Você está na página 1de 20

LAPORAN PENDAHULUAN

NEONATAL PNEUMONIA

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Pediatrik


Ruang 11 (Perinatologi) RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
Syahra Sonia Andhiki
NIM. 170070301111044

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2017

1. DEFINISI & KLASIFIKASI


 Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat konsolidasi yang
disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas tidak dapat
berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi dan darah dialirkan ke sekitar
alveoli yang tidak berfungsi. Hipoksemia dapat terjadi tergantung banyaknya jaringan
paru-paru yang sakit(Somantri, 2007).
 Pneumonia adalah keradangan parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan
radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium,
menyebabkan sekumpulan gejala dan tanda khas biasanya dengan gambaran
infiltrat sampai konsolidasi pada foto rontgen dada. Gejala/tanda tersebut antara lain,
demam, sesak napas, batuk dengan dahak purulen kadang disertai darah dan nyeri
dada (Syahrir, 2008).
 Pneumonia neonatal adalah infeksi pada paru-paru, serangan mungkin terjadi dalam
beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat disamakan dengan
kumpulan gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan terbatas pada paru-paru. Tanda-
tandanya mungkin terbatas pada kegagalan pernafasan atau berlanjut ke arah syok
dan kematian. Infeksi dapat ditularkan melalui plasenta, aspirasi atau diperoleh
setelah kelahiran (Caserta, 2009).

2. Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi Pneumonia Neonatal dapat dibagi menjadi :
a. Intrapartum pneumonia
1) Pneumonia Intrapartum diperoleh selama perjalanan melalui jalan lahir.
2) Intrapartum pneumonia dapat diperoleh melalui transmisi hematogenous,
atau aspirasi dari ibu yang terinfeksi, atau terkontaminasi cairan atau dari
mekanik, atau gangguan iskemik dari permukaan mukosa yang telah baru
saja dijajah dengan ibu invasif organisme yang sesuai potensi dan
virulensinya.
3) Bayi yang aspirasi benda asing, seperti mekonium atau darah, dapat
mewujudkan tanda-tanda paru segera setelah atau sangat segera setelah
lahir. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala
yang diakibatkan oleh terhisapnya mekonium ke dalam saluran pernafasan
bayi. Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion
yang mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium dapat keluar
di dalam kandungan bila terjadi stres /kegawatan intrauterin. Mekonium yang
terhirup bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada saluran
pernafasan, sehingga terjadi gangguan pernafasan dan gangguan
pertukaran udara di paru-paru. Selain itu,mekonium juga menyebabkan
iritasi dan peradangan pada saluran udara,menyebabkan suatu pneumonia
kimiawi.
4) Proses infeksi sering memiliki periode beberapa jam sebelum invasi yang
memadai, replikasi, dan respon inflamasi telah terjadi menyebabkan tanda-
tanda klinis.
b. Pneumonia pascalahir
1) Pasca kelahiran pneumonia dalam 24 jam pertama kehidupan berasal
setelah bayi lahir.
2) Pasca kelahiran radang paru-paru dapat diakibatkan dari beberapa proses
yang sama seperti yang dijelaskan di atas, tetapi infeksi terjadi setelah
proses kelahiran.
3) Yang sering menggunakan antibiotik spektrum luas yang dihadapi dalam
banyak pelayanan obstetri dan bayi baru lahir unit perawatan intensif (NICU)
sering mengakibatkan kecenderungan dari bayi untuk kolonisasi oleh
organisme resisten pathogenicity yang tidak biasa. Terapi invasif yang
diperlukan dalam oleh bayi sering menyebabkan mikroba masuk ke dalam
struktur yang biasanya tidak mudah diakses.
4) Enteral menyusui dapat mengakibatkan peristiwa aspirasi peradangan
signifikan potensial. Selang makanan mungkin lebih lanjut dapat
mempengaruhi gastroesophageal reflux dan aspirasi pada bayi.

