Você está na página 1de 20

Potret Kehidupan Sosial Ekonomi Anak-Anak Penjual Tisu di Wilayah

Universitas Indonesia

Socio-Economic Portrait of Children Seller in University of Indonesia

Oleh : Ajeng Riski Anugrah,

Kavitha Dinda Putri Rahmayanti,

Syafira Aslikhati Pratama,

Joansyah Adwie, dan

Ikhsan Nugraha

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kehidupan

sosial ekonomi anak-anak penjual tisu di lingkungan Universitas Indonesia serta

merumuskan solusi yang tepat untuk menanggulangi permasalahan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan wawancara

dan observasi sebagai teknik pengumpulan data dan triangulasi sumber untuk

mengecek keabsahan data. Dari hasil wawancara terhadap lima orang anak

penjual tisu dapat disimpulkan bahwa faktor yang mendorong mereka untuk

berjualan adalah keterbatasan ekonomi. Secara sosial mereka dapat dikategorikan

merupakan anak-anak yang baik dan dapat berinteraksi baik dengan lingkungan.

Solusi yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah mengajarkan mereka berjualan

secara daring.

Kata Kunci : Anak, penjual tisu, Universitas Indonesia, Ekonomi, Sosial, Hak

Anak, daring
ABSTRACT

This research was conducted with the aim to find out the picture of socio-

economic life of children seller in University of Indonesia and to formulate the

right solution to overcome the problem. The research method used is qualitative

descriptive with interview and observation as data collection technique and source

triangulation to analyze the data. From interviews with five children seller, can be

concluded that economic factors is the main factors that make them sell tissue.

Socially they can be categorized as good children and can interact well with the

environment. The solution described in this paper is to teach them to open online

shop.

Keywords : Children, tissue seller, University of Indonesia, Economy, Social,

Rights of the Children, online

2
I. PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada semua manusia,

tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, etnis, bahasa, agama, atau

status lainnya. HAM mencakup hak untuk hidup dan kebebasan, kebebasan dari

perbudakan dan penyiksaan, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk

bekerja dan memperoleh pendidikan, hak untuk hidup layak dan lain sebagainya.

HAM merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia karena ia

adalah manusia. Secara International, Hak Asasi Manusia diatur oleh Universal

Declaration of Human Rights. Deklarasi tersebut disusun oleh perwakilan dari

semua wilayah di dunia dan mencakup semua tradisi hukum. Diadopsi secara

resmi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 dan merupakan

dokumen hak asasi manusia paling universal yang ada, menggambarkan tiga

puluh hak dasar yang harus dimiliki manusia. Di Indonesia, Hak Asasi Manusia

diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 bab XA pasal

28 A- 28 J tentang Hak Asasi Manusia, pasal 27 ayat 1 dan ayat 2, pasal 29 ayat 2,

pasal 31 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak atas kehidupan yang layak merupakan salah satu hak fundamental yang

harus dimiliki oleh setiap manusia. Dalam Pasal 27 ayat 2 disebutkan bahwa

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.

Istilah penghidupan yang layak didefinisikan dalam Pasal 25 DUHAM sebagai

kelayakan untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk

pangan, sandang, perumahan, perawatan medis dan pelayanan sosial yg

diperlukan. Pasal 11 Kovenan EKOSOB mendefinisikan hidup layak sebagai

kelayakan pangan, pakaian dan perumahan. Dalam istilah murni “material”,

3
standar penghidupan yang layak dipahami sebagai tingkat kehidupan di atas garis

kemiskinan. Garis kemiskinan menurut Bank Dunia terdiri dari dua komponen

yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar pangan dan nutrisi dan terpenuhinya

kebutuhan dasar lain (biaya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam

kehidupan sosial)

Memiliki kehidupan yang layak, berkecukupan dalam hal pangan, sandang,

dan papan tentunya merupakan impian semua manusia. Ironisnya, saat ini masih

banyak orang yang tidak mendapatkan akses menuju kehidupan yang layak atau

masih berada di bawah garis kemiskinan. Fenomena anak penjual tisu di sekitar

wilayah Universitas Indonesia merupakan sebuah bukti konkret bahwa meskipun

telah dideklarasikan sebagai hak asasi manusia, kehidupan yang layak belum

dapat dijangkau oleh setiap orang. Terpaksa bekerja sambil bersekolah dalam usia

yang masih sangat belia bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Riski (5 SD),

Abi (3 SD) dan Herdi (3 SD) merupakan contoh anak-anak yang bernasib malang.

