Você está na página 1de 28

Referat

TATALAKSANA NYERI PASCA OPERASI

Oleh :
Karisya Tri Andini, S.Ked 04054821719122
Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Masayu Shavira Rahmadhani S, S.Ked 04084821820034

Pembimbing :
dr. Fredi Heru Irwanto, Sp.An KAKV

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Sebuah Referat yang berjudul “Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi” telah


dipresentasikan oleh:

Nama / NIM : 1. Karisya Tri Andini, S. Ked 04054821719122


2. Masayu Shavira R S, S.Ked 04084821820034
3. Liaw Yin Jin, S.Ked 04084821820051
Tanggal : 30 Mei 2018
Dosen pembimbing : dr. Fredi Heru, Sp.An. KAKV

Sebagai syarat ilmiah Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif FK


Unsri.

Palembang, Mei 2018


Pembimbing

dr. Fredi Heru, Sp.An, KAKV


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian di Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Fredi Heru, Sp.An. KAKV, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga telaah ilmiah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, Mei 2018

Penulis
Tatalaksana Nyeri Pasca Operasi

Karisya Tri Andini1, Liaw Yin Jin2, Masayu Shavira R S3, Fredi Heru4

1. Program Profesi Dokter Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan,


Indonesia
2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya,
Sumatera Selatan, Indonesia
E-mail: anestesi56@yahoo.com

Abstrak

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang ada atau berpotensi terjadi. Nyeri pascaoperasi
merupakan respon normal terhadap intervensi bedah dan menjadi penyebab pemulihan tertunda pada
pasien pascaoperasi. Nyeri pascaoperasi yang tidak diobati dapat mengurangi kepuasan pasien serta
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Perawatan tidak adekuat nyeri pasca operasi menjadi hal
penting, tidak hanya menyebabkan hasil yang lebih buruk pascaoperasi tetapi juga meningkatkan
risiko nyeri pascaoperasi yang persisten. Penatalaksanaan nyeri yang tepat dibutuhkan untuk
menekan rasa nyeri dan mencegah berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Obat yang
terutama digunakan sebagai analgetik adalah analgetik opioid, nonopioid, serta antagonis dan
agonis-antagonis opioid.

Kata kunci : Nyeri, pascaoperasi, analgetik

Abstract

Pain is an unpleasant sensory and emotional experience associated with existing or potential tissue
damage. Postoperative pain is a normal response to surgical intervention and leads to delayed
recovery in postoperative patients. Untreated postoperative pain can reduce patient satisfaction and
increase morbidity and mortality. Inadequate post-operative pain treatment is important, not only
leads to worse postoperative outcomes but also increases the risk of persistent postoperative pain.
Appropriate pain management is needed to suppress pain and prevent the negative effects it causes.
Drugs used primarily as analgesics are analgesic opioids, nonopioids, and antagonists and opioid
antagonists.

Keywords: Pain, postoperative, analgetic

_______________________________________________________________________________
LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sesungguhnya
maupun potensi kerusakan jaringan.1 Setiap orang pasti mengalami dan merasakan
nyeri selama perjalanan hidupnya. Perasaan nyeri kualitas dan kuantitasnya berbeda
dari satu orang ke orang lain, tergantung dari tempat nyeri, waktu, dan penyebab.1,2
Operasi merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya nyeri kronis.
Dalam sebuah studi yang dilakukan pada 5130 pasien pasca operasi dan trauma,
sebanyak 22,5% pasien mengalami nyeri pasca operasi. Salah satu jenis tindakan
operasi yang paling sering menimbulkan terjadinya nyeri kronis pasca operasi
adalah tindakan amputasi dengan insiden sebesar 85% diikuti dengan tindakan
operasi di regio thoraks sebesar 65% dan regio jantung sebesar 55%.3
Nyeri disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, dan fisis yang
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Nyeri juga merupakan salah satu reaksi dari
radang. Rangsangan tersebut memacu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut
mediator nyeri. Mediator yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf
bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Lalu rangsangan tersebut disalurkan ke
otak, dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri, dimana impuls
dirasakan sebagai nyeri.1
Rasa nyeri akan disertai respon stres yang antara lain berupa meningkatnya
rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi napas.2 Nyeri yang
berlanjut atau tidak ditangani secara adekuat, memicu respon stres yang
berkepanjangan, yang akan menurunkan daya tahan tubuh dengan menurunkan
fungsi imun, mempercepat kerusakan jaringan, laju metabolisme, pembekuan darah
dan retensi cairan, sehingga akhirnya akan memperburuk kualitas kesehatan. Oleh
karena itu, penatalaksaan nyeri yang tepat dibutuhkan untuk menekan rasa nyeri
dan mencegah berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya. Obat-obatan yang
terutama digunakan sebagai analgesik atau penghilang nyeri adalah golongan
analgesik opioid, nonopioid, serta antagonis dan agonis-antagonis opioid.2
DEFINISI NYERI
Berdasarkan International Association for the Study of Pain nyeri
digambarkan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensial terjadi
kerusakan jaringan.1 Pada sebagian besar pasien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh
suatu cedera atau rangsangan yang yang cukup kuat yang berpotensi mencederai.1,2
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya
bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion
kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon
nyeri.3 Nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan sebagai respon dari luka baik
secara fisik maupun fisiologi. Respon nyeri di transmisikan dari sistem saraf perifer
ke sistem saraf pusat dan diatur dari pusat yang lebih tinggi.3
Nyeri memiliki fungsi protektif, memicu respons terhadap stres berupa
penarikan, melarikan diri, atau imobilisasi bagian tubuh. Namun apabila fungsi
protektif ini berakhir, nyeri yang berlanjut dapat melemahkan pasien karena sering
disertai oleh suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung,
tekanan darah, dan laju pernafasan.1,2
Nyeri bersifat subjektif sehingga respon tiap individu berbeda. Walaupun
merupakan pengalaman subjektif dengan komponen sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan, nyeri memperlihatkan beberapa bukti objektif. Mengamati
ekspresi wajah pasien, mendengarkan tangisan atau erangan, memperhatikan tanda-
tanda vital seperti denyut jantung, tekanan darah, laju pernafasan dapat memberikan
petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami pasien.2
Umumnya nyeri dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu nyeri
nosiseptif dan nyeri neuropatik.4 Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang dimulai dari
teraktivasinya nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai akibat dari adanya stimulus kuat
baik mekanik, termal atau kimiawi.2 Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
spinalis, batang otak, talamus, dan korteks serebri. Nyeri nosiseptif terdiri dari
empat rangkaian proses yang terlibat yakni transduksi, modulasi, transmisi, dan
persepsi. Nyeri nosiseptif sering disebut sebagai nyeri akut. Ciri khas suatu nyeri
akut adalah selain ditandai dengan adanya kerusakan jaringan, yang akan diikuti
dengan proses inflamasi bersifat self-limited, artinya berlangsung singkat dan
segera menghilang seirama dengan penyembuhannya. Lazimnya berlangsung dari
beberapa hari sampai beberapa minggu. Jika nyerinya berlangsung lebih dari 3
bulan, disebut sebagai nyeri kronik.5

