Você está na página 1de 19

ALERGI IMUNOLOGI

1
ALERGI SUSU SAPI

Alergi susu sapi adalah suatu penyakit akibat reaksi imunologik, timbul setelah
pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Reaksi ini dapat terjadi
melalui reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat maupun fase lambat.
Angka kejadian pada bayi di negara Barat sekitar 2%-2,5%. Di Indonesia belum ada
angka pasti, tetapi menurut hasil penelitian di poliklinik Alergi Imunologi Anak RSCM Jakarta,
dari seluruh anak yang menderita alergi, sekitar 2,4% mengalami alergi susu sapi.
Hasil penelitian Hide (1997) menunjukkan adanya penurunan angka alergi susu sapi
sesuai dengan bertambahnya usia, yaitu 44% pada usia 1 tahun, 1,9% pada usia 2 tahun
dan 0,4% pada usia 4 tahun. Studi prospektif lainnya menunjukkan separuh dari anak yang
menderita alergi susu sapi akan kehilangan gejala-gejalanya pada usia 1 tahun, 70% pada
usia 2 tahun dan 85% saat mereka berusia 3 tahun.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Bayi yang memiliki risiko tinggi yaitu mempunyai riwayat atopi pada ibu dan ayah,
sebaiknya dilakukan penghindaran terhadap paparan protein susu sapi sejak dini (minimal 6
bulan), dengan cara:
 ASI eksklusif
 Diet penghindaran susu sapi pada ibu menyusui bayi yang mempunyai risiko atopi
 Pemberian formula hipoalergenik, casein free, protein hidrolisat
 Pemberian formula susu kedelai

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi atau makan makanan yang
mengandung susu sapi
 Jumlah susu atau makanan yang mengandung susu yang diminum atau dimakan
 Riwayat penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis, atopik, urtikaria, alergi
makanan, dan alergi obat pada keluarga maupun pada pasien sendiri
 Gejala klinis pada kulit (urtikaria, dermatitis atopik), saluran nafas (asma, rinitis alergi)
serta saluran cerna (muntah, diare, berak berdarah, kolik, obstipasi).
Pemeriksaan fisis
 Kulit kering, urtikaria, dermatitis atopik (lihat manifestasi klinis sesuai SPM masing-
masing gejala alergi tersebut).
 Alergi Schiner's, nasal crease, geographic tongue, mukosa pucat, mengi.

2
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah
 Darah tepi: hitung jenis eosinofil > 3%, eosinofil total> 300/ ml
 Kadar IgE total (menurut umur)
 Kadar IgE spesifik susu sapi
 Radioallergosorbent Test (RAST) yang dinyatakan positif bila hasilnya 1 dan hasil
yang positif berkorelasi baik dengan uji tusuk kulit. Pemeriksaan RAST untuk susu
sapi dilakukan dengan memeriksakan darah terhadap baik susu sapi secara
keseluruhan maupun fraksi-fraksi dari susu sapi tersebut. Pemeriksaan RAST yang
telah tersedia yaitu:

Susu sapi 12 Keju tipe mould f82


AHa laktalbumin f76 Susu bubuk Rf228
Betalaktoglobulin f77 Whey Rf236
Kasein f78 Susu kuda Rf286
Keju tipe chedder f81 Susu kambing Rf300

 Pharmacia CAP System, yaitu suatu pemeriksaan yang sarna dengan ELISA;
dinyatakan positif bila hasilnya > 32kUa/L dan berkorelasi baik dengan double blind
placebo controlled food challenge (DBPCFC).

b. Uji kulit
Terdapat beberapa cara uji kulit yaitu uji tusuk kulit, uji gores serta uji intradermal.
Akurasi hasil positif kurang dari 50%, sedangkan bila hasilnya negatif dapat memprediksi
tidak terjadinya reaksi alergi IgE mediated sebesar 95%. Hasil yang positif akan
berkorelasi dengan uji DBPCFC. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada uji tusuk
kulit yaitu:
 Hasil uji tusuk kulit dapat negatif pada anak usia < 1 tahun.
 Timbulnya indurasi sebesar > 6 mm pada anak berusia <: 2 tahun, atau > 8 mm pada
anak berusia > 2 tahun dianggap positif.

c. Provokasi susu sapi


 Suatu cara pemeriksaan lanjutan bila hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan salah
satu dari pemeriksaan IgE total, IgE spesifik atau uji kulit rnenunjukkan hasil yang
positif.
 Baku emas diagnosis alergi susu sapi adalah DBPCFC, tetapi karena cara ini sulit
dan mahal maka dibuat modifikasi dengan cara double blind placebo controlled cow's
milk challenge (DBPCCMC) dengan langkah-Iangkah di bawah ini.

