Você está na página 1de 14

Anafilaksis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini
boleh digunakan hanya untuk penjelasan ilmiah, bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat
menggantikan diagnosis medis.
Perhatian: Informasi dalam artikel ini bukanlah resep atau nasihat medis. Wikipedia
bukan pengganti dokter.
Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan
profesional.

Anafilaksis

Angioedema pada wajah hingga anak laki-laki ini tidak


dapat membuka matanya. Reaksi ini disebabkan oleh
paparan alergen.

Spesialisasi Imunologi

Ruam gatal, pembengkakan


Gejala tenggorokan, dispnea, kepala terasa
ringan[1]
Hitungan menit hingga beberapa
Usual onset
jam.[1]

Penyebab Gigitan serangga, makanan, obat[1]

Metode diagnostik Berdasarkan gejala[2]

Reaksi alergi, angioedema, asma,


Kondisi serupa
sindrom karsinoid[2]

Perawatan Epinefrin, infus[1]

Frekuensi 0.05–2%[3]

[edit on Wikidata]

Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan
kematian.[4][5] Anafilaksis biasanya ditunjukkan oleh beberapa gejala termasuk di antaranya ruam
gatal, pembengkakan tenggorokan, dispnea, muntah, kepala terasa ringan, dan tekanan darah
rendah. Gejala-gejala ini akan timbul dalam hitungan menit hingga jam.[1]

Penyebab yang umum dari reaksi ini adalah gigitan serangga, makanan, dan obat. Penyebab lainnya
dapat berupa paparan lateks. Selain itu kasus dapat terjadi tanpa alasan yang jelas.[1] Mekanisme
terjadinya anafilaksis melibatkan pelepasan mediator dari sel darah putih tertentu. Pelepasan
protein ini dapat disebabkan oleh reaksi sistem imun ataupun oleh sebab lain yang tidak berkaitan
dengan sistem imun.[6] Diagnosis anafilaksis dilakukan berdasarkan gejala dan tanda pada seseorang
setelah terjadi paparan dengan alergen potensial.[1]

Tata laksana awal anafilaksis adalah pemberian suntikan epinefrin, pemasangan infus, dan
pengaturan posisi tubuh mendatar.[1][7] Dosis epinefrin tambahan dapat diberikan apabila
diperlukan. Membawa injektor epinefrin otomatis dan tanda pengenal mengenai kondisi medis
direkomendasikan bagi orang yang memiliki riwayat anafilaksis.[1][7]

Di seluruh dunia, sekitar 0,05–2% dari populasi pernah mengalami anafilaksis pada suatu saat dalam
kehidupannya. Angka ini tampaknya terus meningkat.[3] Anafilaksis lebih sering terjadi pada kalangan
remaja dan wanita.[7][8] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuno: ana yang berarti "lawan", dan
phylaxis yang berarti "pertahanan".[9]

Daftar isi

 1 Gejala dan tanda

o 1.1 Kulit

o 1.2 Pernapasan

o 1.3 Jantung dan pembuluh darah

o 1.4 Lain-lain
 2 Penyebab

o 2.1 Makanan

o 2.2 Obat

o 2.3 Bisa

o 2.4 Faktor risiko

 3 Patofisiologi

o 3.1 Imunologi

o 3.2 Non-imunologi

 4 Diagnosis

o 4.1 Klasifikasi

o 4.2 Tes alergi

o 4.3 Diagnosis banding

 5 Pencegahan

 6 Tata laksana

o 6.1 Epinefrin

o 6.2 Tata laksana tambahan

o 6.3 Persiapan

 7 Prognosis

 8 Epidemiologi

 9 Sejarah

 10 Penelitian

 11 Referensi

 12 Pranala luar

Gejala dan tanda


Gejala dan tanda anafilaksis.

Anafilaksis biasanya memberikan berbagai gejala yang berbeda dalam hitungan menit atau jam.[10][11]
Gejala akan muncul rata-rata dalam waktu 5 sampai 30 menit bila penyebabnya adalah suatu zat
yang masuk ke dalam aliran darah secara langsung (intravena) dan rata-rata 2 jam jika penyebabnya
adalah makanan yang dikonsumsi oleh orang tersebut.[12] Daerah yang umumnya terpengaruh
adalah: kulit (80–90%), sistem pernapasan (70%), saluran cerna (30–45%), jantung dan pembuluh
darah (10–45%), dan sistem saraf pusat (10–15%).[11] Anafilaksis biasanya melibatkan dua sistem
organ atau lebih.[3]

Kulit

Kaligata dan kemerahan pada punggung seorang yang terkena anafilaksis

Gejala khas yang timbul berupa kaligata, gatal, wajah dan kulit kemerahan, atau angioedema pada
jaringan tertentu.[13] Pada orang yang mengalami angioedema, mereka tidak merasakan gatal tetapi
kulitnya terasa seperti terbakar.[12] Pembengkakan lidah atau tenggorokan dapat terjadi pada hampir
20% kasus.[14] Gejala lain yang dapat timbul adalah hidung berair dan pembengkakan konjungtiva.[15]
Kulit dapat menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.[15]

