Você está na página 1de 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Lingkungan Sekolah
Proses pendidikan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan yang
mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politis dan nilai-nilai.
Lingkungan fisik terdiri atas lingkungan alam dan lingkungan buatan
manusia, yang merupakan tempat dan sekaligus memberikan dukungan terkadang
juga hambatan bagi berlangsungnya proses pendidikan (Hamalik, 2006).
Kawasan sekolah memerlukan lingkungan yang tenang dan jauh dari
kebisingan. Tetapi pada kenyataannya untuk daerah perkotaan sulit untuk
mendapatkan lokasi sekolah yang tenang.
Proses pembelajaran dibagi dalam dua fase yaitu persiapan dan
proses belajar. Fase persiapan belajar merupakan fase sebelum belajar,
landasan utama bagi pembentukan cara belajar yang baik. Sikap mental yang
baik juga diperlukan dalam rangka persiapan belajar. Fase proses belajar
sangat menentukan berhasil tidaknya sang siswa dalam berprestasi. Secara
sistematik kita dapat gambarkan komponen-komponen yang terlihat dalam
proses belajar mengajar (PBM) sebagai berikut :

Gambar 2.1 Proses Belajar Mengajar

4
5

Pengertian konsentrasi adalah kemampuan untuk memusatkan pikiran


terhadap aktivitas yang sedang dilakukan (Kamus Besar Indonesia) sedangkan
konsentrasi belajar adalah kemampuan untuk memusatkan pikiran terhadap
aktivitas belajar . Konsentrasi juga atensi atau perhatian searah terhadap suatu hal
dan biasanya berkaitan dengan konsentrasi terhadap apa yang saat ini dihadapi
dan dijalani (Hakim,Thursan, 2002).

2.1.2 Ergonomi
Kata “ergonomi‟ dibentuk dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu ergon
yang berarti kerja dan nomos yang berarti hukum. Pada beberapa negara
istilah ergonomi seringkali digantikan atau disandingkan dengan terminologi
human factors. Ergonomi adalah suatu kajian terhadap interaksi antara
manusia dengan mesin yang digunakannya, beserta faktor-faktor yang
mempengaruhi interaksi tersebut (Bridger, 2005).
Menurut definisi formal yang dikeluarkan oleh International
Ergonomic Assosiation, ergonomi adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki
fokus pada pemahaman interaksi antara manusia dan elemen-elemen lain dalam
sistem, dan profesi yang menerapkan teori, prinsip-prinsip, data dan metode
perancangan, dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan kehidupan manusia
dan keseluruhan performa system (OSHA, 2002).
Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan
elemen-elemen lain dalam suatu sistem dan pekerjaan yang mengaplikasikan
teori, prinsip, data dan metode untuk merancang suatu sistem yang optimal, dilihat
dari sisi manusia dan kinerjanya. Ergonomi memberikan sumbangan untuk
rancangan dan evaluasi tugas, pekerjaan, produk, lingkungan dan sistem
kerja, agar dapat digunakan secara harmonis sesuai dengan kebutuhan,
kemampuan dan keterbatasan manusia. Salah satu dari ruang lingkup ergonomi
adalah ergonomi kognitif. Hal ini berkaitan dengan proses mental manusia,
termasuk di dalamnya; persepsi, ingatan, dan reaksi, sebagai akibat dari interaksi
manusia terhadap pemakaian elemen sistem. Topik-topik yang relevan dalam
ergonomi kognitif antara lain; beban kerja, pengambilan keputusan, performance,
6

human-computer interaction, kehandalan manusia, dan stress kerja


(Nurmianto,Eko, 2004).
Secara singkat ergonomi bertujuan untuk merancang berbagai peralatan,
sistem teknis, dan pekerjaan untuk meningkatkan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan performa manusia. Implementasi ilmu ergonomi dalam
perancangan sistem seharusnya membuat suatu sistem bekerja lebih baik dengan
mengeliminasi aspek-aspek yang tidak diinginkan, tidak terkontrol, dan tidak
terukur, seperti:
a. ketidakefisienan
b. kelelahan
c. insiden, cedera dan kesalahan
d. kesulitan dalam penggunaan
e. moral yang rendah dan apatisme
Dalam mendisain pekerjaan dan kondisi pada kehidupan sehari-hari
ergonomi berfokus pada manusia. Kondisi kerja pada kehidupan sehari-hari yang
tidak aman, tidak sehat, tidak nyaman, atau tidak efisien dihindari dengan
memperhatikan kemampuan dan keterbatasan manusia baik secara fisik
maupun psikologi. Faktor-faktor yang memegang peran dalam ergonomi yaitu :
a.Postur tubuh & pergerakan : duduk, berdiri, mengangkat, mendorong, menarik
b.Faktor lingkungan : kebisingan, getaran, iluminasi, iklim, zat kimia
c.Organisasi kerja : tugas yang tepat, pekerjaan yang menyenangkan
d.Informasi & operasi : informasi yang diperoleh secara visual atau
melalui indra lainnya, kontrol, kaitan antara tampilan dan control.
Faktor-faktor tersebut menetukan tingkatan yang besar dari keamanan,
kesehatan, kenyamanan, dan performa yang efisien pada saat bekerja dan dalam
kehidupan sehari-hari. Ergonomi menyatukan pengetahuan dari berbagai bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk anthropometri, biomekanika,
psikologi, toksikologi, teknik mesin, perancangan industri, teknologi informasi,
dan manajemen. Hal tersebut kemudian dipilah dan diintergrasikan kedalam suatu
pengetahuan yang relevan (OSHA,2000).
7

2.1.3 Suara
Secara fisik, tidak ada perbedaan antara suara dan kebisingan. Suara
adalah persepsi sensori dan pola kompleks dari getaran suara dilabeli sebagai
kebisingan, musik, percakapan dan sebagainya. Tekanan suara adalah
pengukuran dasar dari vibrasi udara yang menghasilkan suara. Karena jangkauan
dari tekanan suara yang dapat dideteksi pendengaran manusia sangat luas,
tingkatan ini diukur dalam skala logaritma dengan unit desibel. Akibatnya,
tekanan suara tidak dapat ditambah atau dirata-rata secara aritmetik. Selain itu,
tingkatan suara dari kebanyakan kebisingan bervariasi setiap waktunya, dan
ketika tekanan suara dihitung, fluktuasi tekanan yang mendadak harus
diintegrasikan dalam suatu interval waktu (Berglund,B., Lindvall,T., dan Schwela,
D. H. 1999).
Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi yang bisa
menentukan tingkat gangguan terhadap manusia, yaitu lama, intensitas dan
frekwensinya. Makin lama telinga kita mendengarkan kebisingan, makin buruk
akibatnya bagi kita, diantaranya pendengaran yang makin kurang. Intensitas
biasaanya diukur dengan satuan desibel (dB), yang menunjukkan besarnya
arus energi persatuan luas. Frekwensi menunjukkan jumlah gelombang-
gelombangt suara yang sampai ke telinga kita setiap detik, dinyatakan dalam
jumlah getaran perdetik atau Herz (Askephita, 2012).
a. Defenisi Suara dan Pengukuran Suara
Gelombang akustik dapat didefinisikan sebagai perubahan tekanan
pada media yang elastis. Sedangkan suara adalah sensasi auditori yang dihasilkan
oleh osilasi gelombang akustik tersebut. Pada udara, suara terdiri dari osilasi-
osilasi terkait dengan tekanan atmosfer sekitar. Getaran pada permukaan dan
pergerakan aliran zat cair dapat bertindak sebagai suara, kemudian menyebar
melalui area frekuensi tinggi dan rendah secara beruntun. Amplitudo dari
gelombang akustik dinyatakan dalan Newton per meter kubik atau dalam
pascal (1 Pa = 1 N/m2). Ambang batas pendengaran (Amplitudo terendah dari
osilasi tekanan dalam udara yang terdeteksi oleh telinga) adalah 0.00002 N/m2
8

