Você está na página 1de 6

Analisis Kasus Natuna Indonesia-China

(Terkait dengan Pertahanan dan


Keamanan Negara)
Posted on May 8, 2016 by

Analisis Kasus

Wilayah Indonesia sendiri berbatasan dengan sejumlah negara lain. Wilayah lautnya
dikelilingi oleh 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina,
Australia, Timor Leste, Palau, dan Papua Nugini. Sementara itu, wilayah daratnya berbatasan
langsung dengan tiga negara, yaitu Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini sepanjang
2914,1 km. Wilayah perbatasan laut dan darat tersebut tersebar ke 38 kabupaten/ kota di 12
provinsi.2 Panjangnya garis perbatasan dengan 10 negara tetangga ini di satu sisi dapat
menjadi potensi bagi kerja sama antarnegara, tetapi di sisi lain dapat menjadi ancaman
kedaulatan dan keamanan negara.

Salah satu bentuk potensi yang dapat berubah menjadi existential threat adalah masih
terdapatnya sejumlah segmen perbatasan yang belum selesai dibahas dan disepakati dengan
negara tetangga. Ancaman tersebut dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan
bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta
konflik komunal.

Masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela
kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, masalah perbatasan tidak didiamkan. Masalah
perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan
dengan menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat
kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi
dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak. Tanpa ini, penyelesaian
masalah perbatasan sering butuh waktu lama.

Dengan dianggap pentingnya masalah perbatasan wilayah menjadikan organisasi


internasional membahasnya menjadi agenda bersama dan memberikan solusi penyelesaian
kasus perbatasan ini yakni ASEAN. Namun, dokumen-dokumen ASEAN hanya sedikit
menyinggung solusi soal sengketa wilayah. Ini menegaskan jalan menuju komunitas ASEAN
masih jauh. Di sisi lain, sebuah komunitas membutuhkan ”pengorbanan” setiap anggota
dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai bersama.
Namun, ada pertanda baik. ASEAN sudah mulai menyerap unsur-unsur kedaulatan itu
menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain, prinsip non- interferensi (tidak boleh campur
tangan) mulai ditembus. Akan tetapi, ada keengganan menyentuh lebih dalam masalah
sengketa perbatasan. Ini mengindikasikan masih besarnya resistensi untuk melonggarkan
urusan kedaulatan.

Dalam kasus Natuna yang diklaim secara sepihak oleh pemerintah China mengindikasikan
bahwa kekuatan dan pertahanan nasional dalam hal kedaulatan Negara masih memiliki
kekurangan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh Negara lain. Disisi lain pemerintah China
juga terlalu percaya diri dengan pengkklaiman yang dilakukannya atas wilayah Natuna.
Dimasukannya wilayah Natuna kedalam Zona Ekonomi Eksklusifnya China memberikan
masalah baru kepada Indonesia meskipun kasus ini sudah lama bergulit. Kasus ini semakin
membuat pemerintah Indonesia geram yakni dengan adanya kapal China yang berlabuh dan
memasuki wilayah laut Indonesia tanpa izin. Serta beberapa kasus pencurian ikan yang
dilakukan Negara ini diatas perairan wilayah Indonesia.

Kasus yang berawal pada tahun 2009 ini menurut versi China, mereka memasukan wilayah
Natuna kedalam peta wilayah mereka didasarkan pada sembilan titik garis/ nine dash line
yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya. Namun dari
Sembilan titik garis ini Indonesia tidak mengakuinya karena menurut Indonesia hal itu tidak
memiliki dasar hukum internasional apapun. Sembilan titik imaginer itu sendiri merupakan
salah satu penyebab munculnya konflik di wilayah Laut China Selatan. Klaim ini memancing
emosi sejumlah negara yang turut mengklaim memiliki hak di wilayah yang jadi jalur
perdagangan dunia itu. Usut punya usut, klaim yang bikin repot enam negara ini dipicu
kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik
Kuomintang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan.