3. ETIOLOGI
Organisme yang penyebab pneumoni bervariasi menurut kelompok umur.
Neonatus sejak lahir sampai usia 3 minggu, kelompok bakteri pathogen yang umum
didapatkan ialah B streptokokus dan bakteri gram negatif bakteri, E coli telah
menjadi yang paling umum didapatkan pada bayi dengan berat 1500 gr atau kurang,
lain organisme bakteri potensial seperti; Nontypeable Haemophilus influenzae
(NTHI), Basil Gram negative, enterococci, dan Staphylococcus aureus. . Infeksi
bakteri ini merupakan penularan yang bersumber dari ibu. Streptococcus
pneumoniae paling sering didapatkan pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan.
Pada umur 3 bulan sampai umur prasekolah, virus dan Streptococcus pneumoniae
yang paling dominan menyebabkan pneumonia, sedangkan bakteri lain yang
berpotensi termasuk Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B dan
non-typeable strain, Staphylococcus aureus, dan Moraxella catarrhalis. Infeksi oleh
bakteri streptokokus Grup B paling sering ditularkan ke janin dalam rahim, biasanya
sebagai akibat dari kolonisasi vagina dan leher rahim ibu.

4. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang terjadi pada neonatal
1. Faktor predisposisi, Ibu demam (>38˚C), air ketuban berbau, air ketuban pecah (>24
jam)

2. Cairan ketuban dalam rahium ibu didapatkan cairan ketuban terinfeksi, atau selama
kelahiran neonatus terkena infeksi
3. Berat lahir dan onset usia sangat menentukan risiko kematian akbiat pneumonia.
Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat ringannya
penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
1. Status gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia.Tingkat
pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi
adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia
2. Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita
umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari
penyakit.Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka
diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada
balita (Depkes RI, 2004).Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi
kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian
imunisasi.Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
3. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan
bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat
mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk
menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia
pada balita
4. Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia.Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur
dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status
kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas
yang masih sempit.
a. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko
terjadinya pneumonia.Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak
mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan
berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal
dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh diantaranya :
1. Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara
kotor dari ruangan yang tertutup.Termasuk ventilasi adalah jendela dan
penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen
2. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan
oleh polusi di dalam dapur.Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor
risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam
rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat
pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari
kendaraan bermotor

5. PATOFISIOLOGI (Terlampir)

6. MANIFESTASI KLINIS
Adapun gejala klinis dari neonatal pneumonia yaitu :
a. Tachypnea (respiratory rate >60/min) may be present. Tachypnea (laju
pernafasan >60 kali/menit).
b. Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.
c. Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di
subcostal, interkostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.
d. Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan
kuantitas, tetapi yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari
serosanguineous untuk penampilan yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau,
atau perdarahan warna dan tekstur krim atau chunky tidak jarang terjadi. Jika
aspirasi mekonium, darah, atau cairan properadangan lainnya dicurigai, warna
dan tekstur lain bisa dilihat.
e. Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi dengan
radang paru-paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka mungkin
disebabkan oleh proses menyebabkan peradangan, seperti gagal jantung
kongestif, kondensasi dari gas humidified diberikan selama ventilasi mekanik,
atau tabung endotracheal perpindahan. Meskipun alternatif penjelasan yang
mungkin, temuan ini akan dimintakan pertimbangan cermat pneumonia dalam
diagnosis diferensial.
f. Sianosis pusat jaringan, menyiratkan deoxyhemoglobin konsentrasi sekitar 5
g/dL atau lebih dan konsisten dengan kerusakan pertukaran gas dari disfungsi
paru berat seperti radang paru-paru, meskipun penyakit jantung bawaan
struktural, hemoglobinopathy, polisitemia, dan hipertensi pulmonal (dengan atau
tanpa parenkim terkait lainnya penyakit paru-paru) harus dipertimbangkan.
g. Peningkatan pernapasan seperti peningkatan menghirup oksigen konsentrasi,
ventilasi tekanan positif, atau tekanan saluran udara positif terus menerus
umumnya diperlukan sebelum pemulihan dimulai.
h. Bayi dengan pneumonia dapat bermanifestasi asimetri suara napas dan dada
yang menyatakan kebocoran udara atau perubahan emphysematous sekunder
obstruksi jalan napas parsial.
Selain gejala klinis di atas, dapat juga muncul gambaran klinis APGAR Score
rendah, segera setelah lahir terjadi distress nafas, perfusi perifer rendah, letargi,
tidak mau minum, tidak mau minum, distensi abdomen, suhu tidak stabil, asisdosis
metabolic.
Rales, rhonchi, and cough are all observed much less frequently in infants with
pneumonia than in older individuals.Cyanosis of central tissues, such as the trunk,
implies a deoxyhemoglobin concentration of approximately 5 g/dL or more and is
consistent with severe derangement of gas exchange from severe pulmonary
dysfunction as in pneumonia, although congenital structural heart disease,
hemoglobinopathy, polycythemia, and pulmonary hypertension (with or without other
associated parenchymal lung disease) must be considered.Infants may have
external staining or discoloration of skin, hair, and nails with meconium, blood, or
other materials when they are present in the amniotic fluid.Increased respiratory
support requirements such as increased inhaled oxygen concentration, positive
pressure ventilation, or continuous positive airway pressure are commonly required
before recovery begins.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan ciri-ciri sebagai berikut :
Inspeksi
 Retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping
hidung.
 Distres pernapasan : retraksi dinding dada,penggunaan otot tambahan yang
terlihat; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Hal ini
disebabkan oleh tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi
melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang
mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal,
dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal
yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif.
Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal
lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan
fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat
dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini
terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak
beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital.
Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,
adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas
atas dan keseluruhan.Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas
dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.
Palpasi
Taktil fremitus masih ada
Perkusi
Tidak ditemukan kelainan.
Auskultasi
Ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak
kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000
Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah, keras atau lemah, jarang atau banyak, halus
atau kasar. Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret
jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

b. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkandiagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateralatau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi
yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan gambaran yang bervariasi, di antaranya :
 Bercak konsolidasi merata pada bronkopneumonia
 Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris
 Gambaran bronkopneumonia difua atau infiltrate interstitial pada pneumonia
staphylococcus
 Bercak infiltrate alveolar menunjukkan pneumonia yang disebabkan oleh \bakteri,
virus maupun mycoplasma
 Bercak infiltrate sirkular menunjukkan gambaran pneumonia pneumococcal pada
tahap awal
 Bercak infiltrasi difus menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
 Bercak konsolidasi lobus, plate like atelectasis,m nodular infiltration dan hilar
adenopathy juga menunjukkan adanya infeksi M. pneumonia
 Bercak reticulonodular infiltrate yang mengarah ke infiltrate alveolar menunjukkan
pneumonia P. carinii
 Hilar adenopathy menunjukkan adanya kecenderungan tuberculosis.
(Jadavji, dkk.1997)

Pemeriksaan Penunjang Lainnya


a. Pemeriksaan radiology (Chest X-Ray) :
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal lobus dan bronchial), menunjukkan multiple
abses/infiltrat, empiema (Staphylococcus), penyebaran atau lokasi infiltrasi (bacterial),
penyebaran/extensive nodul infiltrat (viral).
b. Pemeriksaan laboratorium:
1) DL, Serologi, LED: leukositosis menunjukkan adanya infeksi bakteri,
menentukan diagnosis secara spesifik, LED biasanya meningkat.
2) Elektrolit : Sodium dan Klorida menurun, bilirubin biasanya meningkat.
3) Analisis gas darah dan Pulse oximetry menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan
O2.
4) Pewarnaan Gram/Cultur sputum dan darah: untuk mengetahui oganisme
penyebab.
5) Analisa cairan lambung, bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi
amnion (risiko pneumonia tinggi).
c. Pemeriksaan fungsi paru-paru :volume mungkin menurun, tekanan saluran udara
meningkat, kapasitas pemenuhan udara menurun dan hipoksemia.

c. Penegakkan diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):
 Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
 Panas badan
 Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
 Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
 Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan).

8. PENATALAKSANAAN NEONATALPNEUMONIA
WHO merekomendasikan penggunaan ampicillin (50mg/kg) setiap 12 jam dalam
minggu pertama kehidupan, kemudian pada umur 2-4 minggu diberikan tiap 8 jam, ditambah
dengan dosis tunggal gentamicin. Pengobatan lini pertama dapat diberikan ampicilin seperti
benzylpenicillin atau amoxicillin, sedangkan gentamicin seperti amikasin atau tobramycin.
Jika bakteri S. Aureus yang didapat, dengan resisten terhadap penicillin seperti flucloxacillin
atau cloxacillin maka harus diganti dengan ampicillin. Prinsip-prinsip umum pengobatan
serupa dengan anak, yaitu hidrasi, anti-pyretics dan ventilasi dukungan jika diperlukan. Pada
bayi yang berumur kurang dari 1 bulan jika penyebabnya bakteri dapat diberikan ampicillin
75-100 mg/kg/hr dan gentamicin 5 mg/kg, untuk umur 1-3 bulan dapat diberikan Cefuroxime
75–150 mg/kg/hr atau co-amoxiclav 40 mg/kg/hari. Sedangkan pada umur lebih dari 3 bulan
diberikan Benzylpenicillin atau erythromycin, jika tidak berespon segera ganti dengan
cefuroxime atau amoxicillin.

