Você está na página 1de 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Kolitis

ulserativa merupakan penyakit radang non spesifik kolon yang umumnya

berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti. Sakit

abdomen, diare dan perdarahan rektum merupakan tanda dan gejala yang penting.

Frekuensi penyakit paling banyak antara usia 20 -40 tahun, dan menyerang ke dua

jenis kelamin sama banyak. Insiden kolitis ulserativa adalah sekitar 1 per 10.000

orang dewasa kulit putih per tahun.

Tugas utama kolon ialah untuk menyimpan sisa makanan yang nantinya harus

dikeluarkan, absorpsi air, elektrolit dan asam empedu. Absorpsi terhadap air dan

elektrolit terutama dilakukan di kolon sebelah kanan, yaitu di coecum dan kolon

asenden, dan sebagian kecil dibagikan kolon lainnya. Begitu juga beberapa macam

obat-obat yang diberikan per rektal dapat dilakukan absorpsi, umumnya dalam

bentuk suppositoria. Kolon yang normal selama 24 jam dapat melakukan absorpsi

2,5 liter air, 403 mEq Na dan 462 mEq Cl. Sebaliknya kolon mengeluarkan sekresi

45 mEq K dan 259 mEq bikarbonat.

Peradangan kolon akut dapat disebabkan oleh sejumlah agen infeksi yaitu

virus, bakteri, atau parasit. Manisfestasi klinik infeksi ini adalah demam, sakit

kejang abdomen bagian bawah, dan diare yang dapat berdarah. Pada kasus yang

berat darah secara kasar dapat ditemukan dalam feses, dan gambaran klinik dan

1
sigmoidoskopi dapat menyerupai kolitis ulserativa akut. Sel-sel radang akut

terdapat pada infeksi Shigella atau Salmonella, kolitis amoeba akut, atau kolitis

ulserativa idiopatik; sel-sel ini tidak terdapat pada gastroenteritis virus atau diare

yang disebabkan oleh enterotoksin.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakit

serta asuhan keperawatan colitis?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan dan memahami

tentang konsep dasar penyakit serta asuhan keperawatan colitis

2. Tujuan khusus

a. Memahami definisi kolitis

b. Memahami penyebab kolitis

c. Memahami patofisiologis kolitis

d. Memahami pemeriksaan diagnostik kolitis

e. Memahami tanda dan gejala kolitis

f. Memahami penatalaksanaan untuk kolitis

g. Memahami konsep dasar asuhan keperawatan yang meliputi

pengkajian, diagnosa keperawatan yang biasanya timbul, intervensi atau

perencanaan keperawatan untuk kolitis

2
1.4 Manfaat Penelitian

Makalah ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam perkembangan ilmu

pengetahuan dan memberikan informasi tentang colitis

3
BAB II

ISI

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1. Definisi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai

kolon, tetapi terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat

parah. Kolitis ulseratif berawal di rektum dan meluas perkontinuitatum ke

proksimal, kadang-kadang mengenai seluruh kolon (Robbins, 644,2004).

Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya

biasanya mulai pada rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas

dan melibatkan sigmoid dan kolon desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang

timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi panjang), tetapi beberapa individu (30%-

40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471, 2000).

2.1.2. Etiologi Kolitis Ulseratif

Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena

autoimun, faktor genetik perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi.Pada

fenomena autoinum, serum, dan mukosa auto-antibodi akan melawan sel-sel epitel

usus yang mungkin terlibat. Pada studi individu dengan kolitis elseratif sering

ditemkan memiliki antibodi p-antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi, 1998).

Pada fenomena yang diperantarai respons imun, terdapat kelainan humoral

dan imunisasi yang diperantarai sel dan reaktivitas umum terhadap antigen bakteri

4
usus. Hilangnya toleransi terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa

utama dalam pathogenesis penyakit inflamasi usus (Khan, 2009).

Faktor kerentanan genetik (kromosom 12 dan 16) adalah factor yang

dikaitkan dengan kolitis ulseratif. Sejarah keluarga yang positif (diamati pada 1 dan

6 keluarga) berhubungan dengan resiko lebih tinggi untuk terjadinya penyakit

(Salby, 1998). Perokok pasif dikaitkan dengan kolitis ulseratif sedangkan perokok

justru lebih rendah untuk terjadinya kolitis ulseratif. Kondisi ini merupakan

fenomena terbalik dibandingkan dengan enteritis regional (Chron’s disease)

(Thoomas, 2000).