Adalah tidak lengkap untuk memahami kebijakan maritim China saat ini bila tidak mencoba
mengetahui apa yang disebut “Nine-Dash Line”, karena hal ini sangat erat kaitannya dengan
klaim teritorial negara-negara lain yang terletak di kawasan Laut China Selatan. Penetapan
“sembilan garis terputus-putus” ini sebenarnya tidak dibuat oleh pemerintah China yang
sekarang, melainkan telah ada sejak tahun 1947, ketika pemerintahan Koumintang berkuasa
di daratan China yang mengklaim wilayah teritorial yang mencakup hampir seluruh kawasan
Laut China Selatan. Ketika itu klaim ini pada dasarnya tidak ada pertimbangan politik dan
strategik tertentu karena rezim yang berkuasa pada saat itu sibuk membenahi keadaan paska
pendudukan Jepang dan dan juga sesudah itu terlibat dalam perang saudara dengan rezim
komunis. Sepeninggal Jepang, pemerintah Koumintang segera menerbitkan peta yang berisi
11 garis terputus, sebagai klaim teritorial yang kenyataannya berlokasi jauh dari daratan
China mencakup seluruh perairan Laut China Selatan.

Sekalipun peta ini tidak memuat secara spesifik dan akurat mengenai batas-batasnya, peta ini
pun diadopsi oleh pemerintahan komunis yang mengambil alih kekuasaan dan mendirikan
negara People’s Republic of China (PRC) sejak tahun 1949. Sejak saat itu peta ini dijadikan
dasar klaim teritorial dan kebijakan politik pemerintahan Beijing sampai pada era sekarang
ini. Suatu perubahan dilakukan pada tahun 1953, yaitu China menghapus dua garis sehingga
tinggal sembilan, kemungkinan dijadikan sebagai salah satu cara untuk menghindari atau
meredakan ketegangan dengan Vietnam sebagai negara tetangga dekat pada waktu itu.

Luas wilayah yang termasuk dalam batas sembilan garis terputus itu mencapai 3,5 juta
kilometer persegi, meliputi 90 persen luas keseluruhan Laut China Selatan. Peta laut baru
China pada awal diterbitkan, tidak mendapatkan penentangan ataupun protes dari negara-
negara sekawasan/ berbatasan, karena negara-negara tersebut sebahagian besar sedang sibuk
berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya dari penjajah. Beijing menganggap sikap diam dari
negara-negara tetangga dan bahkan komunitas maritim internasional, sebagai suatu
pengakuan dan untuk mengimbanginya Beijing pun bersikap diam agar tidak menimbulkan
penentangan dari manapun http://www.fkpmaritim.org/strategi-maritim-china-di-laut-china-
selatan-suatu-dilema/)

Dalam kasus ini, sebenarnya Indonesia berada diposisi yang kuat daripada China yang hanya
mendasarkan pada aturan nine dash line itu. Apalagi ditambah dengan polah China yang
selama ini kerap melanggar zona eksklusif perairan Indonesia, selain itu juga dengan
beberapa kali tersangkut masalah illegal fishing yang dilakukan oleh masyarakat China
terhadap perairan Indonesia dan kapal China yang masuk dalam wilayah perairan Indonesia
dan tanpa seizin dari pihak Indoensia dan tindakan ini jelas melanggar UU ZEE No 5 Tahun
1983 kita khususnya dalam pasal 7. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa barangsiapa melakukan
kegiatan di perairan wilayah Indonesia harus mendapat persetujuan dari pemerintah
Indonesia.

Dari insiden illegal fishing oleh kapal China berbuntut protes resmi dari pemerintah
Indonesia karena upaya penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi
oleh kapal patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal penjaga pantai
(coast guard) milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan. Tak hanya itu, mereka
juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL. Akibat ulah dari kapal coast guard
China yang menerabas wilayah perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat
pemerintah Indonesia kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu.

Dilihat dari segi ZEE (Zona Economy Exlucive) Pasal 3 UU ZEE No. 5 tahun 1983 ayat (1)
dijelaskan bahwa Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indo nesia tumpang tindih dengan zona
ekonomi eksklusif negara-negara yang antainya saling berhadapan atau berdampingan
dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut
ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Dari
segi ini maka sudah jelas tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indoensia, yakni dengan
tegas untuk menyelesaikan kasus ini. Apalagi apabila dikaitkan dengan hak kedaulatan
Negara. Dijelaskan pula dalam Pasal (5) UU ini bahwa Dengan tidak mengurangi ketentuan
ayat (1), eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus mentaati ketentuan
tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dengan adanya tindakan China yang melakukan illegal fishing—kasus ini masih
berhubungan dengan pengklaiman Natuna—maka sudah jelas bahwa China harus mengikuti
dan mematuhi segala aturan yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia.

