Você está na página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis tulang belakang merupakan : Infeksi yang sifatnya kronis
berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik, yaitu
mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberculosis di tempat lain di tubuh. 90 – 95% disebabkan oleh
mikobacterium tuberkulosa tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin)
dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosis atipik.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
mycobacterium tuberkulosa. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien
TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara – negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari
pada kematian akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15 – 50 tahun).
Indonesia adalah kontributor penderita TV no. 3 di dunia setelah India dan
Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru TB per tahun. Sebagian
besar penderita berada alam usia produktif (15 – 54 tahun) dengan tingkat
sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Keterlibatan tulang belakang
akan memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit neurologis dan
deformitas yang permanen. Ironisnya tulang belakang adalah kolasi infeksi
TB tulang dan tersering, mencakup 50%, seluruh penderita TB osteoartikular.
Pertuiset, dkk mencatat pada sebuah penelitian, di Prancis tahun 1980 –
1994, spondilitis tuberkulosis merupakan 15% semua kasus TB
ekstrapulmoner dan merupakan 3-5 % semua kasus TB. Hidlago melaporkan
di AS tahun 1986 – 1990 TB osteoartikular merupakan 10 % dari kasus TB
ekstrapulmoner dan 1,8% dari semua kasus TB. Hidlago dan Pertuiset, dkk
melaporkan adanya predominasi pria terhadap wanita. Didapatkan insiden
lebih besar pada anak – anak terutama pada negara dengan prevalensi TB
yang tinggi. Anak – anak dibawah usia10 tahun cenderung mengalami
destruksi vertebra lebih ekstensif dan memiliki resiko terjadinya deformitas
tulang belakang yang lebih besar.
Penatalaksanaan pada tuberkolusis tulang belakang harus dilakukan
sesegara mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta
mencegah paraplegia, dengan cara :
- Pemberian obat antituberkulosis
- Dekompresi medulla spinalis
- Menghilangkan produk infeksi
- Stabilisasi vertebra dengan graft tulang

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu memahami Konsep Dasar Teori pada Tuberculosis
tulang
Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan tuberculosis
tulang
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
3. Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien
dengan tuberculosis tulang
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan
tuberculosis tulang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR TEORI


1. DEFENISI
 Tuberculosis Tulang adalah : Peradangan granulomatosa yang
bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium
tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder
dari fokus jauh di tempat lain dalam tubuh.
(Arif Muttaqin, 2008)
 Tuberkulosis Tulang adalah : Infeksi yang sifatnya kronis berupa
infeksi granulomatosis di srebabkan oleh
kuman spesifik yaitu Mycobacterium
tuberculosis yang mengenai tulang vertebra.
(Abdurrahman, 1994)

2. ETIOLOGI
Penyebab Tuberculosis tulang belakang adalah infeksi sekunder dari
tuberculosis di tempat lain dalam tubuh ; 90-95% di sebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe
bovine) dan 5-10% oleh mycobacterium tuberculosis atipik. (Arif Muttaqin,
2008).

3. PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pd umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.Infeksi
berawal dari bagian sentral,bagian depan atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemia dan eksudasi yg menyebabkan
osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan
pada korteks epifisis, diskus invertebralis dan vertebra sekitarnya.Kerusakan
pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya
kifosis. Kemudian eksudat yang terdiri atas serum, leukosit, tulang yang
fibrosis serta basil tuberculosa menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior.Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada
daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di belakang paravertebral dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan ke dalam faring yang
di kenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan mengisis tempat
trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis
biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul
paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti
muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinale pada bagian
medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoral pada trigonum skarpei
atau regio gluteal.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :

1) Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan tubuh klien
menurun bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya terjadi pada daerah
sentral vertebra.
2) Stadium Destruksi awal
Setelah stadium implantasi terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama
3-6 minggu.
3) Stadium Destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses yang
terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus invertebralis. Pada saat
ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior)
akibat kerusakan korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis
atau gibus.
4) Stadium Gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini di temukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberculosa. Vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis
yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada daerah ini.
5) Stadium Deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan.(Arif Muttaqin, 2008)

