Você está na página 1de 2

Asal Usul

Kuda renggong adalah suatu kesenian khas masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 1-4 ekor
kuda yang dapat menari mengikuti irama musik. Di atas kuda-kuda tersebut biasanya duduk seorang anak
yang baru saja dikhitan atau seorang tokoh masyarakat. Kata renggong adalah metatesis dari ronggeng
yang artinya gerakan tari berirama dengan ayunan (langkah kaki) yang diikuti oleh gerakan kepala dan
leher.

Kesenian kuda renggong atau yang dahulu biasa disebut kuda igel karena bisa ngigel (menari) ini konon
tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten
Sumedang. Waktu itu (sekitar tahun 1880-an) ada seorang anak laki-laki bernama Sipan yang mempunyai
kebiasaan mengamati tingkah laku kuda-kuda miliknya yang bernama si Cengek dan si Dengkek. Dari
pengamatannya itu, ia menyimpulkan bahwa kuda juga dapat dilatih untuk mengikuti gerakan-gerakan
yang diinginkan oleh manusia.

Selanjutnya, ia pun mulai melatih si Cengek dan si Dengkek untuk melakukan gerakan-gerakan seperti: lari
melintang (adean), gerak lari ke pinggir seperti ayam yang sedang birahi (beger), gerak langkah pendek
namun cepat (torolong), melangkah cepat (derep atau jogrog), gerakan kaki seperti setengah berlari
(anjing minggat), dan gerak kaki depan cepat dan serempak (congklang) seperti gerakan yang biasa
dilakukan oleh kuda pacu. Cara yang digunakan untuk melatih kuda agar mau melakukan gerakan-gerakan
tersebut adalah dengan memegang tali kendali kuda dan mencambuknya dari belakang agar mengikuti
irama musik yang diperdengarkan. Latihan dilakukan selama tiga bulan berturut-turut hingga kuda menjadi
terbiasa dan setiap mendengar musik pengiring ia akan menari dengan sendirinya.

Melihat keberhasilan Sipan dalam melatih kuda-kudanya ‘ngarenggong’ membuat Pangeran Aria Surya
Atmadja yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Sumedang menjadi tertarik dan memerintahkannya untuk
melatih kuda-kudanya yang didatangkan langsung dari Pulau Sumbawa. Dan, dari melatih kuda-kuda milik
Pangeran Aria Surya Atmadja inilah akhirnya Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian kuda renggong.

Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian kuda renggong bukan hanya menyebar ke daerah-daerah lain
di Kabupaten Sumedang, melainkan juga ke kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten
Bandung dan Purwakarta. Selain menyebar ke beberapa daerah, kesenian ini juga mengalami
perkembangan, baik dalam kualitas permainannya maupun waditra dan lagu-lagu yang dimainkan. Di
Kabupaten Sumedang kualitas permainan kuda renggong diukur menurut standar Persatuan Kuda
Sumedang (PKS) yang dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: (1) kuda kualitas baik dan pernah menjadi juara
dalam festival kuda renggong tingkat kabupaten; (2) kualitas kuda tingkat pertengahan (kualitas
pasaran/pasaran mentas); dan (3) kuda renggong yang masih dalam tahap belajar (kuda baru).

Pemain
Para pemain kuda renggong umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung dalam sebuah kelompok
yang terdiri atas: seorang pemimpin kelompok (pelatuk), beberapa orang pemain waditra, dan satu atau
dua orang pemain silat. Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik
dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain
karena dalam sebuah pertunjukan kuda renggong yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid
agar semua gerak tari yang dimainkan dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para pemain
waditra.

Tempat dan Peralatan Permainan


Kesenian kuda renggong ini umumnya ditampilkan pada acara: khitanan, menyambut tamu agung,
pelantikan kepala desa, perayaan hari kemerdekaan dan lain sebagainya. Biasanya dilakukan pada siang
hari dan berkeliling kampung. Durasi sebuah pementasan kuda renggong biasanya memakan waktu cukup
lama, bergantung dari luas atau tidaknya kampung yang akan dikelilingi.

