Você está na página 1de 18

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV.1. Hasil Konstruksi Kolom Adsorpsi

Berdasarkan rancangan dari kolom adsorpsi pada gambar III.1., maka berikut ini
adalah gambar hasil konstruksi kolom adsorpsi :

Tinggi =1,5 m
Diameter = 2¼ in

Gambar IV.1. Kolom adsorpsi

Kolom adsorpsi tersebut terdiri dari enam bagian utama, yaitu tabung silinder
untuk pemanas IPA, waterbath, pompa, kolom adsorpsi, kondensor, dan tabung
gas untuk meregenerasi adsorben.

Kolom adsorpsi tersebut juga dilengkapi dengan termokopel dan termokontrol


untuk mengendalikan temperatur. Pengendali temperatur tersebut berfungsi untuk
mengendalikan temperatur di tabung pemanas umpan IPA dan temperatur di
pemanas air (waterbath). Temperatur diset pada 83oC.

Setelah dilakukan percobaan terhadap kolom tersebut, ternyata kolom adsorpsi


tersebut berfungsi dengan baik untuk menjalankan proses adsorpsi. Tetapi, dalam
proses desorpsi adsorben, kolom tersebut memiliki kendala. Kendalanya yaitu
bahwa sebenarnya, proses desorpsi dirancang dilakukan di dalam kolom dengan
menggunakan gas nitrogen, artinya tidak ada proses pengeluaran adsorben. Gas
nitrogen yang digunakan sebagai gas pengering dialirkan dan dikontakkan dengan
adsorben di dalam kolom.

25
Regenerasi molecular sieve membutuhkan temperatur tinggi yaitu 150-200oC.
Dalam proses konstruksinya, ternyata sistem perpipaan dan pompanya tidak kuat
untuk menahan temperatur tersebut. Akibatnya, regenerasi harus dilakukan
dengan mengeluarkan adsorben dari kolom untuk diregenerasi di oven pemanas.
Oleh karena itu, pipa dan pompa pada kolom sebaiknya diganti dengan pipa dan
pompa yang tahan pada temperatur tersebut.

Berikut adalah gambar beberapa bagian detail dari kolom adsorpsi.

Gambar IV.2 Tabung silinder untuk pemanas IPA

Tabung silinder IPA berfungsi untuk mengubah IPA cair menjadi uap. Tabung
silinder ini dilengkapi dengan peralatan keselamatan proses seperti safety valve
dan barometer. Safety valve berfungsi untuk membuang gas secara otomatis bila
tekanan di dalam tabung terlalu tinggi. Barometer berfungsi untuk mengetahui
tekanan pada tabung pemanas IPA. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan
elemen listrik yang dipasang di bagian bawah dalam kolom. Temperatur dijaga
dengan termokontrol. Termokopel dimasukkan melalui lubang tersumbat yang
dipasang di bagian atas kolom.

26
Gambar IV.3. Waterbath

Fluida pemanas yang digunakan di dalam penelitian ini adalah air. Air dipanaskan
di dalam waterbath menggunakan elemen listrik. Temperatur diset pada 84oC.
Temperatur kolom diatur menggunakan termokontrol yang terhubung dengan
termokopel. Air yang telah panas kemudian dialirkan ke silinder luar dari kolom
adsorpsi yang menyelubungi silinder utama.

IV.2. Hasil Penelitian

IV.2.1 Hasil yang diperoleh dari proses adsorpsi


Penelitian yang dilakukan terdiri dari 12 run yang terbagi menjadi 4 variasi laju
alir saat adsorpsi (700 mL/jam, 1000 mL/jam, 1200 mL/jam,dan 1600 mL/jam)
serta 3 variasi waktu desorpsi (3 jam, 2 jam, 1 jam). Dari proses adsorpsi yang
telah dilakukan, diperoleh hasil berupa kurva breakthrough.

Berikut ini adalah kurva breakthrough yang diperoleh dari keseluruhan run yang
telah dilakukan. Dimana gambar IV.4 sampai IV.6 menunjukkan pengaruh laju
alir terhadap kurva breakthrough, dan gambar IV.7 sampai IV.10 menunjukkan
pengaruh waktu desorpsi terhadap kurva breahthrough.