Faktor konsumsi makanan, khususnya yang terbuat dari susu dapat

meningkatkan respon penyakit (Jayanthi, 1991). Pascaapendektomi mempunyai

asosiasi negatif dengan kolitis ulseratif (Le, 2008). Infeksi tertentu telah terlibat

dalam peyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi mikrobakteri atipikal

(Tremaini, 2000).

2.1.3. Patofisiologi Kolitis Ulseratif

Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan

pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel Goblet. Dalam kasus yang berat,

submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot

dinding kolon juga terpengaruh.

Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon

toksik, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usur

besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan

5
pembentukan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan

berat juga dihubungkan dengan risiko peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa

karsinoma ini situ atau dispalsia. Secara antomis sebagai besar kasus melibatkan

rectum; beberapa pasien juga mengalami mengembangkan ileitis terminal

disebabkan oleh katup oleocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30

cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh.

Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu

meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. Akumulasi sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon

yang mengalami peradangan. Pada pasien dengan kolitis ulseratif, ini

adalah sel T sitotoksik ke epitel kolon. Perubahan ini disertai dengan

peningkatan populasi sel B dan sel plasma, dengan peningkatan

produksi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin E (IgE).

2. Biopsi sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat

menunjukkan peningkatan secara signifikan tingkat platelet-

activating factor (PAF). Pelepasan PAF dirangsang oleh

leukotrienes, endotoksin atau faktor lain yang mungkin bertanggung

jawab atas peradangan mukosa, namun proses ini tidak jelas.

3. Antibody antikolonik telah terdeteksi pada pasien dengan

ulseratif colitis.

Respons awal kolitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada terbentuknya

jaringan parut dan pembentukan ulkus disertai adanya perdarahan. Lesi berlanjut,

yang terjadi secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses

6
penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Pada

kondisi ini, penipisan dinding usus atau ketebalan normal, tetapi dengan adanya

respons inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi lemak dan hipertrofi dari

lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usus menebal sehingga memberikan

manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi pemendakan dari usus.

Perubahan peradangan secara mikroskopis jaringan yang mengalami ulkus

segera ditutupi oleh jaringan granulasi yang selanjutnya akan merusak mukosa dan

akan terbentuk jaringan polypoidal atau yang dikenal sebagai polip atau peradangan

pseudopolip.

2.1.4. Pemeriksaan Diagnostik

Pengkajian pemeriksaan diagnostik terdiri atas pemeriksaan

laboratorium, radiografik, dan endoskopik.

1. Pemeriksaan laboratorium (Wu, 2009).

Temuan pada pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi

kolitis ulseratif mungkin endoskopik.

a. Anemia (yaitu hemoglobin <14 g/dl pada pria dan <12 g/dl

pada wanita).

b. Peningkatan tingkat sedimentasi (variable referensi rentang,

biasanya 0-33 mm/jam) dan peningkatan C-reactive protein (yaitu

>100 mg/L). kedua temuan ini berkorelasi dengan aktivitas

penyakit.

c. Trombositosis (yaitu platelet >350.000 / L).

7
d. Hipoalbuminemia (yaitu albumin <3,5 g/dl).

e. Hipokalemia (yaitu kalium <3,5 mEq/L).

f. Hipomagnesemia (yaitu magnesium <1,5 mg/dL).

g. Peningkatan alkalin fosfatase : lebih dari 125 U/L

menunjukkan kolangitis sclerosing primer (biasanya >3 kali batas

atas dari kisaran referensi).

h. Pada diagnosis kolitis ulseratif kronis, pemeriksaan fases

yang cermat dilakukan untuk membedakannya dengan disentri yang

disebabkan oleh organism usus umum, khususnya Entamoeba

histolytica, Fases terhadap darah.

