Você está na página 1de 22

TUGAS FARMASI

SCABIES

Oleh :
Ana Erdina
G99162148

KEPANITERAAN KLINIK LAB/SMF ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau.


Sarcoptes scabiei varietas hominis. Sarcoptes scabiei merupakan parasit obligat
yang hidup dalam terowongan lapisan tanduk kulit (DPH, 2012). Sarcoptes
scabiei dapat menyebabkan reaksi kulit yang berbentuk eritem, papul atau vesikel
pada kulit dimana mereka berada. Timbulnya reaksi kulit biasanya disertai rasa
gatal (Maskur, 2000).
Diperkirakan terdapat lebih dari 300 juta kasus skabies di seluruh dunia
setiap tahunnya (DPH, 2012). Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh
besar penyakit utama di puskesmas dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit
kulit tersering di Indonesia. Banyak faktor yang menunjang perkembangan
penyakit ini, antara lain keadaan sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk,
hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis dan
perkembangan dermografik seperti keadaan penduduk dan ekologik (Handoko,
2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei var hominis dan yang penularannya secara kontak
langsung maupun tidak langsung (Handoko, 2011). Skabies disebut juga sebagai
the itch, yaitu gatal berat pada kulit yang disebabkan oleh tungau kecil (sarcoptes
scabiei var hominis) yang hidup di dalam kulit (Wollf dan Johnson, 2009).

B. EPIDEMIOLOGI
Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan
Karibia, India, dan Asia Tenggara (Binic, 2010; Walton, 2007). Prevalensi skabies
di negara berkembang lebih tinggi dibanding negara industri (Barry et al, 2014).
Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia
terkena skabies setiap tahunnya (DPH, 2012). Pada anak-anak < 5 tahun sering
skabies nodular, pada dewasa muda karena kontak langsung, pada orang tua
biasanya berkaitan dengan fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Studi
epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung tinggi pada
anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Insiden skabies
semakin meningkat sejak dua dekade ini dan telah memberikan pengaruh besar
terhadap wabah di rumah-rumah sakit, penjara, panti asuhan, dan panti jompo
(Wolf dan Johnson, 2009; Barry et al, 2014).
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak
faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: higiene yang
buruk, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologi.
Penyakit ini dapat dimasukkan dalam Penyakit akibat Hubungan Seksual
(Handoko, 2011).
C. PATOGENESIS
Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung. Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan mengapa
penyakit ini sering menular ke seluruh anggota keluarga. Penularan secara tidak
langsung dapat melalui penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat
tidur (Handoko, 2011; Wolf dan Johnson, 2009).
Tungau skabies memiliki 4 pasang kaki dan berukuran 0,3 mm, yang tidak
dapat dilihat dengan menggunakan mata telanjang. Secara morfologik merupakan
tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata.
Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Bentuk dewasa
mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan
pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat dengan alat perekat
(Gambar 2.1). Ukurannya yang betina berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 –
350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 –
200 mikron (Handoko, 2011)

.
Gambar 2.1 Sarcoptes scabiei

Skabies ditandai dengan lesi papul yang gatal yang merupakan rumah bagi
skabies betina dan anaknya (Arnold et al., 1990). Daerah predileksi paling sering
adalah pada lipatan kulit sekitar pergelangan tangan dan sela-sela jari. Selain itu,
siku, kaki dan pergelangan kaki, axilla, pantat, regio genital dan payudara pada
wanita (Gambar 2.2). Daerah predileksi pada anak yang sering adalah telapak
tangan, telapak kaki, dan regio kepala dan leher (DPH, 2012).
Tungau jantan akan membuahi tungau betina dan kemudian mati.
(Etnawati, 1990). Tungau betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam
stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50 (Handoko,
2011). Terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan
stratum granulosum (Neugebauer, 1983). Bentuk betina yang dibuahi ini dapat
hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam
terowongan tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus
hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12
hari (Handoko, 2011). Sensitisasi dimulai 2-4 minggu setelah penyakit dimulai.
Selama waktu itu tungau berada di atas kulit atau sedang menggali terowongan
tanpa menimbulkan gatal (Stone, 2003; Bean, 1993).
Gejala gatal timbul akibat reaksi hipersensitivitas terhadap tungau, telur,
atau skibala. Tungau meninggalkan liang hanya ketika suhu temperatur tinggi
(bed warmth) dan ini menyebabkan nocturnal itching (Neugebauer, 1983).
Kemerahan dan gatal pada skabies merupakan suatu respon imun. Falk dan Bole
menunjukkan adanya hipesensitivitas oleh IgE dalam tes kulit intra kutan dengan
extrac dari skabies (Ewan, 2002). Proses imunologis pada skabies masih belum
jelas. Hipersensitivitas yang terjadi adalah hipersensitivitas tipe cepat dan lambat.
Pada infeksi pertama, sensitisasi akan timbul dalam beberapa minggu setelah
infeksi parasit. Pada infeksi kedua (reinfeksi), gatal muncul dalam 24 jam. Pada
hipersensitivitas tipe lambat terjadi pembentukan papul dan nodul inflamatorik
(Wollf, 2001; Stone, 2003).
Kelainan kulit tidak hanya disebabkan oleh tungau scabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan dan infeksi sekunder. Gatal yang terjadi adalah
akibat sensitisasi terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu
kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai
dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder (Maskur,
2000; Stone, 2003).
Gambar 2.2 Daerah predileksi infeksi kutu Scabies