Pernapasan

Gejala pada sistem pernapasan meliputi dispnea, mengi, atau stridor.[13] Mengi biasanya disebabkan
oleh spasme pada otot-otot yang menyusun bronkus.[16] Stridor timbul karena pembengkakan yang
menyebabkan penyempitan di saluran napas bagian atas.[15] Suara serak, nyeri saat menelan, atau
batuk juga dapat terjadi.[12]
Jantung dan pembuluh darah

Spasme arteri koroner dapat terjadi disertai dengan infark miokardium, gangguan irama jantung,
atau henti jantung.[3][11] Penderita dengan riwayat penyakit jantung memiliki risiko lebih besar untuk
mendapatkan efek anafilaksis pada jantung.[16] Spasme arteri koroner memiliki keterkaitan dengan
pelepasan histamin oleh sel tertentu di jantung.[16]. Meskipun lebih sering terjadi denyut jantung
cepat akibat tekanan darah rendah,[15] 10% orang yang mengalami anafilaksis dapat memiliki denyut
jantung yang lambat akibat tekanan darah rendah. Kombinasi antara denyut jantung lambat dan
tekanan darah rendah dikenal sebagai refleks Bezold–Jarisch.[8] Penderita dapat merasakan pening
atau bahkan kehilangan kesadaran karena penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah ini
disebabkan oleh syok.[16] Pada kasus yang jarang, tekanan darah yang sangat rendah dapat menjadi
satu-satunya tanda anafilaksis.[14]

Lain-lain

Gejala pada lambung dan usus dapat berupa nyeri abdomen, diare, dan muntah.[13] Penderita dapat
mengalami kebingungan, kehilangan kendali untuk berkemih, dan nyeri panggul yang terasa seperti
mengalami kontraksi rahim.[13][15] Melebarnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sakit
kepala.[12] Penderita dapat juga cemas atau merasa seperti akan mati.[3]

Penyebab

Anafilaksis dapat disebabkan oleh respons tubuh terhadap hampir semua senyawa asing.[17] Hal yang
sering menjadi pemicu antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obat-
obatan.[8][18] Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan dewasa muda. Obat-obatan
dan gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa
yang lebih tua.[3] Penyebab yang lebih jarang di antaranya adalah faktor fisik, senyawa biologis
(seperti air mani), lateks, perubahan hormon, aditif makanan (seperti monosodium glutamat dan
pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit.[15] Faktor fisik seperti olahraga atau
suhu juga dapat memicu anafilaksis dengan efek langsung dari sel mast.[3][19] Anafilaksis karena
berolahraga biasanya terkait dengan asupan makanan tertentu.[12] Bila anafilaksis timbul saat
seseorang sedang dibius, penyebab tersering adalah obat penghambat saraf otot, antibiotik, dan
lateks.[20] Pada 32–50% kasus, penyebab anafilaksis tidak diketahui.[21] Enam jenis vaksin (MMR,
varicella, influenza, hepatitis B, tetanus, meningokokus) dapat juga menjadi penyebab anafilaksis.[22]

Makanan

Banyak makanan yang dapat memicu anafilaksis, bahkan saat makanan tersebut dikonsumsi untuk
pertama kali.[8] Pada budaya Barat, penyebab tersering adalah makan atau terpapar dengan kacang
tanah, gandum, kacang pohon, kerang, ikan, susu, dan telur.[3][11] Di Timur Tengah, wijen sering
menjadi makanan pemicu. Di Asia, nasi dan kacang arab sering menyebabkan anafilaksis.[3] Kasus
yang berat biasanya disebabkan karena mengkonsumsi makanan tersebut, tetapi beberapa orang
mengalami reaksi yang hebat saat makanan pemicu bersentuhan dengan bagian tubuh.[8] Dengan
bertambahnya usia, alergi dapat mengalami perbaikan. Pada usia 16 tahun, 80% anak dengan
anafilaksis terhadap susu atau telur dan 20% anak yang pernah mengalami anafilaksis terhadap
kacang dapat mengkonsumsi makanan tersebut tanpa masalah.[17]

Obat
Setiap obat dapat menyebabkan anafilaksis. Obat yang paling umum adalah antibiotik beta-laktam
(seperti penisilin) diikuti oleh aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS).[11][23] Apabila
seseorang memiliki alergi terhadap salah satu jenis OAINS, biasanya masih dapat menggunakan jenis
lainnya tanpa memicu anafilaksis.[23] Penyebab lain anafilaksis yang sering ditemukan di antaranya
adalah kemoterapi, vaksin, protamin, dan obat-obatan herbal.[3][23] Beberapa obat termasuk
vankomisin, morfin, dan agen radiokontras, menyebabkan anafilaksis karena degranulasi sel mast.[8]

