Você está na página 1de 16

A.

Analisis Masalah (Kebutuhan)


TB/Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala yang bervariasi, akibat kuman
mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga dapat mengenai semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer,
biasanya menyerang paru-paru walaupun pada beberapa kasus, organ-organ lain ikut
terserang.
Di Indonesia, pada tahun 2016 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak
351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang
ditemukan pada tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus.mSelanjutnya berdasarkan
hasil evaluasi beban TB di NTT tahun 2016, terdapat 5682 kasus, yang tersebar di
semua wilayah NTT (21 kabupaten dan Kota Kupang). Sedangkan untuk kasus baru
BTA positif sebanyak 3157 kasus. Sedangkan untuk wilayah Kota Kupang, perkiraan
penderita BTA positif Sesuai Renstra Dinas Kesehatan Kota Kupang tahun 2015,
yaitu 767 kasus BTA positif baru (210/100.000 Penduduk).
Jumlah Kasus baru TB BTA+ di Kota Kupang untuk Tahun 2015 sebanyak
308 orang. Peningkatan jumlah kasus baru terjadi karena semakin baiknya sistem
pelaporan terintegrasi dengan berbagai unit layanan kesehatan pemerintah maupun
swasta lainnya yang dilaporkan pada Dinas Kesehatan Kota Kupang.
Angka kejadian kasus TB dari 91,03 per 100.000 penduduk di tahun 2012,
meningkat pada tahun 2013 menjadi 167 kasus per 100.000 penduduk (610 Kasus)
yang kemudian meningkat menjadi 203 kasus per 100.000 penduduk (794 Kasus),
dengan angka keberhasilan pengobatan dari pasien TB BTA + yang diobati pada
tahun 2014 sebesar 83,12%. Peningkatan ini terjadi pada beberapa tahun terakhir
dikarenakan data Kasus TB yang ditemukan dan diperiksa di RS juga dimasukan
dalam pencatatan data Profil Kesehatan. Hal ini menunjukan adanya kenaikan jumlah
kasus TB yang signifikan pada wilayah Kota Kupang.Pada tahun 2015 di Provinsi
NTT kasusu TB didaerah Kota Kupang yaitu sebesar 37,53% yang mengalami BTA
(+) terhadapat suspek. Hal ini menujukan bahwa kasus TB di Prov NTT cukup tinggi
menduduki urutan ke 3 di Kota Kupang.
Kelompok yang rentan terhadap penyakit TB Paru yaitu sebagai berikut :
a. Bayi
Daya tahan tubuh bayi belumlah sempurna atau dengan kata lain masih rentan
terhadap berbagai penyakit, sehingga rentan terhadap infeksi TB terkhususnya
bayi yang belum di imunisasi BCG.Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TB 43%.
b. Kontak dengan orang dewasa yang menderita TB
Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, Resiko timbulnya transmisi
kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau
kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak
baik.
Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi
menjadi sakit TB, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap
seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TB 43%,
sedangkan pada anak usia 1‐5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia
remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi
mengalami TB diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi.
Namun pada lansia, daya tahan tubuhnya cenderung menurun sehingga TB lebih
sering menyerang pada usia lanjut.
c. Pengidap penyakit‐ penyakit imonokompromise
Imonokompromise ialah fungsi sistem imun yang menurun atau tidak
berfungsi dengan baik (baik sistem imun humoral maupun selular atau
keduanya). Seperti penyakiit HIV, diabetes melitus dll, ataupun yang sedang
menggunakan obat yang menekan sistim imun juga memiliki resiko terular
penyakit TB.
d. Merokok
Merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat 45
jenis bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru‐paru yang sakit
sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif
(15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia
harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem
imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit,
termasuk penyakit TB-Paru.
Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam jangka waktu setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru, dapat disimpulkan bahwa
pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru
dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin
laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol
sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar
dengan agent penyebab TB-Paru.
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan
kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru. Jenis pekerjaan seseorang
juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak
terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan
selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah).
Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah
dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki
tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan
penyakit TB Paru.
Akibat jika seseorang mengidap penyakit TB Paru dalam aspek kesehatan seperti
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Sedangkan dari segi aspek lainnya seperti
menurunnya produktivitas seseorang yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan
keluarga, dikucilkan dari masyarakat karena TB Paru dianggap sebagai penyakit
kutukan.
Identifikasi masalah apa yang belumn pernah disentuh atau diintervensi sehingga

menyebabkan masalah kesehatan tersebut tetap eksis.

