Você está na página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fetishisme atau fetishisme seksual merupakan bentuk parafilia. Fetishisme
merupakan bentuk parafilia yang menggambarkan bentuk penyimpangan seksual
dimana individu memiliki ketertarikan erotis dan rasa sayang terhadap suatu
benda tertentu atau bagian tubuh seseorang. Bila benda-benda tersebut tidak ada
maka individu tersebut tidak bergairah atau kehilangan libido seksualnya.
Keadaan ini dapat berlanjut seumur hidup. Di antara benda-benda fetish yang
umum adalah celana dalam wanita, bra, stocking, sepatu, sepatu bot, atau jenis
pakaian lainnya. Freud mendefinisikan fetishisme sebagai kondisi "dimana objek
seksual yang normal digantikan dengan objek lain meskipun terkait dengan
aktivitas seksual tetapi benar-benar tidak layak untuk tujuan seksual yang
normal”.1
Kata fetishisme muncul dari fetish, sebuah istilah yang digunakan dalam
antropologi untuk suatu benda yang diyakini memiliki kekuatan supranatural.
Penganut agama kristen yang terdahulu sering menggunakan atribut berkekuatan
magis dan metafisik misalnya benda seperti tengkorak, tulang jari dan tangan
orang-orang yang dianggap suci dan lain sebagainya. Benda-benda itu disebut
sebagai fetiches. Ketika abad ke-15 Portugis penjelajah tiba di Afrika Barat dan
menemukan bahwa masyarakat lokal memiliki fetiches tersendiri dalam bentuk
ukiran keagamaan dan benda mati lainnya. Penulis Perancis Charles de Brosses
(1709-1777) membuat istilah fetishisme pada tahun 1756 (dalam pengertian
antropologis) dan mengembangkan konsep fetishisme keagamaan, dimana ia
membahas penyembahan
materi benda-benda seperti jimat antara populasi Afrika kuno dan kontemporer.1
Seksiolog terdahulu menggambarkan parafilia tipe ini dengan meminjam
istilah dari masa Portugis, yaitu fetish karena menurut mereka seperti sebuah jimat
agama, sebuah jimat/benda erotis juga memiliki kekuatan magis. Ia memiliki
kekuatan untuk membangkitkan emosi dan untuk menginspirasi suatu perasaan

1
2

seksual pada seseorang. Jika seseorang yang tidak bisa terangsang oleh
rangsangan erotis normal (misalnya, seorang wanita telanjang) tetapi bisa
terangsang oleh benda mati, seperti sandal atau sepatu, berarti benda itu memiliki
semacam kekuatan magis pada orang itu, dan itulah yang disebut sebagai fetish.
Saat ini fetishisme pada pemujaan religius dan fetishisme seksual adalah dua
istilah yang terpisah dan memiliki makna yang berbeda.1
Bentuk lain dari fetishisme adalah partialism, yakni fetishist yang dalam
melakukan aktivitas seksualnya terangsang pada salah satu bagian spesifik dari
tubuh pasangannya, seperti kaki, payudara, pusar, pantat, hidung, telinga, atau
rambut panjang dengan warna tertentu. Pria dengan partialism menyukai wanita
karena hal tertentu yang dimiliki/dipakai wanita tersebut, sebut saja berambut
cokelat pirang atau bahkan mungkin seseorang dapat mendapatkan rangsangan
erotis oleh pesona individu berupa warna mata atau nada suara tertentu. Bahkan
juga dapat ditemukan seseorang partialism yang tertarik pada seorang wanita
yang memiliki mata yang juling.1
Krafft-Ebing menyebut hal tersebut sebagai physiological fetishism, yaitu
fetish terhadap area pubis, payudara atau bokong seorang wanita, atau yang biasa
disebut “fetish yang masih dapat diterima” daripada fetishist patologis misalnya
terhadap sepatu, sapu tangan atau korset wanita. Seorang fetish fisiologis dapat
terfasilitasi oleh bagian tubuh tersebut dan bahkan dapat meningkatkan
kenikmatan seksual atau hanya sebagai pelengkap aktivitas seksual. Sedangkan
keadaan patologis, seorang fetishist sulit untuk mencari pasangan dalam
berhubungan seksual. Hal penting dalam membedakan keduanya adalah seorang
fetishist fisiologis dapat terangsang oleh ciri khusus dari tubuh seseorang
(misalnya: rambut merah) tetapi masih dapat menunjukkan respon terhadap
rangsangan seksual dari wanita tanpa ciri khusus tersebut. Sedangkan pada
fetishist patologis tidak akan merespon rangsangan seksual kecuali oleh fetish
khusus tersebut.1
Prevalensi fetishisme tidak diketahui secara jelas. Penelitian yang berbeda
memberikan persentase yang berbeda-beda pula. Chalkley dan Powell
memperkirakan prevalensi fetishisme yang mencari pengobatan untuk gangguan
3