Frekuensi reaksi terhadap obat sebagian tergantung pada seberapa sering obat diberikan dan
sebagian lagi tergantung pada cara kerja obat di dalam tubuh.[24] Anafilaksis terhadap penisilin atau
sefalosporin hanya terjadi setelah mereka berikatan dengan protein di dalam tubuh, dan beberapa
obat lebih mudah berikatan dibandingkan dengan yang lainnya.[12] Anafilaksis terhadap penisilin
muncul pada satu di antara 2.000 hingga 10.000 orang yang mendapat pengobatan. Kematian terjadi
pada kurang dari satu setiap 50.000 orang yang mendapat pengobatan.[12] Anafilaksis terhadap
aspirin dan OAINS muncul pada kurang lebih satu di antara 50.000 orang.[12] Jika seseorang
mengalami reaksi terhadap penisilin, risiko reaksinya terhadap sefalosporin akan lebih besar, tetapi
masih lebih kecil dari 1 : 1.000.[12] Agen radiokontras lama menyebabkan reaksi pada 1% dari seluruh
kasus. Agen radiokontras berosmolaritas rendah yang lebih baru menimbulkan reaksi pada 0,04%
kasus.[24]

Bisa

Bisa dari sengatan atau gigitan serangga seperti Hymenoptera (semut, lebah, tawon) atau
Triatominae (kissing bug) dapat menyebabkan anafilaksis.[11][25][26] Bila seseorang mengalami reaksi
terhadap bisa sebelumnya, dan reaksinya meluas ke sekitar tempat sengatan, mereka memiliki risiko
anafilaksis lebih besar pada masa yang akan datang.[27][28] Namun, separuh dari penderita yang
meninggal karena anafilaksis tidak menunjukkan adanya reaksi meluas sebelumnya.[29]

Faktor risiko

Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksem, atau rinitis alergi memiliki risiko tinggi
anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Orang-orang ini tidak
memiliki risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan.[3][8] Dalam suatu studi yang
dilakukan pada anak-anak dengan anafilaksis, ditemukan bahwa 60% memiliki riwayat penyakit atopi
sebelumnya. Lebih dari 90% anak yang meninggal karena anafilaksis menderita asma.[8] Orang
dengan mastositosis atau berasal dari status sosioekonomi yang tinggi, memiliki risiko yang lebih
besar.[3][8] Semakin lama waktu sejak terakhir kali terpapar agen penyebab anafilaksis, maka semakin
rendah risiko terjadi reaksi yang baru.[12]

Patofisiologi

Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi berat yang terjadi dengan tiba-tiba dan memengaruhi banyak
sistem tubuh.[5][6] Hal ini disebabkan oleh pelepasan mediator inflamasi dan sitokin dari sel mast dan
basofil. Pelepasan ini biasanya merupakan suatu reaksi sistem imun, tetapi dapat juga disebabkan
kerusakan pada sel-sel ini yang tidak berkaitan dengan reaksi imun.[6]

Imunologi
Dalam mekanisme terkait reaksi imun, imunoglobulin E (IgE) berikatan dengan antigen (bahan asing
yang menyebabkan reaksi alergi). Kombinasi antara IgE yang berikatan dengan antigen mengaktifkan
reseptor FcεRI pada sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil bereaksi dengan melepaskan mediator
inflamasi seperti histamin. Mediator ini meningkatkan kontraksi otot polos bronkus, menyebabkan
pelebaran pembuluh darah, meningkatkan kebocoran cairan dari dinding pembuluh darah, dan
menekan kerja otot jantung.[6][12] Diketahui pula suatu mekanisme imunologi yang tidak bergantung
pada IgE, tetapi belum diketahui apakah hal ini terjadi pada manusia.[6]

Non-imunologi

Dalam mekanisme tidak terkait reaksi imun, terdapat suatu faktor yang secara langsung merusak sel
mast dan basofil, sehingga keduanya melepaskan histamin. Faktor yang dapat merusak sel ini di
antaranya adalah zat kontras untuk sinar-x, opioid, suhu (panas atau dingin), dan getaran.[6][19]

Diagnosis

Anafilaksis didiagnosis berdasarkan tanda dan gejala yang timbul pada seseorang.[3] Jika muncul
salah satu dari tiga gejala di bawah ini dalam waktu beberapa menit hingga jam setelah seseorang
terpapar suatu alergen, kemungkinan besar orang tersebut mengalami anafilaksis:[3]