PATOFISIOLOGI NYERI
Kapasitas jaringan untuk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut
mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor.
Nosiseptor adalah saraf aferen primer yang menerima dan menyalurkan rangsangan
nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai reseptor yang peka
terhadap rangsangan mekanis, suhu, listrik, atau kimiawi yang menimbulkan nyeri.
Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh, dengan jumlah terbesar pada kulit.
Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka, dan sendi. Reseptor nyeri di
viscera tidak terdapat di parenkim organ internal, tetapi terdapat di permukaan
peritoneum, membran pleura, duramater, dan dinding pembuluh darah.2,6
Saraf perifer terdiri dari akson tiga tipe neuron yang berlainan yakni neuro
aferen atau sensorik primer, neuron motorik, dan neuron pascaganglion simpatis.
Serat pascaganglion simpatis dan motorik adalah serat eferen yang membawa
impuls dari medulla spinalis ke jaringan dan organ efektor. Badan sel dari neuron
aferen primer terletak di akar dorsal (posterior) nervus spinalis. Setelah keluar dari
badan selnya di ganglion akar dorsal, akson saraf aferen primer terbagi menjadi dua
prosesus yakni satu masuk ke kornu dorsalis medulla spinalis, dan yang lain
mempersarafi jaringan. Serat-serat aferen primer diklasifikasikan berdasarkan
ukuran, derajat mielinisasi, dan kecepatan hantaran (Gambar 1). Serat aferen A-
alfa (A-α) dan A-beta (A-β) berukuran paling besar dan bermielin serta memiliki
kecepatan hantaran tertinggi. Serat-serat ini berespons terhadap sentuhan, tekanan,
dan sensasi kinestetik. Namun, serat-serat ini tidak berespons terhadap rangsangan
yang mengganggu sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai nosiseptor.
Sebaliknya, serat aferen primer A-delta (A-δ) yang bergaris tengah kecil dan sedikit
bermielin serta serat aferen primer C yang tidak bermielin berespons secara
maksimal hanya apabila lapangan reseptif mereka mendapat rangsangan nyeri yang
mengganggu sehingga diklasifikasikan sebagai nosiseptor. Impuls nyeri disallurkan
secara relatif lambat dibandingkan dengan transmisi sensorik di serat A-α dan A-β
yang besar karena garis tengahnya yang kecil dan tidak memiliki serat mielin (serat
A-C).2,6

Gambar 1. Komponen suatu saraf perifer kulit tipikal. Aferen primer mencakup (1) serat A-alfa (A-
α) dan A-beta (A-β) yang besar dan bermielin (tidak diperlihatkan) serta membawa impuls yang
memerantai sentuhan, tekanan, dan propriosepsi dan (2) serat A-delta (A-δ) yang kecil bermielin
dan serat C yang tidak bermielin, yang membawa impuls nyeri. Aferen-aferen primer ini menyatu
di sel-sel kornu dorsalis medulla spinalis, masuk ke Zona Lissauer. Serat pascaganglion simpatis
adalah serat eferen, dan terdiri dari serat-serat C tidak bermielin.2

Aferen primer C dan A-δ dapat dibedakan oleh dua tipe nyeri yang
ditimbulkan, yang disebut nyeri lambat dan nyeri cepat. Sinyal nyeri cepat
disalurkan ke medulla spinalis oleh serat A-δ dan dirasakan dalam waktu 0,1 detik.
Nyeri cepat biasanya memiliki lokalisasi yang jelas dengan kualitas menusuk,
tajam, atau elektris. Nyeri cepat timbul sebagai respons terhadap rangsangan
mekanis (misalnya, sayatan, tusukan) atau suhu di permukaan kulit tetapi tidak
dirasakan di jaringan tubuh sebelah dalam. Nyeri lambat disalurkan oleh serat
aferen C dan dirasakan 1 detik setelah rangsangan yang mengganggu. Nyeri lambat
memiliki lokalisasi yang kurang jelas dengan dengan kualitas seperti terbakar,
berdenyut, atau pegal. Nyeri lambat dapat dipicu oleh rangsangan mekanis, suhu,
atau kumiawi di kulit atau sebagian besar jaringan atau organ dalam dan biasanya
disertai kerusakan jaringan. Karena sistem persarafan nyeri yang ganda ini, maka
cidera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri yang tersendiri: nyeri tajam
yang lebih awal (disalurkan oleh serat A-δ) diikuti oleh nyeri tumpul, seperti
terbakar, yang sedikir banyak berkepanjangan (disalurkan oleh serat nyeri C).2,6
Antara stimulus cidera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat
empat proses tersendiri yakni transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan
aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi melibatkan proses penyaluran impuls
nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla
spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke
otak. Modulasi melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari
otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi
melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas
di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi adalah pengalaman subjektif nyeri yang
bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.2,6
Transduksi adalah suatu proses rangsangan yang mengganggu menyebabkan
depolarisasi nosiseptor dan memicu stimulis nyeri. Salah satu kemungkinan
mekanisma transduksi adalah pengaktifan nosiseptor oleh zat-zat kimia penghasil
nyeri yang dibebaskan di tempat cidera jaringan (Gambar 2).2,6

