Você está na página 1de 7

Analisa Puisi

Karya: Chairil Anwar

AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu


Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri


Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Pembahasan
I. Unsur Intrinsik
a. Majas:
- Kalimat -> Aku ini binatang jalang
Nama majas -> Disfemisme
Alasan : Karena mengungkapkan pernyataan tabu
- Kalimat -> Aku tetap meradang menerjang
Nama majas -> Aliterasi
Alasan : Karena ada repetisi konsonan meradang menerjang pada baris tersebut.
- Kalimat –> Hingga hilang pedih peri
Nama majas -> Aliterasi
Alasan : Karena ada pengulangan konsonan hingga hilang pada baris tersebut.
- Kalimat -> Aku mau hidup seribu tahun lagi
Nama majas -> Hiperbola
Alasan : Karena tidak mungkin seorang manusia mampu hidup sampai seribu tahun.
- Kalimat : Tak perlu sedu sedan itu
Nama majas -> Alusio
Alasan Karena terdapat ungkapan “sedu sedan” yang artinya bersedih.

2. Diksi

Konotatif Denotatif

Merayu Membujuk

Sedu sedan Bersedih

Binatang jalang Orang

Kumpulannya terbuang Perkumpulan yang dikucilkan

Pedih peri Pedih dan perih

3. Rima
- Baris 1-2 :
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Rima : tak sempurna (rima akhir)
Alasan : akhiran -ku dan –yu
- Baris 5-6 :
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Rima : tak sempurna (rima akhir)
Alasan : akhiran -lang dan -ang
- Baris ke-7:
Biar peluru menembus kulitku
Rima : tak sempurna
Alasan : akhiran -ru dan -ku
- Baris ke-8:
Aku tetap meradang menerjang
Rima : alitrasi
Alasan : rima terdapat pada awal kata-kata pada baris yang sama
- Baris ke-11:
Hingga hilang pedih peri
Rima : alitrasi
Alasan : rima terdapat pada awal kata-kata pada baris yang sama
- Bait ke-4:
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Rima : tak sempurna, terbuka, rima akhir, rima tegak

4. Amanat

• Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang,


pantang mundur meskipun rintangan
menghadang.
• Manusia harus berani mengakui keburukan
dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya
saja.
• Manusia harus mempunyai semangat untuk
maju dalam berkarya agar pikiran dan
semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya
5. Jenis puisi
Puisi : Angkatan ‘45
Alasan : - Bercorak ekspresionisme
- Lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa
- Bertema revolusi
- Bentuk puisi lebih bebas

6. Isi Puisi
Sajak AKU ini, banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat pada zaman itu.
Bahkan sebagai akibat dari lahirnya sajak AKU ini, Chairil Anwar ditangkap dan
dipenjara oleh Kompetai Jepang. Hal ini karena sajaknya terkesan membangkang
terhadap pemerintahan Jepang

II. Unsur Ekstrinsik


a) Biografi penulis
Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal
dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya
masih mrmpunyai pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama
Indonesia. Chairil dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya
bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil
mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saai itu, ia baru lulus SMA.
Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar
sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak satu pun
puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil
menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi waktu
luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama, seperti
Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan
Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara
tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini
memberikan kesan lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka,
salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil
melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang pedih sebagaimana yang tertulis dalam
kutipan (1).
(1) Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/
Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan
terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai
tanda bahwa ia yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering
kali kehilangan sisi liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya
pada ibunya.
Chairil Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar.
Di masa itu, ia sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru,
namun ia tidak menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah
pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra HB. Jassin. Seperti yang ditulis oleh
Jassin sendiri dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya,
Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar
ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya
ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam
mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang
menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak
pernah diam.
Jassin juga pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, “Kami
pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui
kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana
kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis
Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama
gadis itu masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang
menjadi pilihannya untuk menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak
berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah,
Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil pun
menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada
beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa
TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebab kematiannya. Umur Chairil
memang pendek, 27 tahun. Kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi
perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk
sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah
yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar yang menjadi notaris di bekasi harus
meminta maaf saat mengenang kematian ayahnya di tahun 1999. Ia berkata, “Saya
minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia
Chairil Anwar”, (Haniey:2007).
Tak sedikit buku-buku karangan Chairil semasa hidupnya, buku-buku itu adalah
sebagai berikut. Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan
yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (1950, dengan Asrul Sani dan Rivai Apin),
Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata
penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998), Pulanglah
Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), dan
terjemahan karya John Steinbeck.
b) Psikologi Penulis
Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda.
Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi
‘kutahu’. Pada kata ‘hingga hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan
peri’. Kedua versi tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu
versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan
Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang,
maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang
baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil
Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair
Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-
penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut
pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih
cenderung mendayu-dayu.
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk
dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari
puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang
semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri.
Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (2).
(2) Kalau sampai waktuku
Waktu yang dimaksud dalam kutipan (2) adalah sampaian dari waktu atau sebuah
tujuan yang dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas, bahwa Chairil
adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi
luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan
bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata ‘kalau’
yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa saat
ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda
dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.
(3) 'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Pada kutipan (3) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa
dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai
kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak
menanggapi pembuicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang
dicariny selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik
selanjutnya pada kutipan (4).
(4) Tidak juga kau
Kau yang dimaksud dalam kutipan (4) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini.
Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah
mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik
atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.
(5) Tidak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya
terbuang
Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju
Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil
hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini
menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya
suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut
Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.
Dalam kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin
menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri,
tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena
itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah
ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan
dalam kumpulannya.
(6) Biar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlariBerlari
Hingga hilang pedih peri
Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Pistol seringkali digunakan
untuk melukai seseorang. Pada kutipan (6), bait tersebut tergambar bahwa Chairil
sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak
mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam
keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang
menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga
menunjukkan sikap Chairik yang tak mau menyerah.
(7) Dan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi
Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu
ketidakpedulian. Pada kutipan (7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut.
Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan.
Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli.
Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-
cari apa yang diinginkannya.

Novita Widia Rahayu


XII IPA 6/28

Você também pode gostar