2. Pemeriksaan radiografik

a. Foto polos abdomen

Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam

kasus yang parah bisa didapatkan megakolon toksik. Selain itu,

bukti perforasi, obstruksi, atau ileusjuga dapat diamati (Khan,

2009).

b. Studi kontras barium

Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus

ringan. Dengan barium enema dapat dilihat adanya megakolon

toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema

barium akan menunjukkan iregularitas mukosal, pemendekan kolon,

dan dilatasi lengkap usus (Carucci, 2002).

8
c. CT Scan

Secara umum CT scan menunjukkan peran yang kecil dalam

diagnosis kolitis ulseratif. CT scan dapat menunjukkan penebalan

dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis sklerosis

(Carucci, 2002).

3. Prosedur endoskopi

Endoskopi dapat menunjukkan mukosa yang rapuh, mukosa

terinflamasi dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi

fleksibel dapat memberikan diagnosis kolitis. Tujuan lain dari pemeriksaan

ini adalah untuk mendokumentasi kan sejauh mana progresivitas penyakit,

untuk memantau aktivitas penyakit, dan sebagai surveilans untuk displasia

atau kanker. Namun, berhati-hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsi

pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi

atau lainnya komplikasi (Rajwal, 2004).

2.1.5. Manifestasi Klinik

Gejala yang pertama kali diajukan yaitu keluarnya keluarnya darah segar per

rektum terutama setelah defekasi dan atau adanya diare. Pada akhirnya terjadi diare

bercampur darah. Pada sebagian penderita dapat timbul secara akut dari permulaan

dengan disertai diare berdarah dan penderita terlihat sakit berat untuk beberapa hari

atau minggu. Gejala-gejala akut ini timbul bilamana terjadi perdarahan dari kolon

yang difus. Tak jarang penyakit ini timbul sejak penderita sedang hamil dan

9
menyebabkan keadaan jadi berat. Bilamana penyakit ini hanya dibagian kolon

sigmoid (prokto sigmoiditis), maka terjadi perdarahan kronis sehingga timbul

anemi.

Tapi bila terjadi perluasan dari penyakit dan merupakan stadium akut maka

terjadi panas, takhikardi, Hb menurun (anemia normositik), berat badan menurun,

badan merasa lemah dan lesu, otot-otot lemah. Serangan yang berat dapat disertai

dengan diare yang dapat lebih dari 20 kali sehari. Tinja cair dan bercampur dengan

darah, mukopurulen. Mungkin disertai dengan nausea dan vomitus. Disamping itu

akan terjadi gangguan elektrolit.

Ada rasa nyeri di perut yang kadang-kadang ada kolik. Pada saat diare juga akan

kehilangan protein, dapat menyebabkan hipoproteinemia dan terjadi edema. Pada

pemeriksaan fisik pada penderita yang berat terlihat lemah, anemia, tanda-tanda

dehidrasi positif. Dinding abdomen yang lembek, nyeri tekan. Pada penderita yang

mengalami dilatasi dari kolon, maka terlihat abdomen yang mengembung,

meteoristik, timpanitik.

2.1.6. Penatalaksanaan

1. Terapi farmakologi

Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk

mencegah komplikasi, dengan pertimbangan terapi berikut ini.

a. Tumor necrosis factor (TNF) inhibitors.

Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor

permukaan sel dan mengarahkan aktivitas biologis.

10
b. Immunomodulators

Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem kekebalan tubuh.

c. Antibiotik

Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten

dari beberapa uji coba terkontrol untuk pengobatan kolitis ulseratif aktif.

Akan tetapi, biasanya diberikan pada dasar empiris pada pasien dengan

kolitis yang parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi yang

mengancam jiwa.

d. Kortikosteroid

Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi

remisi. Agen ini tidak memiliki manfaat dalam mencegah remisi;

penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping.

2. Terapi bedah

Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk

mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai

dengan kondisi klinik individu. Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif,

meliputi : Subtotal Colectomy with Ileostomy and Hartmann’s Pouch, Total

Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with Ileal Rectal

Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total

Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis, Anal Transition Zone

Preservation, dan Doverting Ileostomy.

11
Pertimbangan untuk total kolektomi adalah sebagai berikut (Becker, 1999).

a. Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.

b. Terdapat bukti karsinoma atau dysplasia.

c. Pendarahan parah.

d. Kolitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.

e. Megakolon toksik.

f. Perforasi.

g. Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.

h. Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.

i. Gagal tumbuh pada anak-anak.