Ketidakpatuhan merujuk apabila orang dengan tuberkulosis yang melewatkan


satu pengobatan (tidak minum obat) dan tidak melakukan pemeriksaan ulang selama
proses pengobatan tuberkulosis. Ketidakpatuhan didefinisikan sebagai lama waktu
orang dengan tuberkulosis melakukan pengobatan tuberkulosis.

Tipe-tipe ketidakpatuhan pasien antara lain: (1) Tidak meminum obat sama
sekali; (2) Tidak meminum obat dalam dosis yang tepat (terlalu kecil/ terlalu besar);
(3) Meminum obat untuk alasan yang salah; (4) Jarak waktu meminum obat yang
kurang tepat; (5) Meminum obat lain di saat yang bersamaan sehingga menimbulkan
interaksi obat. Berikut adalah jumlah obat dan waktu minum obat pada pasien TB.

Kepatuhan pasien TB dalam menjalani pengobatan disimpulkan bahwa pasien


dalam menjalani pengobatan sering di bawah kondisi yang sulit dan tantangan yang
berat. Waktu yang lama adalah kendala yang sering dihadapi. Informasi yang tidak
lengkap, tidak ada penjelasan yang terus menerus berpengaruh pada ketaatan pasien.
Faktor-faktor yang berpengaruh adalah faktor struktural (kemiskinan, khususnya yang
terkait dengan pembiayaan dan keuangan, masalah gender dan hukum), faktor
personal (pengetahuan, keyakinan, sikap terhadap pengobatan, interpretasi sakit dan
sehat), faktor sosial (dukungan keluarga, kerabat, masyarakat, dan masalah ‘stigma’),
faktor pelayanan kesehatan (pengobatan, perawatan, kemajuan penyakit dan efek
samping).
Berbagai faktor di atas seringkali menjadi alasan bagi pasien tidak patuh
menjalani pengobatan dan menghentikan secara sepihak pengobatan tuberkulosis
yang sedang berlangsung.

Kepatuhan merupakan fenomena multidimensi yang ditentukan oleh tujuh


dimensi, faktor terapi, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan, usia, dukungan
keluarga, motivasi pasien dan faktor sosial ekonomi. Di atas semua faktor itu,
diperlukan komitmen yang kuat dan koordinasi yang erat dari seluruh pihak dalam
mengembangkan pendekatan multidisiplin untuk menyelesaikan permasalahan
ketidakpatuhan pasien ini. Kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan
dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada
pasien maupun pada masyarakat luas.

Cara penanggulangan masalah penyakit Tuberkulosis melalui program yang


dirancang ini adalah melalui perubahan perilaku.

B. Analsis perilaku

1. Ketidakpatuhan minum obat


ketaatan pasien TB dalam menjalani pengobatan disimpulkan bahwa pasien dalam
menjalani pengobatan sering di bawah kondisi yang sulit dan tantangan yang berat.
Waktu yang lama adalah kendala yang sering dihadapi. Berbagai faktor di atas
seringkali menjadi alasan bagi pasien tidak patuh menjalani pengobatan dan
menghentikan secara sepihak pengobatan tuberkulosis yang sedang berlangsung.
Kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan
risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada
masyarakat luas
waktu pengobatan yang lama (6-8 bulan), kemiskinan, kegagalan menjalani
program TB, perubahan demografi, pasien tidak memahami pentingnya aturan
pengobatan penyakit TB, pekerjaan, biaya transportasi menuju tempat layanan
kesehatan, dan lain sebagainya.