Mereka harus bekerja menjual tisu di lingkungan Universitas Indonesia hampir

seharian penuh. Kegiatan menjual tisu ini mereka lakukan atas dasar inisiatif

pribadi untuk membantu orangtua mereka.

Fenomena Anak penjual tisu di sekitar Universitas Indonesia merupakan

sebuah masalah yang menuntut penyelesaian. Di usia yang masih sangat kecil

mereka harus berjualan dari siang hingga malam untuk membantu perekonomian

keluarga dimana mereka seharusnya menggunakan waktunya untuk belajar,

bermain, dan mengembangkan diri. Para anak penjual tisu ini harus menghabiskan

waktu bekerja di jalan, padahal, selain hak untuk hidup layak, sebagai anak-anak,

mereka mempunyai hak untuk mengembangkan diri. Undang-Undang Dasar 1945

4
pasal 28 ayat 2b sangat jelas menyebutkan bahwa ”Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Bekerja di usia yang sangat belia akan sangat

mempengaruhi tumbuh kembang anak. Ilmuwan perilaku manusia dari Rand

Corp. Rajeev Ramchand menggarisbawahi adanya potensi laten seorang anak

yang terbiasa bekerja sejak kecil untuk tumbuh menjadi remaja pembangkang,

rentan terjerumus alkohol, narkoba, rokok, dan gemar berkelahi, tercatat di

American Journal of Preventive Medicine bahwa beban kerja pada anak

mempunyai korelasi positif terhadap perilaku negatif mereka semasa remaja atau

dewasa. Sehingga apabila masalah ini tidak ditanggulangi maka akan berpotensi

menurunkan kualitas generasi muda penerus bangsa. Selain potensi negatif secara

kepribadian, kehadiran anak-anak penjual tisu di sekitar Unversitas Indonesia juga

merupakan masalah karena mereka sebetulnya dilarang berjualan di lingkungan

Universitas Indonesia (UI) sebab dianggap mengganggu ketertiban umum,

menyusul fenomena beberapa kehilangan barang bersamaan dengan kehadiran

mereka. Mengingat fenomena anak penjual tisu merupakan masalah yang

memiliki urgensi tinggi untuk diselesaikan, oleh karena itu kami akan melakukan

penelitian mengenai “Potret Kehidupan Sosial-Ekonomi Anak-Anak Penjual Tisu

di Lingkungan Universitas Indonesia”

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran

kehidupan sosial ekonomi anak-anak penjual tisu di lingkungan Universitas

Indonesia serta merumuskan solusi yang tepat untuk menanggulangi

permasalahan tersebut. Berdasarkan deskripsi di atas, kami mencoba

mengerucutkan persoalan agar lebih memudahkan objek penelitian dan

5
menghindari luasnya pembahasan yang dilakukan. Berkenaan dengan itu kami

berupaya membatasi masalah yang diteliti, maka pokok yang akan di bahas

sebagai rumusan masalah yaitu bagaimanakah gambaran kehidupan sosial-

ekonomi anak-anak pedagang tisu di lingkungan UI, faktor apakah yang

melatarbelakangi anak-anak tersebut menjadi penjual tisu, serta langkah yang

seharusnya dilakukan untuk mengurangi permasalahan tersebut.

Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas sehingga tidak terjadi

pembahasan yang meluas atau menyimpang, maka perlu kiranya dibuat suatu

batasan masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini, yaitu hanya fokus pada subjek penelitian yaitu anak jalanan yang

berjualan tisu di lingkungan Kampus Universitas Indonesia terutama di kantin-

kantin fakultas. Ruang lingkup yang dibahas dalam laporan ini mengenai

bagaimana kegiatan anak-anak penjual tisu tersebut saat berjualan maupun

kegiatan sehari-harinya sehingga kami dapat meneliti seluruh permasalahan yang

seharusnya mereka dapatkan di sisi ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan.

Kami memfokuskan penelitian hanya pada anak penjual tisu yang ada di

lingkungan Universitas Indonesia.