1. Gejala pada kulit atau jaringan mukosa bersamaan dengan kesulitan bernapas atau tekanan
darah rendah

2. Terjadinya dua atau lebih gejala berikut ini:

a. Gejala pada kulit atau mukosa

b. Kesulitan bernapas

c. Tekanan darah rendah

d. Gejala saluran cerna

3. Tekanan darah rendah setelah terpapar alergen tersebut

Gejala pada kulit meliputi: urtikaria, gatal, atau pembengkakan lidah. Kesulitan dalam bernapas
meliputi: sesak napas, stridor, atau kadar oksigen yang rendah. Tekanan darah rendah didefinisikan
sebagai penurunan sebesar 30% dari tekanan darah biasanya. Pada orang dewasa, tekanan darah
sistolik di bawah 90 mmHg sering digunakan sebagai penentu tekanan darah rendah.[3]

Jika seseorang memberikan reaksi berat setelah tersengat serangga atau minum obat tertentu,
pemeriksaan darah untuk menguji kadar triptase atau histamin (yang dilepaskan oleh sel mast) akan
sangat membantu dalam mendiagnosis anafilaksis. Namun, pemeriksaan ini tidak akan bermanfaat
apabila penyebabnya adalah makanan atau bila tekanan darah tetap normal,[3] dan pemeriksaan
tersebut tidak dapat menyingkirkan diagnosis anafilaksis.[17]

Klasifikasi

Ada tiga klasifikasi utama anafilaksis. Syok anafilaktik terjadi ketika pembuluh darah di hampir
seluruh bagian tubuh melebar, sehingga menyebabkan tekanan darah rendah sampai sedikitnya 30%
di bawah tekanan darah normal orang tersebut.[14] Diagnosis anafilaksis bifasik ditegakkan ketika
gejala di atas muncul kembali dalam waktu 1–72 jam kemudian meskipun tidak ada kontak baru
antara pasien dengan alergen.[3] Beberapa studi menyatakan bahwa kasus anafilaksis bifasik
mencakup sampai dengan 20% kasus.[30] Biasanya gejala-gejala tersebut muncul kembali dalam
waktu 8 jam.[8] Reaksi kedua tersebut diatasi dengan cara yang sama dengan anafilaksis awal.[11]
Pseudoanafilaksis atau reaksi anafilaktoid adalah istilah lama anafilaksis yang bukan disebabkan oleh
reaksi alergi, melainkan oleh kerusakan langsung pada sel mast.[8][31] Nama yang saat ini digunakan
oleh Badan Alergi Dunia adalah “anafilaksis non-imun” [31] Beberapa pihak menyarankan agar istilah
lama tersebut tidak digunakan lagi.[8]

Tes alergi

Tes alergi kulit yang dilakukan pada lengan sebelah kanan

Tes alergi dapat digunakan untuk memastikan penyebab anafilaksis pada seseorang. Tes alergi kulit
sudah tersedia untuk beberapa jenis makanan dan bisa hewan.[17] Pemeriksaan darah untuk IgE
spesifik dapat bermanfaat dalam memastikan alergi susu, telur, kacang, kacang-kacangan pohon,
dan ikan.[17] Tes kulit dapat digunakan untuk mengetahui alergi penisilin, tetapi tidak dapat
digunakan untuk jenis obat lainnya.[17] Jenis anafilaksis non-imun hanya dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan riwayat kesehatan orang yang bersangkutan atau pemaparan dengan bahan alergen
yang pernah menyebabkan reaksi di masa lalu. Tidak ada pemeriksaan darah maupun tes kulit untuk
anafilaksis non-imun.[31]

Diagnosis banding

Kadangkala sulit untuk membedakan anafilaksis dengan asma, pingsan, dan serangan panik.[3]
Penderita asma biasanya tidak mengalami gatal atau gejala saluran cerna. Pada orang yang pingsan,
kulitnya pucat dan tidak beruam. Seseorang yang mengalami serangan panik mungkin kulitnya
berwarna kemerahan tetapi tidak memiliki urtikaria.[3] Kondisi lain yang juga menunjukkan gejala
serupa adalah keracunan makanan yang berasal dari ikan busuk dan infeksi akibat parasit tertentu.[8]

Pencegahan

Cara yang dianjurkan untuk mencegah anafilaksis adalah menghindari segala sesuatu yang
sebelumnya pernah menyebabkan reaksi. Apabila sulit dilakukan, desensitisasi dapat menjadi
pilihan. Imunoterapi dengan bisa Hymenoptera efektif digunakan untuk desensitisasi hingga 80–90%
pada orang dewasa dan 98% pada anak terhadap alergi lebah, tawon, tabuhan, tawon yellowjacket,
dan semut api. Imunoterapi oral sebenarnya cukup efektif untuk desensitisasi pasien terhadap
makanan tertentu seperti susu, telur, dan kacang-kacangan; namun cara ini seringkali menyebabkan
efek samping yang tidak baik.[3] Sebagai contoh, beberapa orang mengalami gatal tenggorokan,
batuk, atau pembengkakan bibir selama melakukan imunoterapi.[32] Desensitisasi juga dapat
dilakukan pada alergi obat, namun sebagian besar pasien sebaiknya cukup menghindari penggunaan
obat yang menyebabkan masalah tersebut. Bagi mereka yang alergi terhadap lateks, sangat penting
menghindari makanan yang mengandung bahan-bahan makanan yang dapat bereaksi silang, antara
lain alpukat, pisang, kentang, dan beberapa makanan lainnya.[3]