kejiwaan di Royal Bethlem dan Maudsley Rumah Sakit selama 20 tahun adalah
sekitar 0,8%. Gosselin dan Wilson pada penelitian yang lain melaporkan bahwa
18% individu yang sehat (yaitu, tidak meminta pertolongan tentang gangguan
seksual) merupakan individu fetishism. Fetishisme juga dapat muncul bersamaan
pada individu dengan tipe parafilia lain. Tipe parafilia yang paling sering
menyertai fetishisme adalah pedofilia dan transvetisisme.2
Scorolli dan kawan-kawan telah memeriksa 381 kelompok diskusi
menggunakan internet sebagai sumber data dalam upaya untuk memperkirakan
frekuensi relatif dari fetishist dalam jumah sampel individu yang besar. Sekitar
5000 orang ditargetkan dalam pemeriksaan ini. Preferensi untuk bagian tubuh atau
ciri tubuh tertentu (partialism) dan untuk benda yang berhubungan dengan tubuh
adalah yang paling umum yaitu dengan persentase masing-masing 33% dan 30%,
diikuti dengan preferensi untuk perilaku orang lain 18%, perilaku diri sendiri 7%,
perilaku sosial 7%, dan benda-benda tidak berhubungan dengan tubuh 5%. Kaki
dan benda-benda yang berhubungan dengan kaki adalah yang paling umum
sebagai target preferensi.2
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Fetish diambil dari bahasa Latin "Facticius" yang berarti "artificial" and
"facere", "to make" yang berarti sebuah benda yang dipercaya memiliki sebuah
kekuatan magis atau spiritual.1 Menurut defenisi kamus John Mc Echols dan
Hassan Shadily, fetish diartikan sebagai pemujaan mutlak/ mendalam. Namun
menurut Cambridge's Dictionary, kata ini didefenisikan sebagai rangsangan
secara seksual terhadap benda secara tidak wajar.3 Fetishisme adalah sebuah
hasrat seksual terhadap suatu bagian tubuh, objek, atau kegiatan/ gerakan pada
tubuh . Fetishist sesungguhnya adalah orang yang tidak mampu menikmati seks
tanpa adanya sebuah fetish.1 Menurut PPDGJ III, fetishisme merupakan
pengandalan pada benda mati sebagai suatu stimulus yang dapat membangkitkan
gairah seksual dan memberikan kepuasan seksual.
Fetishisme dibagi menjadi dua macam tipe :
1. "Spiritual Love" atau berarti fetishisme yang meliputi tingkat sosial, sikap,
sifat, dan pekerjaan dari fetish.
2. "Plastic Love" atau berarti fetishisme yang meliputi bagian tubuh, tekstur
tertentu, atau bahkan benda - benda lain.4
Ini merupakan sebuah "penyakit" psikologi yang membuat penderita
fetishisme (Fetishist) terobsesi pada bagian tubuh/objek/gerakan, mencintai hanya
bagian tubuh itu, dan peningkatan hasrat seksual pada bagian-bagian tertentu itu.
Misalnya :4
1. Bagian tubuh : mata, hidung, bibir, ketiak, pusar, telinga, pantat lain-lain
2. Objek pada tubuh : kacamata, stocking, lingerine, korset, behel, rantai,
gelang lain-lain
3. Gerakan atau kegiatan : mengibas rambut, berkeringat dan lain-lain
Menurut Alfred Binet, seorang pakar psikologis pernah menyimpulkan
fetishisme dikatakan sebagai penyakit psikologi jika objek (fetish) yang
didambakan oleh orang tersebut mengganggu kehidupan orang tersebut, dan pada
5