3
Cara melakukan uji Double-Blind Placebo Controlled Cow's Milk Challenge (DBPCFC):
 Eliminasi susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi minimal 14 hari sebelum
dilakukan tes.
 Antihistamin tidak boleh diberikan sejak 3 hari sebelumnya, serta tidak boleh
mengkonsumsi steroid dan bronkodilator sejak 1 hari sebelumnya.
 Besarnya dosis awal harus kurang dari dosis yang diperkirakan akan menimbulkan
reaksi, bila tidak diketahui dimulai dengan dosis 400 mg.
 Dosis kumulatif 8-10 g bahan bubuk harus dicapai untuk menyatakan bahwa hasil
negatif.
 Lamanya periode observasi tergantung dari reaksi yang timbul (minimal 2 jam setelah
provokasi selesai)
 Persiapkan peralatan dan obat-obatan untuk menangani reaksi anafilaktik.
 Bila tidak timbul gejala saat observasi, orang tua diberi catatan harian untuk mengamati
dan mencatat timbulnya gejala alergi yang muncul kemudian.
 Elimination challenge test dilakukan untuk membuktikan adanya perbaikan dari gejala
setelah tidak minum susu sapi dan berulangnya gejala bila diberikan susu sapi kembali.
Uji ini harus dilakukan dalam pengawasan dokter. Kesulitan dari uji ini adalah
keberhasilannya tergantung pada kemampuan pasien untuk menghindari semua
makanan yang mengandung susu sapi dan tidak terdapatnya faktor-faktor lain yang
dapat memicu terjadinya manifestasi klinis yang sama

TERAPI
Tata laksana
 Pemberian ASI eksklusif dengan penghindaran susu sapi pada ibu
 Jika tidak mungkin memberikan ASI, diberikan susu formula yang bebas susu sapi
pada bayi berisiko tinggi yang diketahui mempunyai riwayat atopi
 Melakukan eliminasi susu sapi serta produknya dari diet ibu menyusui yang berisiko
atopi. Tidak di'anjurkan untuk menggantikan susu sapi dengan susu kambing atau
hewan lainnya karena adanya reaksi silang.
 Pemberian terapi medikamentosa sesuai dengan manifestasi klinis yang timbul (lihat
SPM masing-masing gejala alergi)

Suportif
Pada bayi dengan alergi susu sapi harus dipertimbangkan pemenuhan kebutuhan nutrisi lain
yang dapat menggantikan kandungan nutrisi dari susu sapi.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll)


Bila terjadi gangguan gizi, pasien perlu dirujuk kepada ahli gizi.

4
PEMANTAUAN (MONITORING)

Terapi
 Perbaikan gejala klinis (lihat SPM masing-masing gejala alergi)
 Efek samping penggunaan medikamentosa
 Kemungkinan alergi terhadap kacang kedelai bila pasien mendapat formula kacang
kedelai (sekitar 30-40% pada pasien alergi susu sap i)
 Bila gejala klinis menghilang dilakukan rechallenge terhadap susu sapi setiap 6 bulan,
dengan jumlah dan frekuensi sesuai dengan usia pasien. Prosedur dilakukan seperti
pada challenge di atas.

Tumbuh Kembang
Pemantauan tumbuh kembang pada pasien

5
URTIKARIA

Urtikaria adalah erupsi kulit yang berbatas tegas dan menimbul (maculopapular,
bentol), berwarna memutih bila ditekan dan disertai rasa gatal. Urtikaria dapat berlangsung
secara akut, kronis atau berulang. Urtikaria akut biasanya berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari dan umumnya penyebabnya dapat diketahui. Urtikaria kronik yaitu urtikaria
yang berlangsung lebih dari 6 minggu dan biasanya tidak diketahui pencetusnya, dapat
berlangsung sampai beberapa tahun, dan umumnya ditemukan pada orang dewasa.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Kelainan ini disebabkan oleh mediator; terutama histamin, yang dilepaskan sel mast
melalui proses degranulasi akibat ikatan antara IgE spesifik dengan alergen pada reaksi
hipersensitivitas tipe-I. Mediator reaksi alergi fase lambat seperti leukotrien, juga berperan,
terutama pada urtikaria berulang atau kronis. Oleh karena itu tindakan pencegahan yang
paling penting adalah identifikasi dan penghindaran faktor pencetus.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Diagnosis urtikaria tidaklah sulit, yang penting adalah menentukan alergen
pencetusnya. Untuk menentukan pencetus perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan rinci.
Anamnesis diarahkan terhadap faktor lingkungan seperti debu, tungau debu rumah (terdapat
pada karpet, kain sofa, kasur kapuk, tirai, boneka berbulu, dan lain-lain), binatang
peliharaan, tumbuhan, sengatan binatang, serta faktor makanan termasuk zat warna, zat
pengawet, obat-obatan, faktor fisik seperti dingin, panas, dan sebagainya. Selain itu juga
ditanyakan riwayat atopi pada keluarga.

Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis didapatkan erupsi kulit yang berbatas tegas dan menimbul
(bentol), berwarna memutih bila ditekan dan disertai rasa gatal. Pada lesi yang menunjukkan
bentuk khas seperti lesi linier, lesi kecil-kecil di daerah berkeringat dan lesi hanya pada
bagian tubuh yang terbuka dapat diduga penyebabnya. Apabila dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik belum dapat ditentukan faktor pencetusnya, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah perifer lengkap, urin dan feses dilakukan untuk mencari penyebab
infeksi, autoimun, atau keganasan sebagai faktor pencetus.