2.2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kolitis Ulseratif

2.1.1. Pengkajian

Pengakajian kolitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan evaluasi diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim

didapatkan adalah nyeri abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan

rektal.

Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran

periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin

sebagian pasien melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanya

disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan fases cair 10-20 kali sehari. Pasien

juga mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.

12
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena

kolitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang

paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi kolitis

ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari pasien, didapat keluhan lainnya yang

menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan

lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan kolitis yang paras dapat

mengalami komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk pendarahan parah,

mengkolon toksik, atau perforasi usus.

Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar

yang menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti

genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, dan merokok perlu

didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan

tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.

Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri

abdomen dan rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.

Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana,

durasi, dan tingkat keparahan penyakit. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai

dengan menifestasi klinik yang muncul. Pada kolitis ulseratif berat survey umum

pasien terlihat lemah dan kesakitan. TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri

dan diare. Suhu badan pasien akan naik 38,5ºC dan terjadi takikardia. Pengkajian

berat badan yang disesuaikan dengan tinggi badan dapat menentukan status nutrisi.

Pada pemeriksaan fisik focus akan didapatkan :

13
B1 : takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi

asidosis dalam kasus dehidrasi parah.

B2 : takikardia dapat mewakili anemia atau hipovolemia. Turgor kulit >3 detik

menandakan gejala dehidrasi.

B3 : perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan perfusi ke

otak. Pasien dengan episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang

menyakitkan mata.

B4 : oliguria dan anuria pada dehidrasi berat.

B5 : Inpeksi : kram abdomen didapatkan. Perut didapatkan kembung. Pada

kondisi kronis, status nutrisi bisa didapatkan tanda-tanda kekurangan gizi, seperti

atrofi otot dan pasien terlihat kronis.

Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit

parah dan kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kanan

bawah. Sebuah massa dapat teraba menunjukkan obstruksi atau megakolon.

Pembesaran limpa mungkin menunjukkan hipertensi portal dari hepatitis autoimun

terkait atau kolongitis sklerosis.

Perkusi : nyeri ketuk dna timpani akibat adanya flatulen.

Auskultasi : bising usus bisa normal, hiperaktif atau hipoaktif. Nada

gemerincing bernada tinggi dapat ditmukan dalam kasus-kasus obstruksi.

B6 : kelemahan fisik umum sekunder dari keletihan dan pemakaian energy

setelah nyeri dan diare. Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang

ditemukan pada penyakit inflamasi usus. Sendi besa, seperti lutut, pergelangan

kaki, pergelangan tangan, dan siku, yang paling sering terlibat, tetapi setiap sendi

14
dapat terlibat. Pada integument, kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia,

penurunan tugor kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada

permukaan ekstensor.

a. Aktivitas/istirahat

Gejala: kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur

semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan

aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.

b. Sirkulasi

Tanda: takikardia (respons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi,

dan nyeri)

Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K)

TD: Hipotensi, termasuk postural.

Kulit/membran mukosa: turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah

(dehidrasi/malnutrisi)

c. Integritas ego

Gejala: ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tak berdaya/tak ada

harapan.

Factor stress akut/kronis, missal hubungan dengan keluarga/pekerjaan,

Pengobatan yang mahal, faktor budaya peningkatan prevalensi pada

populasi yahudi

Tanda ; Menolak, perhatian menyempit, depresi

d. Eliminasi

15
Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau ber air,

episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering, tak

dapat di control ( sebanyak 20-30 kali defekasi/hari): perasaan

dorongan/kram (tenesmus): defekasi berdarah/pus/mukosa dengan atau

tanpa keluar feses

Tanda : menurunnya bising usus, tak ada peristaltic atau adanya peristaltic

yang dapat di lihat. Hemoroid, fisura anal (25%): fistula perianal ( lebih

sering pada crohn ). Oliguria

e. Makanan/ cairan

Gejala ; anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, tidak toleran

terhadap diet/sensitive missal buah segar sayur, produk susu, makanan

berlemak.

