Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Menurut Cribbin (1985), menyatakan bahwa konflik bagaikan virus. Dia tidak bias
dibasmi sama sekali, tetapi jika tidak dikendalikan, bisa menjadi epidemic. Oleh karena itu,
strategi yang etrbaik adalah manajemen yang efektif.
Sujak (1990), memandang konflik menjadi dua yaitu cara lama dan cara baru.
1. Memenurut cara pandang lama, konflik harus dihilangkan karena dapat mengganggu
organanisasi dan merusak prestasi; sedagkkan dalam cara baru konflik sesungguhnya
meningkatkan prestasi organisasi dan karena itu harus dikelola dengan baik.
2. Dalam cara pandang lama, organisasi atau kelompok atau komunitas yang baik seharusnya
tidak ada konflik; sedangkan dalam pandangan baru bahwa dalam organisasim yang baik konflik
yang memuncak dapat mendorong anggotanya untuk memacu prestasi.
3. Dalam padangan lama, konflik harus dibasmi atau diealakkan; sedangkan dalam padangan
baru konflik merupakan bagian integrasi dari kehidupan organisasi, kelompok, dan komunitas
tertentu.
4. Menurut pandangan lama, konflik itu jelek karena dapat menjurus pada tingkat stress yang
lebih tinggi, memunculkan kejahatan, dan sabotase berbagai program kegiatan; sedangkan
pandangan baru mengatakan bahwa konflik itu baik karena dapat merangsang orang untuk
memecahkan persoalan dan menyebabkan timbulnya konflik.
Hampir kebanyakan orang mempersepsikan bahwa konflik itu sebagai fenomena yang
membahayakan. Padahal, kondisi yang sebenarnya tidaklah demikian.
Menurut Ralf Dahrendorf (1994) menegaskan bahawa masyarakat pada dasarnya terdiri
dari 2 muka, muka kosensus dan muka konflik. Antara keduanya selalu melekat pada kehidupan
masyarakat karena konflik senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat, Dahrendorf memandang
konflik sebagai fenomena social yang harus deperhatikan. Selain itu menurutnya teori konflik
berpusat pada “wewenang” dan “posisi” yang keduanya merupakan faktor social yang dapat
ditegaskan sebagai berikut: (1) distribusi wewenang dan kekuasaan yang tidak merata dapat
menimbulkan konflik social.(2) kekuasaan dan wewenang selalu menempatkan individu dalam
struktur social pada posisi atas, atau sebaliknya berada pada posisi bawah. (3) kekuasaan dan
wewenang akan melahirkan penguasa dan kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai yang
rentan akan konflik.
Sementara itu Lewis A. Coser memandang konflik sebagai sesuatu yang bersifat
fungsional. Konflik bisa bersifat jika memiliki nilai-nilai fungsional dalam hal:
1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2. Menjadi jembatan aliansi dengan kelompok lain
3. Mengaktifkan individuyang semula terisolasi dengan kelompoknya
4. Sebagai sarana komunikasi untuk mengetahui pihak lawan atau yang terlibat konflik
Dalam kaitan dengan fungsi Robeth K. Merton pernah membedakan menjadi dua yakni
fungsi manifest dan fungsi laten.
Fungsi manifest adalah fungsi yang direncanakan, ditampakkan atau ditunjukkan secara tegas.
Sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak diperhitungkannya dalam proses pencapaian
tujuan kehidupan sosial.
Terhadap dua fungsi tadi, Metton mewanti-wanti dalam beberapa hal:
1. Fungsi-sungsi yang dinyatakan secara manifest, sering mengalami disfungsi, karena
kurangnya perhatian terhadap fungsi laten yang berada di balik itu.
2. Tajamnya perbedaan antara fungsi manifest dan fungsi laten, akan berpengaruh
terhadap keseimbangan kehidupan masyarakat.
3. Semakin jelas dalam mendeteksi fungsi manives dan fungsi laten, maka semakin
jelas dalam mendeteksi tindakan manusia dalam masyarakat.
5. Manajemen Konflik
Hodge dan Anthony memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian
konflik.
Pertama, setiap orang menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat
diredan atau dipadamkan.