6
 Pemeriksaan hitung eosinofil total dan kadar IgE total dapat digunakan untuk menunjang
adanya atopi pada pasien.
 Pemeriksaan uji kulit terhadap alergen dilakukan untuk menentukan adanya atopi serta
identifikasi faktor pencetus
 Uji provokasi dilakukan terhadap makanan atau obat.
 Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan (misalnya ada
kontraindikasi atau pasien tidak bisa bebas dari penggunaan antihistamin).
 Uji es tempel untuk menentukan urtikaria dingin.

TERAPI
Medikamentosa
 Mediator utama adalah histamin, maka obat yang paling sering digunakan adalah
antihistamin H1 (misalnya klorfeniramin maleat 0,35 mg/kgBB/hari). Untuk
menghindarkan efek samping mengantuk (pada pemberian jangka panjang misalnya
urtikaria bemlang atau pada anak sekolah) dapat diberikan antihistamin non-sedatif atau
antihistamin generasi bam seperti setirizin 0,25 mg/kgBB/kali, 1-2 kali per hari.
 Bila tidak berhasil dapat dicoba dengan menambahkan antihistamin H2, misalnya
simetidin 20-40 mg/kgBB/hari.
 Bila terjadi urtikaria yang sangat luas dapat diberikan suntikan adrenalin dilanjutkan
dengan kortikosteroid
 Kortikosteroid diberikan bila diduga reaksi yang terjadi adalah reaksi alergi fase lamb at
(misalnya bila tidak berespons terhadap antihistamin).
Suportif
Selain menghindari alergen, dilakukan terapi suportif seperti suhu lingkungan harus
optimal, pakaian jangan terlalu ketat, baju harus dibilas bersih dari deterjen serta
memperhatikan nutrisi yang seimbang sebagai pengganti diet terhadap beberapa jenis
makanan hiperalergenik. Kuku harus dipotong pendek dan selalu bersih untuk mencegah
infeksi sekunder akibat garukan.

PEMANTAUAN (MONITORING)
Terapi
 Pemantauan perbaikan gejala klinis
 Pemantauan terhadap Kornplikasi yang terjadi akibat garukan (infeksi sekunder)
 Pemantauan terhadap efek sarnping obat.
Tumbuh Kembang
Pengaruh terhadap tumbuh kembang terutama akibat penghindaran beberapa jenis
protein makanan serta pengobatan steroid sistemik pada pasien urtikaria kronik yang berat.

7
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit sistemik evolutif yang


mengenai satu atau beberapa organ tubuh, ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, dan bersifat episodik yang diselingi oleh periode remisi.
Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit
diduga, tidak dapat diobati dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan ini merupakan
sindrom klinis disertai kelainan imunologis, diantaranya yang terpenting ditandai oleh adanya
antibodi antinuklear. Penyebab SLE belum diketahui.

LANGKAH PROMOTIF /PREVENTIF


Untuk mencegah keadaan yang dapat menginduksi gejala lupus dilakukan beberapa
tindakan antara lain menghindari pemakaian obat tertentu (misalnya sulfa, isoniazid),
pajanan langsung sinar matahari, kelelahan, serta mencegah infeksi dan mempertahankan
fungsi organ tubuh secara optimal.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Gejala yang timbul merupakan manifestasi adanya autoantibodi dan/atau depot
kompleks imun dengan vaskulitis.
 Gejala penyakit tersering adalah demam dan astenia. Demam dengan atau tanpa
menggigil dapat timbul pada semua tipe, seringkali diagnosis SLE diketahui pada saat
dilakukan eksplorasi pasien demam yang tidak diketahui penyebabnya.
 Astenia sering menyertai gejala demam dan merupakan petanda bahaya pada penyakit
lupus.
 Kelainan kulit dan mukosa yang dikenal dengan nama lupus terdapat pada sepertiga
jumlah SLE pada anak dan tidak bersifat patognomonik. Kelainan ini predominan pada
daerah yang terkena sinar matahari.
 Gejala lain adalah gejala kelainan yang dapat terjadi pada semua organ pada suatu saat
atau pada tahap evolusi penyakit yang berbeda

Pemeriksaan fisis
Secara klinis terdapat 2 unsur penting SLE yaitu,
1. SLE adalah penyakit episodik, biasanya terjadi pada ana:k yang lebih besar, dengan
gejala intermiten artritis, pleuritis, dermatitis, atau nefritis.
2. SLE adalah penyakit multisistemik, pasien biasanya memperlihatkan kelainan pada lebih
dari satu organ akibat vaskulitis, misalnya pada kulit, ginjal, dan susunan saraf pusat.
8
Erupsi pada kulit berbentuk sayap kupu-kupu, paling spesifik terdapat di daerah
muka, dapat berupa eritema simpel atau berupa erupsi makulopapular dengan skuamasi
halus berwarna kemerahan. Erupsi ini dapat juga mengenai daerah cuping hidung dan
pangkal hidung, sering juga disertai erupsi di daerah leher atau bahu yang terbuka,
periorbita, frontal atau daerah telinga luar. Dapat juga ditemui lupus diskoid, berupa eritema
berbatas tegas dengan tepi meninggi dan berkembang menjadi papuloskuamosa. Kelainan
kulit lain yang sering ditemukan pada pasien SLE adalah:

1. Erupsi papuloeritematosa diseminata, non-spesifik, dapat terlihat terutama di daerah


anggota gerak
2. Kulit fotosensitif; pajanan sinar matahari dapat menimbulkan lesi bentuk lupus
3. Alopesia non-sikatrikal sering menyertai lupus aktif
4. Sindrom Raynaud, apabila timbul gejala lain walaupun sedang dalam pengobatan,
terkadang terjadi komplikasi ulserasi digital atau akrosklerosis, bahkan gangren jari.

Manifestasi selaput mukosa berupa ulserasi anal dan oral dapat menyertai
perkembangan progresivitas penyakit lupus. Secara ringkas gejala manifestasi klinis SLE
berupa nefritis, hipertensi, artritis, dermatitis, eritema malar, fotosensitifitas, alopesia, ulserasi
oral atau nasofarings, fenomena Raynaud, perikarditis, pleuritis, kelainan SSp,
hepatomegali, splenomegali, dan pucat.

Pemeriksaan penunjang
Berbagai indikator fase akut inflamasi yang menggambarkan aktivitas penyakit
sistemik ditemukan meningkat pada SLE, antara lain LED, hipergamaglobulinemia poliklonal,
al£a-2 globulin, dan CRP. Pemeriksaan darah perifer menunjukkan anemia, leukopenia,
hitung trombosit dapat normal tetapi terjadi peningkatan destruksi trombosit. Pemeriksaan uji
Coombs dapat dilakukan untuk mengetahui adanya hemolisis. Pemeriksaan laboratoriurn
lain ditujukan untuk mendeteksi kerusakan organ yang terlibat, disamping mendeteksi
berbagai proses yang berhubungan dengan penyakit otoimun. Beberapa di antara
pemeriksaan tersebut mempunyai nilai diagnostik, prognostik, surveilans, atau mempunyai
arti patofisiologi khusus dan bukan merupakan prosedur rutin. Pemeriksaan tersebut meliputi
pemeriksaan otoantibodi (ANA, anti ds DNA, antifosfolipid, faktor reumatoid), krioglobu-iin,
dan komplemen serum. Secara ringkas pemeriksaan laboratorium pada pasien SLE
mencakup analisis darah tepi lengkap termasuk laju endap darah, sel LE, ANA, anti ds DNA,
autoantibodi lain (anti Sm, RF, antifosfolipid, antihiston dll), titer komplemen C 3, C4 dan
CHSQ' titer Ig M, IgG dan IgA, krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis, uji Coombs,
elektroforesis protein, kreatinin dan ureum darah, protein urin total dalam 24 jam, biakan
kuman terutama dalam urin serta pemeriksaan lain yaitu foto rontgen dada.

9
Kriteria diagnosis lupus menurut ARA (American Rheumatism Association)* yaitu:
 Eritema malar (butterfly rash)
 Lupus diskoid
 Fotosensitivitas
 Uiserasi mukokutaneus oral atau nasal
 Artritis nonerosif
 Nefritis **, protein uria > 0,5 gram/ 24 jam dengan silinder sel
 Ensefalopati**, konvulsi, psikosis
 Pleuritis atau perikarditis
 Sitopenia
 Imunoserologi positif**: anti ds DNA, anti Sm, sel LE.
 ANA positif
Keterangan
* Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96 % sensitivitas dan 96 % spesifisitas.
** Salah satu butir pernyataan cukup untuk memenuhi kriteria (dikutip dengan modifikasi dari JT
Cassidy dan RE Petty, 1990).

TERAPI

Medikamentosa

1. Salisilat
Merupakan terapi simtomatis untuk artralgia dan mialgia. Dosis 75 - 90 mg/kg BB/hari
untuk anak dengan berat badan kurang dari 25 kg. Pada anak besar diberikan dosis lebih
rendah (maksimum 1000 gram/kali)

2. Antimalaria
Digunakan untuk membantu penyapihan kortikosteroid atau untuk pengobatan dermatitis
lupus. Perlu diperhatikan efek toksik pada mata, maka harus dilakukan pemeriksaan
oftalmologis setiap 4-6 bulan. Obat yang biasa dipakai adalah hidroksiklorokuin sulfat,
dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/ hari dibagi 1-2 dosis selama 2 bulan, kemudian
diturunkan menjadi 5 mg/kgBBlhari.

