Você está na página 1de 2

Aliran Jabariyah

- Tokoh-tokoh aliran Jabariah, antara lain:

1. Ja’d Bin Dirham

Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh
Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri

2. Jahm bin Shafwan

Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan
Bani Ummayah

- Diantara ajaran Jabariyah adalah :

1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya
baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama
penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8. Bahwa Alqur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah

- SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN JABARIYAH


Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
faktor. Antara lain :
1. Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa
keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan
Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah.
Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain
politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa
pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan
"Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya
golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm
bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula
mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua
perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah
disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang
pertama mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut
sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan
meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya
ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan
Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum
Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok
ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut
segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-
Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan
juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan
terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri
tanpa adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham
penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan
pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari
kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah
adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah
berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena
terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.

2. Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab.
Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh
besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang
ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa
Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme.

Você também pode gostar