0.31) (DBP; β = 0.33, 95% CI 0.06 hingga
0.60).

Gambar 2 menggambarkan pengamatan lebih lanjut mengenai tren antara usia dan
peningkatan BP terhadap perubahan IOP seperti yang ditunjukan pada model regresi linier
multivariabel. Peserta yang lebih tua (tren p = 0.012; gambar 2A) mengalami penurunan IOP
paling besar. Penurunnya adalah -0.36 ± 0.16 mmHg untuk usia 40 – 49 tahun, -0.51 ± 0.14
mmHg untuk usia 50 – 59 tahun, -0.55 ± 0.22 mmHg untuk usia 60 – 69 tahun, dan -0.94 ±
0.40 mmHg untuk usia 70 tahun keatas. Mengenai peningkatan BP, ada penuruan rata-rata
pada IOP selama 6 tahun, yaitu -0.39 ± 0.14 mmHg pada peserta yang SBP-nya sekitar 10
mmHg (BP awal sebagai perbandingan), -0.04 ± 0.18 mmHg pada peserta yang SBP-nya
meningkat 10 mmHg, dan -1.18 ± 0.02 mmHg pada peserta yang SBP-nya menurun 10
mmHg atau lebih (tren p < 0.001; gambar 2B). Sedangkan untuk DBP, perubahan IOP
selama 6 tahun, yaitu -0.38 ± 0.12 mmHg pada peserta yang DBP-nya sekitar 10 mmHg, 0.08
± 0.26 mmHg pada peserta yang DBP-nya meningkat 10 mmHg, dan -1.35 ± 0.26 mmHg
pada peserta yang DBP-nya menurun 10 mmHg. Kami mengevaluasi efek dari perbedaan
waktu terhadap pengukuran IOP (misalnya, kunjungan awal di pagi hari dan follow up
dimalam hari, atau sebaliknya) atau perbedaan musim (misalnya, kunjungan awal di musim
panas dan Follow up di musim dingin). Hasilnya tidak ditemukan efek yang signifikan (data
tidak ditampilkan).

PEMBAHASAN

Setelah Follow up selama 6 tahun kemudian, penuaan berhubungan dengan penurunan IOP,
sementara jenis kelamin wanita, etnis India, diabetes, tinggi nya BMI, dan besarnya
perubahaan SDP, berhubungan dengan kenaikan IOP pada populasi etnis melayu dan india
yang tinggal di Singapura ini. Memahami perubahan IOP dari waktu ke waktu dan faktor-
faktor yang berkaitan, mungkin juga bersangkutan dengan penanganan pasien glaucoma
yang juga menerima pengobatan untuk komorbiditas sistemik. Sepengetahuan kami,
penelitian kami merupakan penelitian pertama di Asia Tengara yang menilai efek biologis
terhadap IOP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, menggunakan metode pengumpulan
data yang sama selama 6 tahun.

Ada sedikit keraguan mengenai penurunan IOP terhadap penuaan pada orang Asia (tabel 2
dan gambar 2A). Data dari penelitian kami dan penelitian sebelumnya pada populasi Asia
Timur mendukung hubungan antara penuruan IOP dengan penuaan. Pada sebagian besar
peserta, IOP menurun minimal 0.4 – 0.6 selama 6 tahun; sebaliknya, IOP berubah sedikit
disekitaran nol ada peserta yang baru didiagnosis hipertensi sistemik, yang secara bersamaan
mengalami kenaikan BP terbesar. Kami dapat lebih memahami efek hipertensi dan efek
biologis ocular hypotensive pada penuaan setelah kami mengelompokan peserta berdasarkan
status hipertensi. Namun, tidak ada satupun studi kaukasia dan Afrika yang mengelompokan
peserta berdasarkan hipertensi sistemik awal – yang biasanya ditandai dengan tingginya
peningkatan BP – kemungkinan efek hipotensi pada penuaan tertutupi oleh efek ocular
hypertensive pada hipertensi sistemik, oleh sebab itu IOP meningkat sesuai dengan usia atau
tidak berubah.