3. Kortikosteroid
- Dosis rendah < 0,5 mg/kgBB/hari diberikan untuk mengatasi gejala klinis seperti
demam, dermatitis, artritis, efusi pleura dll. Dosis inisial dipertahankan minimal 4
minggu sebelum dilakukan penyapihan.
- Dosis tinggi 1-2 mg/kgBB/hari untuk mengatasi krisis lupus, gejala neurologis SSP,
anemia hemolitik akut atau beberapa bentuk nefritis tertentu. lndikasi kontra relatif
10
adalah hipertensi, azotemia, dan gejala awal psikosis. Dosis inisial dipertahankan 6-8
minggu.
- Dosis untuk beberapa bentuk nefritis diberikan berdasarkan gambaran patologi
anatomi (PA). Untuk nefritis lupus dengan gambaran P A mesangial biasanya hanya
diberikan terapi simtomatik. Untuk kelainan glomerulus fokal diberikan prednison
dosis rendah 0,5 mg/ KgBB/ hari, untuk kelainan difus dosis tinggi 1 mg/kgBB/ hari,
sedangkan untuk bentuk membranosa diberikan dosis tinggi disertai terapi
simtomatik dan siklofosfamid 1 mg/kgBB/hari.
Penyapihan kortikosteroid
Bila klinis baik dan gambaran laboratorium dalam batas normal, mulai dilakukan
penyapihan bertahap. Apabila tidak dapat dilakukan pemantauan seperti itu, maka
pemeriksaan konversi negatif sel LE dan titer ANA dapat dipakai sebagai pegangan
untuk memulai penyapihan kortikosteroid. Setiap dosis inisial harus diberikan dalam
dosis terbagi 3-4 kali sehari, setelah itu dapat diberikan dosis tunggal pada pagi hari. Bila
terdapat suatu stres (infeksi, trauma, luka, pembedahan, tekanan kejiwaan dll),
pengobatan diberikan dalam dosis terbagi. Bila pada saat penyapihan gejala kambuh
kembali, dosis dinaikkan 25 - 50% kembali dari terapi saat itu, dalam dosis terbagi yang
dipertahankan beberapa lama sebelum diputuskan untuk meneruskan penyapihan atau
meningkatkan dosis kembali. Patokan untuk penyapihan adalah sebagai berikut:
 Jika dosis awal < 10 mg/hari, turunkan 0,5-1 mg setiap 2 - 4 minggu
 Jika dosis awal 10-20 mg/hari, turunkan 1 - 2,5 mg setiap minggu
 Jika dosis awaI 20-60mg/hari, turunkan 2,5-5 mg setiap minggu.
Pada dosis >30 mg/hari masih harus diberikan dosis terbagi 2-3 kali sehari.
Apabila gejala telah terkontrol dengan dosis tunggal, dapat dicoba pemberian obat
selang sehari, tetapi harus diingat bahwa dosis selang sehari dilaporkan sering
menimbulkan eksaserbasi. Terapi kortikosteroid secara bolus hanya diberikan pada
keadaan damrat atau krisis lupus dengan manifestasi akut dan pada kasus tak terkontrol.
Dianjurkan untuk memberi metilprednisolon 10-30 mg/kgBB/ kali intra vena selama 1 - 3
hari.
Pilihan preparat kortikosteroid berdasarkan potensi dan masa paruh yang
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien.

4. Imunosupresan/sitostatik
Imunosupresan atau sitostatik diberikan jika terdapat gangguan neurologik SSp, nefritis
tipe proliferatif difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus yang resisten
steroid. Obat yang diberikan adalah azatioprin atau siklofosfamid. Dosis azatioprin oral 1-
2 mg/kgBB/hari, siklofosfamid oral 1-2 mg/kgBB/hari, untuk terapi bolus 500-750 mg/m 2
intra vena tiap bulan.

11
Bedah
Tindakan bedah dilakukan apabila terdapat komplikasi akibat pengobatan, misalnya
katarak karena pemberian kortikostroid jangka panjang.

Suportif
Memberikan edukasi dan pengertian mengenai penyakit pasien pada keluarga
sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi. Rehabilitasi bila terjadi kecacatan
harus dilakukan sedini mungkin untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll)


 Rujukan dilakukan apabila terdapat kelainan organ yang memerlukan penanganan
subspesialistis; konsultasi psikiatri dilakukan untuk mencegah dan mengobati gangguan
jiwa akibat penyakitnya.
 Diet rendah garam, rendah gula tidak mengandung gas dengan restriksi cairan serta
suplemen kalsium dan kalium diberikan untuk mencegah/mengurangi efek pemberian
kortikosteroid jangka panjang.

PEMANTAUAN (MONITORING)

Terapi
Selama pemberian kortikosteroid dilakukan pemantauan titer anti ds ANA dan
komplemen (CH5O,C3,C4 minimal 6 bulan sekali. Pemantauan efek samping obat
(kortikosteroid, sitostatik, salisilat dll) juga perlu dilakukan.

