Você está na página 1de 20

Referat

EPILEPSI

Disusun oleh:
dr. Lismya Wahyu Ningrum

Pembimbing:
dr. Wayan Widyana
dr. Lia Pebriani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD SUKADANA LAMPUNG TIMUR
2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
”Epilepsi” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan salah satu syarat
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia di RSUD Sukadana Lampung
Timur.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Wayan Widyana dan dr. Lia
Pebriani selaku dokter pendamping dan pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan
pelajaran bagi kita semua.

Sukadana, Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi..............................................................................................2
2.2 Epidemiologi.....................................................................................3
2.3 Etiologi..............................................................................................4
2.4 Klasifikasi .........................................................................................5
2.5 Patofisiologi.......................................................................................7
2.6 Gejala dan Tanda...............................................................................9
2.7 Diagnosis.........................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................13
BAB III PENUTUP.............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah


medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi
neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obat-
obatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior.
Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting
mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga
bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.1
Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang
dari tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang
akan terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh
dunia, dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering
timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namum epilepsi dapat
muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi
aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia. Berdasarkan jenis
kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi daripada
perempuan.2
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum
tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara
berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang
epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar
220 juta maka sekitar 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus
baru sekitar 250.000 pertahun.3
Epilepsi merupakan suatu masalah neurologis yang relatif sering terjadi
dan dapat menyerang semua kelompok usia, juga segala jenis bangsa dan
keturunan di seluruh dunia. Epilepsi merupakan suatu gejala yang kompleks dari
beberapa gangguan fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor
fisiologis, biokimiawi, anatomis atau lainnya dengan di cirikan timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan yang berulang.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti
serangan. Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat
dan dipercaya juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar
belakang munculnya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut.
Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan menyulitkan upaya
penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal. Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang
berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap
orang di seluruh dunia.2
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. 13 Terdapat dua
kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di
mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan
pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan
biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik
termasuk dalam epilepsi umum.4,5
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan bukan disebabkan oleh suatu
penyakit otak akut.6
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi
adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan

2
tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala
dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi
berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.6
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus
ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.1 Seorang anak
terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang
lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi,
adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang
cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya
kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak
ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian
hari.6

2.2 Epidemiologi
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada
anak, dimana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali
kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa
150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang
berkembang menjadi penderita epilepsi.2
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah
infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik.
Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin,
ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada anak laki – laki lebih tinggi daripada
anak perempuan.3
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65
tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak
insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun
pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data
yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun

3
pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14
tahun.2

2.3 Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita
sebut sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu
kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi
menjadi dua, yaitu:7
Tabel 1. Etiologi epilepsi

Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:


1. Neonatal: kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan
metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi
biotinidase, fenilketonuria).
2. Bayi (1-6 bulan): kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia,
kelainan metabolik, spasme infantil, Sindroma West.
3. Anak (6 bulan – 3 tahun): spasme infantil, kejang demam, kelainan saat
persalinan dan anoksia, infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal,
keracunan obat- obatan.
4. Anak (3-10 tahun): anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya,
infeksi, thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma
Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi.

4
5. Remaja (10-18 tahun): epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara
genetik, epilepsi mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan.
6. Dewasa muda (18-25 tahun): epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan
alkohol atau obat sedasi lainnya.
7. Dewasa (35-60 tahun): trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat
lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun): penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor,
abses, penyakit degeneratif, trauma.

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk
kejang epilepsi:

Tabel 2. Klasifikasi kejang epilepsi


No Klasifikasi Kejang Epilepsi
Kejang  Kejang parsial sederhana dengan gejala motorik
parsial  Kejang parsial sederhana dengan gejala

sederhana somatosensorik atau sensorik khusus


 Kejang parsial sederhana dengan gejala psikis
Kejang  Kejang parsial kompleks dengan onset parsial
parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran
kompleks  Kejang parsial kompleks dengan gangguan
Kejang kesadaran saat onset
1
parsial Kejang  Kejang parsial sederhana menjadi kejang
parsial umum
yang  Kejang parsial kompleks menjadi kejang umum
 Kejang parsial sederhana menjadi kejang
menjadi
parsial kompleks dan kemudian menjadi kejang
kejang
umum
generalisata
sekunder
2 Kejang  Kejang absans
umum  Absans atipikal
 Kejang mioklonik
 Kejang klonik
 Kejang tonik-klonik