pada frekuensi 1000 Hz . Dua atribut utama dari suara adalah frekuensi dan
intensitas (Bridger,2005).
b. Frekuensi Gelombang Suara
Getaran- Getaran yang dihasilkan dari sumber penghasil getaran misalnya
garpu tala, membentuk suatu getaran-getaran sinusoidal (sine). Salah satu
sifat gelombang sinusoidal adalah bahwa gelombang diatas garis tengah
merupakan pantulan dari gelombang di bawah garis tengah. Selain itu,
bentuk gelombang-gelombang tersebut mengalami pengulangan terus
menerus. Jumlah dari siklus gelombang yang terjadi dalam satu detik disebut
sebagai frekuensi suara. Frekuensi suara dinyatakan dalam satuan Hertz (Hz),
sama dengan jumlah siklus gelombang per detik. Biasanya suatu kebisingan
terdiri dari campuran sejumlah gelombang-gelombang sederhana dari
beraneka frekuensi. Nada dari kebisingan ditentukan oleh frekuensi-frekuensi
yang ada.
Secara umum, telinga manusia peka terhadap antara 20 hingga
20.000 Hertz, meskipun pada level frekuensi yang berbeda kepekaan pada
masing-masing manusia tidaklah sama. Bahkan pada individu yang berbeda,
kadar kepekaannya juga berbeda pada berbagai tingkatan frekuensi (Halliday,
Resnick, dan Walker. 2010).
c. Intensitas Suara
Intensitas suara diasosiasikan dengan sensasi berupa kekerasan suara yang
dirasakan manusia. Intensitas suara dapat didefinisikan sebagai suatu energi
atau tenaga per satuan luas, misalnya, Newton per meter persegi (N/m2).
Skala logaritma digunakan untuk mempermudah dalam membuat karakteristik
intensitas suara karena jangkauan nilai kekuatan suara pada umumnya sangat
besar. Satuan dasar yang digunakan dalam pengukuran intensitas suara adalah Bel
(B), diambil dari nama Alexander Graham Bell. Jumlah Bel adalah
logaritma (hingga basis 10) dari rasio antara 2 intensitas suara. Pada
kenyataannya, ukuran intensitas suara yang lebih umum digunakan adalah decibel
(dB), dimana 1 dB = 0.1 B.
9

Peralatan-peralatan untuk pengukuran suara tidak banyak yang dapat


secara langsung mengukur kekuatan suara dari sumbernya. Pengukuran yang
dilakukan adalah dengan mengukur variasi gelombang yang terjadi pada tekanan
udara. Selanjutnya pengukuran dapat dilakukan pada level tekanan suara
(Sound Pressure Level- SPL) dalam satuan dB karena luas kekuatan suara
proporsional dengan luas tekanan suara. Hal ini dapat didefinisikan melalui
persamaan berikut:
𝑃12
SPL (dB) =10 log 𝑝02 ……………………………………………………… (2-1)

Dengan, P1 = tekanan suara dalam newton per meter kuadrat


P0 = referensi tekanan suara (0,00002 N/m2)
Perhitungan ini dapat disederhanakan menjadi,
𝑝1
SPL (dB) =20 log 𝑝0 ……………………………………………………… (2-2)

Skala decibel adalah skala logaritma, jadi peningkatan 10 dB


menunjukkan peningkatan sepuluh kali lipat pada kekuatan suara dan peningkatan
seratus kali lipat pada tekanan suara. Hal ini menunjukkan bahwa level
tekanan suara akan meningkat sebesar 3dB dengan peningkatan dua kali lipat
pada tenaga suara (sound power). Akibat lain dari penggunaan skala
logaritma adalah perbandingan dari dua suara dihitung dengan mengurangi
(bukan membagi) satu level decibel dengan level lainnya. Kebisingan dalam
perusahaan dengan intensitas 60 dB berarti 106 x Intensitas kebisingan
standard (Berglund,B., Lindvall,T., dan Schwela, D. H. 1999).

2.1.4 Kebisingan
Davis Cornwell dalam Djalante (2010) mendefinisikan, bahwa kebisingan
berasal dari kata bising yang artinya semua bunyi yang mengalihkan perhatian,
mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Bising, umumnya
didefisinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkan dan juga dapat menyebabkan
polusi lingkungan. Ditambahkan lagi oleh Djalante (2010) suara adalah sensasi
atau rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran manusia, ketika gelombang-
10

gelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang


diterimanya.
Kebisingan didefinisikan sebagai suara yang tidak diinginkan.
Kebanyakan kebisingan lingkungan dapat dideskripsikan oleh beberapa
pengukuran sederhana. Semua pengukuran menganggap kandungan frekuensi dari
suara, tingkat tekanan suara secara keseluruhan dan variasi dari tingkatan-
tingkatan ini terhadap waktu (Dwi P,Sasongko, 2000).
Masalah kebisingan tidak hanya merupakan masalah di tempat kerja saja,
teapi juga di sekitar kita seperti suara pesawat terbang, suara senapan, dll.
Pengertian kebisingan adalah bunyi atau suara yang timbul yang tidak
dikehendaki yang sifatnya mengganngu dan menurunkan daya dengar seseorang.
Kebisingan memiliki kriteria, yaitu tingkat kebisingan terendah yang
disyaratkan untuk ruangan tertentu menurut fungsi utama dari ruangan tersebut.
Jika kriteria kebisingan dari suatu ruang telah diketahui, maka akan dapat
diketahui bagaimana cara mengurangi kebisingan tersebut. Pengurangan
kebisingan adalah dengan mengurangi besar kekuatan bunyi yang diterima untuk
memperkecil tingkat kebisingan yang dihasilkan.
Peraturan menteri kesehatan No. 718 tahun 1987 dalam Setiawan (2010)
tentang kebisingan pada kesehatan dibagi menjadi empat zona wilayah yaitu:
1. Zona A adalah zona untuk tempat pendidikan, rumah sakit, tempat perawatan
kesehatan atau sosial. Intensitas tingkat kebisingannya berkisar 35-45 dB.
2. Zona B adalah untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Membatasi
angka kebisingan antara 45-55 dB.
3. Zona C antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Dengan
kebisingan sekitar 50-60 dB.
4. Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api dan terminal bus.
Tingkat kebisingan berkisar 60-70 dB.
Sumber-sumber bising pada dasarnya ada tiga macam, yaitu sumber bising
titik, sumber bising bidang dan sumber bising garis. Kebisingan yang diakibatkan
lalu lintas adalah kebisingan garis . Sumber-sumber kebisingan menurut Prasetio
(1985) dapat bersumber dari:
11

a. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-alat
rumah tangga, atau mesin-mesin gedung.
b. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi,
industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat-tempat
pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar
ruangan atau gedung.
Tabel 2.1 Skala Intensitas Kebisingan
Decibels Batas Dengar Tertinggi
120 Halilintar
Memulihkan 110 Meriam
100 Mesin Uap
90 Jalan Hiruk Pikuk
80 Perusahaan Sangat
Sangat Hiruk
Gaduh
Pluit Polisi
70 Kantor gaduh
Jalan Umum
Kuat
60 Radio
Perusahaan
50 Kantor Umum
Rumah gaduh
Sedang
40 Percakapan Kuat
Radio Perlahan
30 Rumah Tenang
Tenang Kantor Perorangan
20 Auditorium
10 Berbisik
Sangat Tenang Suara Daun-daun
0 Batas Dengar terendah
Sumber: Teknik Tata Cara Kerja, 1979

Kebisingan (noise) telah menjadi aspek yang berpengaruh di lingkungan


kerja dan komunitas kehidupan yang sering kita sebut sebagai polusi suara
dan seringkali dapat menjadi bahaya bagi kesehatan. Kebisingan biasanya
didefinisikan sebagai suara atau suara pada amplitudo tertentu yang dapat
menyebabkan kejengkelan atau megganggu komunikasi. Suara dapat diukur
secara objektif sedangkan kebisingan merupakan fenomena yang subjektif
(Bridger, 2005). Sedangkan menurut Sanders kebisingan merupakan suatu
12

stimulus pendengaran yang tidak memiliki hubungan informasi apapun


dengan keberadaan atau penyelesaian tugas (Sanders dan McCormick, 1993).

Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan yaitu :


a. Kebisingan yang kontinu dengan spectrum frekuensi yang luas. Misalnya
mesin-mesin, kipas angin, dan lain-lain.
b. Kebisingan kontinu dengan spectrum frekuensi sempit. Misalnya gergaji
sekuler, katup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus. Misalnya lalu lintas, suara kapal terbang di udara.
d. Kebisingan impulsive. Misalnya pukulan tukul, pukulan bedil, dan meriam.
e. Kebisingan impulsive berulang. Misalnya mesin tempa di perusahaan.
Telinga manusia memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda-beda pada
semua frekuensi suara. Secara umum, telinga manusia kurang sensitif terhadap
frekuensi dengan level rendah (dibawah 1000 Hz) dan lebih sensitif pada
level-level frekuensi yang lebih tinggi. Meskipun pada tingkat intensitas
yang sama, nada dengan frekuensi rendah tidak akan terdengar sekeras nada
dengan frekuensi tinggi. Sehingga untuk menghasilkan kekerasan suara yang
sama, maka nada berfrekuensi rendah harus memiliki tingkat intensitas yang
lebih tinggi (Sanders dan McCormick, 1993).
American National Standards Institute (ANZI) membuat spesifikasi
yang memuat beberapa skala untuk menghitung frekuensi dan karakteristik respon
dari telinga manusia. Skala tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2
13

Sumber: IEC, 1973a, 1973b pada Environmental health criteria - noise. 1980,
Gambar 2.2 Karakteristik Respon Relatif dari Skala Level A, B dan C serta
Ambang Batas dari Telinga Manusia
Dari gambar diatas yang paling umum digunakan adalah skala A. Hal ini
disebabkan karakteristik dari skala A adalah yang paling mendekati atau
yang paling cocok dengan karakteristik pendengaran manusia. Hal ini
kembali ditegaskan dalam standar yang dikeluarkan oleh OSHA (Occupational
Safety and Health Administration) untuk menghitung limitasi dari tingkat
kebisingan di lingkungan kerja dan EPA (Environmental Protection Agency)
pada tahun 1974 telah menetapkan skala A sebagai skala yang tepat untuk
pengukuran kebisingan pada lingkungan. Skala C memberikan bobot yang
hampir sama untuk seluruh frekuensi. Sedangkan skala B dibuat untuk
merepresentasikan bagaimana manusia dapat memberikan reaksi terhadap suara
dengan intensitas menengah, namun skala ini jarang digunakan. Selain ketiga
skala tersebut, dikenal pula skala D yang khusus untuk kebisingan pada pesawat
terbang.
Kebisingan atau kekerasan bersifat subjekif atau merupakan
pengalaman psikologis sehubungan dengan intensitas dan frekuensi suara.
Para peneliti telah berusaha untuk mengembangkan skala atau indeks
berdasarkan sifat fisik suara yang akan mengukur pengalaman psikologis
tersebut. Itulah sebabnya hal ini disebut dengan psikofisik. Di antara indeks
psikofisik yang telah dikenal secara luas, yang paling terkenal adalah phon dan
sone Robinson,Dadson, 1956).
14

Sumber: Robinson & Dadson, 1956 pada Environmental health criteria - noise. 1980,
Gambar 2.3 Kurva Tingkat Kekerasan Suara dengan Nada Murni

Satuan phon dibuat dengan tujuan untuk mengukur kekerasan dan nilainya
telah ditetapkan sama dengan level desibel dari nada 1000 Hz. Sebagai
contoh, semua nada kekerasan suaranya sama dengan 60-dB, maka nada dengan
1000 Hz ditunjukan untuk memiliki kekerasan suara dengan level 60 phon.
Phon menunjukkan ekualitas dari berbagai variasi suara secara subyektif,
tapi phon tidak dapat menunjukkan tentang kekerasan relatif pada suara-suara
yang berbeda. Sehingga kita tidak dapat menghitung berapa kali lipat
kerasnya suara 40 phon dibandingkan dengan 20 phon. Kita hanya tahu bahwa
40 phon lebih keras dibandingkan 20 phon, tapi kita dapat menyebutkan
apakah 40 phon lebih keras dua kali lipat atau empat kali lipat kerasnya
suara 20 phon. Untuk mengukur penilaian komparatif seperti itu diperlukan
standar pengukur yang lain.
Stevens (1936) menyebutnya sone. Satu sone didefinisikan nada sekeras
1000 Hz dengan tingkat intensitas 40 dB (40 phon). Terdapat hubungan antara
phon dan sone; 40 phon = 1 sone, dan setiap penambahan 10 phon sama dengan
dua kali lipat dari jumlah sone. Sebagai contohnya 50 phon = 2 sone, 60 phon
= 4 sone, dan 70 phon = 8 sone. Demikian pula dengan 0 phon = 0.5 sone dan
20 phon = 0.25 sone. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 40 phon suara
sama dengan empat kali lipat kerasnya 20 phon suara (Sanders dan McCormick,
1993).
Selain itu terdapat pula kumpulan indeks lainnya yang digunakan
untuk mengukur tingkat kekerasan suara dan dikembangkan sebagai perbaikan
dari phon dan sone yang asli. Stevens (1972) menyatakan bahwa dua
pengukuran tersebut analog dengan phon dan sone, adalah PLdB atau
Perceived Level of Noise, dan Mark VII Sone (Sanders dan McCormick, 1993).
Kebisingan dapat membawa efek yang kurang baik, terutama bagi
pendengaran manusia, maka dibuatlah beberapa standar untuk membatasi
15

tiap jenis kebisingan, yaitu kebisingan berkelanjutan (continuos noise) dan


kebisingan putus-putus (intermittent), kebisingan impuls, kebisingan infrasonik
dan kebisingan ultrasonik.
Standar yang akan digunakan pada penelitian ini adalah berdasarkan nilai
ambang batas kebisingan yang ditetapkan Pemerintah melalui Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup no. Kep-48/MENLH/11/1996 menetapkan baku
tingkat kebisingan yang diperbolehkan untuk suatu kawasan tertentu. Baku
tingkat kebisingan ini diukur berdasarkan rata-rata pengukuran tingkat
kebisingam ekuivalen (Leq). Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal
tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau
kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan.
Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup no. Kep-48/MENLH/11/1996
Peruntukan Kawasan / Lingkungan
Tingkat Kebisingan dB (A)
Kesehatan
a. Peruntukan Kawasan
- Perumahan dan Pemukiman 55
- Perdagangan dan jasa 70
- Perkantoran dan perdagangan 65
- Ruang terbuka hijau 50
- Industri 70
- Pemerintahan dan fasilitas umum 60
- Rekreasi 70
- Khusus
 Bandar udara -
 Stasiun kereta api -
 Pelabuhan laut
70
 Cagar budaya
60
b. Lingkungan Kegiatan
- Rumah sakit atau sejenisnya 55
16

- Sekolah atau sejenisnya 55


- Tempat ibadah atau sejenisnya 55
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, No. 48 tahun 1996, Tentang:
Baku tingkat kebisingan
Kebisingan impuls adalah suara dengan waktu menuju intensitas puncak
tidak lebih dari 35 milidetik dan dengan durasi tidak lebih dari 500 milidetik
ketika tingkat suaranya adalah 20 dBA dibawah puncak.
n = 1016-p/10 ……………………………………………………………….. (2-3)
Dengan, n= jumlah maksimum intensitas yang diperbolehkan dalam 8 jam
p= intensitas impuls maksimum
Kebisingan inftrasonik merupakan tingkat kebisingan suara yang memiliki
frekuensi di bawah suara yang dapat terdapat, yaitu kurang dari 20 Hz.
Sampai saat ini, tidak ada standar nasional ataupun internasional untuk batas
pengeluaran yang masih diperbolehkan untuk suara ini tetapi biasanya
sebagai perlindungan direkomendasikan pengeluaran antara 136 dB pada 1
Hz hingga 123 dB pada 20 Hz, jika meningkat 3 dB, maka durasi yang
diperbolehkan harus dikurangi menjadi setengahnya. Intensitas bunyi dalam arah
tertentu pada suatu titik merupakan laju dari energi bunyi rata-rata yang
ditransmisikan dalam arah lewat satu satuan luasan yang tegak lurus pada arah
tersebut yang dilewati. Secara praktis, tingkat intensitas bunyi
sama dengan tingkat tekanan bunyi (Prasetio, 1985).
Kebisingan ultrasonik merupakan tingkat kebisingan suara dengan
frekuensi diatas suara yang dapat terdengar oleh manusia, yaitu lebih besar dari
20.000 Hz. Action (1983) meneliti topik dan berbagai standar yang ada
mengenai pengeluaran ultrasonik, yang menyimpulkan bahwa kriterianya sama
dan batas pengeluarannya sampai 110 dB untuk frekuensi pada dan diatas
20.000 Hz. Ini berarti pada 20.000 Hz digunakan 75 dB dan pada atau di
atas 25.000 Hz, digunakan 110 dB (Sanders dan McCormick, 1993).
Hingga saat ini berbagai penelitian telah dilakukan untuk
mengembangkan pengukuran pajanan suara yang dapat merepresentasikan
banyaknya faktor akustik penting dan beberapa faktor non-akustik yang
17

mempengaruhi gangguan suara. Sperry (1978) telah mendata 13 pengukuran


yang berbeda dimana pengukuran ini telah banyak digunakan di seluruh
dunia untuk pengukuran pajanan kebisingan (Sanders dan McCormick, 1993).