kenyataannya banyak orang yang berobat untuk bisa sembuh dari penyakit
psikologis ini.5 Ini disebut sebagai penyakit, karena penderita fetishisme ini tidak
akan tertarik selain objek dari fetishnya itu sendiri. Misalnya seseorang fetishist
tertarik pada mata seorang wanita, dia tidak akan peduli bila wanita itu berwajah
monster, cacat, atau yang lain. Bagi dia mata wanita itu adalah sempurna.5
Fetishisme menggambarkan bentuk penyimpangan seksual dimana
individu dalam melakukan aktivitas seksual melibatkan barang-barang tertentu.
Bila benda-benda yang menyertai aktivitas tersebut tidak ada, maka individu tidak
bergairah atau kehilangan libido seksualnya. Individu dengan gangguan fetishisme
akan bergairah bila melihat, merasakan atau bersentuhan dengan objek-objek
tersebut. Objek-objek fantasi seksual dapat berupa sepatu bertumit tinggi, kostum
bahan karet atau kulit, celana dalam tertentu, celana dalam wanita dengan corak
tertentu, atau lingerie.6
Pelaku fetishisme akan mengajak pasangannya untuk menggunakan
benda-benda atau menggunakannya sendiri dalam setiap aktivitas seksual. Bila
pasangannya menolak maka fetishist akan memilih tidak melakukan hubungan
seksual sama sekali. Beberapa jenis fetish didasarkan pada benda-benda yang
menjadi objek:1
a. balloon fetishism (balon)
b. fur fetishism (bulu binatang)
c. leather fetishism (seragam dari kulit), seperti: jaket kulit
d. panty fetishism (celana dalam)
e. robot fetishism (robot atau mesin)
f. rubber fetishism (bahan dari karet), seperti: baju renang
g. shoe fetishism (sepatu), seperti: sepatu hak tinggi, sepatu boot, sepatu
kets,dll.
h. smoking fetishism (rokok)
6

2.2 Etiologi
Menurut beberapa ahli kejiwaan, hasrat fetish bisa timbul karena
pengalaman traumatik dari penderita, misalnya salah satu orang yang sangat dia
sayang meninggal, dan beberapa tahun kemudian dia bertemu seseorang yang
memiliki bibir yang sama dengan orang yang dia sayang itu. Namun banyak juga
yang mengatakan bahwa fetishisme itu muncul karena adanya faktor alami dari
otak si penderita yang mengingat terus menerus bagian/objek/ kegiatan orang
yang disayanginnya. Misalnya, seseorang sedang rindu dengan kekasihnya,
kemudian dia membayangkannya dalam pikirannya, dan selalu ingat saat
kekasihnya tersenyum, tertawa, berjalan, dan akhirnya lama kelamaan berubah
menjadi sebuah fetishisme.7
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan fetishists
cenderung kesepian, tidak tegas, dan menghabiskan banyak waktu dengan
berkhayal, tetapi tidak dijelaskan mengapa fetishist tidak tertarik pada wanita
yang merangsang. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin lebih dari satu faktor
yang menyebabkan orang menjadi fetishist.7 McGuire at all, ingin menjelaskan
bahwa ada salah seorang pasien mereka berjenis kelamin laki-laki berusia 17
tahun, pernah melihat seorang gadis yang hanya memakai celana dalamnya lewat
jendela. Rasa seksualnya terangsang oleh pemandangan itu dan dia melakukan
masturbasi dengan pemandangan itu. Namun, dengan berlalunya waktu ingatan
tentang gadis itu menjadi kabur, sedangkan pemandangan lewat jendela tersebut
terus mengingatkannya akan bentuk dari pakaian dalam untuk digunakan dalam
khayalannya, sehingga menjadi ingatan yang sangat kuat. Kemudian
kepentingannya berubah secara bertahap namun konsisten, sehingga ketika dilihat
3 tahun kemudian ia tidak lagi memiliki kepentingan sedikit pun pada anak
perempuan tersebut, tetapi rangsangan seksual ditimbulkan oleh pakaian dalam
wanita yang dibeli atau dicurinya.1
Teori Psikoanalisis
Menurut teori libido Freud’s, anak berkeyakinan bahwa setiap wanita
(termasuk ibunya) memiliki vagina dan menolak untuk melepaskan kepercayaan
ini. Ketika ia menemukan bahwa perempuan tidak memiliki penis, ini merupakan
7

