Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Disusun Oleh :
Kesehatan jiwa terdiri dari persepsi yang sesuai dengan realitas, mampu menerima
diri sendiri dan orang lain secara alami, mampu fokus dalam memecahkan masalah,
menunjukkan kemampuan secara spontan, mempunyai otonomi, mandiri, kreatif, puas
dengan hubungan interpersonal, kaya pengalaman yang bermanfaat, menganggap hidup ini
sebagai sesuatu yang indah (Ngadiran, 2010).
Menurut WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa prevalensi masalah
kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah
kesehatan jiwa, 5 % diantaranya mengalami gangguan jiwa dengan skizofrenia tak terinci.
Potensi sesorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap saat 450 juta orang
diseluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa , syaraf, maupun perilaku. Salah satu
bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa yaitu skizofrenia
paranoid (Riza, 2010).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas), 2013 (Depkes RI, 2013)
menyebutkan 14,1 % penduduk indonesia mengalami gangguan jiwa dari ringan hingga
berat. Data dari 33 rumah sakit di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini penderita
skizofrenia paranoid mencapai 2,5 juta orang.
Persepsi masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa adalah sesuatu yang mengancam
juga harus diluruskan. Selama ini keluarga masih beranggapan bahwa penanganan penderita
gangguan jiwa adalah tanggung jawab pihak rumah sakit jiwa saja, padahal faktor yang
memegang peranan penting dalam hal perawatan penderita adalah keluarga serta masyarakat
disekitar penderita gangguan jiwa tersebut (Kusumawati, 2009).
Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional
berupa gangguan mental yang berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang pas
seperti kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Salah satu tanda dan
gejala klien yang mengalami skizofrenia adalah terjadinya kemunduran sosial. Kemunduran
sosial tersebut terjadi apabila seseorang mengalami ketidakmampuan atau kegagalan dalam
menyesuaikan diri (maladaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut tidak mampu
berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain atau secara baik, sehingga menimbulkan
gangguan kejiwaan yang mengakibatkan timbulnya perilaku maladaptif terhadap lingkungan
disekitarnya (Stuart, 2005).
Skizofrenia merupakan sebuah sindrom komplek yang dapat merusak pada efek
kehidupan penderita maupan anggota keluarganya atau gangguan mental dini untuk
melukiskan bentuk psikosis tertentu yang sesuai dengan pengertian skizofrenia sekarang.
Terdapat beberapa jenis skizofrenia yaitu skizofrenia tak terinci, paranoid, simplek, residual,
tak terorganisir, afektif, katatonik (Durand dan H.Barlow, 2007).
Skizofrenia paranoid adalah karakteristik tentang adanya delusi (paham) kerja atau
kebesaran dan halusinasi pendengaran, kadang-kadang individu tertekan, menjadi korban dan
beranggapan diawasi, dimusuhi, dan agresif (Townsend, 2005).
Berdasarkan data Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta (2015),
jumlah pasien keseluruhan pasien pada bulan Januari-Agustus 2015 adalah 10268 pasien dan
dari sejumlah pasien tersebut didapatkan 3087 pasien yang mengalami Skizofrenia Paranoid.
Di Ruang Sena ada sekitar 43 % (18) pasien dengan skizorenia paranoid.
Berdasarkan data yang didapat maka, kami memilih kasus “Skizofrenia paranoid”
pada pasien Tn. H di ruang Sena RSJD Surakarta”, dimana klien memiliki gangguan
halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan waham curiga atau gangguan isi pikir. Berdasarkan
pengkajian klien pertama kalinya di rawat di RSJD Surakarta.
BAB II
TINDAKAN YANG SUDAH DILAKUKAN
Berdasarkan hasil pengkajian pada Tn. H yang berusia 23 tahun, dengan diagnosa
medis skizofrenia paranoid. Tindakan yang sudah dilakukan untuk diagnosa gangguan
persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan distorsi kognitif dan perceptual
individu adalah membina hubungan saling percaya (salam terapeutik, perkenalkan diri,
jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang dan buat kontrak waktu dan
tempat yang jelas), ciptakan lingkungan yang tenang, membantu klien untuk mengenal
halusinasinya, membantu klien untuk mengontrol halusinasinya dengan cara yang pertama
yaitu tutup mata dan meyakininya dalam hati lalu bilang pada diri sendiri yaitu “pergi-pergi,
kamu suara palsu !”, lalu mengalihkan pikiran klien ke kegiatan yang klien sukai, bercakap-
cakap dengan orang lain, membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan harian, dan
mengajarkan relaksasi progresif. Kemudian melakukan evaluasi terhadap klien yaitu
menanyakan kembali perasaan klien.