2. Perilaku merokok
Merokok merupakan kebiasaaan masyarakat yang kurang menguntungkan dari segi
kesehatan. Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru yang
disebut micropelly, meningkatkan tahanan jalan nafas, merusak makrofag yang
merupakan sel pemakan bakteri pengganggu.
Dalam tubuh seorang perokok yang memiliki frekuensi merokok setiap hari
toksin dari kandungan asap rokok lebih cepat menumpuk di bandingkan dengan
perokok yang kadang-kadang. Kebiasaan merokok juga meningkatkan resiko untuk
terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Sitopoe, 2008). seorang dengan kebiasaan
merokok berpeluang 12 kali terkena TB Paru dari pada seorang yang tidak merokok,
kandungan racun yang terdapat diasap rokok di hisap setiap hari akan tertimbun dan
tubuh sama sekali tidak dapat menghilangkan pengaruh nikotin dalam jumlah sekecil
apapun (Caldwell, 2009 dalam Wuaten, 2010)

3. Kebiasaan membuang dahak dan batuk serta bersin sembarangan


Penularan penyakit ini melalui dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis
paru tersebut. Penderita TB paru mempunyai kebiasaan sering tidak menutup mulut
saat batuk, hal ini tentunya dapat membuat penularan TB pada orang-orang yang
sehat di sekitarnya. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air ludah beterbangan di
udara yang mengandung basil TBC dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk ke
dalam paru yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. Kejadian kasus
tuberkulosis paru ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosial
ekonomi lemah.

4. Kebiasaan membuka jendela


5. Pola konsumsi makanan yang tidak sehat

Faktor penyebab perilaku


1. Faktor sosial
Dukungan keluarga, kerabat, masyarakat, dan masalah ‘stigma’.
2. Faktor struktural
Kemiskinan, khususnya yang terkait dengan pembiayaan dan keuangan, masalah
gender dan hukum
3. Faktor personal
Niat, Pengetahuan, keyakinan, sikap terhadap pengobatan, interpretasi sakit dan
sehat
4. Pelayanan kesehatan
Pengobatan, perawatan, kemajuan penyakit dan efek samping

Faktor yang akan dirubah :


1. Faktor sosial
2. Faktor personal
3. Faktor pelayanan kesehatan
Dengan alasan bahwa ketiga faktor ini berpengaruh besar terhadap kepatuhan
pasien untuk minum obat. Pengobatan penting dan harus segera diatasi karena
penyakit tuberkulosis hanya bisa diobati menggunakan obat anti tuberkulosis
selama 6-8 bulan. Jika pasien tidak patuh minum obat akan berakibat fatal karena
bakteri akan menjadi resisten dan pengobatan harus dimulai lagi dari awal.
Pengobatan butuh diintervensi supaya mencegah dan menurunkan angka
kesakitan tuberkulosis dan mencegah kematian. Tidak mudah untuk diubah karena
ini berkaitan dengan kepatuhan pasien. Dengan obat yang banyak dan waktu yang
lama, sangat membuat pasien jenuh dan berhenti minum obat. Untuk mengubah
perilaku ini dibutuhkan niat dari pasien sendiri dan dukungan keluarga serta
pengawasan minum obat dari petugas kesehatan.
Ketiga faktor ini sangat penting Dukungan sosial membuat pasien menjadi
lebih tenang, dan merasa tidak sendiri sehingga lebih mendorong pasien untuk
minum obat. Faktor personal seperti niat dan pengetahuan. Seseorang yang ingin
berubah, harus memiliki niat yang kuat. Jika tidak memiliki niat, pengobatan
semahal apapun tidak akan berpengaruh kepada kesembuhannya. Demikian juga
dengan pengetahuan, pasien yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
tuberkulosis, akan mengerti betapa berbahayanya penyakit tersebut sehingga akan
melakukan pengobatan dengan baik.
Faktor pelayanan kesehatan seperti pengobatan, pengobatan yang baik dan
teratur dapat mempercepat kesembuhan pasien, namun karena obat tuberkulosis
ini banyak dan membutuhkan waktu yang lama, terkadang membuat pasien
menjadi jenuh, maka dari itu dibutuhkan pengawas minum obat, baik itu dari
keluarag maupun dari petugas kesehatan agar pasien tetap patuh dan teratur
minum obat hingga sembuh.
Teori Perubahan Perilaku
Teori Shenandu B. Kar
1. Niat : sesorang yang ingin sembuh dibutuhkan niat yang besar. Niat untuk
menjalani pengobatan perlu dijaga dengan adanya komitmen untuk menjalani
pengobatan hingga tuntas. Niat yang dimiliki perlu dikuatkan dengan adanya
komitmen yang menjadi aspek penting dari dalam diri individu untuk menjamin
kepatuhan hingga proses pengobatan selesai.
2. Dukungan sosial : Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta
dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga yang
lain, teman, waktu dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan terhadap
program-program medis.
Oleh karena itu, dukungan keluarga sebagai orang yang terdekat dan dihormati
oleh pasien diharapkan dapat membantu pasien untuk lebih termotivasi dan patuh
menjalani pengobatan hingga selesai sesuai petunjuk tenaga kesehatan sehingga
tujuan pengobatan dapat tercapai.

