Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh :
Karisya Tri Andini, S.Ked 04054821719122
Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Masayu Shavira Rahmadhani S, S.Ked 04084821820034
Pembimbing :
dr. Fredi Heru Irwanto, Sp.An KAKV
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian di Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Fredi Heru, Sp.An. KAKV, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.
Penulis
Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi
Karisya Tri Andini1, Liaw Yin Jin2, Masayu Shavira R S3, Fredi Heru4
Abstrak
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang ada atau berpotensi terjadi. Nyeri pascaoperasi
merupakan respon normal terhadap intervensi bedah dan menjadi penyebab pemulihan tertunda pada
pasien pascaoperasi. Nyeri pascaoperasi yang tidak diobati dapat mengurangi kepuasan pasien serta
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Perawatan tidak adekuat nyeri pasca operasi menjadi hal
penting, tidak hanya menyebabkan hasil yang lebih buruk pascaoperasi tetapi juga meningkatkan
risiko nyeri pascaoperasi yang persisten. Penatalaksanaan nyeri yang tepat dibutuhkan untuk
menekan rasa nyeri dan mencegah berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Obat yang
terutama digunakan sebagai analgetik adalah analgetik opioid, nonopioid, serta antagonis dan
agonis-antagonis opioid.
Abstract
Pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated with existing or potential tissue
damage. Postoperative pain is a normal response to surgical intervention and leads to delayed
recovery in postoperative patients. Untreated postoperative pain can reduce patient satisfaction and
increase morbidity and mortality. Inadequate post-operative pain treatment is important, not only
leads to worse postoperative outcomes but also increases the risk of persistent postoperative pain.
Appropriate pain management is needed to suppress pain and prevent the negative effects it causes.
Drugs used primarily as analgesics are analgesic opioids, nonopioids, and antagonists and opioid
antagonists.
_______________________________________________________________________________
LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sesungguhnya
maupun potensi kerusakan jaringan.1 Setiap orang pasti mengalami dan merasakan
nyeri selama perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri kualitas dan kuantitasnya berbeda
dari satu orang ke orang lain, tergantung dari tempat nyeri, waktu, dan penyebab.1,2
Operasi merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya nyeri kronis.
Dalam sebuah studi yang dilakukan pada 5130 pasien pasca operasi dan trauma,
sebanyak 22,5% pasien mengalami nyeri pasca operasi. Salah satu jenis tindakan
operasi yang paling sering menimbulkan terjadinya nyeri kronis pasca operasi
adalah tindakan amputasi dengan insiden sebesar 85% diikuti dengan tindakan
operasi di regio thoraks sebesar 65% dan regio jantung sebesar 55%.3
Nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, dan fisis yang
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Nyeri juga merupakan salah satu reaksi dari
radang. Rangsangan tersebut memacu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut
mediator nyeri. Mediator yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf
bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Lalu rangsangan tersebut disalurkan ke
otak, dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri, dimana impuls
dirasakan sebagai nyeri.1
Rasa nyeri akan disertai respon stres yang antara lain berupa meningkatnya
rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas.2 Nyeri yang
berlanjut atau tidak ditangani secara adekuat, memicu respon stres yang
berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan menurunkan
fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme, pembekuan darah
dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan. Oleh
karena itu, penatalaksaan nyeri yang tepat dibutuhkan untuk menekan rasa nyeri
dan mencegah berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Obat-obatan yang
terutama digunakan sebagai analgesik atau penghilang nyeri adalah golongan
analgesik opioid, nonopioid, serta antagonis dan agonis-antagonis opioid.2
DEFINISI NYERI
Berdasarkan International Association for the Study of Pain nyeri
digambarkan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensial terjadi
kerusakan jaringan.1 Pada sebagian besar pasien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh
suatu cedera atau rangsangan yang yang cukup kuat yang berpotensi mencederai.1,2
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya
bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion
kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon
nyeri.3 Nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan sebagai respon dari luka baik
secara fisik maupun fisiologi. Respon nyeri di transmisikan dari sistem saraf perifer
ke sistem saraf pusat dan diatur dari pusat yang lebih tinggi.3
Nyeri memiliki fungsi protektif, memicu respons terhadap stres berupa
penarikan, melarikan diri, atau imobilisasi bagian tubuh. Namun apabila fungsi
protektif ini berakhir, nyeri yang berlanjut dapat melemahkan pasien karena sering
disertai oleh suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung,
tekanan darah, dan laju pernafasan.1,2
Nyeri bersifat subjektif sehingga respon tiap individu berbeda. Walaupun
merupakan pengalaman subjektif dengan komponen sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan, nyeri memperlihatkan beberapa bukti objektif. Mengamati
ekspresi wajah pasien, mendengarkan tangisan atau erangan, memperhatikan tanda-
tanda vital seperti denyut jantung, tekanan darah, laju pernafasan dapat memberikan
petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami pasien.2
Umumnya nyeri dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu nyeri
nosiseptif dan nyeri neuropatik.4 Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang dimulai dari
teraktivasinya nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai akibat dari adanya stimulus kuat
baik mekanik, termal atau kimiawi.2 Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
spinalis, batang otak, talamus, dan korteks serebri. Nyeri nosiseptif terdiri dari
empat rangkaian proses yang terlibat yakni transduksi, modulasi, transmisi, dan
persepsi. Nyeri nosiseptif sering disebut sebagai nyeri akut. Ciri khas suatu nyeri
akut adalah selain ditandai dengan adanya kerusakan jaringan, yang akan diikuti
dengan proses inflamasi bersifat self-limited, artinya berlangsung singkat dan
segera menghilang seirama dengan penyembuhannya. Lazimnya berlangsung dari
beberapa hari sampai beberapa minggu. Jika nyerinya berlangsung lebih dari 3
bulan, disebut sebagai nyeri kronik.5
PATOFISIOLOGI NYERI
Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut
mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor.