27
0.60
0.55
0.50
0.45
0.40
0.35
C/Co

0.30 Laju alir 738 mL/jam


0.25 Laju alir 1000 mL/jam
0.20 Laju alir 1200 mL/jam
0.15
0.10 Laju alir 1667 mL/jam
0.05
0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Waktu (menit ke-)

Gambar IV.4. Kurva breakthrough pada laju alir yang berbeda untuk waktu
desorpsi 3 jam

0.60
0.55
0.50
0.45
0.40
0.35 Laju alir 733 mL/jam
C/Co

0.30 Laju alir 1000 mL/jam


0.25 Laju alir 1200 mL/jam
0.20
Laju alir 1625 mL/jam
0.15
0.10
0.05
0.00
0 50 100 150 200 250 300

Waktu (menit ke-)

Gambar IV.5 Kurva breakthrough pada laju alir yang berbeda untuk waktu
desorpsi 2 jam

28
1.00
0.95
0.90
0.85
0.80
0.75
0.70
0.65 Laju alir 750 mL/jam
0.60
0.55 Laju alir 1000 mL/jam
C/Co

0.50 Laju alir 1286 mL/jam


0.45
0.40 Laju alir 1667 mL/jam
0.35
0.30
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0 50 100 150 200 250 300
Waktu (menit ke-)

Gambar IV.6 Kurva breakthrough pada laju alir yang berbeda untuk waktu
desorpsi 1 jam

0.45
0.40
0.35
0.30
Waktu desorpsi 3 jam
0.25
C/Co

0.20 Waktu desorpsi 2 jam


0.15 Waktu desorpsi 1 jam
0.10
0.05
0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Waktu (menit ke-)

Gambar IV.7 Kurva breakthrough untuk waktu desorpsi berbeda dan laju alir
700 mL/jam

29
0.60
0.55
0.50
0.45
0.40
0.35
C/Co

Waktu desorpsi 3 jam


0.30
Waktu desorpsi 2 jam
0.25
0.20 Waktu desorpsi 1 jam
0.15
0.10
0.05
0.00
0 50 100 150 200 250 300

Waktu (menit ke-)

Gambar IV.8 Kurva breakthrough untuk waktu desorpsi berbeda dan laju alir
1000 mL/jam

0.90
0.85
0.80
0.75
0.70
0.65
0.60
0.55
0.50 Waktu desorpsi 3 jam
C/Co

0.45
0.40 Waktu desorpsi 2 jam
0.35
0.30 Waktu desorpsi 1 jam
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0 50 100 150 200 250 300
Waktu (menit ke-)

Gambar IV.9 Kurva breakthrough untuk waktu desorpsi berbeda dan laju alir
1200 mL/jam

30
1.5
1.4
1.3
1.2
1.1
1.0
0.9
Waktu desorpsi 3 jam
C/Co

0.8
0.7 Waktu desorpsi 2 jam
0.6 Waktu desorpsi 1 jam
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0 50 100 150 200 250 300
Waktu (menit ke-)

Gambar IV.10 Kurva breakthrough untuk waktu desorpsi berbeda dan laju alir
1600 mL/jam

Secara teori, kurva breakthrough merupakan kurva yang digunakan untuk


menunjukkan profil konsentrasi terhadap waktu untuk fluida yang keluar dari
kolom. Fluida yang dimaksud adalah air. Pada awal proses, adsorben segar tidak
mengandung adsorbat, ketika fluida pertama kali dikontakkan dengan adsorben,
adsorben cenderung akan menyerap semua air yang terkandung dalam IPA
sehingga konsentrasi air yang keluar dari kolom adsorpsi praktis nol, konsentrasi
air yang keluar dari kolom akan semakin meningkat dengan bertambahnya waktu.
Bila konsentrasi telah mencapai nilai batas yang diizinkan, atau titik tembus
(break point), aliran dapat dihentikan, tetapi jika aliran diteruskan sampai
melewati break point, konsentrasi akan meningkat dengan cepat sampai kira-kira
0,5 dan kemudian agak lambat sampai 1,0. Hal ini berarti konsentrasi air yang
diserap oleh adsorben semakin lama akan semakin menurun karena adsorben
semakin lama semakin jenuh.