5
 Kejang atonik

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk


sindroma epilepsi:

Tabel 3. Klasifikasi sindrom epilepsi


No Klasifikasi Sindrom Epilepsi
 Epilepsi anak benigna dengan gelombang
Idiopatik paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)
Berkaitan  Epilepsi anak dengan paroksimal oksipital
 Lobus temporalis
1 dengan letak  Lobus frontalis
fokus Simtomatik  Lobus parietalis
 Lobus oksipitalis
 Kronik progresif parsialis kontinu
Kriptogenik
 Kejang neonates familial benigna
 Kejang neonates benigna
 Epilepsi mioklonik benigna pada bayi
 Epilepsi absans pada anak
Idiopatik  Epilepsi absans pada remaja
 Epilepsi mioklonik pada remaja
 Epilepsi dengan serangan tonik-klonik saat
terjaga
Kriptogenik  Sindroma West (spasme bayi)
Epilepsi  Sindroma Lennox-Gastaut
2 atau
umum  Epilepsi dengan kejang mioklonik-astatik
simtomatik  Epilepsi dengan mioklonik absans
 Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik neonatal
 Epilepsi ensefalopati pada bayi
 Gejala epilepsi umum lain yang tidak
Simtomatik
dapat didefinisikan
 Sindrom spesifik
 Malformasi serebral
 Gangguan metabolisme
3 Epilepsi dan Serangan  Kejang neonatal
sindrom fokal dan  Epilepsi mioklonik berat pada bayi
yang tidak umum

6
dapat Tanpa  Epilepsi dengan gelombang paku kontinu
ditentukan gambaran selama gelombang rendah tidur (Sindroma
fokal atau tegas fokal Taissinare)
generalisata atau umum  Sindroma Landau-Kleffner
Sindrom Kejang demam
4 Status epileptikus
khusus Kejang berkaitan dengan gejala metabolik atau toksik akut

2.5 Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1) Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau
jaringan neuron.
 Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,
jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang- ligan; atau
perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas
terhadap Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang
mengawali kejang.

7
 Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan
konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter.
Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca 2+
ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului
perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat
kembali normal daripada kadar K2+.
 Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi;
atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron
inhibisi.
2) Mekanisme epileptogenesis
 Mekanisme nonsinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar
K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+
akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan
keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran
Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan
eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya
depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan
rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian
talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis.
 Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi
GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
- GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan
serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan
jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat,
memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
- Glutamat

8
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan
peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan
mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang
epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat,
meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini
mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan
inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).

2.6 Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu:2
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana,
kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik

9
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10-20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur,
dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

2.7 Diagnosis
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu.1 Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi
selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda
dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama.
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis
epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang
khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.7
1) Anamnesis

10
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda
meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisik harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat
penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya
untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan
sindrom epilepsi. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan
prediksi prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.

11
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar
dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Rekaman EEG dikatakan
abnormal bila:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).6

b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak
(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data
EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul
dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi
epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission
Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission Tomography (PET),
dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi
epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural meragukan. MRI
fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik
sebelum pembedahan (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy,
2010).

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai
beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah

12
sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai
berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering
membutuhkan pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika
mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas
yang unggul dibandingkan politerapi.

Tabel 4. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

13
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)

2. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi
dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2

14
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau
jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.
Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh
daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal
didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik
dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)
dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan
selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat.

BAB III
PENUTUP

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai


etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya

15
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua
kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum.
Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di
mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan
pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan
biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri.
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi
selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda
dan gejala pasien. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat
dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol
dengan obat-obatan. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun
bebas serangan (kejang) dengan terapi. Setelah tercapai bebas serangan selama >6
bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis
secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko
terjadinya relaps setelah penghentian obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pendahuluan, Definisi, Klasifikasi,


Etiologi, dan Terapi. Dalam: Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta:
PERDOSSI; 2008. Hal 1-13.

16
2. Sirven J.I, Ozuna J. 2010. Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts,
60,10: 30-35.
3. Sisodiya S.M, Duncan J. 2011. Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,
Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
4. Hadi S. 1993. Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit
UNDIP Semarang : 55-63.
5. Harsono. 2001. Epilepsi, edisi 1, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
6. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). 2003. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
7. Mardjono M. 2003. Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi &
Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
8. Oguni H. 2004. Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48
(Suppl.8):13-16

17

Você também pode gostar