Peralatan yang digunakan dalam permainan kuda renggong adalah: (1) satu sampai empat ekor kuda yang
sudah terlatih beserta perlengkapannya yang terdiri dari: sela (tempat atau alat untuk duduk penunggang
kuda), seser (pembalut kepala kuda), sanggawedi (pijakan kaki bagi penunggang), apis buntut (tali
penahan sela yang dihubungkan dengan pangkal ekor kuda), eles (tali kemudi kuda), kadali (besi yang
dipasang pada mulut kuda untuk mengikatkan tali kendali), ebeg (hiasan sela), sebrak (lapisan di bawah
sela agar punggung kuda tidak luka/lecet), dan andong (sabuk yang diikatkan ke bagian perut kuda
sebagai penguat sela agar tidak mudah lepas dari punggung kuda); (2) seperangkat waditra yang terdiri
dari: dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang anak), sebuah terompet, dua ancak ketuk
(bonang), sebuah bajidor, dua buah gong (besar dan kecil), satu set kecrek, genjring, dan terbang atau
dulang; dan (3) busana pemain kuda renggong yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu busana juru
pengrawit (wiyaga) dan busana pemain silat (pengatik). Busana juru pengrawit terdiri dari: baju seragam
biru lengan panjang dan berstrip putih, celana panjang, tutup kepala iket loher, dan sandal. Sedangkan
busana pemain silat terdiri dari: celana pangsi berwarna hitam, tutup kepala iket loher, dan ikat pinggang
kain berwarna merah.

Pertunjukan Kuda Renggong


Pertunjukan kuda renggong diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh panitia hajat. Setelah
itu, barulah anak yang telah dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki
kuda renggong. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu Kembang Gadung dan
Kembang Beureum yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan.

Setelah anak yang akan diarak siap, maka sang pemimpin (pelatuk) akan mulai memberikan aba-aba agar
pemain silat (pengatik) dan sang kuda mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan
bersamaan. Tarian yang biasa dimainkan oleh pesilat bersama kuda renggong tersebut adalah tarian
“perkelahian” yang terjadi diantara mereka, yang diantaranya adalah: gerakan kuda berdiri di atas kedua
kaki belakangnya. Sementara kaki depan bergerak seperti mencakar pesilat, gerakan-gerakan yang
seolah-olah menginjak perut pesilat, gerakan menginjak kepala pesilat menggunakan kaki depan, dan
gerakan-gerakan pesilat saat beraksi di sekitar punggung kuda. Sebagai catatan, gerakan-gerakan yang
dilakukan oleh sang kuda tidak begitu tinggi karena di atas punggungnya terdapat anak yang dikhitan atau
pejabat yang menungganginya.

Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan oleh para wiyaga untuk mengiringi tarian biasanya diambil dari
kesenian Jaipong, Ketuk Tilu, dan Joged seperti: Paris Wado, Rayak-rayak, Botol Kecap, Keringan,
Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung, Kangsring, Buah
Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut, Sireum
Beureum, Manuk Dadali, Adem Ayem, Daun Puspa, Solempang Koneng, Reumis Janari, Daun Pulus, dan
lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang
Dombret, Warudoyong dan lain sebagainya).

Pertunjukan kuda renggong ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali
lagi ke tempat semula. Setelah itu, diadakan acara saweran yang didahului oleh pembacaan doa yang
dipimpin oleh juru sawer (ahli nyawer) dengan menggunakan sesajen yang berupa: nasi tumpeng (congot),
panggang daging, panggang ayam (bakakak), sebuah tempurung kelapa yang berisi beras satu liter, irisan
kunyit, dan kembang gula. Dan, setelah acara saweran yang dilakukan dengan menaburkan uang logam
dan beras putih, maka pertunjukan pun berakhir.

Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian
tradisional kuda renggong yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Cikurubuk, Kabupaten
Sumedang. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam kuda renggong tidak hanya mengandung
nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama,
kekompakan, ketertiban, dam ketekunan. Nilai kerjasama terlihat dari adanya kebersamaan dalam
melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu
pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan
gerakan-gerakan tarian.

Você também pode gostar