Kedua, penyelesaian konflik denga menggunakan metode penghalusan. Pihak-pihak yang
berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa cinta untuk memecahkan dan
memulihkan hubungan yang bersifat perdamaian.
Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara demokratis, artinya memberikan peluang kepada
masing-masing pihak uuntuk mengemukakakan pendapat dan memberikan keyakinan akan
kebenaran pendapatnya sehigga dapat diterima oleh kedua pihak.
Strategi penyelesaian konflik hendaknya perlu dipertimbangkan dengan matang. Cribbin
(1985) mengelaborasi terhadap tiga hal yaitu mulai yang paling tidak efektif, yang efektif dan
palig efektif.
Strategi yang dipandangnya yang paling tidak efektif meliputi : (1) paksaan, dengan
paksaan mungki konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun dapat menimbulkan reaksi
negative. (2) penundaan, yang mengakibatkan penyelesaiaan konflik menjadi berlarut-larut. (3)
bujukan, bisa berakibat secara psikologis, dimana orangg akan kebal dengan bujukann sehingga
perselisihan akan semakin tajam. (4) Koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk
mengendalikan konflik. Stategi ini memaksakan orang uuntuk memihak, yang pada gilirannya
bisa menambah kadar konflik menjadi sebuah perang. (5) tawar-menawar distribusi, masing-
masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang menjadi haknya.
Strategi yang dipandang meliputi: (1) koeksistensi damai, yaitu penegndalian konflik
dengan tidak mengganggu dan saling merugikan. (2) mediasi atau pengantaraan, yaitu menunjuk
pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak.
Strategi yang dipandang paling efektif antara lain meliputi : (1) tujuan sekutu besar, yaitu
melibatkan pihak-pihak yang berkonflik kearah tujuan yang lebih besar dan kompleks. (2) tawar-
mmenawar integrative, yaitu menggiring pihak- pihak yang berkonflik untuk berkonsentrasi pada
kepentingan yang luas bukan kepentingan yang sempit.
Nasikun mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara yaitu konsiliasi, mediasi,
dan perwasitan atau arbitrasi.
Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu
yang diharapkan berfungsi secara efektif memenuhi empat hal : (1) harus merupakan lembaga
yang bersifat otoom dengan wewenang untuk mengambil keputusan. (2) lembaga harus bersifat
monopolistis. (3) lembaga harus mengikat kepentingan pihak-pihak yang berkonflik. (4) lembaga
tersebut harus bersifat demokratis.
Selain cara diatas, terdapat tiga macam pengendalian konflik diantaranya :
a. Konsiliasi
Merupakan bentuk pengendalian konflik yang utama. Pengendalian ini terwujud melalui
lembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola diskusi dan pengambilan keputusan. Pada
umumnya, bentuk konsiliasi terjadi pada masyarakat politik.
Terdapat empat hal yang harus dipenuhi dalam konsiliasi diantaranya:
1. Lembaga harus bersifat otonom
2. Kebudayaan lembaga harus bersifat monopolitis
3. Peran lembaga harus mengikat kepentingan semua kelompok
4. Peran lembaga harus bersifat demokratis
b. Mediasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara membuat consensus di antara
dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai
mediator dalam penyaelesaian konflik. Pengendalian ini sangat efektif dan mampu menjadi
pengendalian konklik yang selalu digunakan oleh masyarakat. Misalnya, pada konflik sara di
Poso dimana pemerintah menjadi mediator dalam penyelesaian konflik tersebut.
c. Arbitrasi
Merupakan pengendalian konflik yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang
bertentangan sepakat untuk menerima atau terpaksa hadirnya pihak ketiga yang memberikan
keputusan untuk menyelesaikan konflik.
Ketiga jenis pengendalian konflik diatas memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau
menghindari kemungkinan terjadinya konflik berkelanjutan dalam suatu masyarakat.
konflik poso
Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan
politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara
struktural horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di gantikan oleh oleh
B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang demokrasi berkeadilan. Pada
waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di
berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan
adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam dan kristen.
Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda agama sehingga
belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan.Impliksasi – implikasi kepentingan politik
elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizonttal
sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat.Bahkan, terkesan pihak keamanan porli
lamban menangani konflik tersebut.Sehigga konflik terjadi belarut – larut yang memakan korban
jiwa dan harta. Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali.Peristiwa pertama
terjadi akhir 1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat
kemudian di ikuti oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan
tetapi berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun
pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa ini
yaitu : Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini adalah
termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.
Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat kristiani yang
bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1
Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah
pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu dapat dengan
mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada kerusuha. Oleh
karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari elite
politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.
PENYELESAIAN
1.Penyebab/akar dari konflik sosial yang terjadi di poso
Wapres menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya rasa
ketidak adilan.awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba
terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada masa
sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan.contohnya, jika
Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakilnya akan dicarikan dari Islam. Begitu pula
sebaliknya.Dengan demikian terjadi harmonisasi, namun dengan demokrasi tiba-tiba the winner
take all," kata Wapres.Karena pemenang mengambil alih semua kekuasaan, tambah Wapres maka
pihak yang kalah merasa telah terjadi ketidakadilan. Keluar dari pendapat Wapres, konflik social
yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara
dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain. Pendapat mengenai akar dari
masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal menyangkut soal suku dan agama.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial
itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :
a) Pembacokan Ahmad Yahya Roy tuntuh bisa lembah didalam masjid pesantren Darusalam pada
bulan ramadhan.
b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku-suku pendatang seperti bugis, jiwa, dan Gorontolo,
serta Kaili pada kerusuhan ke III.
c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten
terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat
dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan
keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol-simbol perjuangan ke agamaan
kristiani pada kerusuhan ke III.
e) Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada
kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.
f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli poso di Lombogia, Sayo, Kasntuvu.
g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.
h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum
meledak kerusuhan III.
Terlepas dari setuju tidak terhadap pendapat mengenai akar amsalah dari konflik poso,
secara sibernetik hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut : bahwa pada intinya budaya pada
masyarakat poso mempunyai fungsi untuk mempertahan kan pola atas nilai – nilai sintuvu
maroso yang selama ini menjadi anutan masyrakat poso itu sendiri. adanya Pembacokan Ahmad
yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan ramadhan
merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai nilai yang selama ini manjadi landasan hidup
bersama. Pada satu sisi muslim terusik ketentramannya dalam menjalankan ibadah di bulan
ramadhan kemudian menimbulkan reaksi balik untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap
pelaku pelanggaran nilai – nilai tersebut. Disisi lain bagi masyarakat kristiani hal ini
menimbulakn masalah baru mengingat aksi masa tidak di tujukan terhadap pelaju melainkan
pada pengrusakan hotel dan satrana maksiat serta operasi miras, yang di anggap telah
menggangu kehidmatan masyrakat kristiani merayakan natal, karena harapan mereka operasi-
operasi tersebut dilaksanakan setelah hari natal. Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik
sosial yang terjadi di poso adalah dalam hal ini adanya perkelahian antar pemuda yang di
akibatkan oleh minuman keras. Tidak di terapkan hukum secara adil maka ada kelompok yang
merasa tidak mendapat keadilan misalnya adanya keterpihakan, menginjak hak asasi manusia
dan lain-lain. Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di poso
terletak pada masalah politik.Bermula dari suksesi bupati, jabatan sekretaris wilayah daerah
kabupaten dan terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan – jabatan dalam pemerintahan.
Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan poso adalah justru terletak
karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan
kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili.Kecemburuan sosial penduduk asli
cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai masyarakat asli malah tertinggal dari kaum
pendatang.
2. Dampak dari konflik social yang terjadi di poso kerusuhan yang terjadi di poso menimbulkan
dampak sosial yang cukup besar jika di liat dari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut.
Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis bendampak besar bagi mereka yang
mengalami kerusuhan itu, Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat
dari keseluruhan, kerusuhan poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu
tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara
sepihak oleh kelompok merah, terhadap penduduk muslim kota poso dan minoritas penduduk
muslim di pedalaman kabupaten poso yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan
yang muncul di kota poso.