Tanda ; penuruna lemak subkutan/ massa otot. Membrane mokusa pucat;

luka, inflamasi rongga mulut.

f. Hygiene

Tanda ; ketidak mampuan mempertahanan perawatan diri, stomatitis

menunjukkan kekurangan vitamin. Bau badan

g. Nyeri/ kenyamanan

Gejala; nyeri/nyeri tean pada kuadran kiri bawah ( mungkin hilang dengan

defekasi), titik nyeri berpindah, nyeri tekan (artritis), nyeri mata, fotopobia

(iritis)

Tanda : nyeri tekan abdomen/distensi

h. Keamanan

16
Gejala ; riwayat lupus eritematosus, anemia hemolitik, vaskulitis. Arthritis

( memperburuk gejala dengen eksaserbasi penyakit usus ).

Peningkatan suhu 39,6-40 (eksaserbasi akut). Penglihatan kabur.

Alergi terhadap makanan/produk susu ( mengeluarkan histamine

kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi )

tanda: lesi kulit mungkin ada missal eritema nodusum ( meningkat, nyeri

tekan, kemerahan, dan bengkak) pada tangan , muka ; pioderma gangrenosa

( lesi tekan purulen/ lepuh dengan batas ke unguan) pada paha, kaki, dan

mata, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis iritis.

i. Seksualitas

Gejala : frequensi menurun/menghindari aktivitas seksual

j. Intraksi sosial

Gejala : masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi

ketidakmampuan aktif dalam social

k. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.

Pertimbangan

Rencana pemulangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 7,1 hari

: bantuan dengan program diet, program obat,

dukungan psikologi.

17
2.1.2. Diagnosa keperawatan

a. Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, respons pembedahan.

b. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari

muntah.

c. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh b.d. intake makanan yang kurang adekuat.

d. Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi doagnostik, rencana

pembedahan, dan rencana perawatan rumah.

e. Gangguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan

pascanyeri dan diare.

f. Risiko injuri b.d. pascaprosedur bedah kolektomi atau ilestomi.

g. Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. kemampuan batuk

menurun, nyeri pascabedah.

h. Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entree luka pascabedah.

i. Kecemasan b.d. prognosis penyakit, misinterprestasi informasi, rencana

pembedahan.

2.1.3. Intervensi dan Perencanaan Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, diare, kram abdomen,

sembelit, respons pembedahan.

Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pascabedah, nyeri berkurang atau

teradaptasi.

18
Kriteria evaluasi :

- Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi.

- Skala nyeri 0-1 (0-4).

- TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks.

Intervensi Rasional

Jelaskan dan bantu pasien dengan Pendekatan dengan menggunakan

tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi

nonfarmakologi dan noninvasif. lainnya telah menunjukkan

keefektifan dalam mengurangi

nyeri.

Lakukan manajemen nyeri Pendekatan PQRST dapat secara

keperawatan , meliputi: komprehensif menggali kondisi

Kaji nyeri dengan pendekatan nyeri pasien.

PQRST P: Penyebab nyeri dapat

diakibatkan oleh respons diare,

kram abdomen, dan sembelit atau

kerusakan jaringan pascabedah.

Q: kualitas nyeri seperti tumpul,

kram, dan mules.

R: Area nyeri pada abdomen

bawah kiri.

19
S: pasien mengalami skala nyeri 3

(0-4).

T: Nyeri bertambah bila tidak bisa

melakukan BAB.

Beri oksigen nasal apabila Pemberian oksigen dilakukan

skala nyeri ≥3 (0-4). untuk memenuhi kebutuhan

oksigen pada saat pasien

mengalami nyeri pascabedah yang

dapat mengganggu kondisi

hemodinamik.

Istirahatkan pasien pada saat Istirahat diperlukan untuk

nyeri muncul. Biasakan pasien menurunkan peristaltik usus.

untuk BAB di tempat tidur. Istirahat secara fisiologis dan

melakukan BAB di tempat tidur

akan menurunkan kebutuhan

oksigen yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan

metabolisme basal pada aktivitas

20
dan menurunkan keletihan

pascanyeri.

Atur posisi fisiologis. Pengaturan posisi semifowler

dapat membantu merelaksasi otot-

otot abdomen pascabedah

sehingga dapat menurunkan

stimulus nyeri dari luka

pascabedah.

Beri kompres hangat pada Memberikan respons vasodilatasi.

abdomen. Kompres ini hanya dilakukan pada

pasien tanpa pembedahan.