6
II. METODOLOGI

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, sebab tujuan dari penelitian

ini adalah mendeskripsikan secara menyeluruh kehidupan sosial dan ekonomi

anak-anak pedagang tisu yang berada di lingkungan Universitas Indonesia dalam

rangka menganalisis latar belakang yang mendasari anak-anak tersebut berjualan

agar dapat menemukan solusi atas permasalahan tersebut. Menurut Bogdan dan

Taylor penelitian kualitatif adalah penelitian yang dapat menghasilkan data

deskripstif berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati (Moleong,2002). Dalam penelitian kualitatif lebih ditekankan pada

kedekatan dengan orang-orang dan situasi penelitian yang bertujuan untuk

mendapatkan pemahaman yang jelas tentang realitas dan kondisi kehidupan nyata

(Patton dalam Poerwandari, 1998). Pendekatan ini diarahkan pada latar dan

individu secara holistik (utuh).

Penelitian ini menggunakan metode wawancara. Wawancara adalah proses

memperoleh penejelasan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

berhadap-hadapan antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau

informan dengan menggunakan alat untuk membantu proses wawancara

(Nazir,1999). Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan

tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandasakan kepada

tujuan penelitian. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan

melakukan wawancara kepada anak-anak pedagang tisu yang berjualan di

lingkungan Universitas Indonesia. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui

apakah kegiatan berjualan tisu yang dilakukan anak-anak pedagang tisu harus

dilakukan atau tidak. Penelitian dilakukan di wilayah Universitas Indonesia

7
tepatnya pada kawasan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ilmu Komputer,

dan Masjid Ukhuwah Islamiyah. Sumber data yang dianalisis dalam penelitian ini

meliputi data primer dan data sekunder. Data Primer merupakan data yang

diperoleh seorang peneliti langsung dari objeknya sedangkan data sekunder

didapat melalui peninggalan tertulis yang dilakukan dengan cara membaca buku-

buku literatur, dokumen, dan tulisan yang dianggap peneliti berkenan dengan

permasalahan yang sedang diteliti.

Dalam penelitian kualitatif, pokok utama objeknya adalah manusia, karena itu

yang diperiksa adalah keabsahan datanya. Untuk menguji kebenaran data peneliti

memakai teknik triangulasi yang dilakukan dengan menjaring data dengan

menyilangkan informasi yang telah didapat agar data sesuai dengan yang

diharapkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Triangulasi Sumber

dengan membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda. Misalnya membandingkan

hasil pengamatan dengan hasil wawancara. Pada penelitian ini, peneliti

membandingkan hasil penelitian yang didapatkan dari hasil observasi di area

Universitas Indonesia dengan data yang didapatkan dari hasil wawancara

mendalam dengan kelima informan dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga

mencari jawaban-jawaban dari informan satu dengan informan lainnya yang

saling bersinggunggan untuk membandingkan atau mengecek ulang derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda.

8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Pekerja Anak adalah anak - anak yang melakukan pekerjaan

secara rutin untuk orang tuanya atau untuk orang lain yang membutuhkan

sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak (Tjandraningsih,

1995). Menurut Kertonegoro (1997), pekerja anak merupakan tenaga kerja yang

dilakukan anak dibawah umur 15 tahun.1 Oleh karena itu, 5 anak penjual tisu yang

menjadi informan penelitian, termasuk dalam kategori pekerja anak karena

berumur dikisaran 7 – 12 tahun,

Dari kelima subjek, terdapat pekerja anak yang kakak beradik, pekerja

anak yang tinggal dengan kedua orang tua dan pekerja anak yang tidak tinggal

dengan orang tua atau ditelantarkan. Penghasilan orang tua anak-anak tersebut

tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga mereka terpaksa menjadi

seorang penjual tisu untuk memenuhi kebutuhannya. Berikut merupakan deskripsi

potret kehidupan ekonomi, kehidupan sosial, faktor pendorong mereka berjualan

serta solusi yang dapat diberikan kepada kelima subjek penelitian agar mereka

tidak berjualan lagi.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kehidupan ekonomi adalah

keadaan seseorang atau sekelompok orang yang berhubungan dengan cara ia

memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anak penjual tisu di sekitar Universitas

Indonesia merupakan masyarakat ekonomi rendah yang masih hidup dibawah

garis kemiskinan. Kedua orangtua mereka mayoritas melakukan pekerjaan tidak

tetap seperti kuli bangunan, petugas keamanan dan penjual warung kecil.