A. Tindakan suportif
 Pemberian Terapi Oksigen
Pemberian Terapi oksigen yang adekuat untuk mempertahankan PaO2> 8 kPa
(SaO2< 90%) melalui kateter hidung atau masker. Terapi oksigen adalah
pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari yang ditemukan
dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut konsentrasi oksigen dalam
ruangan adalah 21 %, ( Hidayat, 2007 ). Indikasi Menurut Standar Keperawatan
ICU Depkes RI (2005) dan Andarmoyo (2012), indikasi terapi oksigen adalah :
a. Pasien hipoksia
b. Oksigenasi kurang sedangkan paru normal
c. Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
d. Oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal
e. Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
f. Pasien dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah.

- Indikasi terapi oksigen pada neonatus adalah :

a. Pasien asfiksia
b. Pasien dengan napas lebih dari 60 kali/menit
c. Pasien Takipnu
d. Pasien Febris
e. Pasien BBLR.

- Kontra indikasi pemberian terapi oksigen Menurut Potter (2005) kontra indikasi
meliputi beberapa :
a. Kanul nasal / Kateter binasal / nasal prong : jika ada obstruksi nasal.

b. Kateter nasofaringeal / kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak

kepala, trauma maksilofasial, dan obstruksi nasal

b. Sungkup muka dengan kantong rebreathing : pada pasien dengan

PaCO2 tinggi, akan lebih meningkatkan kadar PaCO2 nya lagi

- Metode pemberian oksigen


Untuk cara pemberian oksigen bermacam- macam seperti dibawah ini (Potter,
2005):
a. Melalui inkubator

b. Head box

c. Nasal kanul ( low flow atau high flow)

d. Nasal CPAP (Continuous Positive Airway Pressure)

e. Nasal Intermittent Positive Pressure Ventilation (NIPPV)

f. Ventilator (dengan memasukkan endotracheal tube)

Untuk memilih apa yang seharusnya dipakai, kita dapat menggunakan


Down Score seperti gambar di bawah:
Parameter 0 1 2
Frekuensi napas <60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang Sianosis
dengan
pemberian
oksigen
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
Suara napas Suara napas di Suara napas di Tidak ada Suara
kedua paru baik kedua paru napas di kedua
menurun paru
merintih Tidak merintih Dapar didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu

- Penilain tingkat gangguan napas :


1. Nilai ≤ 3 : gangguan napas ringan
2. Nilai 4-5 : gangguan napas sedang
3. Nilai ≥6 : gangguan napas berat

- Untuk metode yang di pakai adalah :


1. Distres pernapasan ringan menggunakan O2 nasal / Head box

2. Distres pernapasan sedang perlu Nasal CPAP

3. Distres pernapasan berat perlu untuk dilakukan intubasi dan


penggunaan ventilator

 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Resusitasi cairan intravena untuk
memastikan stabilitas hemodinamik. Cairan rumatan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan,
kenaikan suhu dan status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang berat
dapat dipuasakan, tetapi bila sesak sudah berkurang asupan oral dapat segera
diberikan. Pemberian asupan oral dapat diberikan bertahap melalui NGT drip
susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari
kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat
SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone)
 Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif
kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin
diperlukan pada gagal napas.
 Fisioterapi dada dengan drainage postural, bronkoskopi & suction dapat
diberikan untuk membantu pasien mengeluarkan sekret di saluran pernafasan.
Dan hidrasi untuk mengencerkan sekresi sekret.

