Você está na página 1de 2

Kembali ke Zaman Kedaulatan Pangan?

Fachru Nofrian Bakarudin

Prediksi para ekonom klasik tentang penurunan produktivitas secara permanen di


sektor pertanian ternyata tidak didukung fakta empiris karena sejumlah negara seperti
Amerika Serikat, Prancis dan Belanda justru memiliki fundamental ekonomi pertanian dan
peternakan sangat kuat. Pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa ada
banyak cara menghindar dari penurunan produktivitas permanen di sektor pertanian
misalnya saj melalui industrialisasi yang bukan sekadar pergeseran dari sektor pertanian ke
industri, melainkan juga inovasi di sektor pertanian. Selain produktivitas, pemerintah di
negara-negara tersebut sungguh menyadari pentingnya sektor pertanian yang berdaulat.
Bagaimana dengan Indonesia?

Kedaulatan pangan dapat didefinisikan sebagai produksi, distribusi, dan konsumsi


pangan yang mencukupi seluruh warga negara, bahkan manusia di planet bumi. Lebih dari
sekadar ketersediaan pangan, konsep tersebut menawarkan pentingnya kedaulatan produksi
yang mencakup kedaulatan pengelolaan lahan, tenaga kerja, serta kapital (modal dan
investasi). Selain itu, konsep “kedaulatan pangan” menekankan bahwa yang tidak memiliki
akses sama sekali terhadap pangan pun berhak memperoleh kebutuhan hidup paling
mendasar tersebut. Contoh gamblang, seorang kriminal yang ditahan di dalam penjara
butuh makan dan minum serta tidak boleh dibiarkan mati kelaparan.

Indonesia sejak dini sudah mencanangkan dan memasukkan isu pangan sebagai
agenda pokok pembangunan. Pemerintah era Demokrasi Terpimpin, misalnya, dengan
Program Nasional Semesta Berencana merehabilitasi, memperbaiki, dan membeli mesin-
mesin penggiling padi yang ditempatkan di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, beberapa
daerah dijadikan lumbung padi nasional. Untuk memperlancar jalur distribusi melalui laut
dan darat, dibangun sejumlah pelabuhan, termasuk pembangunan floating dock, graving
dock, slipway dan dwarshelling di beberapa kota besar di Jawa dan luar Jawa. Pada era
tersebut, jumlah pabrik penggilingan padi mencapai ribuan perusahaan di bawah
kepemilikan terbesar pertama orang Tiongkok, kemudian, orang Indonesia dan terakhir
asing. Pada periode ini, tujuan utama kedaulatan pangan.

Rezim Orde Baru menitikberatkan pembangunan sejumlah infrastruktur pertanian,


seperti irigasi hingga tercapai swasembada beras. Sayangnya, “prestasi” tersebut tidak
berkelanjutan. Terjadi krisis pangan. Indonesia harus impor beras dan ditukar dengan
pesawat terbang produksi nasional. Sungguh ironis. Mampu memproduksi pesawat terbang,
tetapi gagap mencukupi kebu tuhan pangan dalam negeri. Bahkan, konsep pembangunan
pangan bergeser sedemikian rupa menjadi ketahanan pangan. Pangan beras menjadi
primadona sembari menelantarkan pangan dari sumber daya kelautan. Pemerintah periode
berikutnya juga meletakkan pangan sebagai isu sentral, namun sibuk mengatasi krisis dan
pemulihan ekonomi. Sebagian areal persawahan segera beralih fungsi menjadi lahan
properti, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Waduk dan saluran irigasi juga banyak yang
rusak.

Pemerintahan Joko Widodo menjadikan “kedaulatan pangan” sebagai prioritas


utama sebagaimana tersua dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN). Pentingnya program tersebut juga ditandai pengalokasian dana yang cukup besar
di dalam APBN, terutama terkait dengan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur
pertanian, seperti saluran irigasi dan waduk, serta penggelontoran dana alokasi desa. Selain
itu, pemerintah membuka pintu lebar-lebar mengundang para investor, terutama asing.
Penegakan hukum juga digencarkan, misalnya, menangkap dan menenggelamkan kapal-
kapal nelayan asing yang beroperasi ilegal di perairan Nusantara. Sebagian kalangan
mengatakan bahwa upaya tersebut meningkatkan output sektor perikanan di Indonesia.
Secara lebih luas, diterapkan konektivitas yang semakin mempercepat pembangunan
antardaerah. Semua merupakan hal positif, meski tidak semua daerah memiliki prioritas
yang sama.

Tantangan lain adalah munculnya berbagai kontradiksi, seperti pembangunan kereta


api cepat yang diprediksi akan mengalihfungsikan lahan produktif secara masif. Arus masuk
investasi asing besar-besaran juga akan berdampak pada kenaikan harga dan kian
terpinggirnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Pembangunan
irigasi dan waduk tanpa disertai kajian empiris tentang dampak sosial, ekonomi, dan
lingkungan, justru akan menciptakan waduk-waduk kosong tanpa air. Konektivitas dengan
membangun tol laut demi efisiensi hubungan antar-daerah akan memperdalam eksploitasi
daerah, yaitu di Jawa yang lebih kuat produktivitas ekonominya terhadap daerah luar Jawa
yang kaya sumber daya alam tetapi miskin. Mungkin lahan tanaman padi di Jawa akan
pindah ke Papua karena pemerintah berencana membuka jutaan hektar sawah baru. Lantas,
apakah Papua mampu dan hanya melayani seluruh kebutuhan beras di Jawa? Apakah
dampak ekonominya dalam jangka menengah dan panjang telah diperhitungkan? Siapa
paling diuntungkan di balik semua program itu? Pertanyaan-pertanyaan pokok dan kritis
itulah yang perlu selalu dilontarkan•

Sumber: http://www.prismajurnal.com/issues.php?id={C5F0F917-EBB7-118D-F0E9-
D7E81E448DA6}&bid={DEF92BF8-815E-AB46-D783-C63BE7EFA844}

Você também pode gostar