Ajarkan teknik Meningkatkan intake oksigen

relaksasi pernapasan dalam pada sehingga akan menurunkan nyeri

saat nyeri muncul. sekunder dari iskemia spina.

Ajarkan teknik distraksi pada Distraksi (pengalihan perhatian)

saat nyeri. dapat menurunkan stimulus

internal.

Lakukan manajemen sentuhan. Manajemen sentuhan pada saat

nyeri berupa sentuhan dukungan

21
psikologis dapat membantu

menurunkan nyeri.

Tingkatkan pengetahuan tentang: Pengetahuan yang akan dirasakan

sebab-sebab nyeri dan membantu mengurangi nyerinya

menghubungkan berapa lama dan dapat membantu

nyeri akan berlangsung. mengembangkan kepatuhan

pasien terhadap rencana

terapeutik.

Kolaborasi dengan tim medi Analgetik diberikan untuk

suntuk pemberian: membantu menghambat stimulus

Analgetik via intravena. nyeri ke pusat persepsi nyeri di

korteks selebri sehingga nyeri

dapat berkurang.

Penurunan respons diare dapat

menurunkan stimulus nyeri.

Antidiare.

b. Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

intake makanan yang kurang adekuat.

22
Tujuan: setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7x24 jam

pascabedah intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.

Kriteria evaluasi:

- Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.

- Keluhan mual dan muntah berkurang.

- Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan.

- Berat badan pada hari ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.

No Intervensi Rasional

1. Kaji dan berikan nutrisi Pemberian nutrisi pada pasien

sesuai tingkat toleransi dengan enteritis regional

individu. bervariasi sesuai dengan

kondisi klinik dan tingkat

toleransi individu.

2. Sajikan makanan dengan Membantu merangsang nafsu

cara yang menarik. makan. Hal ini dapat diberikan

bila toleransi oral tidak menjadi

masalah pada pasien.

3. Fasilitasi pasien Diet diberikan pada pasien

memperoleh diet rendah dengan gejala malabsorpsi

lemak. akibat hilangnya fungsi

penyerapan permukaan

mukosa, khususnya

23
penyerapan lemak.

Keterlibatan ileum terminal

dapat mengakibatkan

steatorrhea (buang air besar

dengan feses bercampur

lemak).

4. Fasilitasi pasien Suplemen serat dikatakan

memperoleh diet dengan bermanfaat bagi pasien dengan

kandungan serat tinggi. penyakit kolon karena fakta

bahwa serat diubah menjadi

rantai pendek asam lemak,

yang menyediakan bahan bakar

untuk penyembuhan mukosa

Fasilitasi pasien kolon.

5. memperoleh diet rendah Diet rendah serat biasanya

serat pada gejala obstruksi. diindikasikan untuk pasien

dengan gejala obstruksi.

Fasilitasi untuk pemberian Nutrisi parenteral total (TPN)

nutrisi parenteral total. digunakan bila gejala penyakit

6. usus inflamasi bertambah

berat. Dengan TPN, perawat

dapat mempertahankan catatan

akurat tentang intake dan

24
output cairan, serta berat badan

pasien setiap hari.

Pantau intake dan output, Berguna dalam mengukur

anjurkan untuk timbang keefektifan nutrisi dan

7. berat badan secara periodik dukungan cairan.

(sekali seminggu).

Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk

menurunkan risiko infeksi oral.

8. Ahli gizi harus terlibat dalam

Kolaborasi dengan ahli gizi penentuan komposisi dan jenis

mengenai jenis nutrisi yang makanan yang akan diberikan

9. akan digunakan pasien. sesuai dengan kebutuhan

individu.

c. Aktual/risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan

dengan diare, kehilangan cairan dari gastrointestinal, gangguan absorpsi

usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah.

Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit.

25
Kriteria:

- Pasien tidak mengeluh pusing TTV dalam batas normal, kesadaran

optimal.

- Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3 detik.

- Laboratorium: Nilai elekrolit normal, analisis gas darah normal.

Intervensi Rasional

Kaji terhadap adanya tanda kekurangan Sebagai parameter dasar untuk

volume cairan: kulit dan membran pemberian intervensi terapi cairan

mukosa kering, penurunan turgor kulit, atau pemenuhan hidrasi.

oliguria, kelelahan, penurunan suhu,

peningkatan hematokrit, peningkatan

berat jenis urine, dan hipotensi.