4. GEJALA KLINIS
- Tanda awal berupa bengkak
- Nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi
- Kulit di atas daerah yang terkena teraba panas
- Badan lemah, lesu
- Napsu makan berkurang
- Berat badan menurun
- Pucat, di sebabkan karena salah satu fungsi dari tulang adalah sebagai
produksi sel darah merah di mana apabila adanya invasi kuman
mycobacterium tuberculosis menyebabkan akan menghambat produksi
sel darah merah sehingga gejala yang muncul adalah pucat.
- Suhu tubuh meningkat/ febris
- Gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme/gibus

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Laboratorium
 Peningkatan LED dan mungkin di sertai dengan leukositosis
 Uji mantoux positif
 Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin di temukan mycrobacterium
 Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
 Pemeriksaan histopatologis dapt di temukan tuberkel
b) Radiologis
 Pemeriksaan foto thoraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
 Foto polos vertebra, di temukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi
korpus vertebra di sertai penyempitan diskus invertebralis yang berada
di korpus tsb dan mungkin dapat di temukan adanya massa abses
paravertebral.
 Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung, di daerah thorakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal
abses berbentuk fusiform
 Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga
timbul kifosis
 Pemeriksaan foto dengan zat kontras
 Pemeriksaan mielografi di lakukan bila terdapat gejala-gejala
penekanan sumsum tulang
 Pemeriksaan CT scan dan MRI membantu menunjukkan perluasan
infeksi pada jaringan paraspinal.

6. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberculosis tulang belakang harus di
lakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta
mencegah paraplegia. Pengobatannya terdiri atas:
a. Terapi konservatif berupa :
 Tirah baring
 Memperbaiki keadaan umum penderita
 Pemasangan brace pada penderita yang di operasi maupun yang tidak di
operasi
 Pemberian obat anti tuberkulosa, terdiri dari :
 INH dengan dosis oral 5 mg/kg BB per hari dengan dosis maksimal
300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg BB.
 Asam para-amino salisilat, dosis oral 8-12 mg/kg BB.
 Etambutol, dosis oral 15-25 mg/kg BB per hari
 Rifampisin, dosis oral 10 mg/kg BB untuk anak-anak dan pada orang
dewasa 300-400 mg per hari
 Streptomisin, pada saat ini tidak di gunakan lagi.
b. Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal yaitu bila terdapat cold
abses, lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Indikasi Operasi :
 Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat.
 Adanya abses yang besar sehingga di perlukan drainase secara terbuka
dan sekaligus debridement serta bone graft
 Pada pemeriksaan Radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI di temukan adanya penekanan langsung pada
medula spinalis

7. KOMPLIKASI
Paraplegia
Cold abses
Lesi tuberculosa
Kifosis

Pathway

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1) Anamnesis
a) Identitas klien, meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
asuransi kesehatan dan diagnosis medis.
b) Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan
pergerakan tulang belakang dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien dapat
menggunakan metode PQRST.
 Proviking incident
Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah adanya
peradangan pada tulang belakang
 Quality of pain
Nyeri yang di rasakan klien bersifat menusuk dan nyeri sering di
sertai dengan parestesia
 Region
Kaji apakah nyeri dapat reda, apakah nyeri menjalar atau menyebar
karena pada beberapa kasus nyeri sering menjalar dari tulang
belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu kaji di
mana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokalisasi dan sebatas apa
 Severity (scale) of pain
Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala nyeri 0-4
 Time
Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri
berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
c) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di dapat : tanda awal berupa bengkak, napsu
makan berkurang, berat badan menurun, nyeri dan keterbatasan
lingkup gerak sendi, kulit di atas daerah yang terkena teraba panas,
badan lemah lesu, pucat, suhu tubuh meningkat, gangguan pergerakan
akibat spasme atau gibus