suatu hal yang membuatnya terheran-heran. Ia sudah mulai berpikir bahwa


ayahnya akan memotong penisnya, dan pemikirannya tentang ibunya tentang hal
ini membuat si anak berada pada mode penyangkalan. Dia konstruksikan
pemikirannya tentang suatu objek fetish, yang baginya merupakan vagina
perempuan, dan kemudian menyatu menjadi ketertarikan erotis terhadap fetish
tersebut, dan ia menjadi fetishist.1
Teori Biologis
Filogenetik Pertimbangan
Menariknya, fenomena yang terkait dengan fetishisme telah terlihat pada
hewan. Sebuah boot karet sudah diamati untuk membangkitkan ereksi penis
babon (Papio) dan bahkan ejakulasi di simpanse (Pan troglodytes). Permukaan
karet yang halus mungkin berhubungan dengan bagian tubuh atau tanda yang
memiliki nilai gairah seksual, hal ini dihubungkan dengan kontur kenyal dan
seperti warna kulit dari area seksual anogenital yang dapat membangkitkan sinyal
seksual, misalnya payudara dan bokong. Sehingga Hewan Fetishist dapat
terangsang dengan sendirinya. Wickler menegaskan bahwa sinyal seksual seperti
ini juga terjadi pada manusia. Banyak fetish (misalnya: basah, mengkilat, hitam,
pink, atau benda berbulu) memiliki atribut visual yang mencolok sehingga
mengingatkan pada area seksual.1
Lesi Lobus Frontal dan Temporal
Huws at all telah melaporkan kasus hiperseksual dan fetishisme pada
pasien dengan multipel sklerosis, dimana hasil scan MRI menunjukkan terdapat
lesi frontal dan temporal, namun belum diketahui secara jelas bagaimana
patofisiologinya. Ini menunjukkan bahwa hiperseksual mungkin gejala yang
muncul pada multipel sklerosis. Banyak peneliti lainnya yang melaporkan
hubungan antara fetishisme dengan lesi lobus temporal.1
Neuronal Cross-link
Telah dipercaya bahwa fetishisme mungkin hasil dari neuronal cross-link
antara regio-regio dalam otak manusia. Misalnya, regio otak yang menerima
stimulus sensoris diteruskan menyilang ke regio otak yang memproses stimulus
8

seksual. memproses melewati saraf sensoris dan meneruskan ke regio yang


memproses stimulus seksual.1
Faktor genetik
Gorman melaporkan kasus fetishisme pada anak kembar laki-laki
uniovular (inisial EH dan OH), mendukung pendapat yang menyatakan bahwa
genetik mungkin merupakan faktor yang mendasari fetishisme. Si kembar yang
dilahirkan tahun 1920, dan diperiksa pada tahun 1962. Keduanya mengalami
rubber fetishisme (bahan jenis karet). Usia onset hampir sama, si kembar
berinisial OH yang diperiksa pertama, mengungkapkan bahwa ia tidak ada
berhubungan/kontak dengan kembarannya EH selama bertahun-tahun. Kemudian
EH diperiksa dan ditemukan memiliki fetishisme yang sama.1
Penjelasan lainnya
Bagi fetishist bentuk kaki mengingatkan akann bentuk organ genital
perempuan atau laki-laki atau bentuk tubuh perempuan. Dari sisi lain kaki dan
organ genital memiliki kedekatan anatomi, sehingga ketika melihat salah satunya,
maka yang lain akan terlihat juga. Kemudian akan tersimpan di pikiran dan
keduanya saling berhubungan.

