Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
357. Pendekatan pada Pasien dengan Penyakit Hati (Marc G.Ghany, Jay H. Hoofnagle)
Diagnosis penyakit hati biasanya dapat ditegakkan secara akurat melalui anamnesis
yang teliti pada riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan
laboratorium. Dalam beberapa keadaan, pemeriksaan radiologi sangat membantu dalam
penegakan diagnosis. Biopsi hati dianggap sebagai standar kriteria dalam evaluasi penyakit
hati tetapi sekarang semakin kurang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dibandingkan
untuk menentukan derajat dan stadium penyakit. Bab ini menyajikan pendahuluan tentang
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit hati, secara singkat mengulas struktur dan fungsi hati,
manifestasi klinis utama penyakit hati, dan penggunaan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan, dan biopsi hati.
STRUKTUR DAN FUNGSI HATI
Hati adalah organ tubuh terbesar, memilliki berat 1-1,5 kg dan mewakili 1,5-2,5% dari massa
tubuh tanpa lemak. Ukuran dan bentuk hati bervariasi dan umumnya sesuai dengan bentuk
tubuh secara umum-panjang dan lansing atau pendek dan persegi. Hati terletak di kuadran
kanan atas abdomen di bawah tulang rusuk kanan bawah, bersebelahan dengan diafragma, dan
menonjol dengan tingkat bervariabel ke kuadran kiri atas. Hati dipertahankan di tempatnya
oleh ligamentum-ligamentum yang melekat ke diafragma, peritoneum, pembuluh darah besar,
dan organ gastrointestinal atas. Hati menerima suplai darah ganda; sekitar 20% dari aliran
darah merupakan darah kaya oksigen dari arteri hepatika, dan 80% merupakan darah kaya
nutrisi dari vena porta yang berasal dari lambung, usus, pankreas, dan limpa.
Mayoritas sel di hati adalah hepatosit, yang membentuk dua pertiga dari massa hati. Jenis sel
yang tersisa adalah sel Kupffer (anggota dari sistem retikuloendotelial), sel stellata (Ito atau
penyimpanan lemak), sel-sel endotel dan pembuluh darah, sel duktus empedu, dan struktur-
struktur penunjang. Dilihat dengan mikroskop cahaya, hati tampak tersusun dalam lobulus-
lobulus, dengan daerah porta di perifer dan vena sentral di bagian tengah masing-masing
lobulus. Namun, dari sudut pandang fungsional, hati tersusun menjadi asinus-asinus, dengan
darah arteri hepatika dan vena porta masuk ke sinus dari daerah portal (zona 1) lalu mengalir
melalui sinusoid-sinusoid ke vena-vena hepatika terminal (zona 3) ; hepatosit-hepatosit yang
terletak diantaranya membentuk zona 2. Keuntungan dari melihat asinus sebagai unit fisiologis
hati adalah bahwa hal ini membantu menjelaskan pola morfologi dan zonalitas banyak penyakit
vaskular dan empedu tidak terjelaskan oleh susunan lobulus.
Daerah porta hati terdiri dari vena kecil, arteri, saluran empedu, dan pembuluh limfe yang
tersusun dalam suatu stroma longgar matriks penunjang dan sejumlah kecil kolagen. Darah
yang mengalir ke dalam daerah porta terdistribusi melalui sinusoid-sinusoid, mengalir dari
zona 1 ke zona 3 asinus dan bermuara ke vena-vena hepatika terminal ("vena sentral"). Empedu
yang disekresikan mengalir dalam arah yang berlawanan, dalam suatu pola countercurrent dari
zona 3 ke zona 1. Sinusoid dilapisi oleh sel-sel endotel unik yang memiliki pori-pori dalam
berbagai ukuran memungkinkan aliran bebas dari plasma sedangkan elemen-elemen seluler
tidak dapat mengalir. Karena itu, plasma berkontak langsung dengan hepatosit di ruang
subendothelial Disse.
Hepatosit memiliki polaritas yang berbeda. Sisi basolateral hepatosit membatasi ruang Disse
dan banyak mengandung mikrovili; sisi ini memperlihatkan aktivitas endositotik dan
pinositotik, dengan penyerapan aktif dan pasif nutrisi, protein, dan molekul lain. Kutub apikal
dari hepatosit membentuk membran kanalikuli melalui tempat komponen-komponen empedu
disekresikan. Kanalikulus hepatosit membentuk suatu anyaman halus, yang bergabung dengan
elemen-elemen duktulus hati dekat daerah porta. Sel-sel Kupffer biasanya terletak di dalam
ruang vaskular sinusoid dan merupakan kelompok terbesar makrofag tetap di tubuh. Sel-sel
stellata terletak di ruang Disse tetapi biasanya tidak menonjol kecuali jika diaktifkan, ketika
mereka menghasilkan kolagen dan matriks. Sel darah merah tetap berada di ruang sinusoid
sewaktu darah mengalir melalui lobulus-lobulus, tetapi sel darah putih dapat bermigrasi
melalui atau mengelilingi sel-sel endotel untuk masuk ke ruang Disse dan dari sini ke daerah
porta, tempat di mana sel-sel ini dapat kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe.
Hepatosit melakukan peran beragam dan penting dalam mempertahankan homeostasis dan
kesehatan. Fungsi-fungsi ini termasuk sintesis protein serum yang paling penting (albumin,
protein pembawa, faktor koagulasi, banyak faktor hormon dan pertumbuhan), produksi
empedu dan pembawanya (asam empedu, kolesterol, lesitin, fosfolipid), regulasi nutrisi
(glukosa, glikogen, lipid, kolesterol, asam amino), serta metabolisme dan konjugasi senyawa-
senyawa lipofilik (bilirubin, anion, kation, obat-obatan) untuk ekskresi di empedu atau urin.
Pengukuran berbagai aktivitas ini untuk menilai fungsi hati diperumit oleh multiplisitas dan
variabilitas fungsi-fungsi ini. Tes "fungsi" hati yang paling sering digunakan adalah
pengukuran serum bilirubin, serum albumin, dan waktu prothrombin. Kadar serum bilirubin
adalah ukuran konjugasi dan ekskresi hati, dan kadar serum albumin dan waktu prothrombin
adalah ukuran sintesis protein. Kelainan bilirubin, albumin, dan waktu prothrombin adalah
khas dari disfungsi hati. Kegagalan hati yang berat tidak sesuai dengan kehidupan, dan fungsi
hati terlalu kompleks dan beragam untuk digantikan oleh pompa mekanik; membran dialisis;
atau pemberian infus hormon, protein, dan faktor pertumbuhan.