B. Penatalaksanaan keperawatan (Muscari, 2005.)


 Kaji adanya distres pernafasan dengan memantau tanda-tanda vital dan status
pernafasan
 Beri obat sesuai indikasi :
 Antibiotik diindikasikan untuk pengobatan pneumonia bakteri.
 Antibiotik tidak digunakan untuk mengobati pneumonia virus, tetapi mungkin
dianjurkan untuk mengurangi resiko infeksi bakteri sekunder.
 Tingkatkan oksigenasi yang adekuat dan pola nafas normal
 Rekomendasikan vaksin pneumokokus untuk anak-anak usia 2 tahun dan anak
y
yang lebih besar yang berisiko terhadap pneumonia.
 Berikan penyuluhan pada anak dan keluarga.

9. KOMPLIKASI
Dalam Buku Saku Dasar Patologis Penyakit( Corwin, 2009), komplikasi pneumonia
terdiri atas:
 Pembentukan abses
 Empiema (penyebaran infeksi ke dalam rongga pleura)
 Pneumotoraks
 Gagal napas
 Pengorganisasian eksudat menjadi jaringan parut fibrotic
 Efusi pleura
 Hipoksemia
 Pneumonia kronik
 Bronkaltasis
 Atelektasis (pengembangan paru yang tidak sempurna/bagian paru-paru yang
diserang tidak mengandung udara dan kolaps)
 Komplikasi sistemik (meningitis)
 Endokarditis
 Osteomielitis
 Hipotensi
 Delirium
 Asidosis metabolic
 Dehidrasi
 Bakterimia :merupakan komplikasi dari pneumonia pneumokokus yang paling
serius. Kejadian ini meningkatkan kemungkinan kematian secara bermakna.
Supurasi yang terkait dengan nekrosis likuefaktif alveolus menyebabkan daerah
paru yang rusak digantikan oleh nanah.
 Pneumonia bakteri nekrotikan: kelainan ini merupakan komplikasi yang jarang
terjadi, dicirikan oleh nekrosis paru sangat berat yang berkaitan dengan penyakit
progresif cepat dan angka kematian yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Ditjen P2PL Depkes RI 2007.Bimbingan penatalaksanaan pneumonia balita.
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 3. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Khairuddin. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Pneumonia yang
Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP dr. Kariadi Semarang Tahun
2008. Semarang: FKUNDIP.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak,Orang Dewasa,
Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Morgan, Geri. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC
Muscari, M.E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Eds : 3. Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia di Indonesia. Jakarta.
Setyoningrum, R.A. 2006. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI : Pneumonia.
FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya)
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Syahrir, Muhammad, dkk., 2008. Guideline Ilmu Penyakit Paru.Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Anamnesa:
1) Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama penanggung jawab,
hubungan dengan pasien, alamat.
2) Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid terakhir
(HPHT), tapsiran partus (TP).
3) Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam, keputihan,
riwayat terapi.
4) Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan lainnya.
5) Riwayat persalinan: cara persalinan (spontan, section, forceps) dan indikasinya
6) KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi, pernafasan,
kelainan fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan, lingkar dada, APGAR
score.
b. Pemeriksaan fisik
1) Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat berkurang pada
daerah yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi sternum dan intercostal
space. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama
melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus di
lapangan paru yang terkena, kadang disertai dengan sputum.
2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang
(>3 det).
3) Brain
Klien dengan pneumonia berat biasanya mengalami penurunan kesadaran,
didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji
tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil terhadap cahaya
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu
memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
Dikaji pula kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.
5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi
alvi, adakah kelainan pada anus.
6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah kelainan pada
tulang yang kemungkinan karena trauma persalinan atau kongenital, bagaimana ATR
(activity tonus respon).
2. Diagnosa Keperawatan (Yang Mungkin Muncul)
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial,
pembentukan edema, dan penumpukan sekret.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif.
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi oksigen.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi
parenkim paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer.
e. Resiko Syok