Gambar 2. Mekanisme pengaktifan dan sensitisasi nosiseptor di daerag cidera jaringan. A.


Pengaktifan langsung dengan tekanan intensif yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel
menyebabkan dibebaskannya kalium (K+) intrasel dan sintesis prostaglandin (PG) dan bradikinin
(BK). Prostahlandin meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri terhadap bradikinin, yaitu zat kimia
pengahasil nyeri yang paling kuat. B. pengaktifan sekunder. Impuls yang dihasilkan di reseptor nyeri
disalurkan tidak saja ke medulla spinalis tetapi juga ke cabang-cabang terminal lain, tempat impuls
tersebut menyebabkan pelepasan substansi P (SP) dan peptide lain. Zat P menyebabkan vasodilatasi
dan edema neurogenik disertai pelepasan lebih lanjut bradikinin; zat ini juga menyebabkan
pelepasan histamin (H) dasi sel mast dan serotonin (5-HT) dari trombosit.2

Berbeda dengan sebagian besar reseptor sensorik lain di tubuh, reseptor nyeri
sangat sedikit atau sama sekali tidak beradaptasi. Pada kenyataannya, dengan
rangsangan yang mengganggu dan berkepanjangan, kerusakan jaringan, atau
peradangan, reseptor nyeri malah semakin peka, disebut hiperalgesia, disertai
penurunan ambang nyeri. Berbagai zat kimia ditemukan di daerah cidera dan
masing-masing memiliki kemampuan yang berlainan dalam merangsang
nosiseptor. Banyak dari zat kimia ini dibebaskan dari jaringan yang rusak (ion
kalium, histamin), oleh sel mast yang aktif (seperti stimulan nyeri yang kuat,
bradikinin), atau oleh sel T yang telah tersensitisasi dan makrofag aktif (berbagai
zat yang disebut sitokin, termasuk toksin, faktor nekrosis tumor [TNF]). Selama
proses inflamasi banyak zat kimia lain yang disintesi dan dibebaskan. Diantaranya
adalah metabolit-metabolit asam arakidonat, prostaglandin, dan leukotrien.
Keduanya diproduksi dalam jenjang reaksi kimia yang diawali dengan penguraian
enzimatik fosfolipid yang dibebaskan dari membran lapis-ganda lemak sel yang
rusak.2
Selain zat-zat yang dibebaskan dari sel yang rusak atau disintesis di tempat
cidera, nosiseptor itu sendiri mengeluarkan zat-zat kimia yang meningkatkan
kepekaan terhadap nyeri, termasuk zat P. Zat P adalah suatu neuropeptida yang
menyebabkan vosodilatasi, peningkatan aliran darah, edema disertai pembebasan
lebih lanjut bradikinin, pembebasan serotonin dari trombosit, dan pengeluaran
histamin dari sel mast.2
Aktivitas nosiseptor menimbulkan beberapa efek melalui serangkaian proses
kompleks, termasuk pemanjangan nyeri lama setelah stimulus berhenti serta
penyebaran bertahap hiperalgesia dan nyeri tekan. Obat yang menghambat zat-zat
kimia ini, seperti kortikosteroisteroid atau obat antiinflamasi nonsteroid (AINS;
misalnya, aspirin), yang mengurangi peradangan dan menghambat sintesis
prostaglandin, dapat mengurangi nyeri.2

Jalur Nyeri Di Sistem Saraf Pusat


Jalur Asendens
Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk ke
medula spinalis dorsal (Gambar 3). Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda
dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis medula spinalis. Daerah ini
menerima, menyalurkan, dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis medula
spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan
ini (lamina II dan III), yang disebul substansia gelatinosa, sangat penting dalam
transmisi dan modulasi nyeri. Substansia gelatinosa dihipotesiskan merupakan
suatu tempat mekanisme gerbang yang dijelaskan dalam teori pengendalian
gerbang.2,6

Gambar 3. Serat nyeri C aferen bersinaps terutama di substansia gelatinosa (lamina II dan III)
kornu dorsalis, sedangkan serat nyeri A δ terutama bersinaps di lamina I dan IV 2

Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuron-neuron yang


menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior dan
kemudian menyatu di traktus spinotalamikus anterolateralis (dahulu disebut
traktus lateralis), yang naik ke talamus dan struktur otak lainnya. Dengan demikian,
transmisi impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontralateral sisi tubuh tempat
impuls tersebut berasal. Seperti adanya dua tipe nyeri yang disalurkan oleh
nosiseptor (nyeri cepat dan nyeri lambat), juga terdapat dua jalur spinotalamikus
sejajar yang menyalurkan impuls-impuls ini ke otak: traktus neospinotalamikus dan
traktus paleospinotalamikus.2,6
Traktus neospinotalamikus adalah suatu sistem langsung yang membawa
informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A-
 ke daerah talamus. Sistem ini terutama berakhir secara teratur di dalam nukleus
posterolateral ventralis hipotalamus. Nyeri disebut sensasi talamus karena mungkin
dibawa ke kesadaran oleh talamus. Sebuah neuron di talamus kemudian
memproyeksikan akson-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk
membawa impuls nyeri ke korteks somatosensorik primer girus pascasentralis.
Dipostulasikan bahwa pola tersusun ini penting bagi aspek sensorik-diskriminatif
nyeri akut yang dirasakan yaitu, lokasi, sifat, dan intensitas nyeri.2,6
Traktus paleospinotalamikus, yang meruyalurkan impuls yang dimulai di
nosiseptor tipe C lambat- kronik, adalah suatu jalur multisinaps difus yang
membawa impuls ke formasio relikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus
parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus
sistem limbik, dan korteks otak depan. Karena impuls paleospinotalamikus
disalurkan secara lebih lambat daripada impuls di traktus neospinotalamikus, maka
nyeri yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang
lokalisasinya samar. Sistem ini memengaruh ekspresi nyeri dalam hal toleransi,
perilaku, dan respons autonomy simpatis. Besar kemungkinannya bahwa sensasi
viseral disalurkan oleh sistem ini. Sistem ini sangat penting pada nyeri kronik, dan
memperantarai respons otonom terkait, perilaku emosional, dan penurunan ambang
yang sering terjadi. Dengan demikian, jalur paleosinotalamikus disebut sebagai
suatu sistem nosireseptor motivasional dan memengaruhi.2,6 Perlu dicatat bahwa
kedua traktus ini tidak menyalurkan impuls nyeri secara eksklusif; sebagai contoh,
traktus neospinotalamikus juga menyalurkan sensasi sentuhan kasar dan tekanan.2,6
Gambar 4. Serat nyeri C dan Aδ halus yang masing-masing membawa nyeri akut-tajam dan kronik-
lambat, bersinaps di substansia gelatinosa tanduk dorsal, memotong medulla spinalis, dan naik ke
otak di cabang neospinotalamikus atau cabang paleostalamikus traktus spinotalamikus
anterolateralis. traktus neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer Aδ, bersinaps
di nukleus ventroposterolateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung ke korteks
somatosensorik girus pascasentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai sensasi yang tajam dan
berbatas tegas. cabang paleospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer C adalah
suatu jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formasio retikularis batang otak dan struktur
lain, yang merupakan asal dari serat-serat lain yang berjalan ke talamus. serat-serat ini memengaruhi
hipotalamus, sistem limbik, dan korteks serebrum2

Jalur Desendens
Derah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau memengaruhi
persepsi nyeri: hipotalamus dan struktur limbik berfungsi sebagai pusat emosional
persepsi nyeri, dan korteks frontalis menghasilkan interpretasi dan respons rasional
terhadap nyeri. Namun, terdapat variasi yang luas dalam cara individu
mempersepsikan nyeri. Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem saraf
pusat (SSP) memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan
rangsangan nosiseptif.2,6
Jalur-jalur desendens serat eferen yang berjalan dari korteks serebrum ke
bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau memodifikasi rangsangan nyeri
yang datang melalui suatu mekanisme umpan-balik yang melibatkan substansia
gelatinosa dan lapisan lain kornu dorsalis. Karenanya, jalur-jalur desendens dapat
memengaruhi impuls nyeri di tingkat spinal. Salah satu jalur desendens yang telah
diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri atau analgesik
adalah jalur yang mencakup tiga komponen berikut:
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah 1 mengirim impuls ke nukleus rafe magnus
(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula bagian atas dan
nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus di 2 ke bawah ke kolumna dorsalis
medula spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis.2,6

PENILAIAN KLINIS NYERI


Penatalaksanaan nyeri memerlukan penilaian dan usaha yang cermat untuk
memahami pengalaman nyeri pasien dan mengidentifikasi kausa sehingga kausa
tersebut dapat dihilangkan. Pertama dokter harus melakukan anamnesis teliti yang
mencakup data mengenai nyeri seperti tercantum di tabel 1.2
Tabel 1. Data Esensial yang Perlu Dikumpulkan untuk Menilai Nyeri2

Karakteristik Nyeri Pertanyaan untuk Pasien


Lokasi Dimana terasa nyeri?
Apakah nyeri menyebar?
Apakah nyeri di permukaan atau di dalam?
Cara awitan Kapan nyeri dimulai? Apakah nyeri timbul mendadak
atau perlahan?
Apakah ada kejadian tertentu yang tampaknya
menimbulkan nyeri saat nyeri tersebut dimulai?
Pola (penentuan waktu, Kapan nyeri timbul (pagi, siang, malam)?
frekuensi, durasi) Seberapa sering nyeri timbul?
Apakah nyerinya terus menerus atau hilang timbul?
Seberapa lama nyeri menetap?
Faktor yang memperberat dan Apa yang kira-kira memicu nyeri?
memperingan Apa yang menyebabkan nyeri berkurang (misalnya
beristirahat, tidur, berganti posisi, makanan, atau
obat)?
Kualitas Seperti apa nyeri terasa (misalnya berdenyut, tumpul,
pegal, tajam seperti tertusuk, perih, seperti terbakar)?
Intensitas Seberapa hebat nyerinya (Minta pasien mengukur
nyeri menggunakan skala analog visual atau verbal
sebelum dan sesudah pengobatan)?
Gejala terkait Apakah ada masalah lain yang ditimbulkan oleh nyeri
(misalnya anoreksia, mual, muntah, insomnia)?
Efek pada gaya hidup Apakah nyeri mengganggu aktivitas anda di rumah,
pekerjaan, atau interaksi sosial normal?
Apakah nyeri mengganggu keseharian hidup anda
(misalnya makan, tidur, aktivitas seksual, menyetir)?
Metode untuk mengurangi Apa yang pernah dapat menolong mengurangi nyeri
nyeri anda?
Apa yang tidak bermanfaat untuk mengurangi nyeri
anda?
Pasien dapat menunjukkan lokasi nyeri dengan menunjuk bagian tubuh atau
menandakannya di gambar tubuh manusia. Perlu diketahui apakah nyeri bersifat
superfisial atau dalam. Nyeri dari lesi superfisial biasanya tidak menimbulkan
masalah karena penyebab dan akibat sudah jelas. Namun, lokasi yang tepat menjadi
sangat penting pada nyeri dalam yang beralih ke suatu dermatom saat terdapat
keterlibatan struktur somatik dalam atau viscera.2