Tabel 2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gangguan Kualitas Udara


Accoustic factors Nonaccoustic factors
Sound level Past experience with the noise
Frequency Listener’s activity
Duration Predictability of noise occurrence
Spectral complexity Necessity of the noise
Fluctuations in sound level Listener’s personality
Fluctuations in frequency Attitudes toward the source of the noise
Risetime of the noise Time of year
Time of day
Time of locale
Sumber: Sanders, Mark S. & McCormick, Ernest J. “Human Factors in Engineering and
Design”. McGraw-Hill, Inc. 1993
Gambar 2.4 menunjukkan berbagai macam jenis pengukuran tersebut
dan hubungan yang terdapat didalamnya. Dari gambar tesebut terlihat bahwa
semua jenis pengukuran dilakukan menggunakan A-weighted sound level (dBA).
Mean annoyance

Aircraft sound description


systems

Total noise load

Noisiness index

Community noise equivalent


level (CNEL)
A= weighted sound pressure
level (dBA) Day-night level

Equivalent noise level (Leq)

Noise pollution level

Noise exposure forecast

Effective perceived noise


level Weighted-equivalent
Perceived noise level (PNL) continuous perceived noise
level
Composite noise rating

Isopsopic index

Noise and number index


18

Sumber: Sander, Mark S. & McCormick, Ernest J. “Human Factors in Engineering and Design”. McGraw-Hill, Inc. 1993
Gambar 2.4 Variasi Pengukuran Pajanan Suara

Equivalent sound level (Leq), dan perceived sound level (PNL) telah
membentuk percabangan sebagai variasi dari pengukuran lain. Berbagai
pengukuran menyebabkan perbaikan dari beberapa faktor seperti waktu
dalam sehari, musim dalam setahun, keanekaragaman suara, dan kumpulan
suara yang melewati subyek.
Dampak dari kombinasi terjadinya kebisingan berkaitan dengan
kombinasi dari energi suara dari kejadian-kejadian tersebut (prinsip
persamaan energi). Jumlah total dari energi setelah suatu periode waktu akan
sama dengan rata-rata energi suara itu. Oleh karena itu LAeq,T adalah
energi rata-rata dari level ekuivalen suara A-weighted pada suatu periode.
LAeq,T seharusnya digunakan untuk mengukur suara yang kontinu seperti
lalu lintas atau kebisingan industri yang kurang-lebih kontinu. Bagaimanapun
ada perbedaan dari kejadian bising, seperti pada pesawat ataupun kereta api,
pengukuran individual seperti tingkat kebisingan maksimum (LAmax), atau
tingkat pajanan kebisingan yang dibobotkan (sound exposure level : SEL),
harus didapatkan sebagai tambahan bagi LAeq,T (OSHA, 2000).
Situasi lingkungan dengan waktu yang bervariasi juga harus
digambarkan dalam istilah persentil. Saat ini, praktik yang direkomendasikan
adalah untuk mengasumsikan bahwa prinsip persamaan energi adalah valid
untuk semua jenis kebisingan dan bahwa pengukuran LAeq,T yang
sederhana dapat mengindikasikan dampak yang diharapkan dengan baik. Di saat
kebisingan terdiri atas jumlah kejadian diskrit yang kecil maka, Pengukuran
Level Maksimal A-weighted (Lamax) adalah indikator yang lebih baik untuk
gangguan tidur dan aktivitas lainnya. Pada kebanyakan kasus, bagaimanamun
Tingkat Pajanan Kebisingan A-weighted (SEL) menyajikan pengukuran yang
lebih konsisten pada satu jenis kejadian karena berdasarkan integrasi untuk
melengkapi kejadian.
Day-Night level (Ldn) digunakan oleh Environmental Protection
Agency untuk memberi peringkat pada pajanan suara. Day-Night level (Ldn)
19

adalah (Leq) dalam periode 24 jam dengan koreksi sebesar 10 dB


ditambahkan dengan level suara yang muncul pada waktu malam (jam 10 malam
sampai jam 7 pagi).
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah “Sound level Meter”.
Alat ini dilengkapi oleh sistem kalibrasi dan dapat mengukur kebisingan
diantara 0 – 10 dB dan frekuensi dari 20 – 20.000 Hz. Cara kerjanya dapat dilihat
pada gambar 2.5.

Sumber: Sound Research Laboratories. “Noise Control in Industri 3rd Edition”. Taylor & Francis e-Library, 2004.
Gambar 2.5 Block Diagram Sederhana Sound Level meter

Analisa frekuensi dari suatu kebisingan biasanya diperlukan, dan biasanya


dilakukan dengan alat-alat “Octave Band Analyzer”, yang memiliki sejumlah
filter-filter menurut oktaf. Jika spektrumnya sangat curam dan berbeda
banyak, dapat dipakai skala 1/3 oktaf. Untuk filter-filter oktaf disukai
frekuensi tengah 31.5: 63: 125: 250: 500: 1000: 2000: 4000: 8000: 16.000 dan
31.500 Hz.
Untuk analisa lebih lanjut, dapat dipakai “Narrow Band Analyzers” (alat
analisa spectrum sempit), baik latar spektrumnya tetap misalnya 2–200 Hz
atau melebar dengan lebih banyaknya frekuensi. Yang terakhir ini lebih sering
dipakai dilapangan, mengingat komponen kebisingan berbeda-beda sesuai dengan
muatan mesin.
20

Kebisingan terputus-putus biasanya ditemukan pada “Tape”. Suatu


“Tape recorder” dengan kualitas tinggi diperlukan. Tapi dengan demikian harus
mampu mencatat frekuensi dari 20–20.000 Kilo Hz. Suatu alat kalibrasi
diperlukan. Alat itu harus mempunyai sifat perbandingan signal/kebisingan tinggi,
dan kecepatan tetap.
Untuk kebisingan impulsive digunakan “Impact Noise Analyzer”. Bagi
survey pendahuluan masalah kebisingan kontinu biasanya diukur intensitas
menyeluruh yang dinyatakan dengan dB(A), menggunakan jaringan A.
Jaringan ini berarti sesuai dengan garis kepekaan 40, sehingga memberi
huruf reaksi kepada frekuensi rendah dan memungkinkan diukurnya intensitas
yang berbahaya kepada pendengaran.
Kebanyakan alat-alat pengukur kebisingan, hanya mengukur intensitas
pada suatu waktu dan suatu tempat dan tidak menunjukkan dosis kumulatif
kepada seorang tenaga kerja meliputi waktu-waktu kerjanya. Pengukuran
kebisingan dilakukan untuk mengetahui tingkat kebisingan disuatu daerah.
Tingkat kekuatan atau kekerasan bunyi diukur dengan alat yang disebut Sound
Level Meter (SLM).
Alat untuk mengukur kebisingan antara lain:
1. Sound Level Meter (SLM). Alat yang mengukur kebisingan antara 30-130
dB(A) dan frekuensi 20-20.000 Hz.
2. Oktave Band Analyzer. Alat yang digunakan untuk menganalisa frekuensi
suatu kebisingan yang dilengkapi dengan filter-filter menurut Oktave.
3. Narrow Band Analyzer. Alat ini digunakan untuk mengukur analisa
frekuensi yang lebih lanjut, disebut juga analisa spektrum singkat.
4. Tape Recorder High Kuality. Alat ini digunakan untuk mengukur
kebisingan yang terputus-putus, dan bunyi yang diukur, direkam dan
dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Alat ini mampu mencatat
frekuensi antara 20-20.000 Hz.
5. Impact Noise Analyzer. Alat ini digunakan untuk mengukur kebisingan
impulsif.
21

6. Noise Logging Dosimeter. Alat ini mengukur kebisingan selama 24 jam


yang dapat dianalisa dengan menggunakan komputer sehingga langsung
didapat grafik tingkat kebisingan (Bridger,2005).
Sound level meter ini juga disebut desibel meter dan dosimeter kebisingan,
alat ini dibuat untuk mengukur sebuah tekanan suara dari suatu peristiwa tertentu.
Tingkat kekuatan bunyi diukur dengan alat yang disebut Sound Level Meter
(SLM). Alat ini terdiri dari: mikrofon, amplifier, weighting network dan layar
(display) dalam satuan decibel (dB). Layarnya dapat berupa layar manual yang
ditunjukkan dengan jarum dan angka seperti halnya jam manual, ataupun berupa
layar digital . Berikut gambar yang merupakan gambar Sound Level Meter (SLM).