Gambar IV.4 sampai IV.10 merupakan kurva breakthrough dari proses adsorpsi
yang dilakukan untuk laju alir 700 mL/jam,1000 mL/jam, 1200 mL.jam, dan 1600
mL/jam dengan waktu desorpsi masing-masing 3 jam, 2 jam, dan 1 jam. Absis
adalah waktu (menit) dan ordinat adalah C/Co dimana C adalah konsentrasi air di
dalam produk tiap waktu dan Co adalah konsentrasi air pada umpan. Dari gambar-

31
gambar tersebut, dapat dilihat bahwa konsentrasi air yang terdapat di dalam
produk semakin lama semakin meningkat. Pada awal proses adsorpsi,
perbandingan antara konsentrasi air yang keluar sebagai produk dengan
konsentrasi air dalam umpan adalah nol, hal ini berarti adsorben menyerap semua
air yang terkandung di dalam IPA umpan, dan berarti konsentrasi IPA adalah
100%. Nilai C/Co ini makin lama makin meningkat, hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi air yang terserap oleh adsorben semakin menurun, dan akibatnya
konsentrasi air dalam produk semakin meningkat dan konsentrasi IPA semkin
menurun. Sampai pada suatu saat, nilai C/Co ini telah mencapai nilai batas yang
diizinkan, atau titik tembus (break point). Batas yang diizinkan adalah pada saat
konsentrasi IPA 99,8%. Saat itu, konsentrasi air (C) adalah 0,2 %. Dimana
konsentrasi IPA umpan 95% dan konsentrasi air (Co) 5%, maka break pointnya
adalah 0,04. Ketika aliran diteruskan sampai melewati break point, konsentrasi
akan meningkat dengan cepat sampai kira-kira 0,5.

Gambar IV.4 sampai IV.6 menunjukkan pengaruh laju alir terhadap kurva
breakthrough. Dari gambar-gambar tersebut, dapat dilihat bahwa laju alir
berpengaruh terhadap waktu breakthrough. Semakin besar laju alir, semakin cepat
waktu breakthrough. Hal ini berarti semakin besar laju alir, semakin cepat proses
tersebut mencapai nilai batas yang diizinkan. Di dalam kolom adsorpsi, terjadi
kontak antara adsorben(molecular sieve) dan fluida. Molekul air dapat terikat kuat
dengan molecular sieve, sedangkan molekul IPA tidak dapat terikat dengan
molecular sieve. Semakin lambat laju alirnya, semakin lama waktu kontak antara
fluida dan molecular sieve, akibatnya semakin banyak pula air yang dapat diserap
oleh molecular sieve.

Dari gambar IV.3 untuk waktu desorpsi 3 jam diperoleh bahwa pada laju alir yang
paling kecil yaitu 738 mL/jam, waktu breakthroughnya yang paling lama yaitu
pada menit ke-330. Pada gambar IV.4 dapat dilihat untuk waktu desorpsi 2 jam
diperoleh bahwa pada laju alir yang paling kecil yaitu 733 mL/jam, waktu
breakthroughnya yang paling lama yaitu pada menit ke-210. Dari gambar IV.5
dapat dilihat untuk waktu desorpsi 1 jam diperoleh bahwa pada laju alir yang

32
paling kecil yaitu 750 mL/jam, waktu breakthroughnya yang paling lama yaitu
pada menit ke-75. Namun, waktu breakthrough yang lama berarti laju alirnya
kecil. Oleh karena itu, jika proses dihentikan pada waktu tertentu, volume yang
dihasilkan oleh laju alir yang lebih kecil tentu saja lebih sedikit dibandingkan
yang diproduksi oleh laju alir yang lebih besar. Sehingga, perlu diketahui laju alir
mana yang paling efektif. Efektifitas tersebut dapat diketahui dari seberapa
banyak volume IPA yang bisa dihasilkan dalam satu hari operasi pabrik.