d) Riwayat penyakit dahulu


Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat
antituberkulosis (OAT). Penyakit lain seperti hipertensi, DM perlu juga di
kaji untuk mengidentifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan
implementasi keperawatan
e) Pengkajian psikososiospiritual
Mengkaji mekanisme koping yang di gunakan klien untuk menilai
respon emosi terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
keluarga/masyarakat. Selain itu kaji apakah memeberi dampak pada
status ekonomi klien.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada kebutuhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya di lakukan per sistem (B1-B6)
dengan fokus pemeriksaan B6 yang terarah dan di hubungkan dengan
kebutuhan klien.
 Keadaan umum
Pada keadaan tuberculosis tulang, klien umumnya tidak mengalami
penurunan kesadaran. Adanya perubahan TTV yang meliputi bradikardi
dan hipotensi sering berhubungan dengan penurunan aktivitas secara
umum akibat adanya hambatan dalam melakukan mobilitas ekstremitas.
 B1 (Breathing)
Pada fase awal biasanya tidak di dapatkan kelainan pada sistem
pernapasan. Sedangkan hasil pemeriksaan fisisk dengan fase penurunan
aktivitas yang parah pada inspeksi di apatkan bahwa klien batuk,
peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, peningkatan frekuensi pernapasan. Pada palpasi ditemukan taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri, pada perkusi di temukan adanya
resonan pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi didapatkan suara
napas tambahan seperti ronki pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun pada klien dengan
penurunan tingkat kesadaran/koma.

 B2 (Blood)
Pada keadaan Tb tulang dengan komplikasi paraplegia yang lama
biasanya akan di dapatkan adanya Hipotensi ortostatik (penurunan TD
sistolik ≤ 25 mm Hg dan diastolik ≤ 10 mm Hg ketika klien bangun dari
posisi berbaring ke posisi duduk). Pada tb tulang tanpa paraplegia tidak di
dapatkan kelainan pada sistem cardiovaskular.
 B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
 B4 (Bladder)
Pada Tb tulang daerah thorakal dan servikal tidak ada kelainan tetapi
pada daerah lumbal sering di dapatkan keluhan inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
 B5 (Bowel)
Pada klien Tb tulang sering ditemukan penurunan nafsu makan dan
gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses
faring sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi menjadi berkurang.
 B6 (Bone)
 Look
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama pada
tb tulang daerah torakal, pada daerah lumbalis adanya abses pada
daerah bokong dan pinggang, daerah servikal terdapat kekakuan leher.

 Feel
Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
 Move
Terjadi kelemahan anggota gerak dan gangguan pergerakan tulang
belakang. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha tersebut
menimbulkan spasme otot.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ektremitas bawah,
kelemahan fisik
2. Bersihan jalan napas in efektif b/d penumpukan sputum,
ketidakmampuan batuk efektif
3. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang
belakang
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam
menelan makanan
5. Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi
6. Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia

3. INTERVENSI

Dx. I. Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ekstremitas bawah,


kelemahan
Fisik
Tujuan : Klien dapat menunjukkan cara melakukan mobilisasi secara
optimal sesuai dengan kondisi daerah spondilitis
Ktiteria hasil : Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi individu yang
dapat membantu, klien terhindar dari cidera.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan
mobilisasi
R/ : Membantu dalam mengantisispasi dan merencanakan
pertemuan untuk kebutuhan individual
2. Hindari apa yang tidak dapat di lakukan oleh klien dan bantu
bila perlu
R/ : Klien dalam keadaan cemas dan tergantung sehingga
hal ini di lakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga
harga diri klien.
3. Atur posisi telentang dan letakkan gulungan handuk/bantal di
area bawah bagian punggung yang sakit dengan menjaga
kondisi kurvatura tu;lang belakang dalam kondisi optimal
R/ : Mengurangi kemungkinan stimulus nyeri, kontraktur
sendi, dan memungkinkan untuk pergerakan optimal
pada ekstremitas atas.
4. Sokong kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal
dalam posisi jari-jari kaki menghadap langit
R/ : Adanya bantal akan mencegah terjadinya rotasi luar kaki
dan mengurangi tekanan pada jari-jari kaki