PENYAKIT HATI
Meskipun terdapat banyak kausa penyakit hati (Tabel 357-1), kausa-kausa tersebut umumnya
bermanifestasi dalam beberapa pola tersendiri yang biasanya diklasifikasikan sebagai
hepatoseluler, kolestatik (obstruktif), atau campuran. Pada penyakit hepatoseluler (seperti
hepatitis virus dan penyakit hati alkoholik), gambaran cedera, peradangan, dan nekrosis hati
mendominasi. Pada penyakit kolestatik (seperti batu empedu atau obstruksi maligna, sirosis
biliaris primer, beberapa penyakit hati yang diinduksi obat), gambaran hambatan aliran empedu
mendominasi. Pada pola campuran, terdapat gambaran cedera hepatoseluler dan kolestatik
(seperti dalam bentuk kolestatik hepatitis virus dan banyak penyakit hati yang diinduksi obat).
Pola awitan dan gejala utama yang mencolok dapat segera mengarah ke diagnosis tertentu,
terutama jika faktor risiko utama dipertimbangkan, seperti usia dan jenis kelamin pasien dan
riwayat paparan atau perilaku berisiko.
Table 357-1 PENYAKIT HATI
Hiperbilirubinemia herediter Keterlibatan hati dalam penyakit sistemik
Sindrom Gilbert Sarcoidosis
Sindrom Crigler-Najjar, type I dan II Amyloidosis
Sindrom Dubin-Johnson Penyakit penimbunan Glikogen
Sindrom Rotor Celiac disease
Hepatitis Virus Tuberculosis
Hepatitis A Mycobacterium avium-
Hepatitis B intracellulare infection
Hepatitis C
Hepatitis D Sindrom Kolestatik
Hepatitis E Kolestatik pascaoperasi jinak
Lainnya (Epstein-Barr Ikterus pada sepsis
[mononucleosis] herpes virus, Ikterus akibat nutrisi parenteral total
adenovirus hepatitis) Kolestatik pada kehamilan
Hepatitis Kriptogenik Cholangitis and cholecystitis
Penyakit Hati Imun dan Autoimun Obstruksi empedu ekstrahati (batu,
Sirosis biliaris primer striktur, kanker)
Hepatitis autoimun Atresia empedu
Kolangitis sklerotikans Penyakit Caroli
Sindrom tumpang-tindih (Overlap Kriptosporidiosis
syndrome) Penyakit Hati yang diinduksi obat
Penyakit graft-versus-host Pola Hepatoselular (isoniazid,
Penolakan alograft acetaminophen)
Penyakit Hati Genetik Pola Kolestatik (methyltestosterone)
Defisiensi a1 Antitrypsin Pola campuran (sulfonamides,
Hemokromatosis phenytoin)
Penyakit Wilson Steatosis Mikro- dan makrovesikular
Benign recurrent intrahepatic (methotrexate, fialuridine)
cholestasis (BRIC, kolestasis Kerusakan Pembuluh darah
intrahati rekuren jinak) Veno-occlusive disease
Progressive familial intrahepatic Budd-Chiari syndrome
cholestasis, (PFIC, kolestasis Ischemic hepatitis
intrahati familial progresif), tipe I– Passive congestion
III Portal vein thrombosis
Lain-lain (galaktosemia, tirosinemia, Nodular regenerative hyperplasia
fibrosis kistik, Penyakit Newman- Lesi Massa
Pick, Penyakit Gaucher) Hepatocellular carcinoma
Penyakit Hati Alkoholik Cholangiocarcinoma
Perlemakan hati akut Adenoma
Hepatitis alkoholik akut Focal nodular hyperplasia
Sirosis Laënnec Metastatic tumors
Penyakit Hati Non-Alkoholik Abses
Steatosis Kista
Steatohepatitis Hemangioma
Perlemakan hati akut dalam kehamilan
Gejala awal khas penyakit hati antara lain adalah ikterus, kelelahan, gatal, nyeri kuadran kanan
atas, mual, nafsu makan yang buruk, distensi abdomen, dan perdarahan usus. Saat ini, banyak
pasien didiagnosis dengan penyakit hati yang tidak memiliki gejala, namun didiagnosis
berdasarkan adanya kelainan pada pemeriksaan biokimia hati sebagai bagian dari pemeriksaan
fisik rutin atau skrining untuk donor darah atau untuk asuransi atau pekerjaan. Ketersediaan
beragam tes-tes hati menyebabkan kita mudah mengetahui ada tidaknya kerusakan hati serta
mengesampingkan kemungkinan kelainan hati pada seseorang yang dicurigai mengidapnya.
Evaluasi pasien dengan penyakit hati perlu diarahkan ke (1) menetapkan diagnosis etiologi, (2)
memperkirakan keparahan (derajat) penyakit, dan (3) memastikan stadium penyakit (stadium).
Diagnosis perlu berfokus pada kategori penyakit misalnya cedera hepatoselular, kolestatik,
atau campuran serta diagnosis etiologi spesifik. Penentuan derajat (grading) mengacu pada
penilaian tingkat keparahan atau aktivitas penyakit aktif atau infaktif serta ringan, sedang, atau
berat. Penentuan stadium (staging) mengacu pada perkiraan letak dalam perjalanan alami
penyakit, apakah akut atau kronik; dini atau lanjut; prasirotik, sirotik, atau stadium akhir. Bab
ini memperkenalkan konsep-konsep umum yang menonjol dalam evaluasi pasien dengan
penyakit hati yang membantu kita mengarah pada diagnosis-diagnosis yang dibahas pada bab-
bab selanjutnya.
RIWAYAT KLINIS
Riwayat klinis harus difokuskan pada gejala penyakit hati - sifat, pola awitan, dan
perkembangan gejala - serta pada faktor risiko potensial untuk penyakit hati. Manifestasi
penyakit hati termasuk gejala-gejala konstitusional seperti kelelahan, kelemahan, mual,
penurunan nafsu makan, dan kelemahan otot serta gejala-gejala yang lebih spesifik untuk hati,
yaitu ikterus, urin berwarna gelap, tinja berwarna muda, gatal, nyeri abdomen, dan kembung.
Gejala-gejala tersebut juga dapat menandakan adanya sirosis, penyakit hati stadium akhir, atau
komplikasi sirosis seperti hipertensi porta. Secara umum, kumpulan gejala dan pola onset,
bukan gejala spesifik, yang mengarah ke suatu etiologi.
Rasa lelah/lesu (fatigue) adalah gejala yang paling umum dan paling khas dari penyakit hati.
Keadaan ini digambarkan sebagai lesu, kelemahan otot, tidak tertarik melakukan aktivitas,
malaise, sering tidur, kurangnya stamina, dan kurangnya energi. Lesu pada penyakit hati
biasanya terjadi setelah aktivitas atau olahraga dan jarang timbul atau parah pada pagi hari
setelah istirahat yang cukup (lesu malam vs pagi). Rasa lelah pada penyakit hati seringkali
intermiten dan keparahannya bervariasi dari jam ke jam dan hari ke hari. Pada sebagian pasien,
mungkin tidak jelas apakah rasa lelahnya disebabkan oleh penyakit hati atau masalah lain
seperti stres, kecemasan, gangguan tidur, atau penyakit lain.