Gambar 2.6 Sound Level Meter (SLM)


SLM sederhana hanya dapat mengukur tingkat kekerasan bunyi dalam
satuan dB, sedangkan SLM canggih sekaligus dapat menunjukkan frekuensi bunyi
yang diukur. SLM yang amat sederhana biasanya hanya dilengkapi dengan bobot
pengukuran A (dBA) dengan sistem pengukuran seketika (tidak dapat meyimpan
dan mengolah data), sedangkan yang sedikit lebih baik, dilengkapi pula dengan
skala pengukuran B dan C. Beberapa SLM yang lebih canggih dapat sekaligus
dipakai untuk menganalisis tingkat kekerasan dan frekuensi bunyi yang muncul
selama rentang waktu tertentu (misalnya tingkat kekerasan selama 1 menit, 10
menit, atau 8 jam), dan mampu menggambarkan gelombang yang terjadi.
Beberapa produsen menamakannya Hand Held Analyser (HHA), ada pula dalam
model Desk Analyser (DA).
Meskipun tampak canggih dan rumit, sesungguhnya menggunakan Alat
untuk mengukur tingakat kekerasan bunyi tidaklah sulit. Adapun persyaratan
penggunaannya adalah :
1. Letakkan alat tepat pada titik pengukuran.
22

2. Agar posisi pengukuran stabil, alat sebaiknya dipasang pada tripod. Setiap alat
bahkan yang paling sederhana, idealnya dilengkapi dengan lubang untuk
menundukkannya pada tripod. Alat yang diletakkan pada tripod lebih stabil
posisinya dibandingkan yang dipegang oleh tangan operator (manusia yang
mengoperasikannya). Posisi operator yang terlalu dekat dengan alat juga dapat
mengganggu penerimaan bunyi oleh alat karena tubuh manusia mampu
memantulkan bunyi. Peletakan alat pada papan, seperti meja atau kursi, juga
dapat mengurangi kesahihan hasil pengukuran karena sarana tersebut akan
memantulkan bunyi yang diterima.
3. Operator alat setidaknya berdiri pada jarak 0,5m dari alat agar tidak terjadi efek
pemantulan.
4. Untuk mengindari terjadinya pantulan dari elemen-elemen permukaan
disekitarnya, alat sebaiknya ditempatkan pada posisi 1,2m dari atas permukaan
lantai/tanah, 3,5m dari permukaan dinding atau objek lain yang akan
memantulkan bunyi.
5. Untuk pengukuran didalam ruangan atau bangunan, alat berada pada posisi 1m
dari dinding-dinding pembentuk ruangan. Bila dihadapkan dihadapan jendela
maka jaraknya 1,5m dari jendela tersebut. Agar hasil lebih baik, karena adanya
kemungkinan pemantulan oleh elemen pembentuk ruang, pengukuran dengan
alat dalam ruang sebaiknya dilakukan pada tiga titik berbeda dengan jarak antar
titik lebih kurang 0,5m.
Perhitungan kebisingan dapat dianalisis dengan cara membuat distribusi
frekuensi/ tabel frekuensi dan menganalisis tingkat kebisingan dalam angka
penunjuk seperti dibawah ini.
1. Distribusi Frekuensi/ Tabel Frekuensi
Distribusi frekuensi atau tabel frekuensi adalah pengelompokan data ke
dalam beberapa kelas dan kemudian dihitung banyaknya pengamatan yang masuk
ke dalam tiap kelas. Dalam membuat distribusi frekuensi dihitung banyaknya
interval kelas, nilai interval, tanda kelas/ nilai tengah, dan frekuensi.
Interval Kelas adalah interval yang diberikan untuk menetapkan kelas-
kelas dalam distribusi. Banyaknya interval kelas dapat dianalisis dengan
23

menggunakan persamaan (2.4). Interval adalah data yang diperoleh dengan cara
pengukuran, di mana jarak antara dua titik skala sudah diketahui. Interval dapat
dianalisis dengan menggunakan persamaan (2.5). Tanda kelas adalah titik tengah
interval kelas. Tanda kelas diperoleh dengan cara membagi dua jumlah dari batas
bawah dan batas atas suatu interval kelas, seperti pada persamaan (2.6). Frekuensi
adalah banyaknya kejadian yang ada pada kelas-kelas tertentu.
k = 1+3.3 log(n)…………..…….…………………………………………… (2.4)
Dimana :
k = Banyaknya Interval Kelas
n = Jumlah Data

(max−min)
i= …………………..………………………………………… (2.5)
𝑘

Dimana :
i = Interval
max = Nilai maximum data
min = Nilai minimum data
k = Banyaknya Interval Kelas

(BB+BA)
titik tengah= …………...……………………………………… (2.6)
2

Dimana :
BB = Batas bawah suatu interval kelas
BA = Batas atas suatu interval kelas
2. Tingkat Kebisingan dalam Angka Penunjuk
Pengukuran dengan system angka penunjuk yang paling banyak digunakan
adalah angka penunjuk ekuivalen (equivalent index (Leq)). Angka penunjuk
ekuivalen adalah tingkat kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif) yang diukur
selama waktu tertentu, yang besarnya setara dengan tingkat kebisingan tunak
(steady) yang diukur pada selang waktu yang sama.
Sistem angka penunjuk yang banyak dipakai adalah angka penunjuk
persentase. Sistem pengukuran ini menghasilkan angka tunggal yang
24

menunjukkan pesentase tertentu dari tingkat kebisingan yang muncul selama


waktu tersebut. Persentase yang mewakili tingkat kebisingan minoritas adalah
kebisingan yang muncul 10% dari keseluruhan data (L10) dan tingkat kebisingan
mayoritas yang muncul adalah 90% dari data pengukuran (L90). Persentase
tengah (L50) umumnya identik dengan kebisingan rata-rata selama periode
pengukuran. L90 disebut kebisingan buangan atau sisa dan L10 adalah tingkat
kebisingan yang umumnya menimbulkan gangguan. Khusus untuk di jalan raya,
L90 akan menunjukkan tingkat kebisingan latar belakang dan L10 menunjukkan
perkiraan tingkat kebisingan maksimum sehingga L10 adalah sistem pengukuran
angka penunjuk yang harus benar-benar diperhatikan. L10 dan Leq dijadikan
acuan untuk dibandingkan dengan bakuan yang berlaku, sementara L90 dapat
diabaikan karena umunya tidak selisih jauh dengan bakuan.
Pengukuran dengan sistem angka penunjuk dapat dengan mudah dilakukan
menggunakan SLM yang dilengkapi dengan sistem angka penunjuk. Namun
demikian, saat ini masih dijumpai pula SLM yang sangat sederhana yang tidak
memiliki sistem angka penunjuk, sehingga data yang dihasilkan terpaksa harus
dicatat satu persatu untuk selanjutnya dilakukan perhitungan angka penunjuk
persentasenya secara manual. Sebagai contoh akan dilakukan pengukuran pada
suatu lokasi selama satu jam. Direncanakan kebisingan yang muncul akan dicatat
setiap detik secara manual. Maka selama masa pengukuran tersebut akan
diperoleh 3600 angka tingkat kebisingan. Selanjutnya jumlah angka muncul
diurutkan menurut kecil besarnya nilai. Dengan menggunakan metode statistik
biasa, dapat dihitung tingkat kebisingan yang muncul sebanyak 10%, 50%, atau
90%.
Untuk menghitung L90, buatlah persamaan luas area sebesar 10%
(merupakan sisa dari 90% yang telah diambil) dari keseluruhan luas area
histogram dimulai dari sebelah kiri (dari tingkat kebisingan yang rendah). Untuk
menghitung L50, buatlah persamaan luas area sebesar 50% (merupakan sisa dari
50% yang telah diambil) dari keseluruhan luas area histogram dimulai dari
sebelah kiri (dari tingkat kebisingan yang rendah). Untuk menghitung L10,
buatlah persamaan luas area sebesar 90% (merupakan sisa dari 10% yang telah
25

diambil) dari keseluruhan luas area histogram dimulai dari sebelah kiri (dari
tingkat kebisingan yang rendah) (Mediastika, Echristina E. 2004).
Dengan menggunakan SLM sederhana yang menyebabkan pemakai harus
menghitung secara manual angka penunjuk persentasenya, tentu tidak mudah
untuk menghitung angka penunjuk ekuivalennya. Namun demikian untuk
kebisingan dari kendaraan bermotor (jalan raya), angka penunjuk ekuivalennya
dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
Leq = L50 + 0.43 (L1 – L50)………………………………………………. (2.7)
Dengan:
Leq = tingkat kebisingan equivalen
L90 = angka penunjuk kebisingan 90%
L50 = angka penunjuk kebisingan 50%
L10 = angka penunjuk kebisingan 10 %
L1 = angka penunjuk kebisingan 1%