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan tungau dan
produknya yaitu :
a. Kerokan kulit
Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau KOH
10% lalu dilakukan kerokan dengan menggunakan skalpel steril yang
bertujuan untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan
diletakkan di gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diperiksa
dibawah mikroskop.
b. Mengambil tungau dengan jarum
Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam
terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya
kemudian dikeluarkan. Bila positif, tungau terlihat pada ujung jarum sebagai
parasit yang sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi
memerlukan keahlian tinggi.
c. Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test)
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30 menit.
Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut akan
kelihatan lebih gelap dibandingkan kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta
didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbetuk gambaran kanalikuli
yang khas berupa garis menyerupai bentuk S.
d. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
Dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan telunjuk kemudian
dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superfisial menggunakan pisau dan
berhati-hati dalam melakukannya agar tidak berdarah. Kerokan tersebut
diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan minyak mineral yang
kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Biopsi irisan dengan pewarnaan
Hematoksilin and Eosin.
e. Uji tetrasiklin
Pada lesi dioleskan salep tetrasiklin yang akan masuk ke dalam kanalikuli.
Setelah dibersihkan, dengan menggunakan sinar ultraviolet dari lampu Wood,
tetrasiklin tersebut akan memberikan efluoresensi kuning keemasan pada
kanalikuli (Amiruddin, 2003).
f. Dermoskopi
Dermoskopi awalnya dipakai oleh dermatolog sebagai alat yang berguna
untuk membedakan lesi-lesi berpigmen dan melanoma. Dermoskopi juga
dapat menjadi alat yang berguna dalam mendiagnosis scabies secara in vivo.
Alat ini dapat mengidentifikasi struktur bentuk triangular atau bentuk-V yang
diidentifikasi sebagai bagian depan tubuh tungau, termasuk kepala dan kaki.
Banyak laporan kasus yang didapatkan mengenai pengalaman dalam
mendiagnosis scabies dengan menggunakan dermoskopi. Dermoskopi sangat
berguna, terutama dalam kasus-kasus tertentu, termasuk kasus scabies pada
pasien dengan terapi steroid lama, pasien imunokompromais dan scabies
nodular.

E. DIAGNOSIS
1. Pruritus nokturna yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
seluruhnya terkena infeksi dan tetangga sekitar. Tidak semua orang yang
terkena akan menunjukkan gejala jika hanya bersifat pembawa (carrier).
3. Terowongan atau kunikulus pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang
1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel.
4. Penemuan tungau merupakan hal yang paling diagnostik

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal tersebut.

