Você está na página 1de 11

ANALISIS KEBIJAKAN KEMENTRIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

INDONESIA TERKAIT PENENGGELAMAN KAPAL ASING PENCURI IKAN,


PELARANGAN PENGGUNAAN ALAT TANGKAP SERTA BONGKAR MUATAN DI
TENGAH LAUT BERDASARKAN TEORI WILLIAM N. DUNN

ESSAI
Disusun untuk diajukan dalam rangka pemenuhan tugas terstruktur mata kuliah kebijakan publik

Oleh,
JENUARD MOSSES TEGUH NELWAN

KELAS A - PROGRAM SARJANA

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


Jatinangor, 2015

Operasi kapal asing penangkap ikan di Indonesia semakin merajalela.


Tindakan yang sewenang-wenang di wilayah perairan Nusantara membuat
kerugian yang sangat besar. Hal ini sudah terjadi hampir selama 10 tahun terakhir
sehingga mulai dirasakan akibatnya. Akan tetapi dahulu Pemerintah dan
masyarakat hanya sedikit merasakan dampak dikarenakan belum fokus untuk
mengelola potensi alam di bidang kelautan sangat besar. Banyak industri perikanan
Indonesia seperti cold storage dan pengepakan ikan hancur satu per satu karena
tidak adanya bahan baku. Selain itu juga harga ikan di berbagai daerah mulai
mahal. Masyarakat mulai resah terhadap kenaikan harga ikan di pasaran dan juga
para nelayan mulai enggan melaut bukan disebabkan karena kenaikan harga solar
ataupun cuaca melainkan keresahan terhadap praktekillegal fhishing kapal
berbendera asing yang berdampak pada pengurangan pendapatan hasil laut serta
kerusakan ekosistem laut sebagai akibat dari penggunaan alat tangkap.
Penggunaan alat tangkap ikan di Indonesia mulai ditertibkan, karena dinilai
dapat merusak ekosistem laut. Kontribusi terhadap kerusakan ini bukan dari para
nelayan Indonesia, karena sebagian besar nelayan menggunakan alat tangkap
tradisional, melainkan dari para pencuri ikan negara lain yang menggunakan alat
tangkap terlarang untuk meningkatkan pendapatan hasil tangkapan, seperti :
1. Penggunaan bahan peledak, bahan beracun, dan aliran listrik.
2. Penggunaan jarring trawl.
3. Pengoperasian Pukat Udang (Shrimp Net) dan Pukat Ikan (Fish Net).
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti; kerugian atas
pencurian ikan oleh kapal asing mencapai 20 miliar dollar Amerika atau setara
dengan 240 triliun rupiah per tahun. Dengan rincian, bila satu kapal asing per
tahun melaut selama delapan bulan hasilnya akan mencapai 600 hingga 800
ton. Bila ikan yang ditangkap jenis tongkol dengan harga per kilonya Rp 12.000,
bisa dikalikan 600 ton, jadi berapa kerugiannya. Jakarta, Jumat
(5/12/2014). Sedangkan menurut Presiden Joko Widodo; pendapatan yang masuk
ke yang masuk ke kas negara hanya berkisar 60 triliun rupiah. Jumlah ini jauh
melampaui hasil curian negara lain. Jakarta, 5 Mei 2014
Maka dari itu pemerintah kembali menertibkan kasus ini melalui kebijakan
penenggelaman kapal asing yang mencuri di wilayah perairan di
Indonesia, moratorium izin kapal dan pelarangan transhipment / bongkar muatan
di tengah laut serta larangan penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem.
Kebijakan ini, untuk mengatasi berbagai masalah yang berdampak bukan hanya
pada masyarakat tapi juga terhadap sektor pendapatan negara.
Kelompok berusaha menguraikan serta menjelaskan prosedur terkait analisis
kebijakan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia
mengenai masalah ini. Melalui pendekatan teori dari William N. Dunn (2000),
prosedur analisis kebijakan dengan tipe-tipe pembuatan kebijakan, yaitu : Lihat
buku terjemahan dari William N. Dunn (2000)

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)


Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah.
Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Terkait kebijakan dari KKP,
masalah ini mendapat prioritas dalam agenda publik dan juga digolongkan pada
karekateristik masalah yang saling bergantung (interdependence). Masalah saling
bergantung menurut, William N Dunn (1995;94) yaitu masalah kebijakan dalam
satu bidang seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya. Maka dari itu ada
berbagai pertanyaan yang kiranya dapat menemukan persoalan serta mencari solusi
atau alternatif terhadap masalah tersebut, yaitu :
1. Apa penyebab dari masalah kenaikan harga ikan di pasaran yang membuat
masyarakat mulai resah, pendapatan Negara yang tidak efisien dibandingkan
dengan potensi alam yang dimiliki serta kerusakan ekosistem laut ?
2. Bagaimana cara atau solusi dalam mengatasi masalah tersebut ?
3. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan kebijakan serta implementasi dari
kebijakan tersebut ?
4. Apa tujuan atau target yang diharapkan dari kebijakan ini ?
Berdasarkan beberapa pertanyaan diatas maka dapat dijabarkan bahwa isu ini telah
menjadi proritas dalam agenda kebijakan pemerintah karena memenuhi beberapa
kriteria berdasarkan Kimber (1974); Salesbury (1976); Sanbach (1980);
Hogwood dan Gunn (1986).

2. Formulasi Kebijakan
Dalam tahapan ini masalah yang telah menjadi prioritas berusaha untuk
didefinisikan serta dicarikan solusi atau alternatif kebijakan melalui pembahasan
oleh para pembuat kebijakan. Alternatif kebijakan diharapkan dapat menguji masa
depan yang secara normatif bernilai dan mengestimasi akibat dari kebijakan yang
diusulkan serta mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam
pencapaian tujuan.
Untuk mengatasi masalah publik terkait kenaikan harga ikan di pasaran yang
membuat masyarakat mulai resah, pendapatan Negara yang tidak efisien
dibandingkan dengan potensi alam yang dimiliki serta kerusakan ekosistem laut,
maka para pembuat kebijakan/stake holder mengambil alternatif melalui
pembahasan yang panjang, yaitu :
1. Penenggelaman Kapal Asing
2. moratorium izin kapal
3. pelarangan transhipment / bongkar muatan di tengah laut
Alternatif kebijakan ini diambil karena disebabkan :
1. Banyak kapal berbendera asing yang beroperasi secara ilegal di wilayah perairan
Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan laut seperti ikan tuna, ikan tongkol dll.
2. Meningkatnya izin kapal lokal yang ternyata melakukan aksi kerjasama dengan
kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia yang kemudian nantinya
akan di ekspor secara ilegal di beberapa Negara seperti : Filipina, Thailand,
Jepang, Malaysia, Canada, Dubai dan beberapa Negara ASEAN lainnya.
3. Transaksi ilegal bongkar muatan yang dilakukan oleh nelayan lokal di wilayah
perbatasan (ditengah laut) yang sering dilakukan di wilayah sulawesi utara dan
maluku untuk didistribusikan ke berbagai negara.
Sebagai akibat dari alternatif kebijakan ini, yaitu :
1. Menurun secara drastis stok ikan di Filipina yang terkenal sebagai lumbung ikan
tuna di Dunia yang memasok ke berbagai Negara seperti Dubai dan Jepang.
2. Ekspor ikan kaleng ke Negara Dubai meningkat 20%-30%.
3. Menghentikan Impor pupuk/pakan berbahan baku ikan
4. Tawaran investasi Negara Malaysia dan Jepang di Bidang kelautan dan perikanan.
Kebijakan KKP ini telah menggemparkan beberapa Negara di Dunia, maka jika
kebijakan ini terus dilakukan diprediksikan Indonesia akan menjadi Negara
Pengekspor ikan terbesar di Dunia.
Adapun kendala-kendala yang nanti akan memperhambat implementasi
kebijakan ini; menurut analisis kelompok yaitu :
1. Kurangnya petugas untuk mengawasi wilayah perbatasan laut di Indonesia.
2. Kondisi kapal yang tidak memadai untuk proses pengawasan dan penjagaan
wilayah laut.
3. Aksi penolakan masyarakat terlebih nelayan terkait pelarangan penggunaan alat
tangkap.
4. Dana untuk pengoperasian kapal dalam hal ini pembelian bahan bakar kapal belum
efisien.
5. Tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat masih rendah.