3. Rencana Tindakan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan inflamasi bronchial, pembentukan
edema, dan penumpukan sekret. .
Tujuan: jalan napas bersih dan efektif.
Kriteria evaluasi:
1) Bunyi napas bersih, tidak ada bunyi napas tambahan.
2) Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.
3) Batuk efektif.
4) Sianosis tidak ada.
5) Tidak ada retraksi sternum dan intercostal space.
6) Nafas cuping hidung tidak ada.
Rencana intervensi
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan pergerakan dada.
Rasional: takipnea, pernafasan dangkal sering terjadi karena ketidaknyamanan.
2) Auskultasi area paru, catat penurunan atau tak ada aliran udara dan bunyi napas.
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan cairan,
krakels terdengar sebagai respon terhadap pengumpulan cairan/secret.
3) Penghisapan sesuai indikasi.
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya penurunan tingkat
kesadaran.
4) Evaluasi status mental, catat adanya kebingungan, disorientasi.
Rasional: menurunnya perfusi otak dapat menyebabkan perubahan sensorium
5) Kolaborasi dalam pemberian obat mukolitik, bronkodilator
Rasional: obat mukolitik membantu untuk mengencerkan sekret, bronkodilator
mengurangi edema dan sebagai vaso dilatasi bronkus.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif Tujuan:
pola nafas efektif.
Kriteria evaluasi:
1) Pernafasan teratur (RR 30-40 kali/menit).
2) Tanda vital dalam batas normal (nadi 100-130 kali/menit).
3) Tidak ada penggunaan otot bantu napas.
4) Napas cuping hidung tidak ada.
Rencana intervensi:
1) Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan
seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan volume
sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah
komplikasi.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada
kontraindikasi.
Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan perbaikan
kongesti paru.
3) Berikan oksigen dengan head box atau sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan sirkulasi.
4) Kaji ulang laporan foto dada dan pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat terjadinya
komplikasi.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi O2.
Tujuan: pertukaran gas efektif.
Kriteria evaluasi:
1) Hasil AGD dalam batas normal. .
2) Sianosis tidak ada.
3) Pasien tidak pucat.
Rencana intervensi:
1) Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan seperti
dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan volume
sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah
komplikasi.
2) Pertahankan pemberian oksigen Head box sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke otak untuk kebutuhan sirkulasi.
3) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat terjadinya
komplikasi.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan rasio ventilasi dan difusi
parenkim paru ditandai dengan sianosis jaringan perifer, akral dingin, pucat, CRT<3
detik.
Tujuan : mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
1) Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.
2) Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.
3) Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.
4) Akral hangat.
5) Tidak terjadi penurunan kesadaran.
Rencana intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman bernapas dan suara nafas.
Rasional: takipnea, pernapasan yang dangkal sering terjadi karena ketidaknyamanan
gerakan dinding dada dan atau cairan paru.
2) Tempatkan pasien dalam incubator.
Rasional: mempertahankan suhu tubuh pasien, mencegah hipotermia, memperbaiki
metabolisme jaringan.
3) Pantau tanda vital.
Rasional : abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lebih lanjut
dan mengetahuai perubahan sesegera mungkin.
4) Pantau tingkat kesadaran .
Rasional: kekurangan aliran oksigen ke otak dapat menyebabkan hipoksia sel-sel
otak, kematian jaringan otak dan terjadinya penurunan tingkat kesadaran .
5) Pantau tanda-tanda sianosis, warna kulit, akral perifer.
Rasional: sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah salah satu tanda hipoksia jaringan
yang berat akibat perfusi yang tidak adekuat.
6) Kolaborasi: pertahankan pemberian O2 sesuai indikasi (Head box 5-10 lt/mnt).
Rasional : mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.
7) Kolaborasi pemeriksaan darah lengkap.
Rasional: Hb yang rendah (<10 gr/dl) mempengaruhi suplay oksigen ke jaringan.

4. Evaluasi
Sesuai dengan kriteria hasil yaitu bersihan jalan nafas efektif, pola nafas efektif, tidak
terjadi kerusakan pertukaran gas, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi hipertermi.
FLORA NORMAL PADA TUBUH MANUSIA
Golongan antibiotic beta-lactam :

- Penisilin
- Sefalosprorin
- Carbapenem
- Monobactam

Pengaturan pada CPAP :

FiO2 : Fraksi oksigen yang dihirup (FiO2) adalah persentase oksigen yang dihantarkan
dengan range antara 21%-100% untuk mengoptimalkan pertukaran gas pada pasien. Fraksi
dituliskan dalam bentuk decimal. Efek FiO2 dapat ditingkatkan dengan manipulasi volume
per menit dan PEEP.

PEEP : Positive End Expiratory Pressure digunakan untuk mempertahankan tekanan positif
jalan nafas pada fase ekspirasi dengan tujuan untuk mencegah atelektasis dan untuk
memperbaiki proses difusi. PEEP dapat menimbulkan adanya peningkatan tekanan intra
thorak, yang mengakibatkan tekanan vena sentral menjadi meningkat.

Você também pode gostar