F. TUJUAN TERAPI
1. Memusnahkan agen penyakit (Sarcoptes scabiei)
2. Mengurangi gejala klinis yang mengganggu (pruritus)

G. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Terapi topikal harus menjangkau seluruh tubuh kecuali kepala dan
leher. Terapi yang efektif termasuk penggunaan air panas dan dua kali
pengolesan pada seluruh tubuh (Maskur, 2000).
a. Permethrin 5% cream (scabimite)
Permethrin 5% diketahui paling aman sebagai pengobatan yang
paling efektif untuk skabies. Permethrin adalah pyrethroid sintetik yang
dapat membunuh tungau yang mempunyai toksisitas yang benar-benar
rendah untuk manusia. Krim permethrin 5% dalam bentuk dosis tunggal.
Cara penggunaan permethrin adalah dengan mengoleskan di
belakang telinga dan menyeluruh dari leher ke telapak kaki, terutama
pada bagian lipatan-lipatan seperti sela-sela jari tangan dan kaki,
umbilicus, lipat paha, pantat, dan bagian bawah jari tangan dan kaki.
Penggunaannya selama 8-12 jam kemudian dicuci bersih-bersih. Jika
belum sembuh, obat digunakan 5 sampai 7 hari kemudian. Bila
didapatkan infeksi sekunder perlu diberikan antibiotik sistemik.
Permethrin tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 2 bulan dan pada
wanita hamil dan menyusui karena dapat menimbulkan reaksi panas,
eksaserbasi gatal, dan dermatitis kontak.
b. Benzyl Benzoat 25%
Benzyl benzoat akan diserat oleh tubuh tungau dan merusak tubuh
tungau melalui sistem sarafnya. Tersedia dalam bentuk krim atau lotion
25%. Sebaiknya obat ini digunakan selama 24 jam, kemudian digunakan
lagi 1 minggu kemudian. Obat ini disapukan ke badan dari leher ke
bawah. Penggunaan berlebihan dapat menyebabkan iritasi. Bila
digunakan untuk bayi dan anak-anak harus ditambahkan air 2-3 bagian.
c. Sulfur
Dalam bentuk parafin lunak sulfur 10% secara umum aman dan
efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat digunakan pada bayi.
Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 malam dan dicuci 24 jam
kemudian. Obat aman digunakan buat wanita hamil dan menyusui.
d. Gama Benzena Heksa Klorida (Lindane)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah
sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau.
Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan selaput
lendir kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan konsentrasi
tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang menyebabkan
eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau. Lindane dimetabolisme dan
diekskresikan melalui urin dan feses.
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan
tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke
seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1%
krim atau lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan
lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang
menetas dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa
penelitian menunjukkan penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif.
Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak
menggunakan konsentrasi lain selain 1% (Hicks, 2009; Amiruddin,
2003).
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP,
kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang
terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu
sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi,
kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan,
koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat
mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia
aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia (Hicks, 2009).
e. Krotamiton
Crotamiton (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim
10% atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama
lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian, dari leher
ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci setelah aplikasi kedua. Efek
samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka panjang.
Beberapa ahli beranggapan bahwa crotamiton krim ini tidak memiliki
efektivitas yang tinggi terhadap skabies. Crotamiton 10% dalam krim
atau losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada
wanita hamil, bayi dan anak kecil. (Hicks, 2009; Amiruddin, 2003).
f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotik
makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotik, diketahui
aktif melawan ekto dan endo parasit. Digunakan secara meluas pada
pengobatan hewan, pada mamalia, pada manusia digunakan untuk
pengobatan penyakit filarial terutama oncocerciasis. Diberikan secara
oral, dosis tunggal, 200 ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk scabies.
Digunakan pada umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan secara khusus
tentang formulasi ivermectin topikal efektif untuk mengobati scabies.
Efek samping yang sering adalah kontak dermatitis dan toxic epidermal
necrolysis (Amiruddin, 2003)
g. Antipruritus
Rasa gatal pada skabies akan tetap ada sampai beberapa minggu
setelah pemberian terapi. Antihistamin sedatif bisa mengurangi rasa
gatal. Tetapi kortikosteroid topikal atau sistemik potensi rendah lebih
efektif. Pada anak-anak dapat diberikan 1% krim hidrokortison. Pada
dewasa dapat diberikan krim triamsolon (0,1%). Jika terjadi eksoriasi
yang mengarah menjadi scabies impetigenisata diberikan antibiotik
dengan mupirosin topikal atau antibiotik spektrum luas. Pruritus mungkin
tetap ada 2-3 minggu setelah skabies dieradikasi.
2. Non Medikamentosa
Edukasi :
a. Terapi juga harus dilakukan pada anggota keluarga lain dan partner
seksual.
b. Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian,
jangan terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi.
c. Pakaian, sprei, handuk dll cuci dengan air panas.
d. Dijaga kebersihan rumah setiap hari. Alat-alat pribadi (handuk, sabun,
selimut) sebaiknya tidak dipakai bersama-sama dalam satu keluarga.

