Você está na página 1de 2

Hampir 32 tahun, Iskandar menggeluti pekerjaan sebagai sopir ambulans.

Banyak suka
duka yang dia rasakan, mulai dari mengejar waktu mengantar pasien kritis hingga mengantar
jenazah. Usianya tak lagi muda. Kerut keriput sudah muncul di beberapa sudut muka. Iskandar,
sopir ambulans salah satu Rumah Sakit di Jember memang sudah puluhan tahun mengabdi di
rumah sakit Kota Jember itu. ''Sebelum saya jadi sopir, saya di dinas pasar dulu,'' kata pria
berumur 59 tahun ini. Namun saat ada sopir ambulans yang dipindah ke instansi lain, ia diminta
untuk mengisi pos yang kosong di rumah sakit. Katanya, ia tak langsung jadi sopir meski saat itu
ia sudah bisa menyetir. Saat itu ia diminta jadi kenek ambulans. Tugasnya semacam asisten sopir,
jadi membersihkan ambulans, mengecek mesin, dan mencuci mobil ambulans. ''Tahun 1976 saya
jadi sopir," tuturnya sambil membetulkan letak topi birunya. Awal menjadi sopir memang butuh
keberanian. Selain syarat dan ketrampilan yang lain, seperti SIM dan kemampuan mengemudi.
Tuturnya, rumah sakit kala itu hanya beberapa. Pasien lebih memilih RSUD Kota. Warga sekitar
Kota Jember termasuk Kabupaten Jember kerap menjadikan rumah sakit kota ini jadi jujugan
dalam berobat. Sehingga ia kerap mengantar pasien maupun jenazah hingga luar kota.

Tak hanya itu tugas Iskandar. Pasien yang tak tertangani oleh rumah sakit akan dilarikan ke
rumah sakit yang lebih besar lagi seperti di Surabaya. Suatu hari ia pernah mengantar pasien ke
Surabaya. Ceritanya, belum ia sampai Surabaya mobil ambulans yang ia kendarai mogok. Di
bingung mencari bantuan. Syukur akhirnya bertemu kawannya yang sedang melintas. Mobil
ambulans akhirnya diderek sampai ke RSU dr Soetomo Surabaya. Rupanya kala itu ia mesti
menginap. Pasien yang dia antar, butuh perawatan lebih. Keesokannya ambulans yang belum
bisa mandiri berjalan itu harus diderek lagi sampai Jember. ''Untung saya ketemu kawan saya.
Jadi saya ditolongnya,'' katanya sambil mengelus dada. Lain waktu dia pernah terjebak banjir di
jalan berlumpur belum diaspal setelah mengantar pasien. Tempat tinggal pasien itu di Kecamatan
Ambulu. ''Mobil itu macet tidak bisa jalan. Rodanya berputar di tempat," tutur bapak yang
memiliki tiga anak ini. Hujan deras memaksa dia menginap di musala. Katanya saat itu sudah
jam 03.00 dini hari. Esok paginya ia harus memutar otak bagaimana mengeluarkan mobil dari
lumpur. Untung tak lama kemudian, serombongan petani, membantu mendorong mobil ambulans
keluar dari lumpur. ''Mereka saya janjikan saya kasih uang. Dan mereka mau. Hahaha..," katanya
sambil tertawa. Pengalaman yang menyita seluruh tenaganya itu begitu membekas diingatannya.
Bagai mana tidak ia harus bertanggung jawab atas keselamatan pasien atau jenazah yang ia bawa
sekaligus ambulans sebagai aset rumah sakit. ''Wah kalau ngurusi korban kecelakaan, nggak
karu-karuan," keluhnya. Tuturnya, korban kecelakaan yang parah itu pasti tidak utuh. ''Ya saya
berani-beranikan," katanya pendek. Sebagai profesi yang pilih secara sadar, ia musti konsekuen
atas risiko mengangkut kondisi jenazah yang demikian.

Berbagai kejadian yang menurutnya tak masuk akal pernah dialaminya, namun tak
mengurangi kecintaannya pada pekerjaan sebagai sopir ambulans. Bahkan, ia anggap itu sebagai
pemacu untuk tetap teguh bekerja. ''Ya memang ambulans kan tempatnya konoan, kudu tatag,"
ujarnya. Salah satunya dia pernah mandi di dekat garasi mobil di rumah sakit. ''Seperti ada suara
dari mobil, suara orang, saya pikir bukan siapa-siapa, meskipun perasaan sempat takut juga,''
katanya. Alokasi waktu yang besar bagi pekerjaan menjadikan waktu yang ia curahkan ke
keluarga jadi berkurang. Istrinya yang sudah memberikan tiga anak itu, katanya, sudah tahu
pekerjaannya menyita waktu besar. ''Ya awalnya saya beri pengertian kalau saya kerjanya banyak
sita waktu keluarga," kisahnya. Komunikasi menurutnya jadi yang utama dalam menjaga rasa
percaya dan pengertian. Jika butuh waktu menginap ia akan menghubungi istrinya lewat HP.
Dengan teman-teman seprofesi, ia utamakan yaitu kerja sama. Saling membantu antarteman agar
tercipta kenyamanan dalam bekerja jadi kunci ia betah bekerja hingga sekarang. Meski
kompensasi yang ia terima kadang dirasa kurang, ia selalu berusaha bersyukur. ''Pokoknya
alhamdulillah," tuturnya. Istrinya di rumah juga tak duduk diam. Katanya, istrinya membantu
juga dalam hal ekonomi keluarga dengan menerima jahitan, dan potong rambut. Menurut Kabid
Pelayanan RSUD, Irianti, Iskandar tergolong pegawai yang pengabdiannya sangat lama. ''Ia
sebenarnya sudah pensiun. Tapi diminta rumah sakit untuk tugas lagi," kata perempuan berparas
kalem itu. Iskandar juga mengatakan ia sebenarnya sudah masuk pensiun. Tapi, tugas menanti
bapak yang dua anaknya jadi guru dan seorang lagi telah jadi sarjana. (yr)

Você também pode gostar