Mual terjadi pada penyakit hati yang lebih parah dan mungkin menyertai rasa lelah atau dipicu
oleh bau makanan atau makan makanan berlemak. Muntah bisa terjadi tetapi jarang menetap
atau mencolok. Nafsu makan yang buruk dengan penurunan berat badan sering terjadi pada
penyakit hati akut tetapi jarang terjadi pada penyakit kronik, kecuali jika terdapat sirosis tahap
lanjut. Diare jarang terjadi pada penyakit hati kecuali pada ikterus berat, akibat kurangnya asam
empedu yang mencapai usus sehingga dapat menyebabkan steatorea.
Ketidaknyamanan atau nyeri di kuadran kanan atas ("nyeri hati") terjadi pada banyak penyakit
hati dan biasanya ditandai oleh nyeri tekan di atas daerah hati. Nyeri terjadi akibat peregangan
atau iritasi kapsul Glisson, yang mengelilingi hati dan kaya akan ujung saraf. Nyeri hebat
biasanya mencerminkan penyakit kandung empedu, abses hati, dan penyakit veno-oklusif berat
meskipun kadang menyertai hepatitis akut.
Gatal terjadi dengan penyakit hati akut, muncul dini pada ikterus obstruktif (akibat obstruksi
empedu atau kolestasis yang diinduksi obat) dan agak belakangan pada penyakit hepatoseluler
(hepatitis akut). Gatal juga terjadi pada penyakit hati kronik terutama bentuk kolestatik
misalnya sirosis biliaris primer dan kolangitis sklerotikans, dan gatal sering menjadi keluhan
utamanya, gejala gatal tersebut timbul sebelum timbulnya ikterus. Namun, gatal dapat timbul
pada semua penyakit hati, terutama jika sudah terdapat sirosis.
Ikterus adalah gejala khas penyakit hati dan mungkin merupakan penanda keparahan yang
paling dapat diandalkan. Pasien biasanya melaporkan urin yang bertambah gelap sebelum
mereka menyadari ikterus di sklera mereka. Ikterus jarang terdeteksi dengan kadar bilirubin
<43 μmol / L (2,5 mg / dL). Pada kolestasis berat warna tinja juga akan lebih muda dan dapat
terjadi steatorea. Ikterus tanpa urin yang gelap biasanya menunjukkan hiperbilirubinemia tak-
langsung (tak-terkonjugasi) dan merupakan ciri khas anemia hemolitik dan gangguan genetik
konjugasi bilirubin, dengan bentuk umum adalah sindrom Gilbert dan bentuk jarang adalah
sindrom Crigler-Najjar. Sindrom Gilbert mempengaruhi hingga 5% dari populasi umum;
ikterus dalam kondisi ini lebih terlihat setelah berpuasa atau stres.
Faktor risiko utama untuk penyakit hati yang harus dicari dalam anamnesis mencakup rincian
penggunaan alkohol, penggunaan obat (termasuk senyawa herbal, pil KB, dan obat bebas),
kebiasaan pribadi, aktivitas seksual, riwayat berpergian, pajanan ke orang dengan ikterus atau
orang berisiko lainnya, pemakaian obat terlarang bentuk suntikan, pascaoperasi, riwayat
transfusi darah atau produk darah, pekerjaan, pajanan yang tidak disengaja terhadap darah atau
jarum suntik, serta penyakit hati dalam keluarga.
Untuk menilai risiko hepatitis virus, anamnesis yang teliti tentang aktivitas seksual sangat
penting dan perlu mencakup jumlah pasangan seks selama ini dan, bagi pria, riwayat pernah
berhubungan seks dengan sesama pria. Pajanan seksual merupakan cara penyebaran umum
untuk hepatitis B tetapi jarang untuk hepatitis C. Riwayat hepatitis, penyakit hati, atau kanker
hati dalam keluarga juga penting. Penularan ibu ke bayi terjadi pada hepatitis B dan C.
Penyebaran vertikal hepatitis B kini dapat dicegah dengan imunisasi pasif dan aktif pada bayi
saat lahir. Penyebaran vertikal hepatitis C jarang terjadi, tetapi belum ada cara handal untuk
dapat mencegahnya. Penularan lebih sering pada ibu yang terinfeksi HIV dan juga terkait
dengan persalinan dan persalinan lama, sulit, ketuban pecah dini, dan pemantauan janin
internal. Riwayat pemakaian narkoba suntik, bahkan jika terjadi sudah lama, sangat penting
dalam menilai risiko untuk hepatitis B dan C. Pemakaian obat suntik kini merupakan faktor
risiko paling tunggal tersering untuk hepatitis C. Transfusi darah atau produk darah tidak lagi
menjadi faktor risiko penting untuk hepatitis virus akut. Namun, transfusi darah yang diterima
sebelum diperkenalkannya suatu enzyme immunoassay sensitif untuk antibodi terhadap virus
hepatitis C (anti-HCV) pada tahun 1992 merupakan faktor risiko penting untuk hepatitis C
kronik. Transfusi darah sebelum tahun 1986, ketika skrining untuk antibodi terhadap antigen
inti hepatitis B (anti-HBc) diperkenalkan juga merupakan faktor risiko untuk hepatitis B.
Perjalanan ke bagian dunia yang belum berkembang, pajanan ke orang dengan ikterus, dan
pajanan ke anak di panti penitipan anak adalah faktor risiko untuk hepatitis A. Pembuatan tato
dan body piercing (untuk hepatitis B dan C) dan mengonsumsi kerang (untuk hepatitis A)
sering disebut tetapi sebenarnya merupakan jenis pajanan yang cukup jarang menyebabkan
hepatitis.
Hepatitis E merupakan salah satu kausa tersering ikterus di Asia dan Afrika tetapi jarang terjadi
di negara maju. Baru-baru ini, kasus hepatitis E yang tidak terkait perjalanan (autochthonous)
telah dijelaskan di negara-negara berkembang, termasuk Amerika Serikat. Kasus-kasus ini
tampaknya disebabkan oleh strain virus hepatitis E yang endemik pada babi dan beberapa
hewan liar (genotipe 3 dan 4). Sementara kasus ini, sesekali dikaitkan dengan makan babi atau
makanan mentah (rusa dan babi hutan) mentah, sebagian besar kasus hepatitis E terjadi tanpa
pajanan yang diketahui, terutama pada pria lanjut usia tanpa faktor risiko khas untuk hepatitis
virus. Infeksi hepatitis E dapat menjadi kronik pada individu yang mengalami imunosupresi
(seperti penerima transplantasi, pasien yang menerima kemoterapi, atau pasien dengan infeksi
HIV), yang hadir dengan enzim serum abnormal dengan tidak adanya penanda hepatitis B atau
C.