Tumbuh Kembang
Pemantauan terhadap perkembangan fisik dan mental dilakukan setiap bulan untuk
deteksi dini gangguan tumbuh kembang akibat pengobatan maupun penyakitnya sendiri

12
ARTRITIS REUMATOID JUVENIL

Artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan sekumpulan penyakit yang tidak


homogen. Terdapat banyak sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ
seperti infeksi, autoimun, trauma, stres serta faktor imunogenetik. Patogenesis ARJ
merupakan imunopatogenesis penyakit kompleks imun. Penyakit artritis reumatoid pada
anak berbeda dengan orang dewasa. Pada umumnya kriteria klasifikasi dan diagnosis
penyakit reumatik dapat dipakai untuk anak dan dewasa, kecuali ARJ.
Penyakit ARJ umumnya mudah mengalami remisi, sehingga pengobatan ditujukan
untuk mencegah komplikasi dan timbulnya kecacatan terutama yang mengenai sendi.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Pencegahan dini terhadap terjadinya cacat sangat penting dilakukan dengan deteksi
dini kelainan yang terjadi pada ARJ. Pada penderita ARJ dilakukan tata laksana secara
terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan
dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial dan bila perlu konsultasi pada ahli
bedah dan psikiater.

LANGKAH DIAGNOSTIK

Anamnesis
Dijumpai dua gejala inflamasi sendi yaitu gerakan sendi yang terbatas, nyeri dan
panas pada pergerakan. Rasa nyeri sendi pada pergerakan biasanya tidak begitu menonjol.
Pada anak kedl yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada
pagi hari. Tipe onset sistemik ditandai demam intermiten dengan puncak tunggal atau ganda
lebih dari 39°C selama 2 minggu atau lebih, artritis dan biasanya disertai kelainan sistemik
lain berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis,
limfadenopati).

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis utama yang secara obyektif terlihat adalah artritis, sendi yang terkena
teraba hangat, biasanya tidak terlihat eritem. Secara klinis artritis ditentukan dengan
menemukan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi; atau dengan
menemukan paling sedikit dua gejala inflamasi sendi, yaitu gerakan sendi yang terbatas,
nyeri pada pergerakan dan panas. Rasa nyeri atau nyeri sendi pada pergerakan tidak begitu
menonjol. Pada anak kecil yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan
terutama pada pagi hari. Tipe onset poliartritis terdapat pada pasien yang menunjukkan

13
gejala artritis pada lebih dari empat sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis bila mengenai
empat sendi atau kurang. Pada tipe oligoartritis, sendi besar lebih sering terkena dan
biasanya di daerah tungkai. Pada tipe poliartritis keluhan lebih sering terdapat pada sendi-
sendi jari dan biasanya simetris, tetapi di samping itu dapat pula pada sendi lutut,
pergelangan kaki dan siku. Tipe onset sistemik ditandai oleh demam intermiten dengan
puncak tunggal atau ganda lebih dari 39°C selama dua minggu atau lebih, artritis, dan
biasanya disertai kelainan sistemik lain berupa ruam reumatoid serta kelainan viseral
(hepatosplenomegali, serositis, limfadenopati).

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ARJ dapat ditegakkan secara klinis, beberapa pemeriksaan imunologik
tertentu dapat menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik untuk ARJ.
 Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai anemia ringan atau sedang dengan kadar Hb 7-
10 g/dl dan leukositosis dengan predomnansi neutrofil. Hitung trombosit dapat meningkat
hebat pada tipe sistemik berat atau poliartritis, dan sering dipakai sebagai petanda
kekambuhan atau reaktivasi ARJ. UnWk petanda aktivitas penyakit dapat dilakukan
pemeriksaan LED dan CRP yang biasanya sesuai dengan peningkatan aktivitas
penyakit. Peningkatan kadar IgG dan IgM serum juga dapat sesuai dengan aktivitas ARJ.
Peningkatan IgM berbeda dengan artritis reumatoid dewasa. Kadar komponen
komplemen C3 dan komponen hemolitik pada ARJ aktif akan meningkat. Faktor
reumatoid jarang ditemukan pada ARJ, tetapi bila positif biasanya dihubungkan dengan
ARJ tipe poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau pasien yang
secara fungsional lebih buruk. Pemeriksaan ANA lebih berarti pada ARJ . dibanding pada
SLE. Kekerapannya lebih tinggi pada anak perempuan yang lebih muda, terutama pada
tipe oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Oleh karena itu pemeriksaan ANA perlu
dilakukan untuk mengetahui risiko setiap pasien ARJ terhadap kemungkinan uveitis.
 Pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk mengetahui derajat kerusakan yang terjadi
pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologis pada sendi dapat berupa
pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan
kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut
(lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang
rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran
nekrosis aseptik jarang ditemukan walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi
jangka panjang. Selain dengan foto radiologi biasa, kelainan tulang dan sendi dapat pula
dideteksi dengan skintigrafi.

14
TERAPI

Medikamentosa
 Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Asam asetil salisilat adalah obat
antiinflamasi non steroid (AINS) terpenting untuk ARJ, bekerja dengan menekan proses
inflamasi dan terbukti aman untuk pemakaian jangka panjang. Dosis yang dipakai adalah
75-90 mg/kgBB/hari dalam 3-4 kali pemberian. Asam asetil salisilat diberikan terus
menerus sampai 1-2 tahun setelah gejala klinis menghilang.