Tata laksana

Anafilaksis adalah kondisi darurat medis yang memerlukan tindakan resusitasi seperti penanganan
jalan napas, pemberian oksigen, cairan infus intravena dengan volume besar, serta pengawasan
ketat.[11] Epinefrin adalah obat pilihan. Antihistamin dan steroid seringkali digunakan bersama
dengan epinefrin.[3] Jika pasien sudah kembali normal, dia harus tetap dipantau di rumah sakit
selama 2 sampai 24 jam untuk memastikan bahwa gejala tidak muncul kembali, seperti yang terjadi
pada anafilaksis bifasik.[8][12][30][33]

Epinefrin

Alat penyuntik otomatis EpiPen versi lama

Epinefrin (adrenalin) adalah obat pilihan pada anafilaksis. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk
obat ini.[11] Cara penggunaan yang dianjurkan yaitu penyuntikan larutan epinefrin ke otot di bagian
pertengahan paha sisi anterolateral segera setelah dicurigai terjadi reaksi anafilaksis.[3] Penyuntikan
dapat diulang setiap 5 sampai 15 menit apabila orang yang bersangkutan tidak memberikan respons
yang baik terhadap obat tersebut.[3] Dosis kedua biasanya diperlukan pada 16 hingga 35% kasus.[8]
Pemberian lebih dari dua dosis jarang diperlukan.[3] Penyuntikan ke dalam lapisan otot lebih banyak
dilakukan ketimbang suntikan ke bawah lapisan kulit, karena penyerapan obat menjadi terlalu
lama.[34] Efek samping minor akibat penggunaan epinefrin antara lain tremor, kecemasan, sakit
kepala, dan berdebar-debar.[3]

Epinefrin mungkin tidak akan bekerja pada orang yang mengonsumsi obat penghambat reseptor
beta.[8] Dalam kondisi demikian, apabila epinefrin tidak bekerja efektif, maka suntikan intravena
glukagon dapat diberikan. Glukagon memiliki mekanisme aksi yang tidak melibatkan reseptor beta.[8]

Jika perlu, epinefrin juga dapat disuntikkan ke pembuluh vena dengan larutan pengencer. Meski
demikian, suntikan eprinefrin intravena sering dikaitkan dengan disritmia dan serangan jantung.[35]
Alat penyuntik epinefrin otomatis dapat digunakan oleh orang dengan anafilaksis untuk menyuntik
diri sendiri, biasanya tersedia dalam dua dosis, satu untuk dewasa atau anak dengan berat badan
lebih dari 25 kg dan satu lagi untuk anak dengan berat badan 10 sampai 25 kg.[36]

Tata laksana tambahan

Antihistamin umumnya digunakan di samping epinefrin. Secara teori, antihistamin diduga lebih
efektif namun sangat sedikit bukti yang menunjukkan hal ini. Kajian Cochrane pada tahun 2007 tidak
menemukan adanya penelitian berkualitas baik yang dapat digunakan sebagai rekomendasi obat
tersebut.[37] Antihistamin diyakini tidak membantu dalam mengatasi penumpukan cairan atau
spasme otot saluran napas.[8] Kortikosteroid kemungkinan tidak akan memberikan pengaruh apabila
orang yang bersangkutan sedang mengalami anafilaksis. Kortikosteroid dapat digunakan untuk
menurunkan risiko anafilaksis bifasik, namun tidak jelas efektivitasnya dalam mencegah reaksi
anafilaksis berikutnya.[30] Salbutamol yang diberikan melalui terapi nebulizer mungkin efektif apabila
epinefrin tidak berhasil menghilangkan gejala bronkospasme.[8] Metilena biru juga sudah digunakan
pada orang yang tidak responsif terhadap obat lain, karena dapat melemaskan otot polos.[8]

Persiapan

Seseorang yang memiliki risiko anafilaksis disarankan agar memiliki "rencana aksi alergi". Orang tua
harus memberi tahu sekolah perihal alergi anak-anaknya dan langkah yang harus dilakukan apabila
terjadi kondisi darurat anafilaksis.[38] Rencana aksi tersebut biasanya mencakup cara penggunaan
alat penyuntik epinefrin otomatis, saran untuk mengenakan gelang peringatan medis, serta
penyuluhan mengenai pencegahan bahan pemicu.[38] Imunoterapi sudah tersedia untuk beberapa
pemicu tertentu. Terapi ini dapat mencegah timbulnya kejadian anafilaksis di kemudian hari.
Rangkaian desensitisasi subkutan selama beberapa tahun telah diketahui efektif terhadap alergi bisa
serangga penyengat, sementara desensitisasi oral efektif untuk berbagai jenis makanan.[11]