Cara awitan adalah faktor penting untuk menilai nyeri. Nyeri yang memiliki
awitan mendadak dan hampir langsung mencapai puncak intensitas menunjukan
ruptur jaringan. Faktor yang memperparah dan mengurangi nyeri penting dalam
memberikan data mengenai mekanisme nyeri. Nyeri yang berkaitan dengan
bernafas, menelan, atau defekasi menyebabkan perhatian terfokus pada sistem
pernafasan, esofagus, dan usus bagian bawah.2

Kualitas nyeri dapat dinilai secara sederhana dengan meminta pasien


menjelaskan nyeri dengan kata-kata mereka sendiri (misalnya tumpul, berdenyut,
seperti terbakar). Pasien perlu ditanya mengenai gejala yang berkaitan dengan
nyeri. Respons autonom seperti mual dan muntah sering terjadi pada nyeri akut
yang parah. Pemeriksa harus menyediakan kesempatan yang luas untuk membahas
apa arti nyeri bagi pasien dengan menanyakan tentang dampak nyeri pada gaya
hidup. Perlu pula ditanyakan tentang metode terapi untuk mengobati nyeri yang
pernah dilakukan pasien dan efektivitasnya.2

Selain mengumpulkan data subjektif mengenai nyeri, pengamatan langsung


terhadap perilaku nonverbal dan verbal dapat memberikan petunjuk tambahan
mengenai pengalaman nyeri pasien. Perilaku nonverbal seperti wajah meringis,
menangis, ayunan langkah atau postur yang abnormal, ketegangan otot, dan
tindakan melindungi bagian tubuh yang nyeri merupakan indikator nyeri yang
sering dijumpai. Sinyal verbal dan emosional yang menandakan nyeri mencakup
menangis, mengerang, iritabilitas, ekspresi kemarahan atau kesedihan, dan
perubahan nada suara atau kelancaran bicara. Perilaku diatas dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan budaya. Nyeri akut sering mengaktifkan respon simpatis yang
menyebabkan meningkatnya kecepatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan
darah, kepucatan, flushing, berkeringat, dan dilatasi pupil. Nyeri yang intens dan
sangat singkat juga dapat diikuti oleh respon parasimpatis rebound.2,3

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien, seperti:


1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
Wajah 0 tersenyum karena tidak merasakan nyeri. Wajah 1 sampai 5
memperlihatkan peningkatan intensitas nyeri yakni sedikit sampai yang paling
parah yang dapat dibayangkan dengan ekspresi yang semakin sedih.7,8

Gambar 5. Wong-baker faces pain rating scale8

2. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala
empat poin yakni 0 artinya tidak nyeri, 1 artinya nyeri ringan, 2 artinya nyeri
sedang, dan 3 artinya nyeri berat.9

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka
0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri, 1-3 menunjukkan
nyeri ringan, 4-6 menunjukkan nyeri sedang, dan 7-10 menunjukkan nyeri berat.7,9
Gambar 6. Numerical Rating Scale9

4. Visual Analogue Scale (VAS)


Alat bantu yang paling sering digunakan untuk menilai intensitas atau
keparahan nyeri pasien. Skala ini pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun
1948 yang terdiri dari sebuah garis horizontal yang dibagi secara rata menjadi
sepuluh segmen dengan nomor 0 sampai 10. Pasien diberitahu bahwa 0 menyatakan
“tidak ada nyeri sama sekali” dan 10 menyatakan “nyeri yang paling parah yang
dapat dibayangkan”. Pasien kemudian diminta untuk menandai angka yang
menurut mereka paling tepat dalam menjelaskan tingkat nyeri yang mereka rasakan
pada suatu waktu. VAS dimodifikasi yang digunakan pada anak atau orang dewasa
dengan gangguan kognitif dengan menggantikan angka dengan kontinum wajah
tersenyum sampai menangis. Berdasarkan VAS, maka nyeri dibagi atas nyeri
ringan dengan nilai VAS : < 4, nyeri sedang dengan nilai VAS : 4 -7, dan nyeri
berat dengan nilai VAS : >7 (8-10).2,7

Gambar 7. Visual Analog Scale2


PENATALAKSANAAN NYERI

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri


sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yakni farmakologik dan nonfarmakologik. Untuk
mencapai tujuan meredakan nyeri pada pasien, dokter perlu menggunakan
pengetahuan tentang aspek-aspek neuropatofisiologi nyeri sebagai dasar untuk
melakukan berbagai intervensi, menilai nyeri secara rutin dengan menggunakan
instrumen yang sesuai baik sebelum maupun setelah pengobatan, menggunakan
berbagai metode penghilang nyeri secara farmakologis dan nonfarmakologis, dan
mencatat efektivitas berbagai intervensi untuk meredakan nyeri. Untuk melakukan
konsultasi pasien diperlukan perencanaan, dan dokter semampunya dapat
menciptakan suatu hubungan yang hangat, berempati, dan menimbulkan respek.2

Pendekatan Farmakologik

Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.