Tindakan yang sudah dilakukan pada diagnosa resiko perilaku kekerasan : menciderai
diri sendiri adalah membina hubungan saling percaya (salam terapeutik, perkenalkan diri,
jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, dan buat kontrak waktu dan
tempat yang jelas), menciptakan lingkungan yang tenang, membantu klien untuk
mengidentifikasi emosinya, membantu klien mengontrol emosinya dengan cara melakukan
teknik napas dalam dan teknik relaksasi progresif. Kemudian melakukan evaluasi terhadap
klien yaitu menanyakan kembali perasaan klien.
Tindakan yang sudah dilakukan pada diagnosa gangguan isi pikir: waham curiga
berhubungan dengan disorientasi realitas adalah membina hubungan saling percaya (salam
terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang dan
buat kontrak waktu dan tempat yang jelas), membantu klien merubah pola pikir tentang hal
yang dia curigai dengan cara meyakini keyakinan klien yang salah, jangan membantah
maupun menyangkal keyakinan klien, membantu klien mencoba menghubungkan keyakinan
yang salah tersebut dengan peningkatan ansietas yang yang dirasakan oleh klien seperti napas
dalam dan relaksasi progresif, membantu memfokuskan dan menguatkan klien pada realita.
Kemudian melakukan evaluasi terhadap klien yaitu menanyakan kembali perasaan klien.
Klien mampu merubah pola pikir yang tadinya negative terhadap orang orang yang berada di
sekelilingnya menjadi positif.
BAB III
EVALUASI TINDAKAN
Berdasarkan intervensi yang telah dilakukan didapatkan respon klien sebagai berikut
:
1. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran berhubungan dengan distorsi kognitif
dan perceptual individu :
S :
Berdasarkan kasus Tn. H yang berumur 23 tahun, klien memiliki koping defensif
berhubungan dengan gangguan fisiologis.
1. Koping defensif berhubungan dengan gangguan fisiologis.
Tindakan yang sudah dilakukan untuk diagnosa koping defensif berhubungan dengan
gangguan fisiologis adalah membina hubungan saling percaya (salam terapeutik,
perkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang dan buat
kontrak waktu dan tempat yang jelas), membantu klien untuk mengenal halusinasinya,
membantu klien untuk mengontrol halusinasinya dengan cara yang pertama yaitu
meyakini dalam hati dan bilang pada diri sendiri yaitu “pergi-pergi, kamu suara palsu!”,
bercakap-cakap dengan orang lain, membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan harian,
meminum obat secara teratur dan meminta keluarga untuk menegur klien apabila
mengalami halusinasi, memberikan pujian dan penghargaan kepada klien bahwa hal yang
dilakukan klien baik dan benar. Kemudian melakukan evaluasi terhadap klien yaitu
menanyakan kembali perasaan klien. Klien mengatakan sudah mulai tenang, klien sudah
tidak pernah mendengar suara-suara.
Hal ini sesuai dengan teori menurut Stuart dan Sundeen (2005), halusinasi adalah
mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sebagian
penderita mendengar suara-suara atau bisikan bersifat menghibur atau menakutkan atau
suara-suara dan bisikan yang negatif/ buruk atau memberi perintah tertentu.
Adapun jurnal yang mendukung untuk mengurangi halusinasi, yaitu “Recovering from
hallucinations: A Qualitatif Study of coping with voic hearing of people with
schizophrenia in hong kong”. Intervensi yang diterapkan dalam jurnal ini adalah
melakukan terapi kognitif dan pelatihan koping terhadap klien dan keluarga. Intervensi
kognitif dilakukan dengan cara focus pada peristiwa terjadinya halusinasi, kognisi
(pengenalan), respon emosi dan tingkah laku, konsekuensi dari reaksi halusinasi untuk diri
sendiri dan orang lain. Klien diminta untuk mengembangkan strategi koping dan
memonitor serta mengidentifakasi halusinasi (isi, kapan, bentuk, durasi, intensitas, situasi,
koping strategi yang digunakan, dan respon yang dihasilkan). Intervensi pada pelatihan
koping ditujukkan pada keluarga yaitu keluarga diharapkan dapat berperan aktif dalam
proses perawatan.