H. PROGNOSIS
Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa tahun. Pada
individu yang immunokompeten, jumlah tungau akan berkurang seiring waktu.
Investasi skabies dapat disembuhkan. Seorang individu dengan infeksi skabies,
jika diobati dengan benar, memiliki prognosis yang baik, keluhan gatal dan
eksema akan sembuh (Wolft dan Johnson, 2009).
BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. X
Umur : 12 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jebres
Tanggal pemeriksaan : 29 Mei 2018
No. RM : 99142123

II. ANAMNESIS
I.Keluhan Utama
Gatal – gatal terutama malam hari
II.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh gatal-gatal terutama di malam hari sejak 5 hari
yang lalu. Gatal dirasakan terutama di sela jari dan telapak tangan.
Awalnya pada jari tangan pasien muncul bintik-bintik mlenting kemerahan
yang terasa gatal dan terdapat alur diantaranya. Bintik mlenting kemerahan
kemudian menyebar ke tangan. Gatal dirasakan bertambah pada malam
hari hingga mengganggu tidur. Gatal tidak membaik dengan pemberian
bedak dan tidak semakin berat saat berkeringat. Pasien menyangkal
adanya demam, lemas, nafsu makan menurun, batuk, maupun pilek
sebelumnya.
Pasien merupakan siswa pesantren yang tidur di asrama bersama
teman-temannya. Selain pasien, teman-teman sekamar pasien juga
mengeluhkan gatal dan telah memeriksakan diri ke Puskesmas. Gatal yang
dialami berawal hampir bersamaan, yaitu sekitar 1 minggu terakhir.
Riwayat penggunaan pakaian bersama disangkal, namun riwayat
pemakaian handuk bersama (+). Karena mlenting kemerahan menyebar ke
tangan dan keluhan gatal tidak menghilang, maka pasien diperiksakan ke
RSDM.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
b. Riwayat sakit gula : disangkal
c. Riwayat sakit asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat kontak dengan orang lain dengan klinis sama :
Pasien tinggal di asrama dengan teman-temannya. Teman sekamar
pasien juga mengalami gejala serupa yaitu bintik mlenting dan gatal
tertama pada malam hari pada sela jari tangan dan lipatan ketiak. Gejala
timbul hampir bersamaan, yaitu sekitar 1 minggu yang lalu.
f. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
b. Riwayat sakit gula : disangkal
c. Riwayat sakit asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat keluhan serupa : disangkal
3. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat olahraga : 2x/miggu
b. Riwayat merokok : disangkal
c. Riwayat alkohol : disangkal
d. Riwayat mandi : 2x/hari
e. Riwayat pemakaian baju : pemakaian sendiri
f. Riwayat pemakaian handuk : sering meminjam teman
4. Riwayat Perkawinan, Sosial, dan Ekonomi :
Pasien An. X adalah seorang anak laki-aki berusia 12 tahun yang
diantar ke RSDM oleh kedua orang tuanya yaitu Tn. X (40 th) dan Ny. X
(38 th). Pasien tinggal di asrama bersama teman-temannya. Pasien
bersekolah di MTs di Sukoharjo dan pulang ke rumah 2 minggu sekali.
Untuk menjalani pengobatan, pasien menggunakan BPJS kesehatan.

7. Riwayat Gizi
Pasien makan tiga kali dalam sehari dengan lauk tahu, tempe, telur,
daging, sayur, dan susu secara bergantian. Pasien terkadang
mengkonsumsi buah-buahan. Pasien sempat penurunan nafsu makan
beberapa saat yang lalu ketika awal-awal mengeluhkan gatal. Namun
beberapa hari terakhir setalah menjalani pengobatan, nafsu makan pasien
berangsur-angsur membaik.

8. Anamnesis Sistem
Keluhan Utama : gatal

a. Kulit : gatal (+) sela-sela jari tangan, telapak tangan, dan


tangan tampak bintik-bintik mlenting kemerahan
dan beralur + 1 cm.
b. Kepala : sakit kepala (-), leher cengeng (-), berputar (-), luka (-),
benjolan (-)
c. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan
kabur (-)
d. Hidung : tersumbat (-), mimisan (-)
e. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-)
f. Mulut : sariawan (-), mulut terasa asam (-), mukosa basah (+),
papil lidah atropi (-)
g. Tenggorokan : sakit menelan (-), serak (-)
h. Pernafasan : sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-), batuk darah (-),
dahak (-), nyeri dada (-)
i. Kardiovaskuler : berdebar-debar (-)
j. Gastrointestinal: mual (-), muntah (-), mudah haus (-), diare (-), nafsu
makan menurun (-), nyeri perut (-), BAB tidak ada
keluhan.
k. Genitourinaria : BAK 4-5 kali sehari, kuning jernih dan jumlah dalam
batas normal.
l. Muskuloskeletal: nyeri sendi (-), nyeri otot (-)
m. Ekstremitas : Atas : bintik-bintik mlenting kemerahan pada kedua
sela jari tangan, telapak tangan, dan tangan beralur
± 1 cm, bengkak (-), ujung jari tangan dingin (-)
Bawah : bengkak (-), luka (-), ujung jari kaki dingin(-)

