Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ABLATIO RETINA
Oleh
Pembimbing:
dr. Ansyori, Sp.M (K)
Telaah Ilmiah
Judul
Ablatio Retina
Oleh
Rikka Wijaya, S.Ked
Pembimbing
dr. H.A. K. Ansyori, Sp.M (K), M.Kes, MARS
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan MataFakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 11
Desember 2017 – 15 Januari 2018
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan telaah ilmia yang berjudul “Ablatio Retina”. Telaah ilmiah ini disusun
sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Departemen Ilmu
Kesehatan Mata RSMH Palembang.Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada dr. H.A. K. Ansyori, Sp.M (K), M.Kes, MARS selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan referat
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari seluruh pihak agar referat ini menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat
memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung jawab untuk
fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi
hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina.3,
4, 5
3
8. Lapisan sel ganglion, Ini terutamamengandungsel badansel ganglion
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang
berjalan menuju ke nervus optikus.3,6
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan
memisahkan retina dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi
terminal dari serat yang Muller, dan pada dasarnya adalah dasar
membran..3,6
4
Gambar 3. Gambaran retina normal
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub
posterior. Di tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula
dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh
pigmen luteal (xantofil) yang berdiameter 1,5 mm. Secara histologis makula
merupakan bagian retina yang lapisan ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis
sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh
darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus
optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan suatu cekungan
yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.2
Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens. Secara
histologi, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan
– lapisan parenkim karena akson – akson sel fotorreceptor (lapisan serat Henle)
berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke
permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, disini
fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina yang paling tipis. Semua
5
gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus. Ruang
ekstraseluler retina yang normalnya kosong potensial paling besar di makula dan
penyakit yang menyebabkan penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan
daerah ini menjadi tebal sekali.2
6
darahretina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.2,3
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus
berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu
transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu
mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh
lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan.
Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk
penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis,
terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat
saraf keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam. Macula terutama
digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan
bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan
terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler
pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk
sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton
cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi
bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuhnya
terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang.
Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-
abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Penglihatan siang hari terutama diperantarai
7
oleh fotoreseptor kerucut, jika senja hari diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan
batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.
8
2.3.2 Epidemiologi
paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina adalah
miop, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien
dengan ablasio memiliki miopia, 30-40% mengalami pengangkatan katarak, dan
10-20% telah mengalami trauma okuli. ablasio retina yang terjadi akibat trauma
lebih sering terjadi pada orang muda, dan miopia terjadi paling sering pada usia
25-45 tahun. Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya
ablasio retina yang berhubungan dengan olahraga tertentu (misalnya, tinju dan
bungee jumping) tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya ablasio
retina.5,11,12
Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan
trauma okuli.Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki dan
40% perempuan.11
retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun, cedera
paintball pada anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari cedera
mata, yang termasuk ablasio retina traumatik.11
2.3.3 Etiologi
1. Terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi
dapat memasuki ruangan subretina.
2. Retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina
3. Akumulasi cairan dalam ruangan subretina akibat proses eksudasi.
2.3.4 Patogenesis
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan
rongga vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata
yang matur dapat berpisah :
9
1. Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi
dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif ablasio
regmatogenosa.
2. Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina,
misalnya seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus ablasio
retina traksional.
3. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruangan subretina akibat
proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan ablasio
retina eksudatif.
10
konsistensi dan struktur yang mirip agar-agar, sehingga badan kaca tidak menekan
retina pada epitel pigmen lagi. Dengan gerakan mata yang cepat, badan kaca menarik
perlekatan vireoretina. Perlekatan badan kaca yang kuat biasanya terdapat di daerah
sekeliling radang atau daerah sklerosis degeneratif. Sesudah ekstraksi katarak
intrakapsular, gerakan badan kaca pada gerakan mata bahkan akan lebih kuat lagi.
Sekali terjadi robekan retina, cairan akan menyusup di bawah retina sehingga
neuroepitel akan terlepas dari epitel pigmen dan koroid.
2.3.5 Klasifikasi1,2
a. Usia.
Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun.
Namunusia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor
yang mempengaruhi.
11
b. Jenis kelamin.
Paling sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan laki :
perempuan adalah 3 : 2
c. Miopi.
Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa terjadi karena
seseorang mengalami miop.
d. Afakia.
Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada
seseorang yang fakia. Pasien bedah katarak diduga akibat vitreus ke
anterior selama atau setelah pembedahan. Lebih sering terjadi setelah
ruptur kapsul, kehilangan vitreus dan vitrektomi anterior. Ruptur
kapsul saat bedah katarak dapat mengakibatkan pergeseran materi
lensa atau sesekali, seluruh lensa ke dalam vitreus.
e. Trauma.
Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
12
h. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti
Lattice degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure
and white-without or occult pressure, acquired retinoschisis.