2. Yang kedua, untuk masalah gangguan resiko perilaku kekerasan : menciderai diri sendiri
behubungan dengan masalah emosi (marah)
Telah dilakukan yaitu pertama memotivasi klien untuk mengungkapkan penyebab
kemarahannya, dengan mengungkapkan penyebab kemarahan klien maka akan
mengurangi beban mental klien. Kemudian mendiskusikan cara mengungkapkan
kemarahan dengan nafas dalam, memukul kasur dengan bantal, relaksasi progresif, sholat
dan zikir sehingga klien dapat memfokuskan kemarahan dengan cara yang positif sehingga
mengurangi resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain. Setelah dilakukan evaluasi
didapatkan klien mampu mengontrol emosinya, bicara tenang, tidak mengepalkan tangan
dan intonasi suara rendah.
Hal ini sesuai dengan teori Keliat (2006) yaitu beberapa kiat pendekatan pada
seseorang yang potensial melakukan tindakan kekerasan adalah memahami pola pikiran
(the mindset) seseorang dengan hostilitas dan potensi melakukan tindakan kekerasan.
Seseorang pada hakikatnya membutuhkan kesempatan untuk dapat menyampaikan
pendapatnya, berikan kesempatan kepadanya untuk mengutarakan isi pikiran sekalipun
pemahamannya menyimpang. Kemudian dengan sikap empati, lalu hindari sikap
konfrontative mengancam, lakukan alternatif penyelesaian masalah (merumuskan
pemecahan masalah yang menjadi resolusi). Bergerak kearah yang win-win resolusi.
Mengalihkan fokus dari apa yang tidak dapat klien lakukan menjadi apa yang dapat klien
lakukan.
A. PENGKAJIAN
RUANG RAWAT : RUANG SENA
TGL DIRAWAT : 12 November 2015
I. IDENTIFIKASI
A. Identitas Klien
Nama inisial : Tn. H
Alamat : Wonorejo
Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal di rawat : 10/11/2015 Jam: 18.45 WIB
Tanggal pengkajian : 12/11/2015 Jam: 10.30 WIB
Informan : Klien dan Perawat
No.RM : 026xxx
Dx.Medis : Skizofrenia Paranoid
B. Penanggung Jawab
Nama : Tn. F
Umur : 31 Tahun
Alamat : wonorejo
Hubungan dengan klien : kakak
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal
: Garis keturunan
23
88 : Garis pernikahan
99
88 23 : Klien
88
: tinggal serumah
99
88 1.
2. Konsep diri
a. Gambaran diri
Klien mengatakan bahwa ia menyukai rambutnya karena rambutnya bisa
tumbuh panjang dan bisa di berikan minyak, sehingga rambutnya menjadi
wangi. Tidak ada bagian tubuh lain yang disukai klien
b. Identitas
Klien mengatakan bahwa ia seorang laki-laki berusia 23 tahun dan belum
menikah, pendidikan klien hanya sampai lulusan SMP, pasien pernah bekerja
sebagai pelayan warung makan di Medan.
c. Peran
Klien mengatakan bahwa dirinya tidak pernah ikut kegiatan masyarakat. Klien
mengatakan dirinya hanya sering kumpul bersama teman-teman di warung hik
langganan
d. Ideal diri
Klien mengatakan ingin cepat pulang agar bisa berkumpul dengan keluarga,
dan klien mengatakan setelah sembuh ingin bekerja lagi untuk membantu
perekonomian keluarga dan ingin mencari biaya untuk menikah dan punya anak
e. Harga diri
Klien mengatakan mudah berinteraksi dengan orang lain, tetapi saat sakit
sekarang ini klien mengatakan jarang berinteraksi dengan pasien lain karena dia
menganggap orang lain gila semua meskipun mau hanya dengan teman pasien
tertentu saja serta perawat-perawat yang berjaga di ruang Sena
3. Hubungan sosial
a. Orang yang berarti :
klien mengatakan bahwa orang yang berarti untuk dirinya adalah ibu dan
bapaknya dan seseorang yang selalu dihatinya.