III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Baik, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
BB : 30 kg
TB : 126 cm
BMI : BB/TB2 = 30/(1,26)2 = 18,90 kg/m2  status gizi kesan cukup
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit, reguler, isi cukup, simetris
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC per axiler
3. Kulit
Sawo matang, rambut hitam, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-),
venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-), tampak kunikulus berbentuk
terowongan pada daerah extrimitas atas.
4. Kepala
Bentuk mesocephal, tidak ada luka, rambut hitam keputihan, sukar dicabut.
5. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek
kornea (+/+)
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
7. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), gigi
tanggal (-)
8. Telinga
Membran timpani intak, sekret (-)
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), faring hiperemis (-), dahak (-)
10. Leher
JVP tidak meningkat, trakea di tengah, KGB tidak membesar
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider nevi
(-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-)
- Cor: I : ictus cordis tak tampak, bintik-bintik mlenting kemerahan
P : ictus cordis tak kuat angkat
P : batas kiri atas : SIC II LPSS
batas kanan atas : SIC II LPSD
batas kiri bawah : SIC V 1 cm medial LMCS
batas kanan bawah : SIC IV LPSD
pinggang jantung : SIC III LPSS
batas jantung kesan tidak melebar
A: BJ I–II intensitas normal, regular, bising (-)
-Pulmo :
I : pengembangan dada kanan = dada kiri
P : fremitus raba kanan = kiri
P : sonor/sonor
A: suara dasar vesikuler (+ N/+ N), ronkhi basah kasar (-/-),
wheezing (-/-)
12. Abdomen
I: dinding perut sejajar dinding dada
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
P: timpani seluruh lapang perut
A: bising usus (+) normal
13. Ektremitas : bintik-bintik mlenting kemerahan dikedua tangan
akral dingin oedem
- - - -

Status Dermatologis
Regio ekstremitas superior: tampak papul multiple diskret disertai
kanalikulus miliar

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


KOH 10% : ditemukan S. scabiei
Burrow ink test : (+)

V. DIAGNOSIS KERJA
Scabies

VI. PENATALAKSANAAN
A. Non medikamentosa:
1. Edukasi pasien untuk mandi secara teratur menggunakan sabun.
2. Edukasi pasien agar pakaian, handuk, sprei, dan alat tidur lainnya
dicuci dengan air panas.
3. Edukasi pasien untuk tidak berganti-ganti/bertukar pakaian,
handuk dengan orang lain.
4. Edukasi pasien untuk mengajak teman-teman pasien yang memiliki
keluhan yang sama memeriksakan diri ke dokter.
5. Edukasi pasien agar selalu menjaga dan meningkatkan higiene
lingkungan.
B. Medikamentosa:

RSUD dr.MOEWARDI
18 November 2015

R/ Scabimite cream g 30tube No. I


∫ uc

R/ CTM tab mg 4 No. VII


∫ 1 dd tab I noctum

Pro : An. X (12 tahun)

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikam : bonam
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

Scabimite
Terdapat beberapa pilihan obat untuk pengobatan scabies antara lain
Permethrin 5%, Benzyl Benzoat 25%, dan Sulfur. Pada kasus ini dipilih terapi
menggunakan Permetrin 5% dikarenakan selain aman untuk anak-anak, obat ini
juga efektif
Permethrin merupakan antiparasit spektrum luas terhadap tungau, kutu
rambut, kutu badan serta anthropoda lainnya. Permethrin dimetabolisir dengan
cepat di kulit.
Permethrin bekerja dengan cara mengganggu polarisasi dinding sel saraf
parasit yaitu melalui ikatan dengan Natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi
dinding sel dan akhirnya terjadi paralise parasit.
Cara penggunaan obat ini dengan dioleskan ke seluruh tubuh terutama di
bagian lipatan-lipatan jari serta bagian yang terdapat terowongan skabies. Lalu
dibiarkan selama 8-12 jam kemudian dicuci bersih. Jika belum sembuh dapat
diulang 1 minggu kemudian.
Kontraindikasi untuk orang-orang yang hipersensitif terhadap permethrin.
Penggunaan Permethrin pada wanita hamil dan menyusui belum diketahui
keamanannya. Aman digunakan pada bayi usia 2 bulan atau lebih. Karena dapat
timbul rasa panas seperti terbakar yang ringan, pedih, gatal, aritema, hipestesi
serta ruam kulit. Efek samping ini bersifat sementara dan akan menghilang
sendiri.