2.3 Penggolongan/Tingkatan
Ada 5 tingkatan fetishist dilihat dari tindakan atau seberapa jauh hasrat
fetishist kepada parts/objek/kegiatan yang dicintainya, yaitu:8
1. Tingkat I : Pemuja (Desires)
Ini merupakan tahap awal. Biasanya tidak terlalu terpengaruh atau fetish
tidak terlalu mengganggu pikiran seseorang.
Contohnya: saat seorang pria mengidamkan wanita dengan payudara yang
besar, rambut pirang, atau berbibir tipis. Namun bila pria ini tidak mendapatkan
wanita yang diimpikannya itu, dia tidak akan terlalu mempermasalahkannya dan
hubungan seksual dengan wanita itu tetap berjalan normal.
2. Tingkat II : Pecandu (Cravers)
Ini merupakan tingkatan lanjutan dari tingkat awal. Saat seseorang fetishist
telah mencapai tahap ini, psikologi orang ini akan membuat dirinya "amat
9

membutuhkan" pasangan dengan fetish tertentu yang didambakannya. Bila hal itu
tidak dapat terpenuhi, akan mengganggu hubungan seksual orang ini, misalnya
hilang hasrat seksual atau tidak tercapainya orgasme/klimaks.
3. Tingkat III : Fetishist Tingkat Menengah
Ini termasuk tingkat yang berbahaya, fetishist akan melakukan apapun
demi mendapatkan fetish yang dia inginkan dengan menculik atau mencuri,
menyiksa, atau hal-hal sadis lainnya. Hasrat seksual fetishist ini hanya akan
terlampiaskan dengan seseorang yang memiliki bagian yang dia inginkan “tidak
peduli itu lawan jenis ataupun sejenis”.
4. Tingkat IV : Fetishist Tingkat Tinggi
Lebih sadis dari tingkat III, pada tingkat ini seseorang ”tidak akan peduli
dengan hal lain diluar fetishnya”. Misalnya: Fetish seseorang adalah stocking
wanita, maka dia tidak membutuhkan wanita itu, hanya stockingnya saja
(hammer). Dan yang lebih parah adalah bila fetish seseorang adalah bagian tubuh,
dia hanya membutuhkan bagian tubuh orang itu saja dan tidak peduli dengan
orang yang memiliki bagian tubuh itu sendiri.
5. Tingkat V : Fetishistic Murderers
Tingkatan ini merupakan tingkatan yang sangat parah. Dimana pelaku rela
membunuh, memutilasi, demi mendapatkan fetish yang dia inginkan. Orang
dengan fetishisme bisa sembuh dengan terapi psikologis dan pengobatan kejiwaan
lainnya. Tergantung dari tingkat fetishist itu sendiri.

2.4 Gambaran Klinis


Fetishist sering masturbasi sambil memegang atau menggosok objek fetish
atau mungkin meminta pasangan seksual untuk memakai objek fetish dalam
hubungan seksual mereka. Fetish ini biasanya diperlukan atau sangat disukai
untuk memunculkan rangsangan seksual, dan dalam ketiadaan mungkin akan ada
disfungsi ereksi pada laki-laki. Fetishisme tidak dikatakan hadir ketika fetishes
terbatas untuk barang dari pakaian perempuan digunakan dalam “cross-dressing”,
seperti dalam fetishisme transvestik, atau alat-alat yang dirancang untuk tujuan
stimulasi taktil pada genital (misalnya, sebuah vibrator). Fetisisme biasanya
10

dimulai oleh remaja, meskipun fetish mungkin bisa muncul lebih awal dalam
masa anak-anak. Setelah menjadi suatu kebiasaan yang menetap, fetishisme
cenderung kronis. 9
Berikut ini adalah contoh gambar foot fetishism:

Gambar 1. Foot fetishism

2.5 Diagnosis
Fetishisme harus didiagnosis hanya apabila fetish merupakan sumber yang
paling penting dari stimulasi seksual atau esensial untuk respons seksual yang
memuaskan. Fantasi fetishistik adalah lazim, tetapi tidak menjadi suatu gangguan
kecuali apabila menjurus kepada suatu ritual yang begitu memaksa dan tidak
semestinya sampai mengganggu hubungan seksual dan menyebabkan penderitaan
pada individu. Fetishisme terbatas hanya khusus pada pria. Menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), kode
yang sesuai untuk fetishisme adalah F65.0. 10
Pelaku baru didiagnosa menderita fetishisme apabila memiliki kepuasan
seksual terhadap sesuatu sedikitnya 6 bulan. Dalam hal ini pelaku biasanya
mengalami tekanan jiwa secara klinis dan cenderung terisolir dari kehidupan
11

sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya dan bisa membahayakan baik
dirinya maupun orang lain.3
Adapun kriteria diagnostik untuk fetishisme menurut DSM-IV, Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders adalah:11
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lainnya.
3. Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada
“cross-dressing” (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme
transvestik atau alat-alat yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada
genital, misalnya sebuah vibrator.

2.6 Diagnosis Banding


Transvestisme Fetishistik
Transvestisme fetishistik adalah mengenakan pakaian dari lawan jenis
dengan tujuan untuk mencapai kepuasan seksual. Gangguan ini dibedakan dari
fetishisme simpleks dimana pakaian sebagai barang fetishistik bukan hanya
sekadar dikenakan, tetapi dikenakan juga untuk menciptakan penampilan
seseorang dari lawan jenis. Biasanya lebih dari satu barang yang dikenakan dan
sering kali suatu perlengkapan menyeluruh, termasuk rambut palsu dan tata rias
wajah.12

2.7 Penatalaksanaan
Psikoterapi
Ada dua perawatan terapi untuk fetishisme, yaitu terapi perilaku kognitif
dan psikoanalisis, meskipun perawatan terapi tersebut biasanya tidak diperlukan.
Dalam kebanyakan kasus, fetishisme menikmati perilaku mereka dan melihatnya
sebagai orientasi natural dari diri mereka, dengan tidak berniat mengubahnya.
12

Adapun kedua pengobatan tersebut dapat dilengkapi dengan perawatan terapi


tambahan lainnya.1, 13
a. Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah perilaku seseorang
tanpa menganalisis bagaimana dan mengapa hal tersebut muncul. Terapi perilaku
kognitif tidak berfokus pada etiologi dari fetishisme, terapi dibangun berdasarkan
studi empiris intervensi yang tidak menyusahkan fetishist. Hal ini didasarkan pada
gagasan bahwa fetishisme merupakan hasil kondisi atau penanaman kesan. Terapi
ini tidak mampu mengubah preferensi seks pasien, namun hanya bisa menekan
akibat perilaku yang tak diinginkan. 1, 13
Terapi perilaku kognitif terutama berfokus pada keselarasan pikiran pasien
ke pikiran-pikiran otomatis yang mempengaruhi suasana hati pasien dan perilaku.
Pasien menjadi lebih sadar akan pola pemikiran mereka, mereka belajar untuk
mengubah pikiran irrasional dan menyelesaikan kontradiksi yang mengarah pada
marabahaya. 1, 11
Satu terapi yang mungkin dilakukan adalah pembentukan kondisi aversif,
di mana pasien dikonfrontasikan dengan fetishnya, dan secepat dimulainya
rangsangan seks, dipaparkan pada stimulus yang tidak menyenangkan. Dilaporkan
bahwa pada saat lebih dini, stimuli sakit berupa kejutan listrik atau bau menyengat
telah digunakan sebagai stimulus aversif. Stimuli dapat diberikan oleh diri sendiri
dan digunakan oleh pasien bilamana mereka merasa bahwa mereka akan bertindak
atas dasar impulsnya. 1,11
Dewasa ini, stimulus aversif yang umum dipakai adalah foto-foto yang
menggambarkan hal yang tidak menyenangkan seperti menyakiti alat kelamin.
Variasi terapi ini adalah membantu pembentukan kondisi aversif, di mana pasien
dipaksa mengeluarkan gas abdominal (kentut) sebagai stimulus aversif.
Terapi lain yang mungkin dilakukan adalah teknik yang disebut pemikiran
terhenti (thought stop), di mana ahli terapi meminta pasien memikirkan fetishnya,
dan tiba-tiba berteriak "berhenti!". Pasien merasa tersakiti, jalur pemikirannya
rusak. Setelah menganalisis efek kejut mendadak secara bersamaan, ahli terapi
lalu mengajarkan pasien penggunaan teknik oleh diri sendiri untuk menginterupsi
13