Gambar IV.7 sampai IV.10 menunjukkan pengaruh waktu desorpsi terhadap kurva
breakthrough. Dari gambar-gambar tersebut, dapat dilihat bahwa waktu desorpsi
berpengaruh terhadap waktu breakthrough. Semakin lama waktu desorpsi,
semakin lama pula waktu breakthroughnya. Hal ini berarti semakin lama waktu
desorpsi, semakin lama pula proses adsorpsi mencapai nilai batas yang diizinkan.
Selama proses desorpsi, air yang terikat di dalam molecular sieve akan terlepas
dan berpindah ke medium pengering, dalam penelitian ini pengeringan dilakukan
dengan menggunakan oven pada temperatur 200 °C. Makin lama proses desorpsi
yang dilakukan, makin banyak pula jumlah air yang terikat di dalam molecular
sieve yang dapat dihilangkan. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada kadar air
awal yang terkandung di dalam molecular sieve saat akan digunakan akan
digunakan proses adsorpsi selanjutnya. Semakin lama proses desorpsi, semakin
baik kondisi adsorben yang digunakan untuk proses adsorpsi selanjutnya.

Dari gambar IV.6 untuk laju alir 700 mL/jam diperoleh bahwa pada waktu
desorpsi 3 jam, waktu breakthroughnya yang paling lama yaitu pada menit ke-
330. Pada gambar IV.7 untuk laju alir 1000 mL/jam diperoleh waktu
breakthrough yang paling lama tercapai pada saat waktu desorpsinya 3 jam,
waktu breakhthroughnya yaitu pada menit ke-210. Pada gambar IV.8 untuk laju
alir 1200 mL/jam diperoleh, waktu breakthrough yang paling lama tercapai pada
saat waktu desorpsinya 3 jam yaitu pada menit ke-135. Pada gambar IV.9 untuk
laju alir 1600mL/jam diperoleh, waktu breakthrough yang paling lama tercapai
pada saat waktu desorpsinya 3 jam, waktu breakthroughnya yaitu pada menit ke-
90.

33
Jadi dari keseluruhan run yang dijalankan diperoleh bahwa kondisi operasi yang
paling lama mencapai waktu breakthrough adalah pada saat laju alir 738 mL/jam
dengan waktu desorpsi 3 jam.

IV.2.2 Analisis Laju Alir Adsorpsi dan Waktu Desorpsi yang Paling Optimal
Kondisi operasi yang paling optimal dapat ditinjau dari volume produk tertinggi
yang dihasilkan dalam satu hari oleh suatu variasi. Kurva breakthrough dari tiap
variasi proses adsorpsi dan variasi proses desorpsi dapat digunakan untuk
mengetahui produktivitas yang dihasilkan per hari.

Sesuai dengan persamaan III.1., maka dapat diketahui waktu siklus, dimana waktu
adsorpsi setiap run berbeda-beda, bergantung pada waktu breakthrough-nya.
Waktu loading dan unloading untuk semua run sama, yaitu diasumsikan 30 menit.
Sedangkan asumsi waktu yang dibutuhkan untuk start-up untuk semua run adalah
1 jam. Dari persamaan III.2 dapat diperoleh volume produk yang dihasilkan dalam
1 hari untuk tiap run,seperti tabel IV.1 dan gambar jelasnya seperti gambar IV.11

Tabel IV.1 Tabel Volume Produk yang dihasilkan per hari


volume
waktu
laju alir Volume produk/
breakthrough
(mL/jam) waktu kumulatif hari
(menit)
Desorpsi(jam) siklus(jam) / siklus (mL) (mL/hari)
738 330 9,00 4059,00 10824
1000 210 7,00 3500,00 12000
1200 140 5,83 2800,00 11520
1667 3 90 5,00 2500,50 12002
733 210 6,00 2565,50 10262
1000 120 4,50 2000,00 10667
1200 75 3,75 1500,00 9600
1625 2 45 3,25 1218,75 9000
750 75 2,75 937,50 8182
1000 60 2,50 1000,00 9600
1286 45 2,25 964,50 10288
1667 1 45 2,25 1250,25 13336

34
14000

12000

Volume Produk (mL/hari)


10000

8000

6000

4000

2000

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu siklus (jam)

Gambar IV.11 Gambar volume produk (IPA) yang dihasilkan per hari dari
berbagai variasi proses yang dilakukan