3. Akses informasi : pengetahuan yang kurang, informasi yang tidak lengkap, tidak
ada penjelasan yang terus menerus berpengaruh pada ketaatan pasien. Sering kali
pasien tidak patuh minum obat karena tidak tahu akan cara kerja obat tersebut,
mendapatkan informasi tentang TBC. Penyuluhan atau penyampaian informasi
kesehatan itu sangat penting dan sangat berpengaruh pada perilaku hidup sehat
seseorang. Disini peran tenaga kesehatan sangatlah penting dalam melakukan
penyuluhan atau memberikan informasi kesehatan. Apabila seseorang itu
mngetahui tentang maslaah kesehatan terutama tentang TBC, baik dari pengertian,
pengobatan, pencegahan dari TBC, maka orang tersebut akan berperilaku baik
dalam meningkatkan derjat kesehatannya dan keluarga maupun lingkungan
sekitarnya. Kurangnya penyuluhan tentang informasi kesehatan yang dilakukan
oleh petugas kesehatan kepada penderita TBC terutama tentang TBC inilah yang
menjadi salah satu faktor kenapa penderita TBC berperilaku kurang baik dalam
menjga dan meningkatkan derajat kesehatannya.
4. Otonomi pribadi : Pengambilan keputusan sering kali didominasi oleh suami juga
berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat pada pasien. Pengambilan keputusan
pengobatan tuberkulosis harus didiskusikan bersama keluarga karena pasien
membutuhkan dukungan keluarga.
5. Situasi yang memungkinkan
Faktor yang memungkinkan ketidakpatuhan adalah jumlah obat yang terlalu
banyak, efek samping dari obat tersebut dan lamanya pengobatan sehingga
membuat pasien jenuh terhadap obat tersebut.

Intervensi yang akan dilakukan untuk mengubah faktor tersebut :

C. Analisis Lingkungan

1. Faktor Sosial Ekonomi


Adanya masalah kesenjangan sosial yang nantinya akan menyebabkan
kemiskinan. Kemisikinan inilah yang nanti berdampak terhadap status kesehatan
masyarakat dimana akan timbul penyakit berbasis lingkungan seperti TB. Tingkat
sosial ekonomi yang rendah menunjukan rendahnya tingkat pendidikan, pekerjaan,
dan pengasilan yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Dengan rendahnya
pendidikan maka pengetahuan akan penyakit seperti TB juga kurang. Menurut BPS
Kota Kupang tahun 2016 kepadatan penduduk di Kota Kupang yaitu 124 jiwa/km,
2,5% penduduk umur 7-15 tahun tidak bersekolah, serta pada tahun 2015 jumlah
penduduk miskin di Kupang sebanyak 101,5 ribu penduduk.Contohnya seperti
keadaan rumah, kepadatan tempat penghunian, lingkungan perumahan dan sanitasi
tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga
atau ekonomi yang rendah pula sangat erat juga dengan penularan TB, karena
pendapatan atau ekonomi yang rendah membuat orang tidak dapat hidup layak
dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan dan mencukupi kebutuhan gizi mereka.

2. Faktor Fisik
Semua hal yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan perilaku seseorang.
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita
TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat
menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya. Contohnya adalah perilaku
merokok, merokok sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Di dalam rokok terdapat
45 jenis bahan kimia beracun. Merokok dapat mengiritasi paru‐paru yang sakit
sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya.

Faktor yang ingin diubah adalah faktor fisik karena, faktor fisik disini berkaitan
dengan semua hal yang secara langsung berhubungan dengan kesehatan dan perilaku
individu itu sendiri. Perilaku seseorang secara langsung akan menentukan kondisi
kesehatannya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumya, perilaku seseorang terdiri
dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan seseorang akan menentukan
bagaimana sikap dan tindakan dari orang tersebut. Bagaimana nantinya orang tersebut
akan memilih pengobatan, serta melakukan pengobatan. Hal ini tentunya di tentukan dari
pengetahuannya akan informasi kesehatan yg telah diperoleh. Selain itu, perilaku individu
juga ditentukan dari bagaiman dukungan yang diperoleh dari lingkungannya. Apakah ada
dukungan dari keluarga atau orang terdekat dalam hal ini untuk menjalani pengobatan
akan menentukan bagaimana perilaku orang tersebut.