Prognosis

Peluang kesembuhan cukup besar apabila penyebab anafilaksis diketahui dan orang yang
bersangkutan langsung mendapatkan pengobatan.[39] Meskipun penyebabnya tidak diketahui,
apabila tersedia obat-obatan untuk menghentikan reaksi, maka orang tersebut biasanya cepat
pulih.[12] Jika sampai terjadi kematian, biasanya diakibatkan oleh masalah pernapasan (umumnya
asfiksia) atau masalah kardiovaskuler (syok).[6][8] Anafilaksis menyebabkan kematian pada 0,7–20%
kasus.[12][16] Beberapa kasus kematian terjadi dalam hitungan menit.[3] Pada orang yang mengalami
anafilaksis akibat aktivitas fisik umumnya bisa teratasi dengan baik, dan seiring bertambahnya usia,
biasanya kejadian anafilaksis lebih jarang dan lebih ringan.[21]

Epidemiologi

Insidensi anafilaksis adalah 4–5 per 100.000 orang setiap tahun,[8] dengan risiko kejadian seumur
hidup sebesar 0,5%–2%.[3] Jumlah tersebut tampaknya mengalami peningkatan. Jumlah orang yang
mengalami anafilaksis pada tahun 1980-an kira-kira hanya 20 per 100.000 per tahun, sementara
pada tahun 1990-an menjadi 50 per 100.000 per tahun.[11] Peningkatan ini tampaknya terjadi pada
kelompok anafilaksis yang disebabkan oleh makanan.[40] Risikonya lebih besar pada kalangan remaja
dan wanita.[8][11]

Saat ini, anafilaksis menyebabkan 500–1.000 kematian setiap tahun (2,4 per satu juta) di Amerika
Serikat, 20 kematian per tahun di Inggris (0,33 per satu juta), dan 15 kematian per tahun di Australia
(0,64 satu per juta).[8] Kematian antara tahun 1970-an hingga 2000-an sudah mengalami
penurunan.[41] Di Australia, kematian akibat anafilaksis yang disebabkan oleh makanan terutama
terjadi pada wanita, sementara yang disebabkan oleh gigitan serangga terutama terjadi pada pria.[8]
Kematian akibat anafilaksis umumnya dipicu oleh obat.[8]

Sejarah
Istilah "aphylaxis" diciptakan oleh Charles Richet pada tahun 1902 dan kemudian diganti menjadi
"anaphylaxis" agar lebih enak didengar.[17] Dalam percobaannya, Richet menyuntikkan racun
anemon laut (Actinia) ke seekor anjing sebagai upaya perlindungan. Meskipun sebelumnya anjing ini
telah kebal terhadap racun tersebut, pada paparan ulang dengan dosis yang sama tiga minggu
kemudian, anjing tersebut mengalami anafilaksis fatal. Dia kemudian dianugerahi Hadiah Nobel
bidang Kedokteran dan Fisiologi pada tahun 1913 berkat hasil karyanya dalam bidang anafilaksis.[12]
Sebenarnya, reaksi anafilaksis sudah pernah dilaporkan sejak zaman kuno.[31] Istilah ini berasal dari
bahasa Yunani Kuno: ana yang berarti "lawan", dan phylaxis yang berarti "pertahanan".[42]

Penelitian

Saat ini masih berlangsung usaha pengembangan epinefrin sublingual yang dapat diberikan di bawah
lidah untuk mengobati anafilaksis.[8] Injeksi subkutan antibodi anti-IgE omalizumab sedang diteliti
sebagai metode pencegahan munculnya kembali reaksi, namun hasil penelitian itu belum dapat
dijadikan rekomendasi.[3][43]

Referensi

1. ^ a b c d e f g h i "Anaphylaxis". National Institute of Allergy and Infectious Diseases.


April 23, 2015. Diakses tanggal 4 February 2016.

2. ^ a b Caterino, Jeffrey M.; Kahan, Scott (2003). In a Page: Emergency medicine (dalam
bahasa Inggris). Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 132. ISBN 9781405103572.

3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac Simons, FE; World Allergy, Organization


(2010 May). "World Allergy Organization survey on global availability of essentials
for the assessment and management of anaphylaxis by allergy-immunology
specialists in health care settings." (PDF). Annals of allergy, asthma & immunology :
official publication of the American College of Allergy, Asthma, & Immunology 104
(5): 405–12. PMID 20486330.

4. ^ Sampson HA, Muñoz-Furlong A, Campbell RL et al. (February 2006). "Second


symposium on the definition and management of anaphylaxis: summary report—
Second National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and
Anaphylaxis Network symposium". The Journal of Allergy and Clinical Immunology
117 (2): 391–7. PMID 16461139. doi:10.1016/j.jaci.2005.12.1303.

5. ^ a b Tintinalli, Judith E. (2010). Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide


(Emergency Medicine (Tintinalli)). New York: McGraw-Hill Companies. hlmn. 177–
182. ISBN 0-07-148480-9.