Riwayat asupan alkohol penting dalam menilai penyebab penyakit hati dan juga dalam
merencanakan penatalaksanaan dan rekomendasi. Di Amerika Serikat, misalnya, paling sedikit
70% orang dewasa minum alkohol sampai tingkat tertentu, tetapi asupan alkohol yang
signifikan jarang terjadi; dalam survei berbasis populasi, hanya 5% individu yang minum lebih
dari dua gelas sehari, minuman rata-rata mencerminkan 11-15 g alkohol. Konsumsi alkohol
yang berkaitan dengan peningkatan angka penyakit hati alkohol mungkin lebih dari dua gelas
(22-30 g) per hari pada wanita dan tiga gelas (33-45 g) pada pria. Sebagian pasien dengan
penyakit hati alkoholik mengonsumsi jumlah yang jauh lebih banyak setiap hari dan telah
minum berlebihan selama ≥10 tahun sebelum timbulnya penyakit hati. Dalam menilai asupan
alkohol, anamnesis juga perlu berfokus pada apakah terdapat penyalahgunaan atau
ketergantungan alkohol. Alkoholisme biasanya didefinisikan lebih pada pola perilaku dan
konsekuensi asupan alkohol daripada berdasarkan jumlah alkohol yang diminum.
Penyalahgunaan didefinisikan sebagai suatu pola berulang minum alkohol yang memiliki efek
buruk pada kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan, atau kesehatan. Ketergantungan
didefinisikan oleh perilaku pencarian alkohol, meskipun yang bersangkutan telah mengalami
efek samping. Banyak pecandu alkohol menunjukkan baik ketergantungan maupun
penyalahgunaan, dan ketergantungan dianggap sebagai bentuk alkoholisme yang lebih serius
dan parah. Pendekatan yang secara klinis bermanfaat dalam mendiagnosis ketergantungan dan
penyalahgunaan alkohol adalah menggunakan kuesioner CAGE (Tabel 357-2), yang
direkomendasikan pada setiap anamnesis.
Tabel 357-2 PERTANYAAN CAGE
Akronim Pertanyaan
C Pernahkah Anda merasa perlu mengurangi (cut down) kebiasaan minum
Anda?
A Apakah Anda terganggu (annoyed) oleh orang-orang yang mengkritik
kebiasaan minum Anda?
G Pernahkah Anda merasa bersalah (guilty) atau buruk tentang kebiasaan
minum Anda?
E Pernahkah Anda minum alkohol begitu bangun tidur untuk menyegarkan
diri Anda atau mengurangi gejala mabuk malam sebelumnya (eyeopener)?
Satu jawaban “ya” seyogianya menimbulkan kecurigaan bahwa pasien mengalami masalah minum alkohol, dan
lebih dari satu merupakan indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan atau ketergantungan.
Riwayat keluarga dapat membantu dalam menilai penyakit hati. Kausa familial penyakit hati
termasuk penyakit Wilson; hemokromatosis dan defisiensi α1-antitrypsin; dan penyakit hati
pediatri yang lebih jarang terjadi yaitu kolestasis intrahepatik familial, kolestasis intrahepatik
jinak berulang, dan sindrom Alagille. Munculnya penyakit hati berat pada masa kanak-kanak
atau remaja dengan riwayat penyakit hati atau gangguan neuropsikiatri dalam keluarga harus
mendorong kita meenyelidiki kemungkinan penyakit Wilson. Riwayat sirosis, diabetes, atau
kegagalan endokrin dalam keluarga serta munculnya penyakit hati pada masa dewasa
menunjukkan penyakit hemokromatosis dan mendorong pemeriksaan terhadap status zat besi.
Studi zat besi abnormal pada pasien dewasa membutuhkan genotyping gen HFE untuk mutasi
C282Y dan H63D khas dari hemokromatosis genetik. Pada anak-anak dan remaja dengan
kelebihan zat besi, penyebab hemokromatosis non-HFE lainnya harus dicari. Riwayat
emfisema dalam keluarga perlu mendorong dilakukannya pemeriksaan kadar α1 antitrypsin
dan, jika tingkatnya rendah, genotipe protease inhibitor (PI).
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pasien tanpa gejala atau kelainan laboratorium, pemeriksaan fisik jarang memperlihatkan
tanda-tanda disfungsi hati atau tanda-tanda utama penyakit hati yang spesifik untuk satu
diagnosis. Dengan demikian, pemeriksaan fisik biasanya lebih bersifat melengkapi daripada
menggantikan kebutuhan akan pendekatan diagnostik lainnya. Pada banyak pasien,
pemeriksaan fisik normal kecuali jika penyakitnya akut atau berat dan lanjut. Namun demikian,
pemeriksaan fisik penting karena dapat menghasilkan bukti pertama kegagalan hati, hipertensi
porta, dan dekompensasi hati. Selain itu, pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan tanda-tanda
yang mengarah ke suatu diagnosis spesifik, baik pada faktor risiko maupun penyakit atau
temuan terkait.
Temuan fisik yang khas pada penyakit hati adalah ikterus, hepatomegali, nyeri tekan hati,
splenomegali, spider angiomata, eritema palmar, dan ekskoriasi. Tanda-tanda penyakit tahap
lanjut termasuk pengecilan otot, asites, edema, pelebaran vena abdomen, fetor hati, asteriksis,
kekacauan mental, pingsan, dan koma. Pada pasien pria dengan sirosis, terutama jika
berhubungan dengan alkohol, mungkin ditemukan tanda-tanda hiperestrogenemia seperti
ginekomastia, atrofi testis, dan hilangnya distribusi rambut pria.
Ikterus paling jelas dilihat dengan memeriksa sklera di bawah sinar matahadi. Pada individu
berkulit putih, warna kuning pada kulit mungkin terlihat jelas. Pada individu berkulit gelap,
pemeriksaan membran mukosa di bawah lidah dapat menunjukkan ikterus. Ikterus jarang
terdeteksi jika tingkat bilirubin serum <43 μmol / L (2,5 mg / dL) tetapi mungkin tetap dapat
dideteksi di bawah kadar ini selama masa pemulihan dari ikterus (karena pengikatan bilirubin
terkonjugasi oleh protein dan jaringan).
Spider angiomata dan eritema palmar terjadi pada penyakit hati akut dan kronik serta mungkin
tampak jelas pada pasien sirosis, tetapi keduanya dapat dijumpai pada individu normal dan
sering ditemukan pada wanita hamil. Spider angiomata adalah arteriol superfisial yang berliku-
liku dan, tidak seperti telangiektasis biasa, biasanya muncul dari bagian tengah ke luar. Spider
angiomata hanya terjadi pada lengan, wajah, dan torso atas; Spider angiomata dapat berdenyut
dan mungkin sulit dideteksi pada individu berkulit gelap.
Hepatomegali bukan tanda penyakit hati yang sangat dapat diandalkan karena variabilitas
ukuran dan bentuk hati dan hambatan fisik dalam memeriksa ukuran hati dengan perkusi dan
palpasi. Hepatomegali yang mencolok adalah khas dari sirosis, penyakit veno-oklusif, penyakit
infiltratif misalnya amiloidosis, kanker hati metastasis atau primer, dan hepatitis alkoholik.