D. Analisis Program

a. Identifikasi program
Program “Directly Observed Treatment Short-course atau DOTS” merupaka strategi
penanggulangan tuberkulosis melalui pengobatan jangka pendek dengan pengawasan
langsung. DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program TB untuk
direct attention dalam usaha menemukan penderita dengan kata lain mendeteksi kasus
dengan pemeriksaan. Kemudian setiap penderita harus di observed dalam meminum
obatnya, setiap obat yang ditelan penderita harus didepan seorang pengawas.
Selanjutnya penderita harus menerima treatment yang tertata dalam sistem
pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup. Kemudian, setiap
penderita harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan short-course standard
yang telah terbukti ampuh secara klinis. Inovasi yang ditambahkan pada program ini
yaitu setiap pasien yang datang mengambil obat akan mendapatkan 5 kg beras per
bulan artinya, jika dalam satu keluarga terdapat 3 pasien TB maka setiap bulannya
akan menerima 15 kg beras. Serta untuk pasien dengan lokasi atau tempat tinggal yang
jauh dari puskesmas dan tidak memiliki akses transportasi untuk pergi mengambil obat
maka inovasi yang diberikan adalah “antar obat” yaitu petugas yang berkeliling
membagikan obat serta beras.
b. Stakeholder yang mendukung program
Stakeholder yang mendukung program :
1. Kementrian Kesehatan
Kementrian kesehatan sangat berperan penting dalam pembuatan program-
program penanggulangan penyakit menular di suatu wilayah tertentu serta
penyediaan dana untuk pelaksanaan program-program kesehatan. Dalam hal ini
Dirjen atau bagian promosi kesehatan yang bertugas menginformasikan kepada
masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih untuk mengurangi risiko
tertularnya TB. Untuk melakuka kegiatan tersebut, kementrian kesehatan
melakukan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan berbagai dinas dan
instansi terkait.
Kerjasama lintas program dilakukan dengan :
a. Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan mempunyai peran sebagai stakeholder yang memiliki
kewenangan resmi dalam pelaksanaan program-program penanggulangan
penyakit TB berbasis lingkungan dan pengobatan (penyuluha, pengendalian
dan pemberian gizi) yang telah dtetapkan oleh kementrian kesehatan serta
penyesuaian program berdasarkan kondisi wilayah masing-masing. Dinas
kesehatan juga berperan untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan
kebijakan yang telah ditetapkan. Peran Dinkes antara lain :
 Kerjasama lintas sektor dan lintas program (memberantas TB)
 Pelatihan petugas untuk mendata atau mencari orang yang memiliki
gejala TB serta untuk pengawasan minum obat.
 Penyediaan sarana seperti mikroskop, bahan laboratorium dan obat-
obatan.
 Menilai secara berkala situasi TB

Kerja sama lintas sektor dilakukan dengan :

a) Puskesmas
Puskesmas berperan dalam pelaksanaan program-program kesehatan yang
telah ditetapkan oleh dinas kesehatan dalam penanggulangan penyakit TB.
Dalam pelakasaan program puskesmas bertugas memberikan penyuluhan
langsug terhadap masyarakat. Peran puskesmas antara lain :
 Diagnosa TB harus terkonfirmasi atau skutum dan tes tuberkulin.
 Pengobatan menggunakan OAT
 Pembentukkan pos TB dan memperkuat desa siaga

Dalam pelaksanaan program tersebut, puskesmas dapat bekerja sama dengan


puskesmas pembantu, polindes, posyandu, serta organisasi lain yang dapat
membantu pelaksanaan program TB.

b) Masyarakat
Masyarakat berperan dalam kegiatan-kegiatan memberantas TB.

