Você está na página 1de 8

A.

Aplikasi Klinis

1. Penentuan LD50 dan ED50 dengan dosis respon hubungan dan

penilaian toksikologi dan perilaku non toksikologi dari Ipomoea

hederacea.

Penelitian ini dirancang untuk mengevaluasi profil toksik dan

tidak beracun dari Ipomoea hederacea (Convolvulaceae). Hasil studi

toksisitas oral diamati pada tikus dengan dosis 300, 200, 100, 50, 25, 10,

1, 0,025 dan 0,0125 mg / kg. Dimulainya efek mematikan dicatat pada

dosis 300 mg / kg dan nilai LD50 yang dihitung ditemukan 229,2 mg /

kg dosis. Tanda dan gejala toksik setelah pengenalan dosis oral pada

tikus adalah kejang dan tremor. Efek toksik terhadap dosis tergantung

pada perilaku tikus termasuk kejang, tremor, gaya berjalan tidak stabil,

dan tekanan pernapasan sampai mati. Juga diamati bahwa pada dosis 1,

0,025, 0,0125 tidak ada tanda toksisitas pada perilaku hewan yang

diamati dan ED50 yang dihitung ditemukan 0,0125-1mg / kg. Pada uji

aktivitas analgesik pada dosis rendah (1, 0,025, 0,0125 mg / kg)

penurunan signifikan jumlah writhes diamati (p <0,05). Aktivitas

analgesik piring panas juga menunjukkan beberapa potensi analgesik.

Studi lain seperti lapangan terbuka, perilaku eksplorasi, uji berenang

paksa untuk stres dan aktivitas insektisida juga dilakukan pada ekstrak

metanol kasar tanaman ini (Ahmad et al, 2012)

Penilaian LD50 dan ED50 dengan menggunakan tikus albino

dari kedua jenis kelamin dibagi menjadi sembilan kelompok dengan

1
enam tikus masing-masing dan diberi dosis bergradasi (300, 200, 100,

50, 25, 1, 0,025 dan 0,0125 mg / kg berat badan) dari ekstrak dengan

tabung lambung. Tikus diamati untuk tanda-tanda toksisitas dan

kematian selama periode 72. Kelompok kesembilan mendapat dosis oral

tunggal 0,5 ml normal. Selain itu dengan uji aktivitas insektisida untuk

penentuan hama dalam pengobatan herbal metode analisis klasik

digunakan selama percobaan. Nilai untuk pengamatan dinyatakan

sebagai mean setelah pemberian obat + SEM. Pentingnya perbedaan

antara mean ditentukan oleh uji t dan nilai Dunnett dari P <0,05 yang

dianggap signifikan (Ahmad et al, 2012)

2. Asma

Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas

yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai

rangsangan yang dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas

dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari yang

umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan

(Depkes RI, 2013).

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang

melibatkan sel dan elemennya, di mana dapat menyebabkan

peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala

episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan

batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut

berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan

2
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Anderson,

2013).

Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten

yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara

hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang ditandai dengan penyempitan

jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk. (Smeltzer & Bare,

2008).

Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma

yaitu sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini

dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi,

hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan

(alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,

infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya

keluarga) apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer)

maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor pemicu

tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah,

binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan

asap rokok (Depkes RI, 2013).

b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum

tentu menjadi asma. Apabila telah terpajan dengan pemacu

(enhancer) akan terjadi proses inflamasi pada saluran napas. Proses

inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat

secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor pemacu

3
tersebut adalah rinovirus, ozon dan pemakaian β2 agonis (Depkes

RI, 2013).

c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila

individu terpajan oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi

serangan asma (Depkes RI, 2013).

Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu dan pemacu

ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.

Secara umum faktor pencetus serangan asma adalah:

a. Alergen

Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan

dapat menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau,

spora jamur, bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan laut .

Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus adalah telur,

kacang, bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan dan susu

sapi (Depkes RI, 2013).

b. Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan

dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan

oleh infeksi saluran pernapasan . Asma yang muncul pada saat

dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya

sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat

Anti-Inflamasi Non Steroid (AINS), atau dapat juga terjadi karena

mendapatkan pemicu seperti debu dan bulu binatang di tempat

kerja yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas yang

4
berulang. Ini disebut dengan occupational asthma yaitu asma yang

disebabkan karena pekerjaan (Gaston, 2012).

c. Tekanan jiwa

Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada

orang yang agak labil kepribadiannya, ini lebih menonjol pada

wanita dan anak-anak . Ekspresi emosi yang dimunculkan secara

berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma (Depkes RI,

2013).

d. Olahraga/kegiatan jasmani yang berat

Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA)

terjadi segera setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat.