Pemeriksaan yang cermat terhadapt tepi hati juga dapat memperlihatkan adanya kepadatan,
iregularitas permukaan, atau nodus yang nyata. Mungkin temuan fisik yang paling dapat
diandalkan dalam pemeriksaan hati adalah nyeri tekan hati. Ketidaknyamanan ketika hati
disentuh atau ditekan harus dicari secara seksama dengan juga membandingkan perkusi pada
kuadran kanan dan kiri atas.
Splenomegali, yang terjadi dalam banyak kondisi medis, bisa menjadi temuan fisik yang samar
tetapi signifikan pada penyakit hati. Tersedianya ultrasounografi (USG) memungkinkan kita
mengonfirmasi temuan fisik splenomegali.
Tanda-tanda penyakit hati stadium lanjut adalah pengecilan otot dan penurunan berat badan
serta hepatomegali, memar, asites, dan edema. Asites paling baik dideteksi dengan melakukan
pemeriksaan perkusi untuk mecari shifting dullness. Pemeriksaan USG akan mengkonfirmasi
temuan asites pada kasus-kasus yang meragukan. Edema perifer dapat terjadi dengan atau tanpa
asites. Pada pasien dengan penyakit hati stadium lanjut, faktor lain sering berkontribusi
menyebabkan terbentuknya edema, termasuk hipoalbuminemia, insufisiensi vena, gagal
jantung, dan obat-obatan.
Gagal hati didefinisikan sebagai munculnya gejala atau tanda ensefalopati hepatik pada
seseorang dengan penyakit hati akut atau kronik. Tanda-tanda awal ensefalopati hepatik
mungkin samar dan tidak spesifik - perubahan dalam pola tidur, perubahan kepribadian,
iritabilitas, dan penumpukan daya pikir. Setelah itu, munsul delirium, disorientasi, stupor, dan
akhirnya koma. Pada gagal hati akut, mungkin terjadi eksitabilitas dan mania. Temuan fisik
termasuk asteriksis dan tremor flapping (mengepak) tubuh dan lidah. Fetor hepaticus mengacu
pada bau amonia yang sedikit manis, yang dapat terjadi pada pasien dengan gagal hati, terutama
jika terdapat pirau porta-vena darah mengililingi hati. Penyebab koma dan disorientasi lainnya
perlu disingkirkan, terutama ketidakseimbangan elektrolit, penggunaan sedatif, serta gagal
ginjal atau nafas. Munculnya ensefalopati hati selama hepatitis akut merupakan kriteria utama
untuk mendiagnosis hepatitis fulminan dan menunjukkan prognosis yang buruk. Pada penyakit
hati kronik, ensefalopati biasanya dipicu oleh komplikasi medis seperti perdarahan
gastrointestinal, diuresis berlebihan, uremia, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi,
konstipasi, atau penggunaan analgesik narkotik.
Tindakan yang dapat membantu untuk menilai ensefalopati hati adalah pemeriksaan status
mental yang cermat dan penggunaan trail-making test, yang terdiri dari 25 lingkaran bernomor
yang harus dihubungkan oleh pasien secepat mungkin menggunakan pensil. Kisaran normal
untuk menghubungkan lingkaran-lingkaran pada tes ini adalah 15–30 detik; pasien dengan
ensefalopati hati awal membutuhkan waktu yang lebih lama. Tes lainnya termasuk
menggambar benda abstrak atau membandingkan tanda tangan dengan contoh sebelumnya.
Pengujian yang lebih canggih misalnya, dengan elektroensefalografi dan visual evoked
potential dapat mendeteksi bentuk-bentuk ringan ensefalopati tetapi jarang digunakan secara
klinis.
Tanda-tanda lain penyakit hati tahap lanjut adalah hernia umbilikal akibat asites, hidrotoraks,
vena-vena di atas abdomen terlihat menonjol, dan caput medusa, yaitu suatu kondisi yang
terdiri dari vena kolateral yang memancar dari umbilikus dan terjadi akibat rekanulasi vena
umbilikalis. Tekanan nadi yang melebar dan tanda-tanda sirkulasi hiperdinamik dapat terjadi
pada pasien dengan sirosis sebagai akibat dari retensi cairan dan natrium, peningkatan curah
jantung, dan berkurangnya resistensi perifer. Pasien dengan sirosis kronik dan hipertensi porta
cenderung mengalami sindrom hepatopulmonar, yang didefinisikan sebagai trias penyakit hati,
hipoksemia, dan pirau arteriovena pulmonal. Sindrom hepatopulmonar dicirikan oleh platipnea
dan ortodoksia; yaitu sesak napas dan desaturasi oksigen yang terjadi secara paradoks ketika
pasien berada dalam posisi tegak. Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetri adalah
tes skrining yang dapat diandalkan untuk sindrom hepatopulmonar.
Beberapa kelainan dan perubahan kulit sering terjadi pada penyakit hati. Hiperpigmentasi
adalah tanda penyakit kolestasis kronik tahap lanjut misalnya sirosis biliaris primer dan
kolangitis sklerotikans. Pada penyakit-penyakit ini, xanthelasma dan xanthomata tendon terjadi
akibat retensi dan tingginya kadar lipid dan kolesterol serum. Pigmentasi abu-abu di kulit juga
terlihat pada hemokromatosis jika kadar besi tinggi untuk periode yang lama. Vaskulitis
mukokutan disertai palpable purpura, terutama pada ekstremitas bawah, merupakan khas pada
krioglobulinemia pada hepatitis C kronik meskipun dapat juga terjadi pada hepatitis B kronik.
Beberapa tanda fisik menunjukkan penyakit hati spesifik. Cincin Kayser-Fleischer terjadi pada
penyakit Wilson dan terdiri dari endapan pigmen tembaga cokelat keemasan yang disimpan di
dalam membran Descemet di perifer kornea; mereka paling baik dilihat dengan pemeriksaan
slit-lamp. Kontraktur Dupuytren dan pembesaran parotis menandakan alkoholisme kronik dan
penyakit hati alkoholik. Pada penyakit hati metastatik atau karsinoma hepatoseluler primer,
tanda-tanda kakesia dan atrofi otot mungkin menonjol serta hepatomegali yang keras dan bruit
hati.
DIAGNOSIS PENYAKIT HATI
Kausa utama penyakit hati dan gambaran kunci diagnostik diuraikan pada Tabel 357-3, dan
algoritma untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai dengan penyakit hati ditunjukkan pada
Gambar. 357-1. Hal-hal spesifik dalam diagnosis didiskusikan dalam bab-bab selanjutnya.