1 Haryadi, D., Tjandraningsih, I. Buruh Anak & Dinamika Industri Kecil (1995): 14

9
Penghasilan yang didapat dari pekerjaan-pekerjaan tersebut berkisar antara satu

hingga dua juta rupiah perbulan.

Penghasilan yang tidak banyak tersebut menjadi pendorong mereka untuk

berjualan tisu sebagai bentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan

membantu ekonomi keluarganya. Dalam kegiatan menjual tisu sehari-hari, para

pekerja anak ini membawa sekitar 30 – 40 bungkus tisu. Dalam sehari mereka

bisa mendapatkan keuntungan hingga empat puluh ribu rupiah. Dari penghasilan

tersebut, sebesar 50% nya mereka berikan kepada orang tua, 20% untuk jajan, dan

30% untuk ditabung. Beberapa pekerja anak ini mengatakan bahwa uang tersebut

mereka kumpulkan nantinya akan dijadikan modal usaha sendiri agar tidak

berjualan tisu lagi.

Kehidupan sosial

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kehidupan diartikan sebagai suatu cara

hidup. Sedangkan kondisi sosial masyarakat diartikan sebagai keadaan masyarakat

suatu Negara pada saat tertentu (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2009: 502)2.

Jadi kehidupan sosial adalah suatu keadaan yang berkaitan dengan situasi cara

hidup masyarakat suatu negara dalam masyarakat tertentu yang berhubungan

dengan keadaan sosial. Dari dimensi sosial, para pekerja anak terbiasa berjualan

dalam satu kelompok kecil yang terdiri dari 3 - 7 orang . Mereka biasa berjualan

mulai pukul 12 siang dan selesai berjualan pukul 8 malam. Selama satu minggu,

mereka berjualan dari hari senin sampai sabtu. Para pekerja anak ini mengetahui

bahwa mereka dilarang berjualan di lingkungan kampus UI, hal tersebut mereka

ketahui berdasarkan pengalaman mereka yang dimarahi bahkan dirazia oleh PLK

2 Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) : 502

10
UI. Walaupun demikian, para pekerja anak ini tetap berjualan karena desakan

ekonomi yang dihadapi.

Didalam aktivitas berjualan tisu, mereka mengakui bahwa tidak ada yang

mengkoordinir, kegiatan berjualan tisu mereka lakukan berdasarkan kemauan

sendiri atas desakan ekonomi. Para pekerja anak mengatakan bahwa mereka

nyaman berjualan tisu di UI, hal tersebut dikarenakan para mahasiswa UI

memiliki sikap yang baik dan tidak sungkan untuk membeli barang dagangan

mereka bahkan sesekali membelikan mereka makan. Kenyamanan lain berjualan

di lingkungan UI yang mereka rasakan yaitu lingkungan UI memiliki tempat yang

asri ketimbang lokasi berjualan alternatif mereka yaitu terminal dan stasiun.

Menurut para pekerja anak ini, lokasi yang paling strategis untuk berjualan adalah

kantin sastra UI karena lebih banyak orang dan lebih cepat laku.

Selain berjualan, mereka juga tidak lupa akan pentingnya pendidikan.

Selepas berjualan, mereka akan mengerjakan tugas sekolah dan belajar bersama

disaat terdapat mata pelajaran yang menyulitkan. Mayoritas dari para pekerja anak

ini bersekolah di Sekolah Masjid Terminal di Terminal Depok Baru. Failitas yang

mereka dapatkan untuk bersekolah sangatlah terbatas. Hal tersebut tergambarkan

dari bentuk bangunan yang masih belum permanen, ruang kelas yang masih

kurang, dan masih banyak dari mereka yang belajar di luar ruangan karena

terbatasnya jumlah kelas. Dari penuturan para pekerja anak penjual tisu, mereka

memiliki cita cita dan impian yang besar. Ada yang ingin menjadi Pemadam

kebakaran, polisi, tentara, pemain bola, hafizh qur’an, pilot, dan artis.