Chlorpheniramin Maleat (CTM)


Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan salah
satu antihistamin (AH) generasi pertama yang memiliki efek sedatif. Berguna
untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau
mengobati mabuk perjalanan. Didalam kasus ini, obat ini digunakan sebagai anti-
pruritus. Dengan efek sedatifnya diharapkan rasa gatal oleh parasit skabies yang
terutama timbul pada malam hari bisa diatasi.
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. Secara umum, AH1 efektif menghambat kerja
histamin pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin
dapat dihambat oleh AH1. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat
histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Dosis terapi 4 mg dalam satu tablet dimana AH1 umumnya menyebabkan
penghambatan sistem saraf pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Dosis pemakaian CTM adalah
sebagai berikut: untuk dewasa dosisnya, 3 – 4 kali sehari 0.5 sampai 1 tablet.
Untuk anak-anak 6 – 12 tahun, dosis pemakaiannya, 0.5 x dosis dewasa.
Sedangkan untuk anak-anak 1 – 6 tahun, dosisnya adalah 0.25 x dosis dewasa.
Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek berarti pada sistem
kardiovaskular. Obat ini juga mempunyai efek samping mengantuk. Obat ini
mempunyai efek resintensi, artinya semakin lama kita menggunakan CTM berarti
semakin kurang efek kantuknya. Efek samping lain dari CTM adalah gangguan
gastrointestinal, mulut kering, hipotensi, kelemahan otot, tinitus, euforia, sakit
kepala, merangsang susunan saraf pusat, reaksi alergi, tremor.
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. 2003. SkabiesIn. Amiruddin MD, editor. Ilmu Penyakit Kulit. Ed
1. Makassar: Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin fakultas
kedokteran universitas hasanuddin. p 5-10.

Arnold HR, Bodon R, William D James (1990). Parasitic Infestasions, Stings,


and bites. Dalam Disease of The Skin eight edition. WB. Saunders
Company, pp: 523-525

Barry et al. 2014. Scabies. http://emedicine.medscape.com/article/1109204-


overview#a6 . Diakses 18 Nov 2015.

Bean SF (1993). Human Scabies. In : Champion R., Burton J., Ebling F. Text
Book of Dermatologi. Oxford Blackwell Scientific Publication, London,
pp: 1301-1304.

Binic I, Aleksandar J, Dragan J, Milanka L.2010. Crusted (Norwegian) Scabies


Following Systemic And Topikal Corticosteroid Therapy.J Korean Med
Sci; 25: 2010. Pp:88-91.

Etnawati K (1990). Skabies. Dalam : Etnawati K., Soedarmadi, Pengobatan


Penyakit Kulit dan Kelamin. Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta, pp:
89-91.

Georgia Departement of Public Health (DPH) (2012). Scabies Handbook.


Michigan: Departement of Community Health Scabies Prevention and
Control Manual

Handoko RP (2009).Skabies, dalam Djuanda A., Hamzah M., Aisah S (Ed). Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi III. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta,
pp: 119-22.

Hicks MI, Elston DM. 2009. Scabies.DermatologicTherapy. November :22/279-


292.

Maskur Z (2000). Infeksi Parasit dan Gangguan Serangga. Dalam : Marwali


Harahap, Prof., Dr.(Ed), Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta. pp:
109-113.

Neugebauer J (1983).Atlas of Infectious Disease. Roche, Basle, pp:106.


Stone PS (2003). Scabies and Pediculosis. In : Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 6th ed. Vol. II, Mc Graw Hill, New York, pp: 2283-
2285.

Walton SF, Currie BJ. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, A Global Disease
in Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev. April. 268-79.

Wollf K (2001). Scabies. In : Thomas B. Fitzpatrick, Richard A. Johnson, Klaus


Wolff and Dick Suurmond (Ed). Color Atlas and Sinopsis of Clinical
Dermatology. Mc. Graw Hill, pp: 834-43.

Wollf K dan Johson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th ed. New York:McGraw-Hill. Pp:868-876

Você também pode gostar