 Analgetik lain, asetaminofen, walaupun bukan obat antiinflamasi dapat bermanfaat


mengontrol nyeri dan demam terutama pada penyakit sistemik. Namun asetaminofen
tidak boleh diberikan jangka panjang karena menimbulkan kelainan ginjal. Sebagian
besar AINS tidak boleh diberikan kepada anak. Naproksen merupakan AINS yang dapat
diberikan pada anak dengan dosis 10-15 mg/kgBB dibagi dua dengan tujuan untuk
mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak yang tidak responsif terhadap asam
asetil salisilat atau sebagai pengobatan inisial.

 Obat antireumatik kerja lambat terdiri dari obat-obat anti malaria (hidroksiklorokuin,
preparat emas oral dan suntikan, penisilamin dan sulfasalazin). Obat golongan ini hanya
diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dehgan AINS.
Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan untuk anak besar, dosis
awal6-7 mglkgBB/hari, setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mglkgBB/hari. Bila setelah
6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.

 Kortikosteroid diberikan jika terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik atau untuk
suntikan intraartikular. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tidak terkontrol
diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dosis terbagi pada keadaan
yang lebih berat. Jika tampak perbaikan klinis maka dosis diturunkan perlahan-Iahan dan
prednison dihentikan. Perlu diingat bahwa pemberian kortikosteroid, walaupun dengan
dosis tinggi tidak akan memperpendek aktivitas penyakit, mencegah komplikasi
ekstraartikular, atau mengubah hasil akhir. Jadi lebih baik membatasi pemakaian
kortikosteroid untuk menghindari efek toksik obat tersebut. Perlu diingat kortikosteroid
tidak diindikasikan pada semua jenis ARJ karena efek ketergantungan yang besar dan
sulit dilakukan penyapihan.

 Imunosupresan diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat yang


mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi sudah mulai
memakainyadalam protokol baku. Obat yang biasa dipakai adalah azathioprin,
siklofosfamid, klorambusil dan metotreksat. Yang paling sering digunakan adalah

15
metotreksat dengan indikasi untuk poliartritis berat atau gejala sistemik yang tidak
membaik dengan AINS, hidroksiklorokuin atau garam emas. Dosis inisial 5
2 2
mg/m /minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m / minggu bila respons tidak adekuat
setelah 8 minggu pemberian. Lama pengobatan 6 bulan dianggap adekuat.

Bedah
Tindakan bedah diperlukan untuk koreksi kecacatan sendi.

Suportif
Edukasi pasien dan keluarga sangat penting untuk keberhasilan terapi penyakit ini.
Pengenalan dan tata laksana dini kelainan ini penting untuk mencegah deformitas yang lebih
luas. Pengertian tentang penyakit ARJ pada keluarga dan lingkungannya sangat diperlukan
untuk mencegah gangguan emosi pada pasien.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll)


 Rujukan ke spesialis rehabilitasi medik untuk mencegah kekakuan dan kecacatan sendi
 Rujukan ke ahli ortopedi
 Konsultasi berkala ke spesialis mata (3 bulan sekali) untuk deteksi dini adanya uveitis
 Rujukan ke psikiater untuk pencegahan atau pengobatan gangguan emosi akibat
kronisitas penyakit
 Konsultasi ke subbagian lain bila ada keterlibatan organ lain.

PEMANTAUAN (MONITORING)

Terapi
Selama pemberian asam salisilat perlu dilakukan pemantauan terjadinya gangguan
gastrointestinal, di samping pemantauan efektivitas pengobatan. Pemantauan aktivitas
penyakit secara laboratoris dilakukan sesuai dengan pemeriksaan penunjang. Pemantauan
efek samping obat juga perlu dilakukan terhadap kortikosteroid, garam emas dan
imunosupresan.

Tumbuh Kembang
Pemantauan terhadap perkembangan fisik dan mental dilakukan setiap bulan untuk
deteksi dini gangguan tumbuh kembang akibat pengobatan maupun penyakitnya sendiri.

16
RINITIS ALERGI

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain
karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk melindungi saluran
nafas bagian bawah. Histamin merupakan mediator penting gejala alergi pada hidung, hal ini
berbeda dengan saluran nafas bagian bawah.
Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular dan secara tidak langsung
melalui refleks yang berperan pada bersin dan sekresi. Melalui sistem saraf otonom histamin
menimbulkangejala bersin dan gatal, terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler yang menimbulkan gejala hidung beringus encer (watery rhinorrhoea). Newly formed
mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya histamin, misalnya leukotrien
(LTB4, LTC4), prostaglandin PDG2, dan platelet activating factor (PAF). Mediator ini
menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockade) meningkatnya sekresi kelenjar
sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoea). Gejala rinitis alergi fase
lambat seperti hidung tersumbat, berkurangnya pembauan, dan hiperreaktivitas diperankan
oleh eosinofil.