Secara alami, sejak lahir hingga berusia lima tahun kemampuan nalar

seorang anak belum tumbuh sehingga masih sangat mudah dipengaruhi oleh

11
lingkungan sekitarnya, seperti lingkungan keluarga maupun lingkungan

pergaulan, sehingga kepribadian seseorang dapat terbentuk tergantung dengan

siapa mereka dididik dan bergaul. Sejak kecil para anak penjual tisu telah terpapar

lingkungan anak jalanan yang penuh dengan berbagai macam karakter. Terdapat

dua subjek yang mengaku terpapar efek negatif berada di lingkungan jalanan yaitu

melakukan kegiatan merokok dan mengobat. walaupun secara teoritis mengetahui

akibat dari merokok dan mengobat, mereka tetap melakukannya dan baru berhenti

ketika melihat sendiri banyak rekannya yang sakit parah karena merokok dan

mengobat.

Lingkungan yang buruk bukan berarti mereka memiliki perilaku yang

buruk, kelima anak-anak yang kami wawancarai merupakan contoh anak-anak

yang memiliki kepribadian cukup baik, walaupun mereka mengakui bahwa

banyak pula dari teman mereka yang memiliki kepribadian dan pergaulan yang

buruk seperti merokok mengobat dan lain sebagainya, mereka telah berhenti

mengikuti dan menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh teman temannya itu

salah. Dari kelima subjek, mereka mengatakan bahwa bersekolah di Masjid

Terminal (MASTER) merupakan anugerah karena di MASTER mereka diajarkan

ilmu agama dan berbagai keterampilan yang positif sehingga memberikan mereka

kesempatan untuk maju dan berkembang. Selain itu lingkungan pertemanan di

MASTER juga relatif bagus, terdapat budaya saling memotivasi untuk maju,

keberhasilan-keberhasilan dari satu rekan biasanya memicu anak-anak lainnya

untuk semakin semangat berusaha untuk mencapai keberhasilan. Selain pergaulan,

secara spiritual anak-anak penjual tisu ini dapat dikategorikan memiliki spiritual

12
yang cukup baik dibuktikan dengan aktif melaksanakan sholat lima waktu dan

shalat jum’at, serta beberapa diantaranya sedang belajar menghafalkan al-Qur’an.

Faktor yang Melatarbelakangi Mereka Berjualan dan Solusinya

Faktor paling utama yang membuat anak-anak ini berjualan adalah kondisi

keuangan keluarga yang tidak mencukupi untuk membiayai kehidupan sehari-hari

seluruh anggota keluarga. Mereka pun berjulan untuk membeli barang-barang

kebutuhan sekunder mereka seperti baju dan keperluan-keperluan lain seperti

barang kebutuhan sekolah. Pada dasarnya berjualan di usia dini karena tuntutan

ekonomi apalagi, berjualan dari sepulang sekolah hingga malam hari merupakan

wujud tidak terpenuhinya hak-hak anak terutama hak untuk tumbuh dan

berkembang dengan layak, namun tentu kita tidak dapat memaksa untuk berhenti

berjualan, karena kenyataannya mereka membutuhkan uang untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Sehingga perlu dirumuskan solusi yang lebih tepat bagi mereka

ketimbang sekadar menyuruh mereka berhenti berjualan.

Pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan

kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja, menurut Undang-undang No. 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk pekerjaan tersebut antara lain :

1. Anak yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan

pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan

fisik,mental dan sosial.

2. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan.

Anak dapat melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum

pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang

dengan ketentuan :

13
a. Usia paling sedikit 14 tahun.

b. Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta

mendapat bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan.

c. Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja

3. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat.

Untuk mengembangkan bakat dan minat anak dengan baik, maka anak perlu

diberikan kesempatan untuk menyalurkan bakat dan minatnya. Untuk

menghindarkan terjadinya eksploitasi terhadap anak, pemerintah telah

mengesahkan kebijakan berupa Kepmenakertrans No. Kep. 115/Men/VII/2004

tentang Perlindungan bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk

Mengembangkan Bakat dan Minat.

Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi

persyaratan :

a. izin tertulis dari orang tua atau wali;

b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;

c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;

e. menjamin keselamatan dan kesehatan kerja;

f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Apa kriteria dari pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak?