pemikiran tentang fetishnya dan selanjutnya mencegah perilaku yang tidak


diinginkan.3

b. Psikoanalisis-Teori Sigmund Freud


Terapi psikoanalisis ini berupaya untuk menempatkan pengalaman trauma
bawah sadar yang menyebabkan awal timbulnya fetishisme. Dengan membawa
pengetahuan bawah sadar pada suara hati, lalu mendorong pasien mampu bekerja
dengan traumanya secara rasional dan emosional, ia akan terbebas dari
masalahnya. Tidak seperti halnya terapi kognitif, psikoanalisis ini menangani
penyebabnya itu sendiri.3
Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan pada analisis proses ini,
mencakup terapi bicara, analisis mimpi, dan terapi bermain. Mana metode yang
akan dipilih tergantung pada permasalahan itu sendiri, sikap dan reaksi pasien
terhadap metode tertentu, dan edukasi dan preferensi ahli terapi.3
Ditekankan bahwa dalam psikoanalisis, fetish adalah hal terakhir yang
dilihat anak kecil sebelum menemukan bahwa wanita tidak memiliki penis.
Rangsangan erotis dari observasi pertama sang anak terhadap anak perempuan
atau wanita bertelanjang menjadi traumatis ketika ia menemukan bahwa hal
tersebut adalah ancaman yang nyata. Apa yang menyebabkan rangsangannya
meningkat tiba-tiba berubah menjadi hal yang menyeramkan.3
Sang anak lalu merasakan amat mendalam terhadap momen meningkatnya
rangsangan tepat sebelum trauma terjadi. Hal ini biasanya berupa pakaian dalam
atau kaki, namun bisa juga berupa apa saja. Pada defenisi yang lebih ketat,
menampilkan alat seksual kedua payudara dan pantat bukan merupakan fetish.3

2.8 Psikofarmaka
Berbagai obat farmasi yang tersedia, yang menghambat produksi hormon
steroid, terutama hormon testosteron pada laki-laki dan hormon estrogen pada
perempuan. Dengan menghambat tingkat hormon seks steroid, hasrat seksual
menjadi berkurang. Jadi secara teori, seseorang bisa mendapatkan kemampuan
untuk mengendalikan fetish mereka disertai dengan proses pemikiran yang cukup
14

tanpa terganggu oleh rangsangan seksual. Selain itu, bantuan dan motivasi orang
lain dalam kehidupan sehari-hari mereka, memungkinkan mereka untuk
mengabaikan fetish dan kembali ke rutinitas sehari-hari.13
Penelitian lain mengasumsikan bahwa fetish menyerupai gangguan
obsesif-kompulsif sehingga gangguan ini dapat teratasi dengan penggunaan obat-
obatan psikiatri (inhibitor reuptake serotonin dan dopamine blocker) untuk
mengendalikan parafilia termasuk fetishisme yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk berfungsi.13 Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil positif
dalam studi kasus tunggal dengan beberapa obat, salah satunya adalah obat
topiramate yaitu suatu obat antikonvulsan baru dan berguna dalam beberapa kasus
fetishisme. Perawatan fisik melalui psikofarmaka cocok untuk mendukung salah
satu metode psikologis.1
Hal ini terbukti dari laporan kasus Syi’ah et al yang melaporkan seorang
pria berumur 23 tahun memiliki sifat fetishisme dengan objek kaki perempuan
dan sepatu. Dia akan merasa senang secara seksual dengan melihat atau mencium
kaki perempuan dan sepatu. Ketika psikoterapi pada individu tersebut tidak
ditemukan efektif, ia diberikan pengobatan dengan topiramate (200 mg per hari).
Dalam waktu 6 bulan gejalanya fetishisme berkurang. Tidak ada yang signifikan
efek samping.13
Jadi, terapi pengobatan hanya sangat diperlukan untuk fetishisme seksual
yang ekstrim yang berarti bahwa seseorang tidak dapat secara seksual mencapai
kepuasan tanpa melakukan fetishisme. Obat psikoaktif adalah bentuk utama dari
pengobatan.