LANGKAH PROMOTIF/PREVENTIF
Kelainan ini disebabkan oleh mediator, terutama histamin, yang dilepaskan sel mast
melalui proses degranulasi akibat ikatan antara IgE spesifik dengan alergen pada reaksi
hipersensitivitas tipe 1. Mediator reaksi alergi fase lambat, seperti leukotrien, juga berperan,
terutama pada rinitis persisten atau kronik. Oleh karena itu tindakan pencegahan yang paling
penting adalah identifikasi dan penghindaran faktor pencetus. Pengobatan dini dan tepat
dapat mencegah terjadinya komplikasi sinusitis pada anak yang lebih besar. Rinitis alergi
dibagi dua yaitu rinitis alergika intermiten yang timbul bila terpajan dengan alergen dan
gejala menghilang apabila tidak lagi terpajan dengan alergen. Sedangkan pada rinitis alergi
persisten gejala terjadi sepanjang tahun dan alergennya sulit dideteksi.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
Riwayat atopi pada keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergika pada anak.
Untuk menentukan pencetus, perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan rinci. Anamnesis
juga diarahkan terhadap faktor lingkungan seperti debu, tungau debu rumah (pada karpet,
kain sofa, kasur kapuk, gorden, boneka berbulu, dan lain-lain), binatang peliharaan,
tumbuhan, sengatan binatang, serta faktor makanan termasuk zat warna, zat pengawet,
obat-obatan, faktor fisik seperti dingin, panas, dan sebagainya.

17
Gejala rinitis alergi yang merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase
lambat baru timbul 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang
berkepanjangan. Gejala rinitis alergi umumnya baru ditemukan setelah anak berusia 4-5
tahun. Sesuai dengan patogenesisnya maka gejala rinitis alergi dapat berupa rasa gatal di
hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat dan bernafas melalui mulut.
Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung, atau berupa post nasal drip yang ditelan.
Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral, atau bergantian. Gejala bernafas melalui
mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala tenggorokan kering,
mendengkur, gangguan tidur, serta rasa kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa
suara sengau, gangguan pembauan dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Gejala kombinasi
bersin, beringus, serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu
dan menjengkelkan.

Pemeriksaan fisis
Anak yang menderita rinitis alergi kronik dapat mempunyai bentuk wajah yang khas.
Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak (bags) di bawah
mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak, sering terlihat mulut
selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini memudahkan timbulnya
gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering menggosok
hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda yang disebut allergic salute.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi dapat menduga adanya infeksi sebagai faktor pencetus.
Pemeriksaan feses dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan peningkatan eosinofil dan
IgE karena cacing.
 Pemeriksaan hitung eosinofil total dan kadar IgE total dapat digunakan untuk menunjang
adanya atopi pada pasien.
 Pemeriksaan apusan sekret hidung dilakukan untuk melihat adanya eosinofilia.
 Pemeriksaan uji kulit terhadap alergen dilakukan untuk menentukan adanya atopi serta
identifikasi faktor pencetus
 Uji provokasi dilakukan terhadap makanan atau obat (lihat SPM alergi makanan dan
alergi obat).
 Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan (ada kontra
indikasi, tidak bisa bebas dari penggunaan antihistamin).
 Pemeriksaan pencitraan sinus dilakukan pada rinitis kronik pada anak usia 4 tahun ke
atas untuk melihat kemungkinan komplikasi sinusitis.

18
TERAPI

Medikamentosa
 Pengobatan rinitis alergi pada anak terutama dilakukan dengan menghindari alergen
penyebab. Antihistamin oral merupakan obat pilihan utama. Untuk rinitis intermiten cukup
diberikan antihistamin generasi I. Pada rinitis alergi yang memerlukan antihistamin
jangka panjang digunakan antihistamin generasi baru yang bersifat non sedatif dan
mempunyai efek antiinflamasi.
 Terapi topikal sulit diberikan pada anak yang tidak kooperatif.
 Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan
pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini
tidak dijumpai efek samping. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun
belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung
jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan setengah dosis dewasa,
dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergi
dengan keluhan hidung tersumbat yang mencolok. Pemberian kortikosteroid sistemik
tidak dianjurkan pada rinitis alergi pada anak. Demikian pula halnya pemberian
vasokonstriktor topikal di bawah usia 1 tahun karena batas antara dosis terapi dengan
dosis toksik yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan
sistem saraf pusat. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek
sentral.
 Ipratropium bromida sebagai antikolinergik diberikan tintuk rinitis alergi pada anak
dengan keluhan hidung beringus yang mencolok.
 Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan.

Bedah
Tindakan bedah dilakukan bila terdapat komplikasi sinusitis dengan gambaran radiologi air
fluid level.

Suportif
Selain menghindari alergen, dilakukan terapi suportif seperti optimalisasi suhu lingkungan
dan memperhatikan nutrisi yang seimbang sebagai pengganti diet terhadap beberapa jenis
makanan hiperalergenik.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya dll)


Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila ditemukan gejala sinusitis dengan gambaran
radiologi air fluid level

19

Você também pode gostar