Intervensi pemenuhan cairan:

Identifikasi faktor penyebab, awitan Parameter dalam menentukan

(onset), spesifikasi usia dan adanya intervensi kedaruratan. Adanya

riwayat penyakit lain. riwayat keracunan dan usia anak atau

lanjut usia memberikan tingkat

keparahan dari kondisi

ketidakseimbangan cairan dan

Lakukan pemasangan IVFD. elektrolit.

26
Apabila kondisi diare dan muntah

berlanjut, maka lakukan pemasangan

IVFD. Pemberian cairan intravena

disesuaikan dengan derajat dehidrasi.

Pemberian 1-2 L cairan Ringer Laktat

dengan tetesan cepat sebagai

Dokumentasi dengan akurat tentang kompensasi awal hidrasi cairan

asupan dan haluaran cairan. diberikan untuk mencegah syok

hipovolemik.

Bantu pasien apabila muntah.

Sebagai evaluasi penting dari

intervensi hidrasi dan mencegah

terjadinya over hidrasi.

Aspirasi muntah dapat terjadi

terutama pada usia lanjut dengan

perubahan kesadaran. Perawat

mendekatkan tempat muntah dan

memberikan masase ringan pada

pundak untuk membantu

menurunkan respons nyeri dari

muntah.

27
Intervensi pada penurunan kadar

elektrolit: Untuk mendeteksi adanya kondisi

Evaluasi kadar elektrolit serum. hiponatremi dan hipokalemi

sekunder dari hilangnya elektrolit

dari plasma.

Dokumentasikan perubahan klinik Perubahan klinik seperti penurunan

dan laporkan dengan tim medis. urine output secara akut perlu

diberitahu kepada tim medis untuk

mendapatkan intervensi selanjutnya

dan menurunkan risiko terjadinya

asidosis metabolik.

Monitor khusus ketidakseimbangan

elektrolit pada lansia. Individu lansia dapat dengan cepat

mengalami dehidrasi dan menderita

kadar kalium rendah (hipokalemia)

sebagai akibat diare. Individu lansia

yang menggunakan digitalis harus

waspada terhadap cepatnya dehidrasi

dan hipokalemia pada diare. Individu

ini juga diintruksikan untuk

mengenali tanda-tanda hipokalemia

karena kadar kalium rendah dapat

28
memperberat kerja digitalis, yang

dapat menimbulkan toksisitas

digitalis.

Kolaborasi dengan tim medis terapi

farmakologis.

Antimikroba. Antimikroba diberikan sesuai dengan

pemeriksaan feses agar pemberian

antimkroba dapat rasional diberikan

dan mencegah terjadinya resistensi

obat.

Antidiare/antimotilitas.

Agen ini digunakan untuk

menurunkan frekuensi diare. Salah

satu obat yang lazim diberikan adalah

Loperamide (Imodium).

29
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon,

tetapi terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah.

Kolitis ulseratif berawal di rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal,

kadang-kadang mengenai seluruh kolon (Robbins, 644,2004).

Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya

biasanya mulai pada rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas

dan melibatkan sigmoid dan kolon desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang

timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi panjang), tetapi beberapa individu (30%-

40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471, 2000).

Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor

genetik perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi. Untuk memastikan

adanya penyakit kolitis ulseratif dapat dilakukan beberapa pemeriksaan diagnostik

seperti pemeriksaan laboratorium, prosedur endoskopi, pemeriksaan radiografik

diantaranya CT scan, foto polos abdomen, dan studi kontras barium. Sedangkan

untuk Asuhan Keperawatan kolitis ulseratif mencakup semua kebutuhan dasar

manusia.

30
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah

Brunner & Suddarth vol.2 edisi 8. Jakarta: EGC

Arif, muttaqin dan sari kumala. 2011. Gangguan gastrointestinal aplikasi askep medical

bedah. Jakarta : penerbit salemba medika

Dr. Sujono Hadi. Gastroenterologi.Bandung. 1981. Alumni.

Adji Dharma. Gangguan Saluran Pencernaan. Jakarta. 1981. EGC.

31

Você também pode gostar