Kausa tersering penyakit hati akut adalah hepatitis virus (terutama hepatitis A, B, dan C),
cedera hati yang diinduksi obat, kolangitis, dan penyakit hati alkoholik. Biopsi hati biasanya
tidak diperlukan dalam diagnosis dan penatalaksanaan penyakit hati akut, kecuali pada situasi
ketika diagnosis masih belum jelas meskipun telah dilakukan pemeriksaan klinis dan
laboratorium yang menyeluruh. Biopsi hati dapat membantu dalam mendiagnosis penyakit hati
imbas-obat dan dalam menegakkan diagnosis hepatitis alkoholik akut.
Kausa tersering penyakit hati kronik dalam urutan frekuensi umum adalah hepatitis C kronik,
penyakit hati alkoholik, steatohepatis non-alkohol, hepatitis B kronik, hepatitis autoimun,
kolangitis sklerotikans, sirosis biliaris primer, hemokromatosis, dan penyakit Wilson. Virus
hepatitis E adalah penyebab langka hepatitis kronis, dengan kasus-kasus yang terjadi pada
kebanyakan orang yang imunosupresi atau imunodefisiensi. Belum terdapat kriteria diagnostik
yang ketat untuk sebagian besar penyakit hati, tetapi biopsi hati berperan penting dalam
diagnosis hepatitis autoimun, sirosis biliaris primer, steatohepatitis non-alkoholik dan
alkoholik, serta penyakit Wilson (dengan kadar tembaga hati kuantitatif).
Gambar 357-1 Algoritme untuk evaluasi tes hati abnormal. Pada pasien yang dicurigai mengidap
penyakit hati, pendekatan yang sesuai untuk mengevaluasi adalah pemeriksaan tes hati urin misalnya bilirubin,
albumin, alanin aminotransferase (ALT), aspartat aminotransferase (AST), dan fosfatase alkali (AlkP). Hasil-hasil
ini (kadang dilengkapi oleh pemeriksaan ɣ-glutamil transpeptidase, GGT) akan memastikan apakah pola kelainan
bersifat hepatik, kolestatik, atau campuran. Selain itu, lama gejala atau kelainan akan memperlihatkan apakah
penyakit akut atau kronik. Jika penyakit akut dan jika riwayat, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
pencitraan tidak mengungkapkan suatu diagnosis, maka layak dilakukan biopsi hati untuk membantu memastikan
diagnosis. Jika penyakit bersifat kronik, maka biopsi hati dapat membantu tidak saja untuk diagnosis tetapi juga
untuk penentuan derajat dan stadium perkembangan penyakit. Pendekatan ini umumnya dapat diterapkan pada
pasien tanpa defisiensi imun. Pada pasien dengan infeksi HIV atau setelah transplantasi sumsum tulang atau organ
padat, maka evaluasi diagnostik seyogianya juga mencakup evaluasi infeksi opurtunistik (adenovirus,
sitomegalovirus, koksidioidomikosis, dsb) serta penyakit vaskular dan imunologik (penyakit veno-oklusif,
penyakit graf-versus-host). HAV, HCV: virus hepatitis A atau C; HBsAg, antigen permukaan hepatitis B; anti-
HBc, antibodi terhadap inti (antigen) hepatitis B; ANA, antibodi anti-nukleus; SMA, antibodi otot polos; MRCP,
magnetic resonance cholangiopancreatography; ERCP, endoscopic retrograde cholangiopancreatographyi;
α1,AT, α1 antitripsin; AMA, antibodi antimitokondria; pANCA, antibodi anti-sitoplasma perinuklues neutrofil.
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis penyakit hati sangat terbantu oleh tersedianya berbagai tes cedera dan fungsi hati
yang handal dan sensitif. Serangkaian pemeriksaan darah yang digunakan untuk penilaian awal
penyakit hati mencakup pengukuran kadar alanin dan aspartat aminotransferase serum (ALT
dan AST), fosfatase alkali, bilirubin serum langsung dan total, dan albumin serta pengukuran
waktu protrombin. Pola kelainan umumnya menunjukkan cedera hepatoseluler versus penyakit
hati kolestatik dan akan membantu memutuskan apakah penyakit bersifat akut atau kronik dan
apakah terdapat sirosis dan gagal hati. Berdasarkan hasil-hasil ini, mungkin diperlukan
pengujian lebih lanjut seiring waktu. Pemeriksaan laboratorium lain mungkin berguna, seperti
γ-glutamyl transpeptidase (GGT) untuk mendefinisikan apakah peningkatan alkalin fosfatase
disebabkan oleh penyakit hati; serologi hepatitis untuk mendefinisikan tipe hepatitis virus; dan
penanda-penanda autoimun untuk mendiagnosis sirosis biliaris primer (antibodi
antimitokondria; AMA), kolangitis sklerotikans (antibodi anti-sitoplasma neutrofil perifer;
pANCA), dan hepatitis autoimun (antibodi antinuklear, otot polos, dan mikrosom hati-ginjal).
Penjelasan sederhana kelainan laboratorium dan penyakit hati yang umum disajikan pada Tabel
357-3.
Penggunaan dan interpretasi tes fungsi hati dirangkum dalam Bab. 358.
TABEL 357-3. TES DIAGNOSTIK PENTING PADA PENYAKIT HATI UMUM
PENYAKIT TES DIAGNOSTIK
Hepatitis A Anti-HAV IgM
Hepatitis B
Acute HBsAg and anti-HBc IgM
Chronic HBsAg and HBeAg and/or HBV DNA
Hepatitis C Anti-HCV and HCV RNA
Hepatitis D (delta) HBsAg and anti-HDV
Hepatitis E Anti-HEV IgM and HEV RNA
Autoimmune hepatitis ANA or SMA, elevated IgG levels, and compatible histology
Sirosis biliaris primer Mitochondrial antibody, elevated IgM levels, and compatible
histology
Kolangitis sklerotikans primer P-ANCA, cholangiography
Penyakit Hati imbas-obat History of drug ingestion
Alcoholic liver disease History of excessive alcohol intake and compatible histology
Non-alcoholic steatohepatitis Ultrasound or CT evidence of fatty liver and compatible
histology
a1-Antitrypsin disease Reduced a1-antitrypsin levels, phenotype PiZZ or PiSZ
Wilson’s disease Decreased serum ceruloplasmin and increased urinary
copper; increased hepatic copper level
Hemochromatosis Elevated iron saturation and serum ferritin; genetic testing
for HFE gene mutations
Hepatocellular cancer Elevated a-fetoprotein level (to >500 ng/mL); ultrasound or
CT image of mass
Pencitraan Diagnostik
Telah terjadi banyak kemajuan dalam pencitraan hepatobiliaris, meskipun belum ada metode
yang akurat untuk membuktikan adanya sirosis. Tersedia banyak modalitas untuk pencitraan
hati, ultrasound, CT, dan MRI adalah yang paling umum digunakan dan saling melengkapi satu
sama lain. Secara umum, US dan CT sangat sensitif untuk mendeteksi pelebaran saluran
empedu dan merupakan pilihan lini pertama untuk memeriksa pasien yang dicurigai mengidap
ikterus obstruktif. Ketiga modalitas dapat mendeteksi perlemakan hati, yang tampak terang
pada studi pencitraan ini. Modifikasi CT dan MRI dapat digunakan untuk mengukur
perlemakan hati, dan informasi ini akhirnya dapat bermanfaat dalam pemantauan terapi pada
pasien dengan penyakit perlemakan hati. Magnetic resonance cholangiopancreatography
(MRCP) dan Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) adalah prosedur
pilihan untuk melihat saluran empedu. MRCP menawarkan beberapa keunggulan
dibandingkan dengan ERCP; tidak diperlukan medium kontras atau radiasi pengion, foto dapat
diperoleh secara lebih cepat, prosedurnya kurang bergantung pada operator, dan tidak
menimbulkan risiko pankreatitis. MRCP lebih unggul daripada US dan CT dalam mendeteksi
koledokolitiasis tetapi kurang spesifik. MRCP berguna dalam diagnosis obstruksi saluran
empedu dan kelainan empedu kongenital, tetapi ERCP lebih bernilai dalam mengevaluasi lesi
ampula dan kolangitis sklerotikans primer. ERCP memungkinkan kita melakukan biopsi,
melihat langsung ampula dan saluran empedu, dan melakukan ultrasonografi intraduktus.