13
Gambar 6.Ablasio retina tiperegmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe
tear
14
Gambar 7.Ablasio retina tipeeksudatif akibat dari hasil metastase karsinoma
payudara
15
mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau brkembang menjadi ablasio
retina traksi.1,2,3,6
2.3.6. Diagnosis
16
c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya
sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada
keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan
yang berat.1,6,9
d. Selain itu perlu di anamnesa adanya faktor predisposisi yang
menyebakan teradi ablasio retina seperti adanya riwayat trauma,
riwayat pembedahan sebelumnya seperti ekstraksi katarak,
pengangkatan korpus alienum inoukler, riwayat penyakit mata
sebelumnya (uveitis, perdarahan vitreus, amblopia, galukoma, dan
retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit mata yang sama
serta penyakit serta panyakit sistemik yang berhubungan dengan
ablasio retina (diabetes melitus, tumor, sickle cell leukimia, eklamsia,
dan prematuritas).1,5,6
17
Perluasan ablasi Meluas dari oral ke Tidak meluas Tergantung volume
discus, batas dan menuju ora, dapat dan gravitasi,
permukaan sentral atau perifer perluasan menuju
cembung oral bervariasi,
tergantung dapat sentral atau
gravitasi perifer
Cairan sub retinal Jernih Jernih atau tidak ada Dapat keruh dan
perpindahan berpindah secara
cepat tergantung
pada perubahan
posisi kepala.
18
Tekanan Rendah Normal Bervariasi
intraocular
Pemeriksaan:
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan lapangan pandang
3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan adanya
trauma.
5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal, pemeriksaan
vitreous untuk mencari tanda pigmen atau “tobacco dust”, ini merupakan
patognomonis dari ablasio retina pada 75 % kasus.
19
6. Periksa tekanan bola mata.
7. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan
berdilatasi)
Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit
penyerta seperti diabetes melitus.
2) Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan bila retina tidak dapat tervisualisasi
oleh karena perubahan kornea, katarak, atau perdarahan.
3) Teknik pencitraan seperti foto orbita, CT scan, atau MRI tidak diindikasikan
untuk membantu diagnosis ablasio retina tetapi dapat dibutuhkan untuk
mendeteksi benda asing intraokuli dan tumor.
2.3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk menemukan dan
memeperbaiki semua robekan retina, digunakan krioterapi atau laser untuk
menimbulkan adhesi antara epitel pigmen dan retina sensorik sehingga
mencegah influks cairan lebih lanjut kedalam ruang subretina, mengalirkan
cairan subretina ke dalam ke luar, dan meredakan traksi vitreoretina.5,6
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Prinsip
bedah pada ablasio retina yaitu :9
1. Menemukan semua bagian yang terlepas
2. Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah retina
yang terlepas.
3. Menguhubungkankoroiddan retina dalamwaktu yang
cukupuntukmenghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen
pada daerah subretinal.
20
Pada pembedahanablasio retina dapatdilakukandengancara :
1. Scleral buckling
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi
robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan
scleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon
padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung posisi lokasi dan
jumlah robekan retina. Pertama – tama dilakukan cryoprobeatau laser untuk
memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk
dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina
sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan
menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2
hari. 2,3,
Keuntungan dari teknik ini adalah menggunakan peralatan dasar, waktu
rehabilitasi pendek,resiko iatrogenic yang menyebabkan kekeruhan lensa rendah,
mencegah komplikasi intraocular seperti perdarahan dan inflamasi.
Gambar 9.Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera di atas
robekan retina setelah drainase cairan sub retina dan dilakukan crioterapi
21
Gambar 10.Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina sekarang melekat
kembali dan traksi pada robekan retina oleh vitreus dihilangkan .
2. Retinopeksi pneumatic
Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan
pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada
bagian superior retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas kedalam ronggavitreus. Gelembung gas ini akan
menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui
robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal
biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan
dengan kriopeksiatau laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus
mempertahankan posisi kepala tertentu selama beberapa hari untuk meyakinkan
gelembung terus menutupi robekan retina.3,6
22
Gambar 11.Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub retina, gas
fluorokarbon inert disuntikan ke dalam rongga vitreus.
Keuntungan PPV:
23
2. Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena teknik ini
dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3. Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.
Kerugian PPV:
2.3.8 Preventif
Memakai pelindung mata berupa kacamata berwarna redup untuk
menghindari pencahayaan yang berlebihan dari sinar matahari dan
stimulasi cahaya akibat pantulan dari kaca gedung atau kendaraan.
Memakai pelindung kacamata
24
2.3.9 Prognosis
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan
sesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan
makula maka akan sulit menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data yang
ada sekitar 87 % dari operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi
visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula yang terlibat hanya sepertiga atau
setengah dari makula tersebut.9
Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dan perlangsungannya
kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh post operasi sekitar 75 %
sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki kemungkinan 50 %.6
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina yang
melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level
sebelumnya dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberpa faktor seperti
irreguler astigmat akibat pergeseran pada saat operasi, katarak progresif, dan edema
makula. Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan dapat
menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.9
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
2. DR.Dr.Widya Artini, SpM, Pemeriksaan Dasar Mata, Edisi pertama, Jakarta:
Badan Penerbit FKUI, 2011.
3. Bruce James, Chris Chew,Anthony Bron, Lecture Notes On Oftalmology ,
edisi kesembilan ,Blackwell Science Ltd :Penerbit Erlangga
4. Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata ,edisi keempat. 2009..
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. p.107-10.
5. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General
ophthalmology)edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199
6. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition. New
Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
7. Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC;
2007. Hal. 470-464
8. Reynolds,J. Olitsky,S. Anatomy and Physiology of Retina In : Pediatric
27