Waktu siklus merupakan waktu yang dibutuhkan untuk keseluruhan rangkaian


proses adsorpsi dan desorpsi yang terdiri dari dari waktu regenerasi adsorben
(desorpsi), waktu loading, waktu start-up, waktu adsorpsi (hingga breakthrough),
dan waktu unloading. Waktu loading, waktu start-up, dan waktu unloading untuk
setiap proses operasi adalah tetap, sehingga waktu siklus bergantung pada waktu
desorpsi dan waktu adsorpsi. Sedangkan waktu adsorpsi dipengaruhi oleh laju alir
dan waktu desorpsi itu sendiri.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, lamanya waktu desorpsi cukup berpengaruh
terhadap lamanya proses adsorpsi, waktu desorpsi yang pendek berdampak pada
pendeknya waktu adsorpsi, sehingga waktu siklus pun pendek, dan sebaliknya
waktu desorpsi yang panjang berdampak pada waktu adsorpsi yang panjang pula,
sehingga waktu siklusnya pun panjang. Namun, panjang pendeknya satu siklus
belum dapat memberikan penjelasan mengenai proses mana yang paling optimal.
Sebab, di satu sisi, frekuensi untuk mengulang siklus pada siklus yang pendek
lebih besar dibandingkan dengan frekuensi untuk mengulang siklus yang panjang.
Di sisi lain, siklus yang panjang memberikan kesempatan untuk berproduksi
secara maksimal pada waktu satu siklus tersebut.

35
Sehingga parameter yang akan digunakan untuk mengoptimasi kinerja proses
adalah volume produk yang dapat dihasilkan. Gambar IV.10 menunjukkan bahwa
siklus yang pendek cenderung memberikan produktivitas yang rendah. Siklus
yang semakin panjang, produktivitasnya justru cenderung meningkat, hingga
mencapai titik optimum pada waktu siklus tertentu.

Dari gambar IV.11 diperoleh 2 titik optimum, yaitu pada run kedua (kondisi laju
alir adsorpsi 1000 mL/jam dan waktu desorpsi 3 jam) diperoleh bahwa dengan
waktu siklus 7 jam, volume kumulatif produk yang diperoleh sebesar 3500
mL/siklus, serta volume produk per hari yaitu 12000 mL/hari dan pada run
keempat (kondisi laju alir adsorpsi 1667 mL/jam dan waktu desorpsi 3 jam)
diperoleh bahwa dengan waktu siklus 5 jam, volume kumulatif produk yang
dihasilkan yaitu sebesar 2500,50 mL/siklus, serta volume produk per hari yaitu
sebesar 12002 mL/hari.

Dari kedua run tersebut, dapat dibandingkan bahwa pada run keempat,
produktivitas yang dihasilkan per hari sedikit lebih tinggi dibandingkan run
kedua, tetapi untuk produktivitas yang dihasilkan per siklus, run kedua jauh lebih
tinggi, selisih volume produk yang dihasilkan per siklus yaitu sebesar 1000
mL/siklusnya. Produktivitas per hari pada run keempat sedikit lebih tinggi
disebabkan karena pada run keempat,dengan waktu siklus 5 jam, memungkinkan
untuk mengulang keseluruhan proses lebih banyak dibandingkan dengan run
kedua yang memerlukan waktu siklus lebih lama.

Dalam penggunaan molecular sieve, permasalahan umum yang biasa dijumpai,


yaitu penggunaannya sebagai adsorben memerlukan energi yang tinggi dalam
proses regenerasinya. Dalam penelitian ini, proses regenerasi berlangsung di
dalam oven pada temperatur 200oC. Sehingga apabila proses adsorpsi dijalankan
sehari penuh maka waktu desorpsi yang dibutuhkan pada run keempat adalah
sekitar 15 jam. Sedangkan untuk run kedua, waktu yang dibutuhkan khusus untuk
proses desorpsi adalah sekitar 9 jam. Selisih waktu untuk desorpsi tersebut,
menunjukkan energi yang digunakan selama proses desorpsi pada run keempat

36
lebih banyak daripada energi yang digunakan pada run kedua. Besarnya energi
yang digunakan tersebut mengakibatkan biaya operasional yang dibutuhkan juga
lebih besar.