6. ^ a b c d e f g Khan, BQ; Kemp, SF (2011 Aug). "Pathophysiology of anaphylaxis.".


Current opinion in allergy and clinical immunology 11 (4): 319–25. PMID 21659865.

7. ^ a b c The EAACI Food Allergy and Anaphylaxis Guidelines Group (August 2014).
"Anaphylaxis: guidelines from the European Academy of Allergy and Clinical
Immunology.". Allergy 69 (8): 1026–45. PMID 24909803. doi:10.1111/all.12437.
8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa Lee, JK; Vadas, P (2011 Jul). "Anaphylaxis:
mechanisms and management.". Clinical and experimental allergy : journal of the
British Society for Allergy and Clinical Immunology 41 (7): 923–38. PMID 21668816.

9. ^ Gylys, Barbara (2012). Medical Terminology Systems: A Body Systems Approach.


F.A. Davis. hlm. 269. ISBN 9780803639133.

10. ^ Oswalt ML, Kemp SF (May 2007). "Anaphylaxis: office management and
prevention". Immunol Allergy Clin North Am 27 (2): 177–91, vi. PMID 17493497.
doi:10.1016/j.iac.2007.03.004. Clinically, anaphylaxis is considered likely to be
present if any one of three criteria is satisfied within minutes to hours

11. ^ a b c d e f g h i j k l Simons FE (October 2009). "Anaphylaxis: Recent advances in


assessment and treatment" (PDF). J. Allergy Clin. Immunol. 124 (4): 625–36; quiz
637–8. PMID 19815109. doi:10.1016/j.jaci.2009.08.025.

12. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Marx, John (2010). Rosen's emergency medicine: concepts and


clinical practice 7th edition. Philadelphia, PA: Mosby/Elsevier. hlm. 15111528.
ISBN 9780323054720.

13. ^ a b c d Sampson HA, Muñoz-Furlong A, Campbell RL et al. (February 2006). "Second


symposium on the definition and management of anaphylaxis: summary report—
Second National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and
Anaphylaxis Network symposium". J. Allergy Clin. Immunol. 117 (2): 391–7.
PMID 16461139. doi:10.1016/j.jaci.2005.12.1303.

14. ^ a b c Limsuwan, T; Demoly, P (2010 Jul). "Acute symptoms of drug hypersensitivity


(urticaria, angioedema, anaphylaxis, anaphylactic shock)." (PDF). The Medical clinics
of North America 94 (4): 691–710, x. PMID 20609858.

15. ^ a b c d e f Brown, SG; Mullins, RJ, Gold, MS (2006 Sep 4). "Anaphylaxis: diagnosis and
management.". The Medical journal of Australia 185 (5): 283–9. PMID 16948628.

16. ^ a b c d e Triggiani, M; Patella, V, Staiano, RI, Granata, F, Marone, G (2008 Sep).


"Allergy and the cardiovascular system.". Clinical and experimental immunology. 153
Suppl 1: 7–11. PMC 2515352. PMID 18721322.

17. ^ a b c d e f g Boden, SR; Wesley Burks, A (2011 Jul). "Anaphylaxis: a history with
emphasis on food allergy.". Immunological reviews 242 (1): 247–57. PMID 21682750.

18. ^ Worm, M (2010). "Epidemiology of anaphylaxis.". Chemical immunology and


allergy 95: 12–21. PMID 20519879.

19. ^ a b editors, Marianne Gausche-Hill, Susan Fuchs, Loren Yamamoto, (2007). The
pediatric emergency medicine resource (Edisi ke-Rev. 4. ed.). Sudbury, Mass.: Jones
& Bartlett. hlm. 69. ISBN 9780763744144.
20. ^ Dewachter, P; Mouton-Faivre, C, Emala, CW (2009 Nov). "Anaphylaxis and
anesthesia: controversies and new insights.". Anesthesiology 111 (5): 1141–50.
PMID 19858877. doi:10.1097/ALN.0b013e3181bbd443.

21. ^ a b editor, Mariana C. Castells, (2010). Anaphylaxis and hypersensitivity reactions.


New York: Humana Press. hlm. 223. ISBN 9781603279505.

22. ^ "Adverse Effects of Vaccines: Evidence and Causality" (PDF). U.S. Institute of
Medicine. 2011. Diakses tanggal 2014-01-16.

23. ^ a b c Volcheck, Gerald W. (2009). Clinical allergy : diagnosis and management.


Totowa, N.J.: Humana Press. hlm. 442. ISBN 9781588296160.

24. ^ a b Drain, KL; Volcheck, GW (2001). "Preventing and managing drug-induced


anaphylaxis.". Drug safety : an international journal of medical toxicology and drug
experience 24 (11): 843–53. PMID 11665871.