Informasi mengenai riwayat IOP pada populasi Asia merupakan hal penting dalam sains
karena dapat mengungkap pengetahuan yang dalam mengenai patogenesis dan resiko POAG.
Hipotesa sebelumnya menjelaskan resiko POAG lebih besar pada lansia, sehingga
menunjukan pentingnya hubungan penuaan dengan IOP, dimana tingginya IOP langsung
menekan saraf optik kepala, sehingga mendistorsi lamina cribrosa dan mengganggu aliran
axoplasmic, mengakibatkan matinya sel retinal ganglion. Penurunan IOP seiring
bertambahnya usia, walaupun tidak menonjol, jelas tidak mendukung gagasan hubungan usia
terhadap POAG disebabkan oleh peningkatan IOP dengan usia. Sebaliknya, peningkatan
POAG seiring usia, disebabkan oleh semakin rentannya saraf optik kepala terhadap IOP atau
faktor resiko lainnya. Sayangnya, pemahaman kita mengenai mekanisme biologis terhadap
penurunan IOP masih jauh dari selesai. Penjelasan paling mungkin adalah menurunnya
produksi aqueous humour, sebagian disebabkan oleh melemahnya aliran aqueous.
Penurunan produksi aqueous humour ini mungkin lebih banyak dialami oleh populasi Asia
dibandingkan populasi lain, meskpiun teori ini membutuhkan penelitian lebih dalam di masa
yang akan datang. Terkaitnya perubahan glaucoma terhadap level IOP, dapat tersamarkan
oleh penuaan serta komorbiditas sistemik (mengidap dua penyakit kronis sekaligus). Kami
menemukan bahwa individu yang menderita diabetes, hipertensi, memiliki tingkat BMI,
SBP, dan DBP yang lebih tinggi, mengalami peningkatan IOP juga, sehingga semakin
menambah kompleksitas dalam menentukan IOP mata yang sebenarnya. Begitu pula pada
penelitian yang ada sebelumnya, dijelaskan bawa IOP dipengaruhi oleh parameter sistemik,
seperti tingkat diabetes, BMI, dan BP. Peningkatan IOP merupakan hal biasa penyebab
rujukan ke layanan perawatan mata, dan perawatan saat ini membutuhkan pemantauan
berkala terhadap individu yang beresiko tinggi. Temuan kami menunjukan bahwa individu
tanpa glaucoma, kemungkinan berpotensi memiliki IOP yang lebih tinggi, tergantung
bagaimana mereka mengontrol BP. Meningkatnya orang-orang dengan hipertensi, dan
rujukan wajib bagi individu yang beresiko tinggi, hipertensi sistemik yang tidak terkendali
dapat menyebabkan menigkatnya rujukan yang tidak perlu ke dokter spesialis mata, sehingga
berdampak pada kualitas dan biaya layanan kesehatan.

Berdasarkan data saat ini, mekanisme yang mendasari hubungan antara BP dan IOP masih
belum jelas. Namun, hubungan tersebut mungkin berkaitan dengan tekanan ocular perfusion
yang dihubungankan dengan peningkatan produksi air. Hubungan linier antara produksi
aqueoue humour dan aliran darah siliaris telah dilaporkan hingga di atas ambang batas
perfusi. Kemungkinan lain, ketergantungan IOP terhadap BP mungkin terkait dengan
peningkatan volume koroid terhadap peningkatan BP. Penelitian telah mengamati hubungan
tekanan dan volume ocular, yang bergantung pada tekanan arteri rata-rata. Penjelasan lain
yang memungkinkan adalah bahwa proses atherosclerotic menyebabkan peningkatan BP,
sehingga menyebabkan melemahnya aliran aqueous. Tingkat IOP yang lebih tinggi
menunjukan hubungan yang signifikan dengan adanya kalsium pada arteri koroner, dan tidak
bergantung terhadap faktor resiko kardiovaskular konvensional. Namun, dalam penelitian
ini, pengobatan hipertensi sistemik yang dikaitkan dengan normalisasi nilai IOP dan BP,
yang menunjukan bahwa kaitannya bergantung pada tingkat BP (nilai tekanan darah) dari
pada hipertensinya. Pada kesimpulannya, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan
efek farmakologi langsung yang disebabkan oleh obat penurun BP, pada melemahnya aliran
atau produksi aqueous humour. Penelitian kami dan lainnya, menemukan bahwa peserta
yang menggunakan β-blocker sebagai obat penurun BP, mengalami penuruan IOP.
Sayangnya, data pada penelitian ini kurang memadai untuk analisis subkelompok
berdasarkan ragam antihipertensi.

Kelebihan dan Batasan Penelitian

Kelebihan dari penelitian ini adalah penelitian yang berbasis populasi, tingginya partisipasi
(pemeriksaan lanjutan pada 72% peserta yang tersisa) dan adanya dua kelompok besar etnis
Asia dengan standar metode yang sama. Penelitian ini juga diperkuat dengan penggunaan
peralatan gold standard GAT. Namun, penelitian kami juga memiliki beberapa keterbatasan.
Pasien lebih tua yang tidak berpartisipasi pada follow up, memiliki BP yang lebih tinggi dan
rata-rata memiliki tingkat hipertensi yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat melemahkan
hubungan perubahan BP dengan perubahan IOP. Kedua, kemungkinan adanya kesalahan
klasifikasi pada status hipertensi dari pemeriksaan klinis, karena pada sebagian peserta
klasifikasi berasal dari dari dua pengukuran BP pada satu kali pemeriksaan. Ketika kami
menganalisis data status hipertensi pada pemeriksaan lanjutan, kami menemukan sekitar 4 %
peserta yang awalnya diklasifikasikan sebagai hipertensi, kemudian diklasifikasikan sebagai
normotensive selama masa pemeriksaan lanjutan. Terakhir, pengukuran IOP hanya diambil
satu kali untuk masing-masing mata, kurang akurat jika dibandingkan dengan beberapa kali
pengukuran.

Kesimpulannya, setelah Follow up 6 tahun, penelitian berbasis populasi kami pada orang
dewasa etnis Melayu dan India yang tinggal di Singapura, menunjukan adanya penurunan
IOP secara biologis seiring bertambahnya usia. Kami juga menemukan bahwa perubahan
IOP berhubungan langsung dan signifikan terhadap perubahan BP, khususnya pada individu
yang memiliki hipertensi. Hasil penelitian kami menyoroti pentinya pengontrolan BP pada
pasien glaucoma karena akan menyebabkan penurunan IOP seiring waktu. Mengingat
tingginya IOP merupakan faktor resiko utama glaucoma, perlu digarisbawahi pentingnya
control BP pada orang dewasa lanjut, dimana kemungkinan glaucoma tinggi.

Você também pode gostar