Sedangkan untuk masalah pengakuan pihak China mengenai nine dash line yang masih
dipertanyakan dan ditagih oleh pemeirntah Indonesia, sampai dengan tahun 2000, China
tidak pernah mengumumkan claim teritorialnya atas wilayah pulau-pulau dan laut yang
dibatasi oleh sembilan garis terputus tersebut, kecuali hanya membatasi kedaulatannya atas
kepulauan Spratley dan Paracel. Baru pada tahun 2009, secara resmi China menyampaikan
sebuah peta laut yang berisi garis batas berbentuk U dalam bentuk Note Verbal kepada
Komisi PBB tentang Batas-Batas Landas Kontinen. Penetapan ini serta merta mendapat
tentangan keras dari Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Dampaknya pada pertahanan kedaulatan wilayah Indonesia

Ketegangan sejumlah Negara di wilayah Kepulauan Natuna dimulai sejak China mereklamasi
dan memperluas pulau-pulau kecil Mischief Reef dan Pulau Subi sebagai bagian dari
Kepulauan Spratly di Laut China Selaatan. Kepulauan Natuna yang berada di antara ujung
barat laut indonesia di Kalimantasn dan ujung selatan Vietnam, memiliki 270 pulau menjadi
bagian Provinsi Kepelauan Riau dengan 70.000 penduduk.
Pengklaiman kepulauan Natuna terletak pada daerah perairan di sekitar kepulauan yang
berpotensi tumbang tindih pada batas garis imajiner Nine Dash Line yang ditetapkan oleh
China. Dalan kasus ini permasalahan bukan pada klaim kepulauannya saja tapi pada perariran
sekitar Kepulauan Natuna juga. Klaim ini akan berdampak pada hak daulat pada wilayah
kedaulatan Indonesia. Dengan Nine Dash Line yang tidak jelas batasnya mengakibatkan
timbulnya masalah atas hak berdaulat. Ketidakjelasalan NDL ini berdampak pada hak daulat
kawana ZEE.

Pada 12 November, China menhgejutkan Negara-negara di kawasan itu dengan


mengeluarkan pernyataan public mengenai status Kepulauan Natuna. Peenyataan China ini
mengagetkan, karena selama ini China tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada Negara-
negara yang menantang klaim maritimnya di Laut China Selatan. Kegagalan pemerintah
China mengklarifikasi klaim Indonesia atas Kepulauan Natuna termasuk ZEE-nya, terletak
pada akar kecemasan yang dirasakan rakyat Indonesia beberapa decade ini.

Akibat adanya kasus –lebih tepatnya sering—pengklaiman wilayah oleh Negara lain
memberikan kita pelajaran penting. Betapa penitngnya melindungi wilayah kedaulatan engara
kita. Bukan hanya yang ada dipusat Negara tetapi juga wilayah yang terluar dan terdepan.
Justru bagian-bagian wilayah inilah yang peru mendapat perhatian lebih dari pemerintah
untuk terus dijaga keutuhannya. Jangan sampai wilayah-wilayah ini diklaim oleh Negara
tetangga karena kita tidak pernah memanfaatkan dan menggunakan wilayah tersebut sebagai
penambah kesejahteraan rakyat atau bahkan Negara.

Tujuan Negara termaktub dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945, yakni

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yangberkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan berasab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-kilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan srosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dalam peraturan lain juga dijelaskan bahwa dalam UU ZEE bahwa dijelaskan bahwa
lingkungan laut diperairan yang ebrada di bawah kedaulatan dan yuridiksi Republik
Indonesia harus dilindungi dan dilestarikan. Dalam ketentuan umum juga dijelaskan bahwa
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk
emnjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi EKsklusif Indonesia.

Dilihat dari bebrapa peraturan diatas yang mewajibkan Negara untuk melindungi kedaulatan
rakyat serta kedaulatan wilayah maka dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya
kedaulatan Negara untuk terus dijaga dan dilindungi. Pertanyaannya, bagaimana kalau
kedaulatan Negara tersebut dicoreng atau dicaplok oleh Negara lain?

Dari kasus pengklaiman Kepulauan Natuna oleh China, mengindikasikan beberapa opini
penulis. Pertama, kekuatan nasional kita masih rendah. Kedua, pemerintah Indonesia
menggampangkan masalah perbatasan. Ketiga, pemeirntah China yang memandang rendah
kekuatan nasional kita. Keempat, indonesia mempunyai kekuatan nasional yang kuat, tetapi
China mempunyai kartu As kita atau ada unsure politik didalamnya. Dan yang terakhir
pemerintah indonesia kurang tegas dalam menakut-nakuti dan memberi peringatan kepada
Negara-negara tetangga tentang batas terotorial Negara Indonesia.