Terdapat tiga kelompok obat nyeri yakni analgesik nonopioid, analgesik opioid, dan
antagonis dan agonis-antagonis opioid. Penatalaksanaan farmakologik dengan
obat-obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap.1,2

Analgesia Non Opioid

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai


sedang menggunakan analgesik nonopioid. Tersedia bermacam-macam OAINS
dengan efek antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi dengan adanya perbedaan
dalam lama kerja, efek samping, dan harga. Asam asetilsalisilat dan ibuprofen
mungkin merupakan OAINS yang paling sering digunakan. OAINS sangat efektif
untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronis, dan
nyeri ringan akibat kanker.1,2

OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin
terutama PGE1, PGE2, dan PGI2 mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara
sinergistis dengan produk inflamatorik lain di tempat cedera seperti bradikinin dan
histamin yang menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu
mekanisme transduksi di nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis
prostaglandin.1,2

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau


toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yakni peningkatan dosis melebihi
kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Namun dosis puncak tertentu
tersebut (ceiling dose) mungkin lebih tinggi daripada dosis awal anjuran, dengan
demikian penambahan dosis dapat diterima. Penyulit tersering yang berkaitan
dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu
perdarahan (aspirin), penglihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan
berkurangnya fungsi ginjal.1,2

Pengembangan tipe OAINS baru yang lebih spesifik bergantung pada


pemahaman mengenai dua kelas siklooksigenase (COX) utama. Enzim golongan
ini membentuk salah satu dari beberapa jalur untuk metabolisme asam arakidonat,
yaitu produk pemecahan sel manusia yang rusak dan mati. Salah satu kelas, COX-
1, secara konstitusif diekspresikan dan diperlukan untuk fungsi fisiologik normal di
banyak sistem tubuh. Kelas kedua, COX-2, diinduksi oleh peradangan dan
bertanggung jawab menghasilkan berbagai hasil akhir peradangan yang
menimbulkan nyeri. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat
jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk
prostaglandin yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi
mukosa lambung dan filtrasi glomerolus di ginjal. Dengan demikian, inhibitor
COX-2 memperkecil efek samping iritasi lambung dan penurunan fungsi ginjal,
sekaligus menghasilkan efek antiinflamasi yang baik. Contoh inhibitor COX-2
adalah celecoxib dan rofecoxib.1,2

Asetaminofen hampir sama efeknya dengan aspirin dalam sifat analgesik-


antipiretik. Namun asetaminofen kurang memiliki efek antiinflamasi, karena obat
ini merupakan inhibitor COX yang lemah apabila terdapat peroksida dalam
konsentrasi tinggi seperti yang dijumpai di jaringan perifer yang meradang.
Sebaliknya, asetaminofen memiliki kemampuan menghambat COX di otak, tempat
konsentrasi peroksida rendah sehingga obat ini memiliki efek antipiretik.
Keunggulan asetaminofen dibandingkan aspirin sebagai obat antipiretik dan
analgesik adalah obat ini tidak menimbulkan efek pada kardiovaskular atau
pernafasan dan tidak menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa, fungsi
trombosit, atau aktivitas COX-1 di lambung dan ginjal. Apabila asetaminofen atau
aspirin tidak efektif untuk menghilangkan nyeri, maka keduanya dapat
dikombinasikan dengan suatu narkotik lemah seperti oksikodon atau kodein agar
lebih efektif meredakan nyeri. Kekurangan utama asetaminofen adalah obat ini
dapat menyebabkan kerusakan hati fatal dalam dosis yang berlebihan.1,2

Obat Keterangan

Asetaminofen o Analgesia efektif untik nyeri akut


o Mengurangi penggunaan opioid
o Tersedia dalam intravena

NSAID Nonselektif o Efektif dalam pengobatan nyeri akut postoperasi


(Seperti ibuprofen, o Menurunkan konsumsi opioid dan meningkatkan
ketorolac, insiden mual, muntah, dan sedasi
naproxen) o Insiden gangguan renal perioperatif rendah
o Risiko gastropati meningkat ketika ketorolac
digunakan lebih dari 5 hari
o Pemberian ketorolac lebih baik pada pasien yang
terhidrasi dengan baik dan tanpa kelainan ginjal
o Ketorolac dan ibuprofen tersedia dalam intravena

COX-2 inhibitor o Efektif dalam terapi nyeri akut pasca operasi


o Menurunkan penggunaan opioid dan meningkatkan
kepuasan pasien
o Tidak memengaruhi fungsi platelet
Aspirin Meningkatkan perdarahan pasca tonsilektomi

Ketamin (dosis o Bekerja secara primer sebagai antagonis nonkompetitif


subanestesi) di reseptor NMDA
o Adjuvsn ysng efektif pada nyeri dengan sensitisasi
sentral seperti nyeri akut hebat, nyeri neuropatik, nyeri
resisten opioid
o Dapat menurunkan CPSP dan opioid-induced
tolerance atau hiperalgesia
o Menurukan insiden mual dan muntah
o Analgesia yang aman dan efektif pada pediatrik