14
Dalam Kepmenakertrans No. Kep. 115/Men/VII/2004 dijelaskan bahwa

pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat, harus memenuhi kriteria :

a. Pekerjaan tersebut bisa dikerjakan anak sejak usia dini

b. Pekerjaan tersebut diminati anak

c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak

d. Pekerjaan tersebut menambahkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak

Berdasarkan paparan diatas, anak diperbolehkan untuk bekerja selama

tidak melakukan pekerjaan yang membahayakan bagi mereka serta tidak lebih

dari 3 jam sehari dan 12 jam seminggu. Oleh karena itu, yang menjadi masalah

bagi anak-anak penjual tisu bukanlah perihal mereka berjualan melainkan waktu

yang banyak mereka habiskan dijalan dimana seharusnya waktu tersebut mereka

gunakan untuk belajar dan bermain. Mempertimbangkan hal tersebut, kami

menilai bahwa mengajarkan anak-anak penjual tisu untuk berjualan online

merupakan solusi yang tepat untuk membuat mereka berhenti menghabiskan

waktu di jalan. Solusi ini kami rumuskan dengan pertimbangan bahwa berjualan

online dapat dilakukan dari rumah, sehingga tidak akan banyak waktu lagi yang

mereka habiskan di jalanan.

Mekanisme berjualan online yang dimaksudkan disini yaitu dengan

menyediakan platform website serta instagram yang kontennya telah terlebih

dahulu dibuatkan oleh rekan mahasiswa. Dalam konten website dan instagram

tersebut akan dibuat laman latar belakang yang memuat informasi bahwa penjual

dari toko tersebut adalah anak-anak yang dulunya merupakan pedagang asongan

keliling sehingga waktu buka toko hanya berkisar dari pukul 12 siang hingga

pukul 3 sore, kemudian latar belakang disertai dengan informasi yang

15
menyebutkan bahwa ketika membeli barang dari platform tersebut mereka telah

membantu anak-anak yang dulunya pedagang asongan keliling untuk

mendapatkan hak tumbuh dan berkembang dengan layak. Setelah menyiapkan

platform website, rekan mahasiswa dapat mengajarkan kepada anak-anak penjual

tisu bagaimana cara menggunakan platform tersebut serta mendampingi mereka

hingga mahir mengelola toko onlinenya. Mengingat jumlah modal yang terbatas,

mereka akan menggunakan sistem dropship dalam penjualannnya dimana mereka

hanya perlu mengorder barangnya dari toko lain dan toko tersebut yang akan

secara langsung mengirim kepada konsumen.

Toko online merupakan solusi yang paling efektif serta mungkin

dilakukan, mengingat anak-anak penjual tisu ini merupakan generasi milenial

yang sangat mudah mengerti teknologi, selain itu di MASTER pula mereka telah

diajarkan mengenai penggunaan komputer, internet dan sebagainya, bahkan

beberapa dari mereka pernah ada yang mencoba mengunggah barang di platform

lazada. Sehingga membimbing mereka untuk mengelola toko online akan lebih

solutif ketimbang hanya menyuruh mereka untuk berhenti berjualan, karena

melalui toko online mereka akan tetap dapat memiliki penghasilan walaupun tidak

menghabiskan waktu banyak dijalan yang mengganggu waktu belajar dan bermain

mereka, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang selayaknya anak-anak

seusianya.

16
IV. KESIMPULAN

Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan kelima

narasumber, hasil penelitian kedalam 4 sub pembahasan yaitu, kehidupan

ekonomi, kehidupan sosial, latar belakang berjualan serta solusi agar mereka

tidak berjualan lagi.

Secara kehidupan ekonomi, mereka berjualan tisu di Wilayah

Universitas Indonesia (UI) karena kurangnya pendapatan untuk memenuhi

kebutuhan hidup dirinya dan keluarga yang mengakibatkan mereka ikut

membantu orang tuanya mencari penghasilan tambahan.

Menurut kehidupan sosial, mereka berada di lingkungan yang beraneka

ragam budayanya dan tak jarang mereka mendapat pengaruh negatif dari

pergaulannya. Namun, kembali ketujuan awal yaitu untuk membantu

keluarga, maka mereka berhenti untuk bertindak negatif dan fokus belajar

dan berjualan. Mereka memilih untuk berjualan di UI karena lingkungan

yang nyaman dan mahasiswa yang kebanyakan antusias membeli tisu,

walaupun tak jarang mereka terkena teguran dari pihak keamanan kampus.