3.Rekomendasi (Adopsi) / Implementasi Kebijakan


Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevaan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa
mendatang yang telah dietimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil
kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.
Pemantauan menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil
kebijakan pada tahap implementation policy.
Kelompok akan menguaraikan manfaat terkait alternatif kebijakan yang
diharapkan oleh KKP, yaitu :
1. Mengolah kekayaan sumber daya laut sebagai salah satu sumber pendapatan
negara untuk mempercepat proses pembangunan infrastruktur yang direncanakan
oleh pemerintah, terlebih pembangunan di bidang kemaritiman.
2. Meningkatnya ekspor industri ikan kaleng lokal
3. Meningkatkan kesejahteraan dari segi pendapatan nelayan
4. Pengakuan terhadap kedaulatan laut Indonesia
5. Melestarikan serta memperbaiki ekosistem laut yang telah rusak akibat
penggunaan alat tangkap
6. Meningkatkan bilateral dan multilateral antar negara di bidang kelauatan dan
perikanan.
Selama ini implementasi kebijakan tidak menimbulkan masalah baru dalam
masyarakat, akan tetapi membawa dampak buruk bagi negara yang telah terbiasa
mencuri kekayaan laut Nusantara. Telah terjadi kekosongan stok ikan di beberapa
Negara sehingga mengancam bahan pangan Negara lain. Sebagai akibat dari
implementasi kebijakan ini banyak keuntungan yang di raup oleh Indonesia di
bidang kelautan dan perikanan. Akan tetapi perlu ditingkatkan lagi dari segi
sumber daya pengawasan untuk melaksanakan tindakan-tindakan sesuai kebijakan
KKP.
4.Evaluasi Kebijakan
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang
ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar
dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian
kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya
menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan;
tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali
masalah.
Evaluasi terhadap implementasi khususnya selama ini alternatif kebijakan
masih terukur membawa dampak positif terhadap Negara dan masyarakat. Tingkat
resistensi dinilai kurang, tinggal yang perlu diperhatikan oleh KKP terkait
alternatif kebijakan untuk mengatasi prioritas masalah publik yaitu, pertama; terus
melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman serta
pengetahuan dan juga menambah infrastuktur terkait tempat pelelangan ikan. Hal
ini dinilai masih kurang bahkan tidak ada jika ditemui dilapangan. Kedua;
menambah sumber daya untuk pengawasan wilayah perairan Indonesia dalam
mencegah aksi ilegal bongkar mautan di tengah laut.

Buku sumber :
Dunn N. William. 1998. Analisa Kebijaksaan Publik. PT Hanindita Graha
Widya : Yogyakarta.
______________. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua.
Universitas Gadja Mada : Yogyakarta.

Berita :
Laman berita Detik.Com, Jakarta 5 Desember 2014
Laman Berita Kompas, Jakarta 5 Mei 2014
Dari sekian banyak jenis alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan
Indonesia, mungkin alat tangkap cantrang yang paling fenomenal dewasa ini.
Betapa tidak, selama dua tahun terakhir nelayan cantrang terus menyampaikan
penolakannya terhadap Permen-KP 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat
Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Isu cantrang kembali mencuat akhir-akhir ini setelah PKB (Partai Kebangkitan
Bangsa) dan PP Muhammadiyah menyuarakan isu ini ke ruang publik yang tentu
saja menembus dinding Istana. Presiden kemudian mengambil kebijakan dengan
memperpanjang izin penggunaan cantrang.

Cantrang adalah alat penangkapan ikan kategori pukat tarik (seine nets) yang
menggunakan mata jaring (mesh size) relatif kecil, yaitu 1,5 inchi. Dengan ukuran
tersebut, cantrang tidak selektif terhadap ikan target dan menangkap ikan segala
ukuran, termasuk ikan ukuran kecil. Ikan-ikan non-target yang tertangkap cantrang
(by-catch) biasanya dibuang, sementara ikan target berukuran kecil dijual dengan
harga murah.

Tertangkapnya ikan kecil, terutama juvenil ikan, menyebabkan populasi ikan tidak
dapat berkembang biak. Hal inilah yang menyebabkan cantrang dianggap sebagai
alat tangkap tidak ramah lingkungan yang mengancam keberlanjutan sumber daya
ikan.

Jenis alat tangkap seperti ini sebenarnya telah dilarang sejak tahun 1980 yaitu
melalui Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980 tentang Penghapusan
Jaring Trawl. Menteri Pertanian saat itu menjelaskan bahwa nama lain
jaring trawladalah pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring trawl ikan, pukat
apolo, pukat langgasi, dan lain-lain.