2.1.5 Pemetaan dan Kontur


Pemetaan diartikan sebagai penggambaran secara visual yang
menghasilkan sebuah peta, sedangkan pemetaan kebisingan berarti penggambaran
secara visual dari tingkat kebisingan yang ditimbulkan pada tiap-tiap titik
pengamatan dimana pengukuran ini akan menghasilkan sebuah peta kontur
kebisingan.
Garis kontur adalah garis khayal dilapangan yang menghubungkan titik
dengan ketinggian yang sama atau garis kontur adalah garis kontinyu diatas peta
yang memperlihatkan titik-titik di atas peta dengan ketinggian yang sama.
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam
mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang
kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan
membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran
yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan
kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 55 dBA
26

warna merah untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 60 dBA, warna kuning
untuk kebisingan dengan intensitas antara 55 – 60 dBA.
Pembuatan peta kontur kebisingan pada penelitian ini menggunakan
aplikasi Surfer 8.0. Surfer adalah sebuah aplikasi yang dapat digunakan untuk
proses pemetaan (proses membuat peta) berupa peta kontur dan 3D.
Langkah-langkah pemetaan kebisingan dengan software Surfer 8.0 adalah
sebagai berikut.
1. Jalankan software Surfer 8.0.
2. Untuk meng-input hasil pengukuran kebisingan maka data dimasukkan
kedalam format worksheet pada software Surfer 8.0. dengan cara: Klik File →
New → Worksheet → Ok.
3. Diinput hasil pengumpulan data. Dimana A adalah absis, B adalah ordinat, dan
C adalah tingkat kebisingan (dB(A)). Setelah diinput nilai kemudian di save
dalam bentuk excel spreadsheet (*.xls)
4. Untuk mengolah data yang diinput maka dibuka Surfer 8.0. yang baru
kemudian klik Data → Grid → buka file dalam bentuk excel yang telah
disimpan kemudian klik OK sehingga akan muncul tampilan Gride Report.
5. Untuk menampilkan titik-titik pengukuran maka klik Map → Post Map →
New Post Map kemudian buka file dalam bentuk (*.xls)
6. Untuk menampilkan peta kebisingan maka klik Map → Contour Map → New
Contour Map kemudian buka file dalam bentuk (*.grd)
Untuk memasukkan warna ambang batas kebisingan maka, Klik kanan
pada peta → Properties. Pada Filled Contours, cek Fill Contours kemudian pilih
Levels → Fill. Jika puas dengan tampilan kontur klik Apply kemudian OK untuk
menampilkan kontur tingkat kebisingan yang telah dibuat.

2.1.6 Dampak Kebisingan


Gangguan dari kebisingan atau dari bunyi pada tingkat tertentu masih
dapat diadaptasi oleh fisik manusia namun pada syaraf manusia dapat terganggu
kinerjanya, akibatnya dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan yang lebih
parah. Kebisingan yang terpapar pada manusia biasanya memberikan dampak
27

yang mengganggu, misalnya saja gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran,


merupakan perubahan yang terjadi pada tigkat pendengaran yang mengakibatkan
kesulitan dalam menjalani kehidupan normal. Gangguan pendengaran biasanya
terjadi saat memahami suatu pembicaraan.
Buchari (2007) menambahkan, biasanya secara kasar gradasi gangguan
pendengaran yang diakibatkan oleh bising itu sendiri dapat ditentukan
menggunakan parameter pada percakapan sehari-hari yaitu sebagai berikut:
1. Gradasi normal: parameter tidak mengalami kesulitan dalam percakapan
biasa (6 m);
2. Gradasi sedang: parameter kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai
jarak > 1,5 m;
3. Gradasi menengah: parameter kesulitan dalam percakapan keras sehari-
hari mulai jarak > 1,5 m;
4. Gradasi berat: parameter kesulitan dalam percakapan keras atau berteriak
pada jarak > 1,5 m;
5. Gradasi sangat berat: parameter kesulitan dalam percakapan atau berteriak
pada jarak < 1,5 m;
6. Gradasi tuli total: parameter kehilangan kemampuan pendengaran dalam
berkomunikasi.
Kebisingan juga dapat menyebabkan pelemahan saat mendengarkan,
gangguan komunikasi, gangguan tidur, penyebab terhadap efek jantung atau urat
urat darah dan efek psiko-fisiologi, menurunkan performansi fisik, dan
menimbulkan respon kejengkelan serta perubahan dalam perilaku sosial. Sebagian
besar konsekuensi sosial dari gangguan pelemahan pendengaran adalah
kemampuan untuk memahami pembicaraan dalam kondisi normal (Marji, 2009).

2.1.7 Performa Kognitif


Dalam pemahaman tradisional, ”kognisi” didefinisikan sebagai
pemeliharaan dan penggunaan pengetahuan sebagai suatu operasi manusia dalam
memproses suatu informasi. Namun, dalam konsepnya, kognitif dapat dipahami
dengan arti yang luas, melebihi batas-batas otak invidu. Sebagai contoh, dalam
28

rekaya faktor manusia sudah pernah ditekankan betapa pentingnya kemampuan


kognitif di dalam invidu manusia. Fokus daripada kemampuan kognitif ini adalah
pada transfer pengolahan informasi di dalam suatu sistem secara menyeluruh
(Goleman, Daniel. 1995).
2.1.8 Penelitian Sebelumnya
Sebelum penelitian ini dilakukan, telah ada beberapa penelitian
sebelumnya yang terkait dengan permasalahan kebisingan di sekolah dasar.
Beberapa penelitian tersebut antara lain :
Anza Wafhiroh (2013) penelitian ini berjudul “Pengukuran Tingkat
Kebisingan di Lingkungan SMPN 2 Jember”. Kebisingan lalu lintas yang tinggi
dan dalam waktu yang cukup lama akan menimbulkan ketidaknyamanan dan
membuat lingkungan sekitar menjadi terganggu. Kebisingan adalah bunyi yang
tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalamtingkat dan waktu tertentu yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
Kebisingan dapat memberikan pengaruh buruk bagiseseorang yang terpapar
kebisingan tersebut, seperti gangguan fisiologis,gangguan psikologis, gangguan
saat berkomunikasi dan ketulian. Paparan tingkat kebisingan yang dapat ditolerir
oleh seseorang tergantung dari kegiatan apa yang dilakukan oleh orang yang
terpapar tersebut. Misalnya seseorang yang sedang melakukan belajar mengajar
dan seseorang yang sedang melakukan kegiatan beribadah akan merasa
terganggu dengan kebisingan yang rendah sekalipun. Efek kebisingan yang
terpapar pada siswa yang sedang belajar mengakibatkan penurunan pada kinerja
belajar siswa, terutama dalam belajar membaca misalnya gangguan konsentrai
saat membaca. Penelitian yang dilaksanakan di lingkungan SMPN 2 Jember ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kebisingan yang diterima oleh lingkungan
sekolah yang diakibatkan dari kebisingan lalu lintas jalan raya. Dengan mengukur
tingkat kebisingan pada tiga lokasi di lingkungan SMPN 2 Jember yaitu lokasi 1
pada ruang 1, lokasi 2 pada ruang 2 yang mewakili ruang 2, 3 dan 4, lokasi 3 pada
ruang 43 yang mewakili ruang 42 dan 43 dengan masing-masing lokasi dibagi
menjadi tiga titik pengambilan data. Untuk pengambilan data pembanding, yaitu
banyaknya jumlah kendaraan dilakukan dengan menghitung langsung jumlah
29