Antidepresan dan Berguna pada nyeri akut neuropatik


selective serotonin
reuptake inhibitors

Antikonvulsan o Mengurangi nyeri pasca operasi, mengurangi


(Gabapentin dan penggunaan opioid, dan mengurangi insiden muntah,
pregabalin) pruritus, dan retensi urin tetapi meningkatkan sedasi
o Dapat berguna pada nyeri akut neuropatik

Lidokain intravena o Mengurangi nyeri, mual dan muntah, dan durasi di


ileus selama 72 jam setelah operasi abdomen
o Dapat berguna untuk mengobati nyeri akut neuropatik

α2 agonis (klonidin, o Meningkatkan kerja analgesia opioid perioperatif serta


dexdemedetomidin) menurunkan kebutuhan dan efek samping opioid
o Efek samping yakni sedasi dan hipotensi
Analgesia Opoid

Opoid saat ini adalah analgesik paling kuat tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan
dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin (dari
morpheus, kata Yunani untuk dewa impian) adalah suatu alkaloid yang berasal dari
getah tumbuhan poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-
abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif, dan euforik. Morfin adalah salah satu
obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi
standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.2

Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek


analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opoid telah semakin jelas sejak
penemuan reseptor-reseptor opiod endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opiod eksogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opoid endogen (endorfin-enkefalin) yaitu morfin memiliki efek agonis yakni
meningkatkan kerja reseptor. Dengan mengikat reseptor opiod di nuklues modulasi-
nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem descendens yang
menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medula spinalis, morfin juga dapat
menghambat transmisi impuls nosiseptor yang datang dengan mengikat reseptor
opiod di substansia gelatinosa.2

Efek opiod dapat bergantung pada tipe reseptor yang diikat. Telah cukup
banyak yang diketahui tentang tiga tipe reseptor opiod yakni reseptor μ, Δ, Κ. Tipe
reseptor yang paling penting untuk analgetik klinis disebut resptor μ, karna
afinitasnya terhadap morfin. Banyak obat dari golongan morfin adalah agonis μ,
walaupun potensinya berbeda-beda. Pengetahuan tentang dosis ekuianalgesik obat
opiod bermanfaat dalam mengganti obat atau cara pemberian.2

Opioid dapat diberikan dalam rute intravena, intramuskular, oral, atau


intradermal. Opioid intravena merupakan analgesia yang efektif dan cepat pada
pasien dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan agonis opioid
prototipikal dan menjadi standar manajemen nyeri akut. Morfin memiliki potensi
analgetik sedang, onset lambat, dan durasi kerja intermediet dengan waktu paruh
selama 2 jam dan durasi kerja selama 5 jam. Metabolit morfin diekskresikan melalui
ginjal dan oleh karena itu efek sedasi dapat lebih lama terjadi pada pasien dengan
gagal ginjal.1

Hidromorfin merupakan opioid semisintesis yang lebih poten 4 sampai 6 kali


dibandingkan morfin. Onset kerja hidromorfin lebih cepat dibandingkan morfin
namun durasi kerjanya lebih singkat. Hidromorfin merupakan pilihan yang lebih
baik pada pasien dengan gagal ginjal. Insiden pruritus dan sedasi akibat penggunaan
hidromorfin lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan morfin. Hidromorfin
juga berguna pada pasien dengan toleransi opioid.1

Fentanyl adalah opioid sintesis yang 50 sampai 80 kali lebih poten


dibandingkan morfin. Fentanyl memiliki onset cepat yakni 5-7 menit namun durasi
kerja hanya selama 1 jam. Meperidine menurunkan ambang kejang dan memiliki
efek disforia sehingga tidak direkomendasikan dalam terapi nyeri pasca operasi.
Meperidine memiliki metabolisme yang lebih lambat pada lansia dan pasien dengan
gangguan hepar dan ginjal yang dapat menyebabkan akumulasi meperidine dan
metabolit aktifnya yang dapat memicu terjadinya kejang.1

Oxycodone merupakan agonis opioid yang poten yang dimetabolisme di


hepar. Dalam percobaan, oxycodone lebih efektif dibandingkan dengan morfin
untuk mengobati nyeri akibat rangsangan mekanis dan suhu pada esofagus dan juga
lebih efektif dalam mengobati nyeri visceral. Tramadol merupakan analgesia yang
efektif pada nyeri ringan sampai sedang dan nyeri neuropatik. Risiko terjadinya
depresi pernafasan lebih rendah dibandingkan dengan opioid lain dan kejadian
depresi pernafasan hanya dilaporkan terjadi pada pasien dengan gagal ginjal berat.1

Obat-obat golongan opiod memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernapasan, mual dan muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opiod berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opiod tertentu terbentuk
apabila opoid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada terapi
kanker, walaupun terdapat toleransi-silang yang cukup luas di antara obat-obat
opoid, hal tersebut tidaklah komplet. Karakteristik ini menjadi dasar teoritis untuk
mengganti suatu obat opoid yang sudah tidak efektif lagi dengan opoid lain. Karena
toleransi –silang yang tidak sempurna, ASA Task Force merekomendasikan bahwa
apabila terbentuk toleransi terhadap suatu opoid, maka perhitungan dosis
ekuianalgesik opioid lain harus dikurangi 25% sampai 50%. Petunjuk yang sama
menspesifikasi bahwa dosis substitusi metadon harus dikurangi 75%.
Ketergantungan fisik adalah juga suatu proses fisiologik yang ditandai dengan
timbulnya gejala-gejala putus-obat setelah pengehentian mendadak suatu obat
opoid atau setelah pemberian antagonis.Sindrom putus obat ini diperkirakan
disebabkan oleh aktifitas cerminan noradrenergik di SSP yang tertekan selama
pemberian opioid jangka panjang. Adiksi, atau ketergantungan psikologik,
mengacu kepada sindrom perilaku menimbun obat dan peningkatan dosis tanpa
pengawasan. Kita perlu membedakan antara toleransi, ketergantungan, dan adiksi,
karena bukti-bukti mengisyaratkan bahwa pasien sering mendapat obat nyeri
kurang dari seharusnya (undermediation) karena ketakutan yang berlebihan (baik
oleh petugas maupun pasien) akan terjadinya ketergantungan pada pasien.
Kekhawatiaran ini tidak beralasan kerana adiksi sangat jarang terjadi apabila opioid
digunakan untuk mengobati pasien yang menderita nyeri. Pelu diingati bahwa
kebutuhan dosis analgetik setiap pasien berbeda-beda dan dosis harus dititrasi
secara individu. Selama tahun-tahun terakhir, telah dicapai banyak kemajuan dalam
metode-metode pemberian opioid yang membantu menghilangkan nyeri.2