Namun dalam perkembangannya pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya


dimana pada tahun 2008 jaring trawl diizinkan penggunaannya secara lokal melalui
Permen-KP 6/2008 Tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di
Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara.
Pada tahun 2011, pemberlakukan jaring trawl kembali dilegalkan secara nasional
melalui Permen-KP 2/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen ini menyebutkan bahwa cantrang
merupakan salah satu jenis pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) yang
menggunakan kapal motor berukuran lebih kecil dari 30 GT.

Seiring dengan diangkatnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan


Perikanan, cantrang dilarang digunakan diseluruh wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia. Dengan berlakunya Permen-KP 2/2015, maka Permen-KP 2/2011
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Konsekuensinya, pemerintah dan pemerintah
daerah tidak akan memberikan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) bagi nelayan
yang menggunakan alat tangkap cantrang, baik izin baru maupun izin
perpanjangan. Penggunaan cantrang akan dianggap sebagai tindakan illegal
sehingga aparat penegak hukum di laut, polisi dan pengawas perikanan, dapat
mengambil tindakan hukum terhadap nelayan yang menggunakan cantrang.
Ilustrasi, alat tangkap ikan berupa jaring pukat hela (trawls). Foto : afma,gov.au
Pentahapan

Kebijakan pelarangan cantrang pada dasarnya baik dan sejalan dengan prinsip-
prinsip internasional dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan seperti yang diatur
dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Tata Laksana
Perikanan Bertanggung Jawab. Tata laksana ini salah satunya mengatur bahwa
setiap negara harus mengambil kebijakan untuk mengurangi penangkapan ikan
non-target (by-catch) dan mengatur ukuran mata jaring untuk melindungi juvenil
ikan.

Kebijakan pelarangan cantrang juga tidak bertentangan dengan UU 31/2004 jo UU


45/2009 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang
menggunakan alat penangkapan ikan yang menganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan. Undang-Undang ini juga memberi wewenang kepada Menteri
Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan alat penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan tersebut.

Namun persoalannya adalah penerapan kebijakan pelarangan cantrang terkesan


tanpa perencanaan yang matang, sehingga terjadi resistensi yang berkepanjangan.
Selain itu, Menteri Susi nampaknya bekerja sendiri tanpa ada dukungan dari
kementerian lain. Padahal isu cantrang adalah isu sensitif yang menyangkut hajat
hidup orang banyak, bukan hanya nelayan cantrang tapi juga orang-orang yang
bekerja dalam supply chain hasil tangkapan nelayan cantrang.

Pemerintah sebenarnya bisa belajar dari mantan Presiden Soeharto ketika


mengeluarkan kebijakan penghapusan jaring trawl tahun 1980. Soeharto saat itu
menyusun pentahapan yang mantap dimana setiap tahap terdiri dari target
penghapusan jumlah kapal jaring trawl. Dalam pelaksanaannya pun melibatkan
beberapa kementerian, selain Menteri Pertanian yang saat itu bertanggungjawab
mengurusi bidang perikanan.

Cara kerja Soeharto dalam menyusun rencana pentahapan ini sama dengan ketika
menyusun Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan hasilnya, menurut
evaluasi Dwiponggo (1992), pada akhir Desember 1981 perikanan
jaring trawl sudah tidak ada lagi di Indonesia.

Belajar dari pengalaman tersebut, maka saran sederhana untuk pemerintahan


sekarang adalah Presiden mengambil alih kebijakan pelarangan cantrang dan
menyusun rencana pentahapannya dengan melibatkan menteri lain, selain Menteri
Susi, seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian,
Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Sosial, Menteri BUMN, dan Kapolri.

Hal ini penting dilakukan karena cantrang bukan saja tentang teknis pengelolaan
perikanan, tapi menyangkut kewenangan pemerintah daerah, perdagangan hasil
laut, industri perikanan, tenaga kerja, pemberdayaan nelayan, permodalan usaha
perikanan, dan penegakan hukum di laut.

Dengan komando Presiden, maka kebijakan pemerintah akan lebih terintegrasi dan
Menteri Susi mendapat dukungan penuh dari kementerian lain dalam pengelolaan
perikanan secara berkelanjutan

Você também pode gostar