5. Lakukan latihan ROM


R/ : Latihan yang efektif dan berkesinambungan akan
mencegah terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot yang
sering terjadi pada pasien spondilitis tuberkulosa
6. Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang
dimilikinya
R/ : Klien memerlukan empati tetapi perawat perlu mengetahui
perawatan yang konsisten dalam menangani klien.
7. Kolaborasi pemberian OAT
R/ : Pemberian regimen OAT sesuai panduan akan mengatasi
masalah utama pada klien spondilitis tuberculosa

Dx. II. Bersihan jalan napas inefektif b/d penumpukan sputum dan
Ketidakmampuan batuk efektif.
Tujuan : Terjadi peningkatan keefektifan pembersihan jalan napas
dan aspirasi dapat di cegah
Kriteria hasil : Frekuensi pernapasan dalam batas normal, suara napas
terdengar bersih, klien menunjukkan batuk yang efektif,
tidak ada lagi penumpukan sekret di jalan napas.
Intervensi :
1. Kaji keadaan jalan napas
R/ : Obstruksi mungkin dapat di sebabkan oleh akumulasi
sekret, sisa cairan mukus
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada
kedua paru
R/ : Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang
keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak
terganggu.
3. Anjurkan klien untuk melakukan teknik batuk efektif
R/ : Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran
napas
4. Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
R/ : Membantu pengenceran sekret dan mempermudah
pengeluaran sekret
5. Atur / ubah posisi secara teratur tiap 2 jam
R/ : Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-
paru, mengurangi resiko atelektasis.
6. Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk
pengontrolan batuk
R/ : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak
efektif menyebabkan frustasi.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapi
mukolitik dan ekspectoran
R/ : Mukolitik merupakan agens untuk mobilisasi sekret,
ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran atau
mobilisasi lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien
atas pengembangan parunya.

Dx. III. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada
tulang belakang.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau teratasi
Kriteria hasil : Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau
dapat teratasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang
meningkatkan nyeri/ mengurangi nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi :
1) Kaji skala nyeri
R/ : Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat di
kaji dengan menggunakan skala nyeri.
2) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus
R/ : Nyeri di pengaruhi oleh kecemasan, ketegangan,
suhu, distensi kansung kemih dan berbaring lama.
3) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda
nyeri non farmakologi dan noninvasif
R/ : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya menunjukkan keefektifan
dalam mengurangi nyeri
4) Ajarkan teknik relaksasi
R/ : Akan melancarkan peredaran darah sehingga
kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi dan
mengurangi nyeri.
5) Lakukan masase ringan di sekitar nyeri
R/ : Akan melancarkan peredaran darah sehingga
kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi dan
merupakan salah saru teknik distraksi yang efektif
pada saat nyeri ada.
6) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang
R/ : Untuk mengurangi stimulus nyeri eksternal
7) Hadirkan keluarga atau orang terdekat pada saat episode
nyeri
R/ : Apabila tidak ada keluarga/ teman sering kali
pengalaman nyeri membuat klien semakin
tertekan.
8) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapi
analgetik
R/ : Analgesik memblok lintasan nyeri dehingga nyeri
akan berkurang

Dx. IV. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan
dalam menelan makanan
Tujuan : Keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi
Ktiteria hasil : Klien mendemonstrasikan asupan makanan yang adekuat,
tidak ada penurunan BB lebih lanjut.
Intervensi :
1. Pantau persentase jumlah makanan yang di konsumsi
setiap kali makan, timbang BB tiap hari.
R/ : Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari
sasaran yang di harapkan
2. Berikan perawatan mulut tiap 6 jam, pertahankan
kesegaran ruangan
R/ : Bau yang tidak menyenangkan dapat
mempengaruhi napsu makan.
3. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan lunak tinggi
kalori tinggi protein
R/ : Membantu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
4. Berikan makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering
yang mudah di kunyah
R/ : Makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering
akan mengurangi sensasi nyeri pada proses menelan
akibat abses faring yang terjadi pada
spondilitis tuberculosa pada daerah servikal.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih
makanan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisiselam
sakit
R/ : Ahli gizi adalah spesialisasi dalam hal nutrisi yang
dapat membantu klien memilih makanan sehingga
dapat memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan
nutrisi sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi
dan BB.