Salah satu kemajuan dalam metode pemberian opioid adalah “pemberian


terus-menerus”. Dan bukan “dosis sesuai keperluan”. PRN (pasien perlu meminta
obat dari perawat). Pemberian obat secara terus-menerus memiliki keunggulan
berupa kadar anagetik dalam darah yang konstan dan mencegah timbulnya nyeri
yang hebat, yang lebih sulit diatasi apabila telah terjadi. Karena cara terbaik untuk
mengatasi nyeri adalah dengan mencegahnya, dikembangkan sistem analgesia
yang dikendalikan oleh pasien (PCA). Sesuai yang disyaratkan ooleh namanya,
perangkat PCA menyalurkan morfin (atau opioid lain) dalam dosis yang sudah
ditentukan melaui selang intravena (IV) tetap saat pasien menekan suatu tombol.
Alat ini berisi obat dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien selama
12-24 jam dan biasanya diprogram sehingga terdapat minimal jedah waktu 15-30
menit diantara dua dosis. Alat PCA paling sering digunakan untuk mengendalikan
nyeri pasca operasi dan nyeri kanker. Sebagian dari keunggulan PCA adalah
mengatasi nyeri secara lebih baik dengan dosis yang lebih rendah, sedasi yang lebih
rendah, semakin singkatnya penundaan antara kebutuhan akan analgesia dan
hilangnya nyeri. Pemberian opioid dan anastetik lokal melalui neural aksis (disebut
hantaran obat neuroaksial) menyalurkan obat secara langsung di reseptor. Rute
pemberian adalah ke ruang epidura, subarakhnoid, dan intraventrikel. Pemberian
obat epidural dan subarakhnoid dapat dilakukan dengan kateterisasi perkutis,
reservoir, atau implantasi sebuat kateter dan pompa. Keunggulan sistem penyaluran
neural langsung ini adalah bahwa sistem ini tidak bergantung pada penyerapan
sistemik, menghasilkan analgesia dengan efek samping lebih sedikit dibandingkan
obat yang diberikan secara sistemis, dan memerlukan dosis yang lebih kecil.2

Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek berlebihan dosis narkotik yang paling
serius adalah depresi pernafasan dan sedasi. Obat opioid lain adalah kombinasi
agonis dan antagonis, seperti pentazosin dan butorfanol. Apabila diberikan kepada
pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala
putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan
tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan seperti depresi pernafasan dibandingkan dengan agonis opioid murni.2
KESIMPULAN

Nyeri merupakan manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi dalam
tubuh. Menurut International Association for Study of Pain, nyeri adalah
pengalaman sensoris dan motoris yang tidak menyenangkan sehubungan dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial. Antar stimulus cedera jaringan dan
pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri yakni transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Penilaian nyeri merupakan elemen yang
penting untuk menentukan terapi nyeri pasca pembedahan. Terdapat beberapa skala
penilaian pada pasien seperti Wong Baker Faces, Pain Rating Scale, Verbal Rating
Scale, Numerical Rating Scale, dan Verbal Analog Scale. Tatalaksana nyeri dapat
dilakukan dengan cara farmakoterapi dan nonfarmakoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lovich-Sapola J, Smith CE, Brandt CP. Postoperative pain control. 2015.


Elsevier Inc; 2015: 1-18
2. Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. Dalam Sylvia A Price & Lorraine M Wilson.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. New York: Elvesier
Science; 2003: 1063-1086
3. Krenzischek DA, Dunwoody CJ, Polomano RC, Rathmell JP.
Pharmacotherapy for acute pain: implications for practice. J Perianesth Nurs;
2008: 23:S28-S42.
4. Morgan GE, Mikhail SE, Murray MJ. Pain management. In Morgan GE,
Mikhail SE, Murray MJ editors. Clinical anesthesiology .4th ed. New York:
Mc Graw Hill; 2006: 359-71
5. Eisenberg E, Borsook D, Lebell AA; Pain in the terminally III. The
Massachustts General Hospital Handbook of Pain Management. 1st ed. Little
Brown; 1996.
6. Reddi D, Curran N. Chronic pain after surgery: pathophysiology, risk factors
and prevention. London: Postgrad Med; 2014: J 90: 222-227
7. Hadinoto H, Setiawan, Soetedjo. Pengenalan dan tatalaksana nyeri. Semarang:
Universitas Diponegoro Press; 1996: 1-20.
8. Wong DL, Hockenberry-Eaton M, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P.
Wong’s essentials of pediatric nursing. St. Louis: Mosby, Inc; 2001: p. 1301
9. Breivik H, Borchegrevink PC, Allen SM, Rosseland LA, Romundstad L,
Breivik Hals, EK, et al. Assessment of pain. British Journal of Anaesthesia;
2008: 101(1): 17-24

Você também pode gostar