Metode ini juga memungkinkan pemberian terapi kepada pasien dengan ikterus obstruktif,
seperti sfingterotomi, ekstraksi batu, dan pemasangan kateter nasobiliaris dan stent biliaris.
USG Doppler dan MRI digunakan untuk menilai pembuluh hati dan hemodinamik serta
memantau pirau pembuluh darah yang dipasang secara bedah atau radiologis, misalnya pirau
portosistemik intrahati transjugular. Multidetektor atau spiral CT dan MRI dengan peningkatan
kontras merupakan tindakan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi massa di hati,
penentuan stadium tumor hati, dan pemeriksaan praoperasi. Berkaitan dengan lesi massa,
sensitivitas pencitraan hati terus meningkat; sayangnya, spesifisitas tetap menjadi masalah, dan
seringkali diperlukan dua dan kadang tiga penelitian sebelum diagnosis dapat ditegakkan.
Baru-baru ini dikembangkan metode yang menggunakan elastografi transien ultrasound untuk
mengukur kekakuan hati sebagai cara untuk menilai fibrosis hati; Teknik ini dapat menghindari
perlunya biopsi hati jika satu-satunya indikasi dalam menilai stadium penyakit. Magnetic
resonance elastography sekarang sedang menjalani evaluasi karena kemampuannya untuk
mendeteksi derajat fibrosis hati yang berbeda. Studi yang berlangsung untuk menentukan
apakah elastografi hati merupakan sarana yang tepat untuk memantau fibrosis dan
perkembangan penyakit. Akhirnya, teknik-teknik radiologi intervensi memungkinkan kita
melakukan biopsi terhadap lesi tunggal, ablasi frekuensi radio dan kemoembolisasi lesi kanker,
memasukkan drain ke dalam abses hati, mengukur tekanan porta, dan membuat pirau vaskular
pada pasien dengan hipertensi porta. Pemilihan modalitas yang digunakan akan bergantung
pada berbagai faktor seperti ketersediaan, biaya, dan pengalaman dari ahli radiologi terhadap
masing-masing teknik.
Biopsi Hati
Biopsi hati masih menjadi baku standar dalam evaluasi pasien dengan penyakit hati, terutama
penyakit hati kronik. Pada kasus tertentu, biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis
tetapi lebih sering berguna untuk menilai keparahan (derajat) dan stadium kerusakan hati,
memperkirakan prognosis, dan memantau respons terhadap pengobatan. Ukuran sampel biopsi
hati merupakan penentu penting keandalannya; diperlukan panjang 1,5–2 cm untuk penilaian
fibrosis yang akurat. Di masa mendatang, cara-cara non-invasif untuk menilai aktivitas
penyakit (berbagai pemeriksaan darah) dan fibrosis (elastografi dan penanda fibrosis) mungkin
menggantikan biopsi hati dalam menilai stadium dan derajat penyakit.
DERAJAT DAN STADIUM PENYAKIT HATI
Penentuan derajat (grading) mengacu pada penilaian keparahan atau aktivitas penyakit hati,
baik akut atau kronik; aktif atau inaktif; dan ringan, sedang, atau berat. Biopsi hati adalah cara
paling akurat untuk menilai keparahan, terutama pada penyakit hati kronik. Kadar serum
aminotransferase berfungsi sebagai cara yang mudah dan non-invasif untuk memantau
aktivitas penyakit, tetapi tidak selalu mencerminkan keparahan penyakit. Dengan demikian,
kadar serum aminotransferase yang normal pada pasien dengan antigen permukaan hepatitis B
(HBsAg) di serum dapat menunjukkan keadaan pembawa HBsAg yang inaktif atau mungkin
mencerminkan hepatitis B kronik ringan atau hepatitis B dengan aktivitas berfluktuasi.
Pengujian serum untuk antigen e hepatitis B dan DNA virus hepatitis B dapat mengatasi
berbagai pola aktivitas penyakit yang berbeda tersebut, tetapi penanda ini juga dapat
berfluktuasi dan berubah seiring waktu. Demikian pula, pada hepatitis C kronik, kadar serum
aminotransferase bisa normal meskipun aktivitas penyakit berada dalam tingkat sedang. Yang
terakhir, baik pada steatohepatitis alkoholik dan non-alkohol, kadar aminotransferase kurang
dapat diandalkan dalam mencerminkan tingkat keparahan. Dalam kondisi ini, biopsi hati
berguna untuk mengarahkan penanganan dan menganjurkan terapi, terutama jika terapi sulit,
berkepanjangan, dan mahal seperti pada kasus hepatitis virus kronik. Terdapat beberapa skala
numerik yang telah diverifikasi untuk penentuan derajat aktivitas penyakit hati kronik, dengan
yang paling umum digunakan adalah indeks aktivitas histologik dan skala histologi Ishak.