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok
Klien mengatakan selama sakit jarang berkumpul bersama teman-teman di
ruangan, klien hanya berkumpul dengan perawat atau mahasiswa praktikan
yang dibangsal, klien hanya berbicara dengan satu dua orang kemudian istirahat
ditempat tidurnya.
c. Hambatan berhubungan dengan orang lain :
Klien mengatakan mudah untuk berinteraksi dengan orang lain namun tidak
semua orang diajak mengobrol hanya dengan satu atau dua orang yang sering di
ajak mengobrol. Klien mengatakan selalu menyendiri karena menganggap
hanya dirinya yang sehat.
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan :
Klien mengatakan bahwa dirinya itu tidak gila atau gangguan jiwa. Klien
mengatakan dirinya disini hanya mencari obat setelah itu pulang. Klien
mengatakan bahwa sakitnya hanya cobaan dan apabila bersabar akan segera
sembuh. Klien mengatakan bahwa ia beragama islam, sebelum di ruangan
pasien mengatakan selalu kemajid untuk menjalankan sholat dan mengaji.
b. Kegiatan ibadah :
Sebelum sakit : Klien mengatakan ketika dirumah sering ke masjid untuk sholat
5 waktu dan juga mengaji terkadang menjalankannya dirumah.
Saat sakit : Klien mengatakan selama sakit jarang menjalankan sholat 5 waktu.
VI. STATUS MENTAL
1. Penampilan
Penampilan diri klien secara umum cukup rapi, memakai baju, baju terkancing dan
klien mandi 3x sehari serta mengganti bajunya, kuku klien tampak pendek dan
bersih, rambut pendek bersih.
2. Pembicaraan
Pembicaraan klien cepat sesuai dan mampu memulai pembicaraan.
3. Aktivitas motorik
Klien tampak segar atau bersemangat, klien kooperatif bila diajak berbicara dan
selalu pecaya diri. Klien sering mondar-mandir, klien mengatakan ingin segera
pulang.
Masalah keperawatan : Ansietas (cemas)
4. Alam Perasaan
klien merasa biasa saja, tapi klien sudah merindukan rumah dan kedua orang
tuanya dan seseorang yang selalu dipujinya.
5. Afek
klien dapat mengekpresikan perasaannya saat diajak bicara
6. Interaksi selama wawancara
Selama wawancara berlangsung, klien Kooperatif dan klien selalu menatap lawan
bicaranya
7. Persepsi
Klien memiliki halusinasi pendengaran, berisi suara laki-laki yang menyuruhnya
meloncat ke dalam sumur. Klien mengatakan suara itu adalah suara jin laki-laki.
Klien mengatakan suara itu muncul pada saat sendirian.
8. Proses pikir
Saat wawancara berlangsung klien selalu berbelit-belit dalam menjawab namun
sampai pada tujuan pembicaraaan.
9. Isi pikir
Klien saat dilakuan wawancara mengatakan tidak pernah kumpul dengan yang lain
karena klien merasa dirinya disini tidak mengalami gangguan jiwa dan yang lainya
itu sakit jiwa. Karena itu klien jarang kumpul dengan yang lain dan hanya dengan
satu dua orang saja atau dengan perawat yang jaga, kalau tidak hanya tiduran saja.
Masalah Keperawatan : Gangguan Proses piker : waham curiga
10. Tingkat kesadaran
Klien tidak mengalami disorientasi waktu, tempat dan orang, saat perawat
bertanya klien mengatakan bahwa dirinya sedang di RSJD Surakarta dan sedang
berbicra dengan perawat
11. Memori
klien tidak mengalami gangguan daya ingat, klien mengingat sedang berbicara
dengan siapa saat dilakukan wawancara. Klien mengingat rumahnya berada di
wonorejo, klien mengingat nama bapak dan ibunya
12. Tingkat Konsentrasi dan berhitung
Klien mampu menghitung sederhana (misalnya 2+2 = 4, 4x6 = 24, dan 50:5= 10)
13. Kemampuan Penilaian
Klien tidak mengalami gangguan penilaian. Dimana pada saat diperintahkan
untuk memilih, klien dapat memilih dengan benar seperti masuk kamar mandi
baru lepas baju setelah itu mandi, daripada lepas baju diluar kamar mandi baru
masuk ke kamar mandi lalu mandi.
14. Daya tilik diri
Klien tidak mampu menerima keadaan dirinya saat ini. Klien mengatakan karena
dirinya merasa yang lainnya sakit dan dirinya sehat.