Faktor paling utama yang membuat anak-anak ini berjualan adalah

kondisi keuangan keluarga yang tidak mencukupi untuk membiayai

kehidupan sehari-hari seluruh anggota keluarga. Pada prinsipnya anak tidak

boleh bekerja dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan tertentu anak

diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan regulasi tersebut dapat

disimpulkan bahwa anak diperbolehkan untuk bekerja selama tidak

melakukan pekerjaan yang membahayakan bagi mereka serta tidak lebih dari

17
3 jam sehari dan 12 jam seminggu. Oleh karena itu, yang menjadi masalah

bagi anak-anak penjual tisu bukanlah perihal mereka berjualan melainkan

waktu yang banyak mereka habiskan dijalan dimana seharusnya waktu

tersebut mereka gunakan untuk belajar dan bermain. Mempertimbangkan hal

tersebut, kami menilai bahwa mengajarkan anak-anak penjual tisu untuk

berjualan online.

Membimbing mereka untuk mengelola toko online akan lebih solutif

ketimbang hanya menyuruh mereka untuk berhenti berjualan, karena melalui

toko online mereka akan tetap dapat memiliki penghasilan walaupun tidak

menghabiskan waktu sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang

selayaknya anak-anak seusianya.

18
REFERENSI

A. Buku
Bajari, Atwar. Anak Jalanan, Dinamika Komunikasi dan Perilaku
Anak. Bandung: Humaniora, 2012
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika
Presindo, 1989
Haryadi, D., Tjandraningsih, I. Buruh Anak & Dinamika Industri
Kecil. Bandung: Yayasan Akatiga, 1995
Husein, Abdul. Hak-hak Anak Dalam Islam. Jakarta: Fikahayati
Aneska, 2002
Purwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2009
Supeno, Hadi. Mewaspadai Eksploitasi Anak, Komisi Perlindungan
Anak Indonesia. Jakarta, 2010
Smith, Rhona K.M. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:
PUSHAM UII, 2008
Suparlan, Parsudi. Kesetaraan dan Hak Budaya Komuniti dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia. Jakarta: UIPress, 2001

B. Perundang-undangan
Undang-undang dasar 1945
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

C. Internet
Astriani Rahman. Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan
Mempekerjakan Sebagai Buruh
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2007/Art
ikel_10502032.pdf. Diakses pada 18 April

19
Hertanto. Menguak Kehidupan Anak Jalanan.
https://nasional.kompas.com/read/2010/01/11/11230268/Menguak.Kehidu
pan.Anak.Jalanan.1.Ayah-ibunya.pun.Orang.Jalanan. 2010. Diakses pada
1 Mei
Juariyah, Siti., Basrowi. 2010. Jurnal Sosial dan Ekonomi. Volume 7
Nomor 1 (2010). https://media.neliti.com/media/publications/17203-ID-
analisis-kondisi-sosial-ekonomi-dan-tingkat-pendidikan-masyarakat-desa-
srigading.pdf. diakses pada 22 April
Susanti Ningsih, “Potret Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang
Asongan di FISIP UNHAS”.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1668/POTRET%
20KEHIDUPAN%20SOSIAL-SUSANTI%20NIGSIH-SOSIOLOGI-
FISIP.pdf. 2012. Diakses pada 25 April
Yohanes Dimas. ”Anak Jalanan dan Ruang Aktivitas Bekerjanya”
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20289026-S874-Anak%20jalanan.pdf.
2011. Diakses pada 22 April
Susanti Ningsih, “Potret Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang
Asongan di FISIP UNHAS”.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1668/POTRET%
20KEHIDUPAN%20SOSIAL-SUSANTI%20NIGSIH-SOSIOLOGI-
FISIP.pdf. 2012. Diakses pada 25 April
Tedy Sudrajat. “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Sebagai
Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Sistem Hukum Keluarga di
Indonesia”. No. 54 (2011): 111-132.
Juariyah, Siti., Basrowi. 2010. Jurnal Sosial dan Ekonomi. Volume 7
Nomor 1 (2010). https://media.neliti.com/media/publications/17203-ID-
analisis-kondisi-sosial-ekonomi-dan-tingkat-pendidikan-masyarakat-desa-
srigading.pdf. diakses pada 22 April
Hertanto. Menguak Kehidupan Anak Jalanan.
https://nasional.kompas.com/read/2010/01/11/11230268/Menguak.Kehidu
pan.Anak.Jalanan.1.Ayah-ibunya.pun.Orang.Jalanan. 2010. Diakses pada
1 Mei

20

Você também pode gostar