Biopsi hati juga merupakan cara paling akurat untuk menilai stadium penyakit sebagai awal
atau lanjutan, prasirotik, dan sirotik. Penentuan stadium penyakit berkaitan dengan penyakit
hati kronik karena dapat berkembang menuju sirosis dan penyakit hati stadium lanjut meskipun
mungkin memerlukan waktu beberapa tahun atau dekade. Gambaran klinis, tes biokimia, dan
pemeriksaan pencitraan hati berguna dalam memperkirakan stadium tetapi umumnya menjadi
abnormal hanya pada stadium menengah hingga akhir sirosis. Tes-tes non-invasif yang
menunjukkan fibrosis tahap lanjut adalah peningkatan ringan bilirubin, perpanjangan waktu
protrombin, sedikit penurunan albumin serum, dan trombositopenia ringan (yang sering
menjadi indikasi awal memburuknya fibrosis). Kombinasi hasil tes darah telah digunakan
untuk membuat model-model untuk memprediksi penyakit hati stadium lanjut, tetapi hal ini
belum terlalu dapat diandalkan untuk digunakan secara reguler dan hanya membedakan antara
penyakit tahap lanjut dari penyakit tahap awal. Baru-baru ini, elastografi dan tes napas non-
invasif menggunakan senyawa berlabel C telah diusulkan sebagai alat untuk mendeteksi tahap
awal fibrosis dan disfungsi hati, tetapi reliabilitas dan reproduktifitasnya masih harus
dibuktikan. Dengan demikian, saat ini, stadium ringan hingga sedang fibrosis hati hanya dapat
dideteksi oleh biopsi hati.
Dalam menilai stadium, derajat fibrosis biasanya digunakan sebagai ukuran kuantitatif. Jumlah
fibrosis umumnya dibagi menjadi skala 0 hingga 4+ (skala Metavir) atau 0 hingga 6+ (skala
Ishak). Pentingnya stadium terutama berkaitan dengan prognosis dan manajemen komplikasi
yang optimal. Pasien dengan sirosis adalah kandidat untuk skrining dan surveilans untuk
varises esofagus dan karsinoma hepatoseluler. Pasien tanpa fibrosis tahap lanjut tidak perlu
menjalani skrining.
Stadium sirosis juga bisa ditentukan secara klinis. Suatu sistem penentuan stadium yang dapat
diandalkan adalah klasifikasi Child-Pugh yang dimodifikasi dengan sistem skor 5–15: skor 5
dan 6 mewakili Child-Pugh kelas A (konsisten dengan “sirosis kompensata”), skor 7-9
mewakili kelas B, dan skor 10–15 mewakili kelas C (Tabel 357-4). Sistem skor ini awalnya
dirancang untuk mengklasifikasi pasien ke dalam kelompok-kelompok risiko sebelum
menjalani operasi dekompresi porta. Skor Child-Pugh cukup dapat dipercaya sebagai prediktor
kesintasan pada banyak penyakit hati dan untuk memprediksi kemungkinan komplikasi utama
sirosis, seperti perdarahan dari varises dan peritonitis bakterial spontan. Skema klasifikasi ini
digunakan untuk menilai prognosis pada sirosis dan menjadi kriteria baku untuk kemungkinan
transplantasi hati (Child-Pugh kelas B). Baru-baru ini, sistem Child-Pugh telah digantikan oleh
skor model sistem Penyakit Liver Tahap Akhir (Model for End-Stage Liver Disease / MELD)
untuk menilai perlu-tidaknya transplantasi hati. Skor MELD adalah sistem skor prospektif yang
dirancang untuk memprediksi prognosis pasien dengan penyakit hati dan hipertensi porta. Skor
ini dihitung dengan menggunakan tiga variabel non-invasif; waktu protrombin dinyatakan
sebagai Rasio Normalisasi Internasional (International Normalized Ratio; INR), kadar
bilirubin serum, dan konsentrasi kreatinin serum.
(http://optn.transplant.hrsa.gov/resources/MeldPeldCalculator.asp? index = 98).
Tabel 357-4
Catatan : Skor Child-Pugh dihitung dengan menambahkan skor-skor kelima faktor dan dapat berkisar dari 5
sampai 15. Kelas Child-Pugh adalah A (skor 5-6), B (7-9), atau C (10 atau lebh). Dekompesasi menunjukkan
sirosis dengan skor Child-Pugh 7 atau lebih (kelas B). Klasifikasi ini telah diterima sebagai kriteria mendaftar
untuk transplantasi.
MELD adalah cara yang lebih objektif untuk menilai keparahan penyakit dan memiliki variasi
antar-sentra yang lebih rendah daripada skor Child-Pugh serta memiliki rentang nilai yang
lebih luas. Saat ini MELD digunakan untuk membuat daftar prioritas untuk transplantasi hati
di Amerika Serikat. Sistem serupa, PELD (penyakit hati stadium akhir pediatrik), didasarkan
pada bilirubin, INR, serum albumin, usia, dan status gizi digunakan untuk anak-anak <12
tahun.
Dengan demikian, biopsi hati membantu dalam diagnosis dan juga penatalaksanaan penyakit
hati kronik dan menilai prognosis. Karena biopsi hati adalah prosedur invasif dan bukannya
tanpa komplikasi, biopsi seyogianya digunakan hanya jika akan berkontribusi secara nyata
dalam penatalaksanaan dan keputusan terapeutik.
MASALAH NONSPESIFIK DALAM PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN
PENYAKIT HATI
Hal-hal spesifik pada penanganan berbagai bentuk penyakit hati akut atau kronik disajikan
dalam bab-bab berikutnya, tetapi terdapat hal-hal tertentu yang berlaku untuk setiap pasien
dengan penyakit hati. Hal-hal ini mencakup saran mengenai penggunaan alkohol, obat-obatan,
vaksinasi, dan pengawasan untuk komplikasi penyakit hati. Minum alkohol, jika terpaksa,
harus dibatasi, oleh pasien dengan penyakit hati. Menghentikan pengguanaan alkohol harus
dianjurkan untuk semua pasien dengan penyakit hati terkait alkohol, pasien dengan sirosis, dan
pasien yang menerima terapi berbasis interferon untuk hepatitis B atau C. Sehubungan dengan
vaksinasi, semua pasien dengan penyakit hati perlu mendapat vaksin hepatitis A, dan mereka
yang memiliki faktor risiko perlu mendapat vaksin hepatitis B juga. Vaksinasi influenza dan
pneumokokus juga perlu dianjurkan, dengan kepatuhan terhadap rekomendasi dari Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit. Pasien dengan penyakit hati harus berhati-hati dalam
menggunakan obat apa pun selain yang paling diperlukan. Hepatotoksisitas imbas-obat dapat
mirip dengan berbagai bentuk penyakit hati dan dapat menyebabkan eksaserbasi hepatitis
kronik dan sirosis; obat perlu dicurigai pada semua situasi ketika kausa eksaserbasi tidak
diketahui.
Yang terakhir, perlu dipertimbangkan tindakan surveilans untuk komplikasi penyakit hati
kronik seperti perdarahan varises dan karsinoma hepatoseluler. Pasien dengan sirosis
seyogianya menjalani endoskopi atas untuk menilai keberadaan varises, dan perlu diberi terapi
kronik dengan beta blockers atau harus ditawari penghancuran endoskopi jika varises besar
ditemukan. Selain itu, pasien dengan sirosis seyogianya menjalani skrining dan surveilans
jangka panjang untuk karsinoma hepatoseluler. Meskipun regimen yang optimal untuk
surveilans tersebut belum ditetapkan, pendekatan yang tepat adalah USG hati pada interval 6
sampai 12 bulan.