Nosiseptor adalah saraf aferen primer yang menerima dan menyalurkan rangsangan
nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka
terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik, atau kimiawi yang menimbulkan nyeri.
Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh, dengan jumlah terbesar pada kulit.
Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka, dan sendi. Reseptor nyeri di
viscera tidak terdapat di parenkim organ internal, tetapi terdapat di permukaan
peritoneum, membran pleura, duramater, dan dinding pembuluh darah.2,6
Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan yakni neuro
aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron pascaganglion simpatis.
Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen yang membawa
impuls dari medulla spinalis ke jaringan dan organ efektor. Badan sel dari neuron
aferen primer terletak di akar dorsal (posterior) nervus spinalis. Setelah keluar dari
badan selnya di ganglion akar dorsal, akson saraf aferen primer terbagi menjadi dua
prosesus yakni satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan yang lain
mempersarafi jaringan. Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan
ukuran, derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran (Gambar 1). Serat aferen A-
alfa (A-α) dan A-beta (A-β) berukuran paling besar dan bermielin serta memiliki
kecepatan hantaran tertinggi. Serat-serat ini berespons terhadap sentuhan, tekanan,
dan sensasi kinestetik. Namun, serat-serat ini tidak berespons terhadap rangsangan
yang mengganggu sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai nosiseptor.
Sebaliknya, serat aferen primer A-delta (A-δ) yang bergaris tengah kecil dan sedikit
bermielin serta serat aferen primer C yang tidak bermielin berespons secara
maksimal hanya apabila lapangan reseptif mereka mendapat rangsangan nyeri yang
mengganggu sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Impuls nyeri disallurkan
secara relatif lambat dibandingkan dengan transmisi sensorik di serat A-α dan A-β
yang besar karena garis tengahnya yang kecil dan tidak memiliki serat mielin (serat
A-C).2,6
Gambar 1. Komponen suatu saraf perifer kulit tipikal. Aferen primer mencakup (1) serat A-alfa (A-
α) dan A-beta (A-β) yang besar dan bermielin (tidak diperlihatkan) serta membawa impuls yang
memerantai sentuhan, tekanan, dan propriosepsi dan (2) serat A-delta (A-δ) yang kecil bermielin
dan serat C yang tidak bermielin, yang membawa impuls nyeri. Aferen-aferen primer ini menyatu
di sel-sel kornu dorsalis medulla spinalis, masuk ke Zona Lissauer. Serat pascaganglion simpatis
adalah serat eferen, dan terdiri dari serat-serat C tidak bermielin.2
Aferen primer C dan A-δ dapat dibedakan oleh dua tipe nyeri yang
ditimbulkan, yang disebut nyeri lambat dan nyeri cepat. Sinyal nyeri cepat
disalurkan ke medulla spinalis oleh serat A-δ dan dirasakan dalam waktu 0,1 detik.