Kerjasama lintas program dilakukan dengan :


1. Dinas Pendidikan Nasional
Dinas kesehatan dapat bekerja sama dengan dinas pendidikan didalam
upaya penanggulangan TB. Kegiatan tersebut dapat berupa pelatihan bagi
para guru atau UKS sekolah dan penyusunan muatan lokal TB untuk
sekolah dasar.
2. Bappenas atau Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasioanal)
atau (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah)
Bappenas atau Bappedaberperan dalam pembuatan peraturan mengenai
tempat pemukiman yang padat penduduk. Melalui peraturan mengenai
tempat pemukiman diharapkan dapat mengurangi penularan TB didaerah
padat penduduk.
3. Bagian Kesra Setda
Sebagai fasilitator rapat koordinasi lintas sektor penangulangan TB tingkat
Pemda dan melakukan penyebaran informasi TB melalui radio dan televisi
lokal.
4. Dinas Pertanian
Dinas pertanian berperan untuk membanu dalam penyediaan beras yang
nantinya akan diberikan kepada masyarakat yang menderita TB
E. Rancangan Program

1. Jenis Program KIE Kesehatan inovatif yang akan dirancang


Program KIE kesehatan yang inovatif berfokus pada isu mengatasi masalah
ketidakpatuhan minum obat pasien TB yaitu dengan menggunakan Program DOTS
yang telah dilakukan oleh pemerintah, namun dalam dalam pelaksanaannya pasien
yang patuh minum obat dan diawasi oleh pengawas dari tenaga kesehatan Puseksmas
akan diberi beras sebanyak 5 Kg untuk setiap akhir bulan selama 6 bulan.

2. Tujuan Program
a) Tujuan Umum
Menurunnya angka prevalensi kasus penyakit TB di Kota Kupang sebesar
80% pada tahun 2019.
b) Tujuan Khusus
i. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB
ii. Meningkatnya penemuan penderita TB dengan cepat
iii. Meningkatnya kepatuhan minum obat pada pasien TB
3. Kelompok Target
Semua penderita TB di Kota Kupang.
4. Kegiatan spesifik yang akan dilakukan pada program
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan pada program ini yaitu sebagai berikut :
a) Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit TB
Penyuluhan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang cara mengenali penyakit TB yang berkaitan dengan penyebab, tanda
dan gejala, akibat yang ditimbulkan apabila menderita penyakit TB, serta
pencegahannya.
b) Penjaringan penderita TB
Kegiatan dilakukan oleh pengawas dan para tenaga ksehatan di setiap
puskesmas di wilayah kerjanya dengan menjaring penderita TB melalui
pemeriksaan labolatorium dengan menggunakan mikroskop.
c) Pemberian OAT kepada pasien yang positif mengidap TB di puseksmas.
Apabila ada pasien TB yang tidak dapat mengakses untuk berobat ke
puskesmas karena keterbatasan sarana dan prasarana maka obat tersebut akan
di antar oleh petugas puskesmas setempat.
d) Pengawasan minum obat
Pengawasan minum obat ini dilakukan oleh tim pengawas untuk mengetahui
kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat, sehingga apabila ada pasien yang
patuh minum obat setiap bulannya maka akan diberikan beras sebanyak 5Kg
disetiap akhir bulannya. Hal ini juga akan membuat pasien untuk semangat
minum obat, karena selain membantu memotivasi untuk minum obat juga
membantu dalam asupan makanan yang baik sehingga sistem imun pasien TB
tersebut juga semakin membaik.
5. Metode dan media yang digunakan
a) Penyuluhan tentang penyakit TB
Metode yang digunakan yaitu penyuluhan sedangkan media yang digunakan
seperti leaflet,Lcd, dan laptop. Metode penyuluhan ini digunakan karena
berhubungan dengan masyarakat luas dsan juga karena bervariasinya tingkat
pendidikan dalam masyrakat.
Contoh pesan kesehatan dalam media yang digunakan seperti “Sayangilah
diri anda dengan selalu melakukan pemeriksaan dini ke fasilitas layanan
kesehatan masyarakat setempat”.
b) Penjaringan penderita TB
Metode yang digunakan yaitu skrining karena dilakukan dengan cara
mewawancarai pasien tentang gejala klinis yang selama ini dirasakan oleh
pasien. Kemudian dilakukan pengambilan dan pemeriksaan
sputum/dahakpasienn untuk pemeriksaan mikroskopis BTA positif.
Sedangkan media yang digunakan yaitu mikroskop.
c) Pemberian OAT kepada penderita TB
Metode yang digunakan yaitu bimbingan dan konseling, dimana setiap pasien
TB yang diberi obat oleh petugas kesehatan akan dibimbing oleh petugas
kesehatan tersebut tentang cara dan waktu yang tepat untuk mengonsumsi
obat. Media yang digunakan yaitu media cetak dimana dalam media tersebut
berisi tentang cara dan waktu yang tepat untuk mengonsumsi obat.
d) Pengawasan minum obat
Metode yang digunakan yaitu observasi dan wawancara, dimana pengawas
datang kerumah pasien untuk mengamati dan melihat pasien dalam
mengonsumsi OAT. Media yang digunakan yaitu media cetak dimana media
cetak tersebut digunakan pengawas untuk mencatat perkembangan penderita
dalam mengonsumsi obat.
6. Penentuan Metode dan Media
1. Penentuan Metode
a) Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB, metode
yang digunakan yaitu penyuluhan.
b) Meningkatnya penemuan penderita TB dengan cepat, metode yang
digunakan yaitu skrining.
c) Meningkatnya angka kesembuhan pasien TB, metode yang digunakan
yaitu penyuluhan dan skrining serta pengawasan.
2. Penentuan media
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TB, media yang
digunakan yaitu leaflet,lcd, dan laptop.
b. Meningkatnya penemuan penderita TB dengan cepat, media yang
digunakan yaitu mikroskop.
c. Meningkatnya angka kesembuhan pasien TB, media yang digunakan
yaitu obat.
G. Timeline (Jadwal Pelaksanaan) Program
Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit TB sekaligus pemberitahuan
kepada masyarakat tentang akan diadakannya penjaringan penyakit TB akan
dilakukan pada 14-24 Mei 2018. Kegiatan penjaringan suspek TB melalui
pemeriksaan dahak yang dilakukan di setiap wilayak kerja puskesmas di kota
kupang mulai dilaksanakan pada tanggal 1-21 Juni 2018. Penderita TB positif
akan mendapatkan OAT dari puskesmas pada tanggal 1 hingga 14 Juli. Bagi
penderita TB yang terkendala dengan sarana dan prasarana, obat akan diantarkan
oleh petugas kesehatan yang ada di tiap Puskesmas. Selanjutnya, pengawasan
minum obat penderita akan dilakukan oleh pengawas yang telah diberikan
pelatihan sebelumnya selama 6-8 bulan, terhitung dari tanggal diberikannya obat.
Untuk penderita TB yang patuh minum obat setiap bulannya akan diberikan
beras sebanyak 5 Kg setiap akhir bulan.