Dx. V. Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi


Tujuan : Suhu tubuh dal;am batas normal, bebas dari kedinginan
Kriteria hasil : Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan dengan
spondilitis tuberculosa.
Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital khususnya suhu pasien,
perhatikan adanya menggigil/ diaforesis
R/ : Suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit
infeksius akut, pola demam dapat membantu
dalam menentukan diagnosis.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat
tidur sesuai indikasi
R/ : Suhu ruangan atau jumlah selimut harus di ubah
untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3. Berikan komres hangat, hindari penggunaan alkohol
R/ Dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan
air es atau alkohol mungkin menyebabkan
kedinginan dan dapat mengeringkan kulit.
4. Kolaborasi dengan tim medis dlam pemberian therapi
Antipiretik
R/ : Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus

Dx. VII. Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia
Tujuan : Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil : Klien mau berpartisipasi dalam pencegahan terjadinya
dekubitus, mengetahui penyebab dan cara pencegahan
dekubitus, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka, kulit
kering
Intervensi :
1. Anjurkan klien untuk melakukan latihan ROM dan
mobilisasi jika mungkin
R/ : Meningkatkan aliran darah ke semua daerah
2. Ubah posisi tiap 2 jam
R/ : Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran
darah
3. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah
daerah-daerah yang menonjol
R/ : Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah
yang menonjol
4. Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru
mengalami tekanan pada waktu berubah posisi
R/ : Menghindari kerusakan kapiler
5. Bersihkan dan keringkan kulit, jaga sprei tetap kering
R/ : Meningkatkan integritas kulit dan mengurangi
resiko kelembapan kulit.
6. Observasi adanya eritema dan kepucatan, palapasi area
sekitar untuk mengetahui adanya kehangatan dan
pelunakan jaringan tiap mengubah posisi.
R/ : Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan
jaringan.
7. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari
trauma dan panas pada kulit
R/ : Mempertahankan keutuhan kulit.

4. IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi.

5. EVALUASI
Sesuai dengan tujuan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuberculosis tulang belakang atau di kenal juga dengan Spondilitis
tuberculosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif oleh mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis tulang belakang
selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam
tubuh.Spondilitis tuberculosa terutama di temukan pada kelompok usia 2-10
tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara pria dan wanita.
Lokasi spondilitis tuberculosa terutama pada daerah vertebra thorakalis
bawah dan vertebra lumbalis atas.
Penatalaksanaan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan sesegera
mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah
paraplegia di mana terdiri dari therapi konservatif dan therapi operatif.

B. Saran
1. Bagi penderita Tuberculosis tulang mengikuti program pengobatan sesuai
dengan anjuran petugas kesehatan sehingga dapat menghindari
terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan, turut serta
dalam aktivitas dan latihan yang meningkatkan atau mempertahankan
mobilitas.
2. Bagi Mahasiswa/i keperawatan agar mampu memahami Konsep dasar
teori dan Konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan
Tuberculosis tulang sehingga dalam pelayanan keperawatan di
masyarakat sesuai dengan kondisi dan permasalahannya.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, 2008. BUKU AJAR ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL, EGC ; Jakarta.

Arif Mansjoer, 2000. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN EDISI 3 JILID 2, Media Aesculapius;
Jakarta

Doenges E. Marylin, 2000. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN EDISI 3, EGC : Jakarta.

Price A. Sylvia, 2005. PATOFISIOLOGI KONSEP KLINIS PROSES – PROSES PENYAKIT


EDISI 6. VOLUME 2, EGC ; Jakarta.

Você também pode gostar