Nyeri cepat biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas menusuk,
tajam, atau elektris. Nyeri cepat timbul sebagai respons terhadap rangsangan
mekanis (misalnya, sayatan, tusukan) atau suhu di permukaan kulit tetapi tidak
dirasakan di jaringan tubuh sebelah dalam. Nyeri lambat disalurkan oleh serat
aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan yang mengganggu. Nyeri lambat
memiliki lokalisasi yang kurang jelas dengan dengan kualitas seperti terbakar,
berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat dipicu oleh rangsangan mekanis, suhu,
atau kumiawi di kulit atau sebagian besar jaringan atau organ dalam dan biasanya
disertai kerusakan jaringan. Karena sistem persarafan nyeri yang ganda ini, maka
cidera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri yang tersendiri: nyeri tajam
yang lebih awal (disalurkan oleh serat A-δ) diikuti oleh nyeri tumpul, seperti
terbakar, yang sedikir banyak berkepanjangan (disalurkan oleh serat nyeri C).2,6
Antara stimulus cidera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat
empat proses tersendiri yakni transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan
aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi melibatkan proses penyaluran impuls
nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke
otak. Modulasi melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari
otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas
di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi adalah pengalaman subjektif nyeri yang
bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.2,6
Transduksi adalah suatu proses rangsangan yang mengganggu menyebabkan
depolarisasi nosiseptor dan memicu stimulis nyeri. Salah satu kemungkinan
mekanisma transduksi adalah pengaktifan nosiseptor oleh zat-zat kimia penghasil
nyeri yang dibebaskan di tempat cidera jaringan (Gambar 2).2,6
Berbeda dengan sebagian besar reseptor sensorik lain di tubuh, reseptor nyeri
sangat sedikit atau sama sekali tidak beradaptasi. Pada kenyataannya, dengan
rangsangan yang mengganggu dan berkepanjangan, kerusakan jaringan, atau
peradangan, reseptor nyeri malah semakin peka, disebut hiperalgesia, disertai
penurunan ambang nyeri. Berbagai zat kimia ditemukan di daerah cidera dan
masing-masing memiliki kemampuan yang berlainan dalam merangsang
nosiseptor. Banyak dari zat kimia ini dibebaskan dari jaringan yang rusak (ion
kalium, histamin), oleh sel mast yang aktif (seperti stimulan nyeri yang kuat,
bradikinin), atau oleh sel T yang telah tersensitisasi dan makrofag aktif (berbagai
zat yang disebut sitokin, termasuk toksin, faktor nekrosis tumor [TNF]). Selama
proses inflamasi banyak zat kimia lain yang disintesi dan dibebaskan. Diantaranya
adalah metabolit-metabolit asam arakidonat, prostaglandin, dan leukotrien.
Keduanya diproduksi dalam jenjang reaksi kimia yang diawali dengan penguraian
enzimatik fosfolipid yang dibebaskan dari membran lapis-ganda lemak sel yang
rusak.2
Selain zat-zat yang dibebaskan dari sel yang rusak atau disintesis di tempat
cidera, nosiseptor itu sendiri mengeluarkan zat-zat kimia yang meningkatkan
kepekaan terhadap nyeri, termasuk zat P. Zat P adalah suatu neuropeptida yang
menyebabkan vosodilatasi, peningkatan aliran darah, edema disertai pembebasan
lebih lanjut bradikinin, pembebasan serotonin dari trombosit, dan pengeluaran
histamin dari sel mast.2
Aktivitas nosiseptor menimbulkan beberapa efek melalui serangkaian proses
kompleks, termasuk pemanjangan nyeri lama setelah stimulus berhenti serta
penyebaran bertahap hiperalgesia dan nyeri tekan. Obat yang menghambat zat-zat
kimia ini, seperti kortikosteroisteroid atau obat antiinflamasi nonsteroid (AINS;
misalnya, aspirin), yang mengurangi peradangan dan menghambat sintesis
prostaglandin, dapat mengurangi nyeri.2
Gambar 3. Serat nyeri C aferen bersinaps terutama di substansia gelatinosa (lamina II dan III)
kornu dorsalis, sedangkan serat nyeri A δ terutama bersinaps di lamina I dan IV 2
Jalur Desendens
Derah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau memengaruhi
persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional
persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons rasional
terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu
mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem saraf
pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan
rangsangan nosiseptif.2,6
Jalur-jalur desendens serat eferen yang berjalan dari korteks serebrum ke
bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri
yang datang melalui suatu mekanisme umpan-balik yang melibatkan substansia
gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Karenanya, jalur-jalur desendens dapat
memengaruhi impuls nyeri di tingkat spinal. Salah satu jalur desendens yang telah
diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri atau analgesik
adalah jalur yang mencakup tiga komponen berikut:
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah 1 mengirim impuls ke nukleus rafe magnus
(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas dan
nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus di 2 ke bawah ke kolumna dorsalis
medula spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis.2,6
Cara awitan adalah faktor penting untuk menilai nyeri. Nyeri yang memiliki
awitan mendadak dan hampir langsung mencapai puncak intensitas menunjukan
ruptur jaringan. Faktor yang memperparah dan mengurangi nyeri penting dalam
memberikan data mengenai mekanisme nyeri. Nyeri yang berkaitan dengan
bernafas, menelan, atau defekasi menyebabkan perhatian terfokus pada sistem
pernafasan, esofagus, dan usus bagian bawah.2
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka
0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri, 1-3 menunjukkan
nyeri ringan, 4-6 menunjukkan nyeri sedang, dan 7-10 menunjukkan nyeri berat.7,9
Gambar 6. Numerical Rating Scale9
Pendekatan Farmakologik
Obat Keterangan
Opoid saat ini adalah analgesik paling kuat tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan
dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin (dari
morpheus, kata Yunani untuk dewa impian) adalah suatu alkaloid yang berasal dari
getah tumbuhan poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-
abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif, dan euforik. Morfin adalah salah satu
obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi
standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.2
Efek opiod dapat bergantung pada tipe reseptor yang diikat. Telah cukup
banyak yang diketahui tentang tiga tipe reseptor opiod yakni reseptor μ, Δ, Κ. Tipe
reseptor yang paling penting untuk analgetik klinis disebut resptor μ, karna
afinitasnya terhadap morfin. Banyak obat dari golongan morfin adalah agonis μ,
walaupun potensinya berbeda-beda. Pengetahuan tentang dosis ekuianalgesik obat
opiod bermanfaat dalam mengganti obat atau cara pemberian.2
Obat-obat golongan opiod memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernapasan, mual dan muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opiod berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opiod tertentu terbentuk
apabila opoid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi
kanker, walaupun terdapat toleransi-silang yang cukup luas di antara obat-obat
opoid, hal tersebut tidaklah komplet. Karakteristik ini menjadi dasar teoritis untuk
mengganti suatu obat opoid yang sudah tidak efektif lagi dengan opoid lain. Karena
toleransi –silang yang tidak sempurna, ASA Task Force merekomendasikan bahwa
apabila terbentuk toleransi terhadap suatu opoid, maka perhitungan dosis
ekuianalgesik opioid lain harus dikurangi 25% sampai 50%. Petunjuk yang sama
menspesifikasi bahwa dosis substitusi metadon harus dikurangi 75%.
Ketergantungan fisik adalah juga suatu proses fisiologik yang ditandai dengan
timbulnya gejala-gejala putus-obat setelah pengehentian mendadak suatu obat
opoid atau setelah pemberian antagonis.Sindrom putus obat ini diperkirakan
disebabkan oleh aktifitas cerminan noradrenergik di SSP yang tertekan selama
pemberian opioid jangka panjang. Adiksi, atau ketergantungan psikologik,
mengacu kepada sindrom perilaku menimbun obat dan peningkatan dosis tanpa
pengawasan. Kita perlu membedakan antara toleransi, ketergantungan, dan adiksi,
karena bukti-bukti mengisyaratkan bahwa pasien sering mendapat obat nyeri
kurang dari seharusnya (undermediation) karena ketakutan yang berlebihan (baik
oleh petugas maupun pasien) akan terjadinya ketergantungan pada pasien.
Kekhawatiaran ini tidak beralasan kerana adiksi sangat jarang terjadi apabila opioid
digunakan untuk mengobati pasien yang menderita nyeri. Pelu diingati bahwa
kebutuhan dosis analgetik setiap pasien berbeda-beda dan dosis harus dititrasi
secara individu. Selama tahun-tahun terakhir, telah dicapai banyak kemajuan dalam
metode-metode pemberian opioid yang membantu menghilangkan nyeri.2
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek berlebihan dosis narkotik yang paling
serius adalah depresi pernafasan dan sedasi. Obat opioid lain adalah kombinasi
agonis dan antagonis, seperti pentazosin dan butorfanol. Apabila diberikan kepada
pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala
putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan
tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan seperti depresi pernafasan dibandingkan dengan agonis opioid murni.2
KESIMPULAN
Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi dalam
tubuh. Menurut International Association for Study of Pain, nyeri adalah
pengalaman sensoris dan motoris yang tidak menyenangkan sehubungan dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial. Antar stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri yakni transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Penilaian nyeri merupakan elemen yang
penting untuk menentukan terapi nyeri pasca pembedahan. Terdapat beberapa skala
penilaian pada pasien seperti Wong Baker Faces, Pain Rating Scale, Verbal Rating
Scale, Numerical Rating Scale, dan Verbal Analog Scale. Tatalaksana nyeri dapat
dilakukan dengan cara farmakoterapi dan nonfarmakoterapi.
DAFTAR PUSTAKA