kendaraan yang melewati jalan raya lingkungan sekolah. Menggunakan data


pembanding, karena sumber kebisingan yang diukur adalah sumber kebisingan
lalu lintas jalan raya. Besar jumlah kendaraan tersebut digunakan sebagai acuan
bahwa kebisingan yang dihasilkan pada setiap jamnya dapat mendekati atau
hampir sama antara jam pertama, kedua dan jam berikutnya. Besar jumlah
kendaraan pada setiap jamnya rata-rata 10.711 kendaraan. Hasil dari pengambilan
data tingkat kebisingan di semua lokasi kemudian dihitung dan digrafikkan serta
dianalisis. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, di lingkungan kelas
yang berdekatan dengan jalan raya di SMPN 2 Jember, dapat disimpulkan bahwa
sumber bunyi yang dihasilkan dari jalan raya tersebut terutama dari kendaraan
bermotor yang melintas di sekitarnya. Kebisingan dari kendaraan bermotor
tersebut, memberikan konstribusi besar pada kebisingan yang diterima oleh
SMPN 2 Jember. Tingkat kebisingan terendah rata-rata di tiga lokasi pengambilan
data, masing-masing adalah sebesar 66,61 dB untuk lokasi 1, lokasi 2 sebesar
69,60 dB dan lokasi 3 sebesar 73,40 dB. Kebisingan terendah pada semua lokasi
tersebut, telah melebihi standar yang ditentukan oleh keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup yaitu sebesar 55 dB, sehingga perlu dilakukan penanganan.

Anwar Khalil (2013) Penelitian ini berjudul “Pengaruh Kebisingan Lalu

Lintas Terhadap Konsentrasi Belajar Siswa di SMPN 1 Padang. Masalah


kebisingan karena lalulintas yang padat di daerah perkotaan menyebabkan
sulitnya untuk mendapatkan lokasi sekolah yang tenang. Sekolah Menengah
Pertama Negeri 1 Padang merupakan sarana pendidikan yang terletak di daerah
perkotaan dan berada di pinggir jalan raya yang arus lalulintasnya padat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan lalulintas terhadap
konsentrasi belajar siswa SMP N 1 Padang. Penelitian ini menggunakan metode
cross sectional comparative, dimana tingkat kebisingan dan tingkat konsentrasi
belajar siswa dikumpulkan secara bersamaan. Pengukuran tingkat kebisingan
menggunakan alat ukur sound level meter yang diukur pada dua titik yang
berbeda, yaitu di sekitar kelas yang dekat dengan jalan raya dan di sekitar kelas
yang jauh dari jalan raya. Tingkat konsentrasi belajar siswa diukur dengan
30

menggunakan digit symbol test dan digit span test. Pengujian hipotesis dilakukan
dengan uji statistik chi square dengan derajat kepercayaan 95%
(p=0,05). Hasil pengukuran tingkat kebisingan di sekitar kelas yang dekat dengan
jalan raya sebesar 69.62 dB dan tingkat kebisingan di sekitar kelas yang jauh dari
jalan raya sebesar 72.80 dB. Tingkat konsentrasi belajar siswa yang
dekat dengan jalan raya menggunakan digit symbol test didapatkan jumlah siswa
yang: kurang konsentrasi = 7, cukup konsentrasi = 33, dan dengan digit span test
di dapatkan yang kurang konsentrasi =7 dan cukup konsentrasi = 33.
Tingkat konsentrasi belajar siswa yang jauh dari jalan raya dengan menggunakan
digit symbol test didapatkan: kurang konsentrasi = 5, cukup konsentrasi = 34 dan
dengan digit span test di dapatkan: kurang konsentrasi = 9 dan cukup konsentrasi
= 30. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat
konsentrasi yang bermakna antara kelas yang dekat dengan jalan raya dan kelas
yang jauh dari jalan raya.
Ryan Zikri (2012) Penelitian ini berjudul “Analisis Dampak Kebisingan
Terhadap Komunikasi dan Konsentrasi Belajar Siswa Sekolah Pada Jalan Padat
Lalu Lintas”. Kebisingan adalah salah satu jenis polusi yang berpengaruh
terhadap lingkungan. Salah satu sumber polusi suara adalah kebisingan yang
berasal dari jalan padat lalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat kebisingan di MTsN 1 Pontianak di Jalan Alianyang serta mengetahui
pengaruh kebisingan terhadap komunikasi dan konsentrasi belajar siswa di
sekolah tersebut kemudian memperkirakan upaya yang dapat dilakukan untuk
meminimalkan dampak kebisingan bagi para siswa. Waktu pengukuran adalah
pada range jam 06.30-09.00 dan 10.00- 13.00 WIB dengan menggunakan Sound
Level Meter. Pemilihan jam pengukuran kebisingan berdasarkan laporan
Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Pontianak tahun 2012 oleh Dinas
Perhubungan Komunikasi dan Informatika dan disesuaikan dengan jam saat
masuk kelas yaitu pada saat masuk sekolah dan jam masuk kelas setelah istirahat.
Pengukuran dampak kebisingan terhadap komunikasi dan konsentrasi belajar
siswa dalam penelitian ini menggunakan kuesioner sebanyak 90 lembar yang
dibagikan merata pada tiap kelas. Tingkat kebisingan pada MTsN 1
31

Pontianak melebihi ambang batas kebisingan untuk sekolah yaitu sebesar 55 dB.
Tingkat kebisingan terbesar pada Jalan Alianyang adalah 74.2 dB, sedangkan
pada halaman sekolah sebesar 66,6 dB. Dari analisis kuesioner, 96% siswa
menyatakan bahwa sekolah tersebut bising, dan 89% responden menyatakan
kebisingan dari lalu lintas mengganggu konsentrasi mereka dalam proses belajar
mengajar di kelas. Dari analisis prestasi belajar siswa kelas 8 dan 9 yang
mengalami penurunan sebanyak 62,5%. Upaya penanganan untuk mengurangi
tingkat kebisingan adalah dengan menanam pepohonan di depan sekolah,
membuat barrier kebisingan pada sekolah, membuat marka jalan dan rambu lalu
lintas, serta ruangan kelas yang dapat dibuat lebih kedap
suara dengan menambahkan bahan peredam sehingga kebisingan tidak masuk dan
mengganggu proses belajar mengajar di kelas.
Nurul Rizki (2014) Penelitian ini berjudul “Analisis Tingkat Kebisingan
pada Kawasan Sekolah Dasar di Makassar. Penelitian ini dilaksanakan di SD.
Bawakaraeng Makassar. SD. Bawakaraeng berlokasi di Jalan Gunung
Bawakaraeng Makassar, dimana jalan tersebut merupakan salah satu jalan arteri di
kota Makassar. Sekolah dasar ini mempunyai jarak dari gedung ke jalan paling
dekat yaitu 11.2 meter dan sekolah ini juga berlokasi dekat dengan traffic light
sehingga terjadi perlambatan kendaraan disekitar sekolah dasar tersebut yang
menyebabkan adanya kebisingan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
tingkat kebisingan, memetakan sebaran tingkat kebisingan, dan mengetahui
persepsi masyarakat (siswa, guru, staf) akibat tingkat kebisingan di SD.
Bawakaraeng Makassar. Penentuan titik pengukuran dilakukan pada aplikasi
google earth, yang kemudian pada saat di lapangan titik koordinatnya disesuaikan
menggunakan aplikasi GPS Tracker Lite pada android. Pengukuran tingkat
kebisingan dilakukan di 42 titik pada area SD. Bawakaraeng dengan
menggunakan alat Sound Level Meter TM-103. Pengukuran dilakukan selama 10
menit pada setiap titik, dan data yang diperoleh adalah data tingkat kebisingan.
Pemetaan sebaran tingkat kebisingan menggunakan aplikasi surfer 7.0. Dan
untuk mengetahui persepsi akibat tingkat kebisingan di SD. Bawakaraeng
dilakukan dengan membagikan kuesioner sebanyak 250 ke responden.
32

Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai tingkat kebisingan minimum yang


diperoleh adalah 66 dBA dan nilai tingkat kebisingan maksimum adalah 85.1
dBA, serta nilai tingkat kebisingan rata-rata adalah 76.44 dBA. Ini menunjukkan
bahwa tingkat kebisingan di sekitar SD. Bawakaraeng >55 dBA, yang artinya
tingkat kebisingan di sekitar sekolah dasar tersebut melebihi baku mutu. Peta
sebaran tingkat kebisingan di SD. Bawakaraeng dominan berwarna kuning yang
dominan berada di lapangan sekolah, yang artinya tingkat kebisingan di area
dalam sekolah rata-rata di antara 70-80 dBA. Berdasarkan kuesioner yang telah
dibagikan, seluruh responden merasa ribut dengan kebisingan di SD.
Bawakaraeng. Sebagai upaya pengendalian kebisingan di SD. Bawakaraeng 130
responden atau 52% responden memilih pembatasan kecepatan kendaraan sebagai
solusinya. Dengan hasil ini maka sekolah sudah perlu melakukan pengendalian
kebisingan dengan membangun pagar yang tinggi ataupun menanam pohon yang
cukup rimbun dan tinggi di area depan maupun di dalam sekolah untuk
menghambat rambat bunyi sehingga bising dapat diredam.
Alex Justian (2013) Penelitian ini berjudul “ Analisis Tingkat Kebisingan
di Sekolah Dasar . Lingkungan dapat mempengaruhi kinerja seseorang dalam
melaksanakan aktivitasnya. Lingkungan yang tidak nyaman dapat mengakibatkan
menurunnya efektivitas suatu kegiatan, baik prosesnya, maupun hasilnya. Belajar
adalah salah satu aktivitas yang sangat mudah dipengaruhi efektivitasnya. Belajar
adalah sebuah aktivitas yang membutuhkan daya konsentrasi tinggi. Semakin
tinggi konsentrasi belajar, semakin optimal hasil pembelajarannya. Dalam skripsi
ini penulis mencoba menganalisa bagaimana pengaruh kebisingan terhadap
performa belajar pada murid SD, dan juga seberapa tinggi batasan kebisingan
yang dapat diterima oleh anak SD dengan menggunakan Design of Experiment
untuk selanjutnya dianalisa dengan Mode Adequacy Checking. Setelah diteliti,
hasil yang didapat adalah pajanan kebisingan dapat mempengaruhi performa
belajar murid SD secara signifikan pada level di atas 53 DBA.
Ketut Wardika (2015) Penelitian ini berjudul “Analisis Kebisingan Lalu
Lintas Pada Ruas Jalan Arteri. Penelitian ini bermula dari pengamatan volume lalu
lintas di Jalan Prof. DR Ida Bagus Mantra yang bertambah padat serta banyaknya
33

tanjakan yang dijumpai sepanjang jalan tersebut. Sebagai contoh Pada segmen
kilometer 15 sampai dengan kilometer 16 berupa tanjakan dengan kelandaian
2,3% yang dijadikan sebagai objek penelitian, hal tersebut tentunya berpengaruh
terhadap volume lalu lintas, kecepatan kendaraan dan kebisingan yang terjadi.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis tingkat kebisingan kendaraan
akibat lalu lintas pada jalan Prof. DR Ida Bagus Mantra, membuat suatu model
matematis yang menyatakan hubungan antara tingkat kebisingan dengan volume
kendaraan dan menganalisis ekivalensi kebisingan kendaraan akibat lalu lintas.
Analisis data menggunakan metode Regresi Linier Berganda pada program SPSS
17.0 for Windows. Data yang dihasilkan dari proses analisis meliputi : Nilai
Korelasi (hubungan) antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas, Tingkat
Keberartian (signifikansi) dari masing-masing koefisien regresi, Model Tingkat
Kebisingan, Uji Kenormalan Data dan Koefisien Determinasi. Berdasarkan hasil
analisis maka tingkat kebisingan kendaraan pada jalan Prof. DR Ida Bagus Mantra
adalah sebesar 81,0 dBA. Bentuk model tingkat kebisingan lalu lintas terbaik
adalah Y4 = L90 = 53,512 + 0,019X1 + 0,043X2 + 0,010X3 dengan nilai R2=
0,853, dimana nilai X1 adalah volume sepeda motor, X2 volume kendaraan ringan
dan X3 volume kendaraan berat. Nilai ekivalensi kebisingan dari masing-masing
kendaraan adalah untuk sepeda motor : 1,9 ; kendaraan ringan : 1 dan kendaraan
berat : 0,12. Model tingkat kebisingan lalu lintas tersebut berlaku untuk jalan
arteri dengan kelandaian memanjang 2,3% dengan kecepatan rata-rata 75 Km/jam.
Ika Yunita (2013) Penelitian ini berjudul “Pengaruh Kebisingan Di
Lingkungan Sekolah Dan Minat Belajar Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas Xi
Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di Sma N 1 Basa Ampek Balai Kabupaten. Pesisir
Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh
kebisingan di lingkungan sekolah dan minat belajar terhadap hasil belajar siswa
kelas XI pada mata pelajaran ekonomi di SMA N 1 Basa Ampek Balai
Kabupaten. Pesisir Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survei, dengan jumlah populasi sebanyak 152 siswa dan jumlah sampel
110 siswa. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah proporsional
simple random sampling Hasil belajar siswa diperoleh dari data yang ada di
34

sekolah sedangkan kebisingan di lingkungan sekolah dan minat diperoleh dari


hasil penyebaran kuisioner yang telah diuji cobakan terlebih dahulu. Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis induktif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebisingan di lingkungan sekolah secara
parsial memiliki pengaruh negatif dan minat belajar berpengaruh positif
sedangkan secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil
belajar siswa kelas XI pada mata pelajaran ekonomi di SMA N 1 Basa Ampek
Balai Kabupaten. Pesisir Selatan. Dari hasil regresi R Square diketahui nilai R
Square adalah sebesar 0,703. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kontribusi
yang yang diberikan oleh kebisingan di lingkungan sekolah dan minat belajar
terhadap hasil belajar ekonomi di SMA N 1 Basa Ampek Balai Kabupaten. Pesisir
Selatan adalah sebesar 71.5% dan sisanya 28.5% ditentukan/dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Johar Maknun(2012) Penelitian ini berjudul Pengaruh Kebisingan Lalu
Lintas Terhadap Efektivitas Proses Belajar Mengajar (Studi Kasus: SMAN 6
Bandung). Kawasan sekolah memerlukan lingkungan yang tenang dan jauh dari
kebisingan. Tetapi pada kenyataannya untuk daerah perkotaan sukit untuk
mendapatkan lokasi sekolah yang tenang. Penelitian ini mencoba mengungkapkan
bagaimana pengaruh kebisingan akibat lalu lintas terhadap proses belajar
mengajar. Penelitian SMAN 6 Bandung, karena sekolah tersebut terletak pada
jalan dengan kepadatan lalu lintas tinggi dan letaknya hanya terpisah oleh trotoar.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) tingkat kebisingan rata-rata pada ruang
kelas X4 sebesar 69,3 dB lebih rendah dibandingkan dengan kebisingan pada
ruang kelas X7 sebesar 73,5 dB, ini dimungkinkan karena ruang kelas X4
memiliki jarak yang lebih jauh dari jalan raya dengan perbedaan sekitar 10 meter.
Kebisingan rata-rata pada kedua kelas tersebut masih lebih tinggi dari ambang
batas kebisingan yang diizinkan untuk lingkungan pendidikan yaitu sebesar 55
dB, (2) konsentrasi belajar siswa kelas X4 dengan tingkat kebisingan lebih rendah
lebih baik dibandingkan dengan konsentrasi belajar siswa kelas X7. Hal ini
menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi belajar siswa dipengaruhi oleh
35

tingkat kebisingan ruang kelas tempat belajar siswa tersebut. (3) proses
pemebelajaran pada kelas X4 dengan tingkat kebisingan lebih rendah lebih baik
dibandingkan dengan proses pembelajaran pada kelas X7, (4) solusi arsitektural
yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan kebisingan ruang kelas
yaitu: (a) melakukan penataan penempatan ruang kelas dengan ruang administrasi,
ruang kelas ditempatkan pada bagian belakang sampai tengah, sedangkan di
bagian depan ditempatkan ruang administrasi (b) perencanaan dindingdengan
kombinasi material antara 1/8 sampai dengan ¼ kaca dan sisanya dengan bahan
yang msif untuk mereduksi kebisingan dari luar bangunan sebesar 26 – 29 dB.

Você também pode gostar