25. ^ Klotz, JH; Dorn, PL, Logan, JL, Stevens, L, Pinnas, JL, Schmidt, JO, Klotz, SA (2010 Jun
15). ""Kissing bugs": potential disease vectors and cause of anaphylaxis.". Clinical
infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases Society of
America 50 (12): 1629–34. PMID 20462351.

26. ^ Brown, Simon G. A.; Wu, Qi-Xuan; Kelsall, G. Robert H.; Heddle, Robert J. & Baldo,
Brian A. (2001). "Fatal anaphylaxis following jack jumper ant sting in southern
Tasmania". Medical Journal of Australia 175 (11): 644–647. PMID 11837875.

27. ^ Bilò, MB (2011 Jul). "Anaphylaxis caused by Hymenoptera stings: from


epidemiology to treatment.". Allergy. 66 Suppl 95: 35–7. PMID 21668850.

28. ^ Cox, L; Larenas-Linnemann, D, Lockey, RF, Passalacqua, G (2010 Mar). "Speaking


the same language: The World Allergy Organization Subcutaneous Immunotherapy
Systemic Reaction Grading System.". The Journal of allergy and clinical immunology
125 (3): 569–74, 574.e1–574.e7. PMID 20144472.

29. ^ Bilò, BM; Bonifazi, F (2008 Aug). "Epidemiology of insect-venom anaphylaxis.".


Current opinion in allergy and clinical immunology 8 (4): 330–7. PMID 18596590.

30. ^ a b c Lieberman P (September 2005). "Biphasic anaphylactic reactions". Ann. Allergy


Asthma Immunol. 95 (3): 217–26; quiz 226, 258. PMID 16200811.
doi:10.1016/S1081-1206(10)61217-3.

31. ^ a b c d Ring, J; Behrendt, H, de Weck, A (2010). "History and classification of


anaphylaxis." (PDF). Chemical immunology and allergy 95: 1–11. PMID 20519878.

32. ^ Simons, FE; Ardusso, LR; Dimov, V; Ebisawa, M; El-Gamal, YM; Lockey, RF; Sanchez-
Borges, M; Senna, GE; Sheikh, A; Thong, BY; Worm, M; World Allergy, Organization.
(2013). "World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 update of the
evidence base.". International Archives of Allergy and Immunology 162 (3): 193–204.
PMID 24008815. doi:10.1159/000354543.
33. ^ "Emergency treatment of anaphylactic reactions – Guidelines for healthcare
providers" (PDF). Resuscitation Council (UK). January 2008. Diakses tanggal 2008-04-
22.

34. ^ Simons, KJ; Simons, FE (2010 Aug). "Epinephrine and its use in anaphylaxis: current
issues.". Current opinion in allergy and clinical immunology 10 (4): 354–61.
PMID 20543673.

35. ^ Mueller, UR (2007 Aug). "Cardiovascular disease and anaphylaxis.". Current opinion
in allergy and clinical immunology 7 (4): 337–41. PMID 17620826.

36. ^ Sicherer, SH; Simons, FE, Section on Allergy and Immunology, American Academy
of, Pediatrics (2007 Mar). "Self-injectable epinephrine for first-aid management of
anaphylaxis.". Pediatrics 119 (3): 638–46. PMID 17332221.

37. ^ Sheikh A, Ten Broek V, Brown SG, Simons FE (August 2007). "H1-antihistamines for
the treatment of anaphylaxis: Cochrane systematic review". Allergy 62 (8): 830–7.
PMID 17620060. doi:10.1111/j.1398-9995.2007.01435.x.

38. ^ a b Martelli, A; Ghiglioni, D, Sarratud, T, Calcinai, E, Veehof, S, Terracciano, L,


Fiocchi, A (2008 Aug). "Anaphylaxis in the emergency department: a paediatric
perspective.". Current opinion in allergy and clinical immunology 8 (4): 321–9.
PMID 18596589.

39. ^ Harris, edited by Jeffrey; Weisman, Micheal S. (2007). Head and neck
manifestations of systemic disease. London: Informa Healthcare. hlm. 325.
ISBN 9780849340505.

40. ^ Koplin, JJ; Martin, PE, Allen, KJ (2011 Oct). "An update on epidemiology of
anaphylaxis in children and adults.". Current opinion in allergy and clinical
immunology 11 (5): 492–6. PMID 21760501.

41. ^ Demain, JG; Minaei, AA, Tracy, JM (2010 Aug). "Anaphylaxis and insect allergy.".
Current opinion in allergy and clinical immunology 10 (4): 318–22. PMID 20543675.

42. ^ "anaphylaxis". merriam-webster.com. Diakses tanggal 2009-11-21.

43. ^ Vichyanond, P (2011 Sep). "Omalizumab in allergic diseases, a recent review.".


Asian Pacific journal of allergy and immunology / launched by the Allergy and
Immunology Society of Thailand 29 (3): 209–19. PMID 22053590.

https://id.wikipedia.org/wiki/Anafilaksis

Você também pode gostar