F. Rancangan Evaluasi
a. Jenis evaluasi program
Evaluai yang digunakan untuk program ini adalah evalusai proses dan evaluasi hasil.
b. Tujuan evaluasi
1. Untuk melihat kelancaran pelaksanaan program
2. Untuk memperbaiki pelaksanaan program
3. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program.
c. Kapan evaluasi akan dilaksanakan
Evaluasi dilaksanakan pada saat program sedang berlangsung dan pada akhir program
yaitu pada.
d. Bagaimana evaluasi dilakukan

e. Siapa yang akan melaksanakan evaluasi


Tim evaluasi
f. Kelompok sasaran yang akan dievaluasi
Pasien TB yang mengikuti program DOTs dan pembagian beras 5 kg.

G. Rancangan susteinability Program

Program KIE Kesehatan dalam hal ini program DOTS dengan memberikan
bantuan berupa beras 5 kg bagi pasien TB saat mengambil obat setiap bulannya di
bawah PMO ini tidak hanya selesai begitu saja namun dapat memberikan perubahan
dalam hal ini peningkatan kualitas hidup penderita TB (bantuan beras 5 kg setiap
bulan) dan PMO(diberikan insentif berupa upah) yang dalam hal ini adanya bantuan
tersebut dapat membantu pemenuhan kebutuhan ekonomi. Selain itu, dengan adanya
bantuan PMO ini maka secara langsung dapat meningkatkan kontribusi masyarakat
dalam penangulangan masalah TB ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Secara kuantitatif semakin banyak keluarga dan masyarakat yang membantu dalam
penanggulangan TB. Secara kualitatif berarti keluarga dan masyarakat tidak hanya
memanfaatkan tetapi ikut mengambil peran dalam melakukan penyuluhan, ikut
menjadi PMO bahkan sebagai kader TB.

Você também pode gostar