2.9 Prognosis
Prognosis buruk untuk fetishisme adalah berhubungan dengan onset usia
yang awal, tingginya frekuensi tindakan, tidak ada perasaan bersalah atau malu
terhadap tindakan tersebut, dan penyalahgunaan zat. Perjalanan penyakit dan
prognosis adalah baik jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan
jika pasien datang berobat sendiri, bukannya dikirim oleh badan hukum.11
15

BAB III
KESIMPULAN

Fetishisme adalah kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan seksual


hebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang dipengaruhi
oleh objek yang bukan manusia. Pada fetishisme, dorongan seksual terfokus pada
benda atau bagian tubuh (seperti, sepatu, sarung tangan, celana dalam, atau
stoking) yang secara mendalam dihubungkan dengan tubuh manusia. Menurut
beberapa ahli kejiwaan, hasrat fetish bisa timbul karena pengalaman traumatik
dari penderita, misalnya salah satu orang yang sangat dia sayang meninggal, dan
beberapa tahun kemudian dia bertemu seseorang yang memiliki bibir yang sama
dengan orang yang dia sayang itu. Namun banyak juga yang mengatakan bahwa
fetishisme itu muncul karena adanya faktor alami dari otak si penderita yang
mengingat terus menerus bagian/objek/ kegiatan orang yang disayanginnya.
Penderita kelainan Fetishisme sering masturbasi sambil memegang atau
menggosok objek fetish atau mungkin meminta pasangan seksual untuk memakai
objek fetish dalam hubungan seksual mereka.
Adapun kriteria diagnostik untuk fetishisme menurut DSM-IV, Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders adalah:
1. Selama waktu sekurangnya 6 bulan terdapat khayalan yang merangsang
secara seksual, dorongan seksual, atau perilaku yang berulang dan kuat
berupa pemakaian benda-benda mati (misalnya, pakaian dalam wanita)
2. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku yang menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lainnya.
3. Objek fetish bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada
“cross-dressing” (berpakaian lawan jenis) seperti pada fetishisme
transvestik atau alat-alat yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada
genital, misalnya sebuah vibrator.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggrawal A. Forensic and Medico-legal Aspects of Sexual Crimes and


Unusual Sexual Practices. United states of America: CRC press. 2009;
Chater 5th; 109-23
2. Scorolli C, Ghirlanda S, Enquist M, Zattoni S, Jannini EA. Relative
prevalence of different fetishes. Int J Impot Res. 2007 Jul-Aug;19(4):432-
7.
3. Webster, L., Disorders of sexual preference and gender identity, in
Psychosexual Medicine - An Introduction, Skrine, R. and Montford, H.,
Eds., Arnold, London, 2001, chap. 15
4. Pitcher, D., Fetishism, in Principles and Practice of Forensic Psychiatry,
Bluglass, R. and Bowden, P., Eds., Churchill Livingstone, Edinburgh,
1990, chap. VIII.3
5. Cetinkava H, Domian M. Sexual fetishism in a quail (Coturnix japonica)
model system: test of reproductive success. J Comp Psychol. 2006 Nov
120(4):427–33.
6. Canadian Legal Information Institute. Criminal Code of Canada. Available
from : http://www.canlii.org/ca/sta/c-46/
7. Cetinkava H, Domian M. Sexual fetishism in a quail (Coturnix japonica)
model system: test of reproductive success. J Comp Psychol. 2006 Nov
120(4):427–33
8. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th ed. Text rev. American Psychiatric Association,
Washington DC, 2000
9. Sadock, BJ. Kaplan & Sadock’s Synopsis Of Psychiatry 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.p.705-14
10. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta: Bina Rupa Aksara. 2001.
11. ICD-10 diagnostic code for fetishism. Available from:
http://www.who.int/classifications/apps/icd/icd10online/?gf60.htm+f65
17

12. Shiah IS, Chao CY, Mao WC, Chuang YJ. Treatment of paraphilic sexual
disorder: the use of topiramate in fetishism. Int Clin Psychopharmacol.
2006 Jul;21(4):241-3.

Você também pode gostar