Selain biaya operasional, kebutuhan akan tenaga manusia juga perlu menjadi
pertimbangan. Setiap kegiatan yang dilakukan dalam satu siklus (proses loading,
start-up,adsorpsi, unloading, dan desorpsi) memerlukan tenaga dalam hal ini yaitu
tenaga manusia. Total siklus dalam satu hari pada run kedua yaitu sekitar 3-4 kali,
sedangkan total siklus dalam satu hari pada run keempat yaitu sekitar 5 kali. Dari
pertimbangan tersebut, dapat dikatakan bahwa tenaga manusia yang diperlukan
untuk run keempat lebih banyak daripada run kedua.

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas dapat disimpulkan bahwa keoptimalan


proses bukan hanya ditentukan oleh panjang waktu siklus, berapa banyak volume
yang dihasilkan dalam satu siklus, atau seberapa sering suatu siklus tersebut
diulang. Tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor lain, terutama biaya dan
tenaga. Sehingga dengan biaya dan tenaga yang sekecil mungkin, dapat dihasilkan
produk yang sebesar mungkin.

Jadi, dari hasil penelitian ini, dengan mempertimbangkan faktor biaya dan tenaga,
dapat disimpulkan bahwa kondisi yang paling optimal adalah pada laju alir
adsorpsi 1000 mL/jam dan waktu desorpsi 3 jam.

IV.2.3 Isoterm Adsorpsi


Analisis Isoterm Adsorpsi dilakukan untuk mengetahui hubungan keseimbangan
antara konsentrasi dalam fasa fluida (c) dan konsentrasi di dalam partikel
adsorben (q) pada temperatur tertentu. Analisis ini dilakukan dengan cara menguji
data dengan tipe-tipe isotherm yang ada (isotherm Langmuir dan isotherm
Freundlich). Untuk menentukan nilai c dan q, digunakan persamaan (III.4) dan
(III.5). Berikut ini adalah hasil plot data dari nilai c dan q pada kondisi yang
paling optimal (laju alir adsorpsi 1000 mL/jam)

37
0.0600

0.0500

0.0400

Laju alir 1000 mL/jam, t


0.0300
q

desorpsi 3jam

0.0200

0.0100

0.0000
0.0000 0.0050 0.0100 0.0150 0.0200 0.0250

Gambar IV.12. Plot data c Vs q pada 1000 mL/jam, t desorpsi 3 jam

Kemudian plot data tersebut diuji dengan menggunakan persamaan-persamaan


isoterm Langmuir dan isoterm Freundlich. Pengujian dilakukan dengan cara
melinearkan masing-masing persamaan isoterm adsorpsi. Tipe isoterm yang cocok
dengan data ditentukan dari hasil linearisasi tersebut. Persamaan II.3 yang
merupakan persamaan isoterm Langmuir, dapat dilinearkan sebagai berikut.
1 K +c
= (IV.1)
q q o .c

1 k ⎛1⎞ 1
= ⎜ ⎟+ (IV.2)
q qo ⎝ c ⎠ qo
Dengan memplot kan data 1/q Vs 1/c, diperoleh slop = K/qo dan intersep =1/qo,
dan diperoleh hasil seperti gambar IV.13

38
25

20 y = -0.0014x + 18.668
2
R = 0.3162 Laju alir 1000 mL/jam, t
15 desorpsi 3 jam)
(1/q)

Linear (Laju alir 1000


10
mL/jam, t desorpsi 3
jam))
5

0
0 1000 2000 3000 4000 5000

(1/c)

Gambar IV.13. Plot data 1/c Vs 1/q pada 1000 mL/jam, t desorpsi 3 jam

Dari hasil plot data 1/c Vs 1/q diperoleh bahwa data tidak membentuk garis lurus,
hal ini dibuktikan dengan nilai R2 yang cukup jauh dari 1, hal ini berarti dengan
plot 1/c Vs 1/q data tidak cukup linear. Sehingga dapat dikatakan bahwa data yang
diperoleh tidak cocok dengan isoterm Langmuir.

Selain isoterm Langmuir, tipe isoterm lainnya yaitu isoterm Freundlich.


Persamaan II.2 yang merupakan persamaan isoterm Freundlich dapat dilinearkan
dengan cara sebagai berikut.
Log q = Loq K + Log cn (IV.3)
Log q = Loq K + n Log c (IV.4)
Log q = n Log c + Loq K (IV.5)
Dengan memplotkan data Log q Vs. Log c, diperoleh slop (n) dan intersep ( log
K), diperoleh hasil seperti pada gambar IV.14.

