Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
organisme dalam faring. Menetapnya organisme membutuhkan pengobatan yang
lama dengan eritromisin. Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang
mengalami obstruksi jalan nafas membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung
dan paralisis otot dapat terjadi dan proses peradangan dapat menyebar ke telinga,
menyebabkan otitis media, atau ke paru –paru, menyebabkan pneumonia.
2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
2.1 Embriologi
2.2 Anatomi
3
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral : M. konstriktor faring superior
Anterior : M. palatoglosus
Posterior : M. palatofaringeus
Superior : Palatum mole
Inferior : Tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid).5
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
4
posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,
tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
5
Gambar 2.3 Vaskularisasi Tonsil
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
6
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-
0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan
T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.5
7
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4 dimana
pembesaran:
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih.
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
8
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
BAB III
9
TONSILITIS DIFTERI
3.1 Definisi
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
3.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun
(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi
insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang
sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang
belum mendapatkan imunisasi.3 Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun
pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
3.3 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil
gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang
mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme lain(Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
10
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
3.4 Patofisiologi
11
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan
sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel
akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons
terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah
darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang,
eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah
toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14
hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita
tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
12
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubuler akut pada ginjal.
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,
nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan
Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu
ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
leher menyerupai sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
13
Gambar 3.2 Pseudomembran yang mudah berdarah
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.
3.6 Diagnosis
14
cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas.
3.7 Penatalaksanaan
2. Medikamentosa
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.
a. Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit
yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
15
2 Khusus
- Anti Diphteria Serum(ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena
pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka
harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi
> 10 mm.Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 :
10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila
dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita,
dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2
jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
- Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi
toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi
bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari
- Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
16
3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau
eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
4. Pembedahan
- Tonsilektomi
- Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery (
AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas
atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal
b) abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat
17
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase.
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Asma
tonus otot yang lemah
sinusitis
albuminuria
hipertensi
rinitis alergika
demam yang tidak diketahui penyebabnya
3.8 Komplikasi
18
DAFTAR PUSTAKA
4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United
Laryngoscope 2002;112:6-10
19