Lari cepat danbersepeda merupakan dua jenis kegiatan paling

mudah menimbulkan serangan asma (Soemantri, 2012).

e. Obat-obatan

Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu.

Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker, dan

lain-lain (Depkes RI, 2013)

f. Polusi udara

Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau

kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran

dan oksida fotokemikal serta bau yang tajam (Wallace, 2013).

3. Beta blocker pada penderita Asma

Selama ini, beta blocker telah dikenal sebagai kontraindikasi

pada pasien penderita asma karena menjadi resiko pemicu

5
bronkoknstrisi, yang nantinya dapat menyebabkan respon insufisien

bagi terapi bronkodilatoe (Ahmed, 2012). Oleh karena itu, beta blocker

dianggap sebagai antagonis pada obat-obat activator β2-adrenoceptor

seperti salbutamol dan terbutaline yang berfungsi untuk menghasilkan

efek bronkodilatasi (Arboe, 2013).

Beta blocker bekerja dengan cara mengikat beta-adrenoceptors

dan memblok ikatan antara epinephrine dan norepinephrine. Ikatan beta

blocker nantinya akan menyebabkan berbagai macam efek simpatis

yang seharusnya terjadi melalui reseptor ini terhambat. Selain itu, beta

blocker juga bekerja dengan cara menginaktifkan β2-adrenoceptor

(Ahmed, 2012).

Awalnya beta blocker bersifat non selektif, sehingga secara

bersamaan memblok β-1 (jantung) dan β-2 (bronkial) adrenoceptor

sehingga dapat menyebabkan efek blokade β-2 yang berupa obstruksi

aliran udara, namun generasi beta blocker yang baru lebih selektif

terhadap reseptor β-1 (Ahmed, 2012).

Beberapa studi kini tengah mempelajari kemungkinan

penggunaan beta blocker sebagai terapi untuk asma. Studi tersebut

didasarkan pada efek positif beta blocker pada pasien dengan gagal

jantung di ventrikel kiri (Arboe, 2013).

6
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M., Mehjabeen, Jahan, N., et al. 2012. Determination of LD50 and ED50

By Dose Response Relationship And Assessment Of Toxicological And

Non Toxicological Behaviour Of Ipomoea Hederacea. Journal of Pharmacy

Research. University of Karachi, Karachi-75270, Pakistan.

Ahmed, R., Branley, H.M. 2012. Reversible Bronchospasm With The Cardio-Selective

Beta-Blocker Celiprolol In a Non-Asthmatic Subject. Elsevier. 145: 779-786

Anderson, H.R. 2013. Expert Panel Report 3 (EPR-3): Guidelines for the Diagnosis

and Management of Asthma-Summary Report. National Asthma Education

and Prevention Program. 121(6): 94-138

Arboe, B., Ulrik, C.S. 2013. Beta-Blockers : Friends Or Foe In Asthma?. International

Journal of General Medicine. 6: 549-555

Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan pengembangan

Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Jakarta

Gaston, B.M. 2012. Features of Severe Asthma in School-Age Children: Atopy and

Increased Exhaled Nitrit Oxide. Journal of Allergy and Clinical

Immunology. 118(6): 1218-1225

Gilman, A. G., Hardman, J. G. & Limbird, L. E., 2008, Dasar Farmakologi Terapi

Volume 1. Diterjemahkan oleh Aisyah, C., Elviana, E., Syarief, W. R.,

Hanif, A. & Manurung, J. EGC, Jakarta

7
Gunawan, Sulistia, G. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

Hardman, Joel G., Limbird, Lee E., Gilman, Alfred Goodman. 2012. Goodman and

Gilman’s Dasar Farmakologi Terapi. EGC, Jakarta

Katzung, Bertram G., Trevor, Anthony J. 2015. Basic and Clinical Pharmacology

13th Edition. MC-Graw Hill Education.

Nafrialdi, Setawati A. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta

Radji, M. 2014. Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat Baru.

Pharmaceutical Sciences and Research. 2(1): 1-11

Smeltzer, S., Bare. 2008. Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical

Nursing. Lippin cott, Philadelpia

Soemantri, I. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem

Pernapasan Edisi 2. Salemba Medika, Jakarta

Wallace, L.A., Mitchell, H., Neas, L., Lippman, M. 2013. Particle Concentrations

in Inner-city Homes of Children with Asthma: The Effect of Smoking,

Cooking, and Outdoor Pollution. Environmental Health Perspectives. 111

(9): 1265-1272

Você também pode gostar