39
1.60
1.50
1.40
1.30
1.20
Laju alir 1000 mL/jam, t
1.10
1.00 desorpsi 3 jam)
y = -1.1172x + 1.5103
Log q

0.90 Linear (Laju alir 1000


0.80 2
0.70 R = 0.8266 mL/jam, t desorpsi 3 jam))
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Log c

Gambar IV.14. Plot data Log c Vs Log q pada 1000 mL/jam, t desorpsi 3 jam

Dari hasil plot data log c Vs log q diperoleh bahwa data mendekati linear, ini
dibuktikan dengan nilai R2 yang hampir mendekati 1 dibandingkan dengan R2
yang diperoleh dari isoterm Langmuir. Dari hasil diatas dapat dikatakan bahwa
data yang diperoleh cenderung cocok dengan isoterm Freundlich.

Dari hasil tersebut, diperoleh garis lurus dengan slop adalah -1,1172 dan garis
perpotongannya adalah 1,5103, sehingga persamaannya menjadi
q = 1,5103 c-1,1172 (IV.6)
Secara teori, isoterm Freundlich mengasumsikan bahwa adsorben mempunyai
permukaan yang heterogen dan tiap molekul mempunyai potensi penyerapan yang
berbeda-beda.

IV.2.4 Pengujian RON


Pengujian RON dilakukan berdasarkan pada prosedur yang terdapat dalam ASTM
D-2699. Berikut ini adalah hasil yang diperoleh dari pengujian RON :
Tabel IV.2 Tabel Hasil Pengujian RON
Sample No %-v IPA % -v Premium RON
A 0 100 86,7
B 5 95 89,3
C 10 90 91,3
D 15 85 94

40
Dari hasil pengujian RON, diperoleh bahwa angka RON yang diperoleh semakin
meningkat dengan penambahan IPA. Jika dibandingkan dengan premium murni
tanpa penambahan IPA , peningkatan RON cukup signifikan. Secara teori, angka
oktan menyatakan kandungan molekul iso oktan yang bercampur dengan n-heptan
yang terdapat pada bahan bakar bensin. Iso oktan mampu mencegah ketukan.
RON diukur dengan cara menguji mesin saat berkecepatan rendah atau biasanya
pada saat berkendaraan di dalam kota. Semakin besar angka RON, semakin baik
kualitas bahan bakar yang dihasilkan. Apabila dihubungkan dengan penelitian
yang dihasilkan, maka dapat dikatakan bahwa kualitas bahan bakar yang
dihasilkan dengan penambahan IPA jauh lebih baik daripada tanpa penambahan
IPA, dan kualitasnya semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi IPA
dalam bahan bakar.

IV.2.5. Pengujian Emisi Gas


Kadar emisi gas diuji dengan menggunakan alat uji emisi. Berikut ini adalah hasil
uji emisi pengaruh pencampuran IPA pada mobil Kijang 1991.

Tabel IV.3 Tabel Pengaruh pencampuran IPA pada emisi mobil Kijang 1991

Sampel % IPA % Premium CO (%) Hidrokarbon (ppm) CO2(%) Lambda


A 0 100 8,73 920 7,8 0,896
B 5 95 5,12 872 8,3 0,916
C 10 90 4,78 810 8,4 0,967
D 15 85 2,63 670 9,5 0,984

10
Komposisi gas-gas emisi

6
CO (%)
4 Hidrokarbon (10^-2 ppm)
CO2 (%)
2

0
0 5 10 15
Komposisi IPA (%-v)

Gambar IV.15 Pengujian Emisi Gas

41
Dari hasil pengujian emisi di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan emisi gas
yang cukup berarti dengan penambahan IPA di dalam bahan bakar premium.
Kandungan CO dan hidrokarbon semakin menurun dengan semakin besarnya
konsentrasi IPA di dalam bahan bakar. Kandungan CO2 meningkat dengan
semakin besarnya konsentrasi IPA di dalam bahan bakar, hal ini berarti
pembakaran yang terjadi di dalam mesin semakin sempurna.

42

Você também pode gostar