Untuk opsi pertama, maka kita dapat beranggapan bahwa memang kekuatan nasional kita
belum secangggih Negara-negara maju. Opsi kedua, mungkin kita bisa menyetujui
pernyataan tersebut. Negara kita akan cenderung untuk mengurusi masalah-masalah yang ada
dipusat saja, sedangkan masalah atau wilayah yang berada di perbatasan lebih
dikesampingkan dan ditinggalkan tanpa adanya pengelolaan dari Negara. Oleh karenanya,
penduduk yang menduduki wilayah perbatasan tersebut beranggapan bahwa mereka kurang
mendapat pengakuan dan perhatian dari pemerintah, sehingga mereka mencari perhatian dan
pengakuan dari Negara lain. selain itu dengan didukung oleh jarak yang lebih dekat dengan
engara tetangga mereka lebih dekat dengan Negara tetangga ketimbang dengan Negara nya
sendiri. mereka merasa sing dengan negaranya sendiri.

Dengan adanya pengklaiman ini sangat ebrakibat pada ketahanan dan keamanan Negara kita.
Ketahanan Negara akan terusik oleh adanya konflik ini. Selain itu Negara kita akan
dipandang lemah dan tidak mampu melindungi wilayahnya sendiri oleh Negara-negara lain.
dengan dipandang lemah tersebut, maka kemungkinan bahwa kita selamnya akan dianggap
rendah oleh Negara-negara lain. semakin berkurangnya sedikit demi sedikit wilayah
territorial kita juga menjadi salah satu dampak adanya pengklaiamn wilayah. lebih ekstrim
lagi, masyarakat Indoensia tidak akna percaya lagi pada pemerintah karena kasus ini. Tujuan
Negara yakni melindungi keutuhan NKRI menjadi tersendat dan tidak berjalan sesuai
rencana.

Sedang untuk masalah keamanan Negara, jelas hal ini akan berdampak. Dengan adanya
pengklaiman ini, dari penduduk Natuna sendiir pasti memiliki tekanan dan rasa takut karena
mereka menjadi subjek dari perebutan oleh Negara China. Selain itu, mereka juga akan
mempnyai tekanan batin dan takut, apabila sewaktu-waktu China mengancam mereka untuk
menyetujui mereka masuk ke wilayah China. Lebih luas lagi dalam kawasan Negara, hal ini
menjadi perhatian nasional. Dimana keamanan Negara, karena kita terlalu berkutat pada
masalah perbatasan ini, ditakutkan bahwa rakyat semakin merasa tidak aman. Mereka akan
mengira bahwa Negara tidak mampu melindungi mereka dari pengaurh Negara lain
khususnya dalam hal keamanan Negara.

Seperti yang diungkapkan oleh menteri luar negeri kita retno Pinasti bahwa pemerintah Poin
kedua dari protes Indonesia ke negeri Tirai Bambu itu, mengenai upaya yang dilakukan oleh
coast guard China untuk mencegah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas
Indonesia di wilayah ZEE dan landas kontinen. Di mana, salah satu kapal coast guard China
tiba-tiba mengejar Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 milik Indonesia dan kapal tangkapan KM
Kway Fey 10078 China dengan kecepatan 25 knots. Kapal cost guard itu justru menabrak
kapal tangkapan hingga rusak. Akhirnya, petugas meninggalkan kapal tangkapan tersebut
demi keselamatan.

Indonesia menyampaikan tiga prots terhadap pemerintah China terkait kasus Natuna
“Pertama adalah mengenai masalah pelanggaran hak berdaulat dan yuridiksi Indonesia di
kawasan ZEE (Zona Eekonomi Ekslusif) dan landas kontinen,” jelas Retno, di Istana Negara,
Jakarta, Senin 21 Maret 2016.
Dengan melihat betapa seriusnya Negara dalam hal mempertahankan wilayah kita dan
menyelesaikan konflik ini, maka bisa disimpulkan bahwa dengan adanya pengklaiaman
wilayah Kepulauan Natuna ini berdampak sangat besar pada ketahanan dan keamanan
Negara. Selain itu yang terpenting adalah kedaulatan Negara yang dilanggar oleh China.
Dengan beraninya mereka melanggar kedaulatan Negara yang dapat diasumsikan itu
merupakan rumah atau kekuasaan Indoensia. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya apabila
suatu Negara wilayahnya diambil dan diklaim oleh Negara tetangga yang itu merupakan
sudah jelas miliknya Negara tersebut.

“Dan, yang ketiga adalah keberatan kita atau protes kita terhadap pelanggaran kedaulatan laut
teritorial Indonesia.

Você também pode gostar