Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus
yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati.1
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati
piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang
paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal
juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver,
bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama
ditemukan oleh Hippocrates (400SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada
tahun 1936.1
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status
ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang
sedang berkembang AHA lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan
AHP. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek
epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan
serta prognosisnya.2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR
√ Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah
banyak.
Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi
fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa faktor
koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh prosesmetabolisme hati, untuk
membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
BAB III
ABSES HATI
A. DEFINISI
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus
yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam
parenkim hati.1
B. EPIDEMIOLOGI
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik
dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar diseluruh dunia, dan
terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene/sanitasi yang kurang. Secara
epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di
RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi
antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih
dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke - 6.1
Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi.
Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih
mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara 0,29-1,47%
sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita.2 Hampir 10% penduduk dunia
terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang
memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar
0,17% sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15%
pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita
berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita
amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4 - 8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang
sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada
anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan
tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.2,7
C. ETIOLOGI
1. Abses Hati Amebik (AHA)
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-
patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat
menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba
histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis
Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya
virulensi berbagai strain Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan
kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.(2)
D. PATOGENESIS
1. Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang
dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui
seks oral ataupun anal.11,12
E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan
penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen
usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai
oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit
yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus.
Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease,
sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ
secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa
memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di
hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan
membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang
disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan
granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%)
karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena
portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan
aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya
penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ” achovy paste” dan berwarna
coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar sertasel darah merah yang
dicerna.2,8,12,13
E. GAMBARAN KLINIS
1. Abses Hepar Amebik 2,8,9,13
√ Gejala :
a. Demam intermitten
b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat
menjalar hingga bahu kanan dan daerah scapula.
c. Anoreksia
d. Nausea
e. Vomitus
f. Keringat malam
g. Berat badan menurun
h. Batuk
i. Pembengkakan perut kanan atas
j. Ikterus
k. Buang air besar berdarah
l. Kadang ditemukan riwayat diare
m. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
F. DIAGNOSIS
1. Abses Hati Amebik2,9
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit
amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan
jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri
tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi
disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan
USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat
menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau
criteria Lamont dan Pooler.
a. Kriteria Sherlock (1969)
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah
diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma, efusi pleura, kolaps
paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak.
Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas
hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas.
USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau
MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada
gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal
bersentuhan dengankapsul hati dan peninggian sonic distal.
Gambaran CT scan: 85% berupa massa soliter relatif besar, monolokular,
prakontras tampak sebagai massahipodens berbatas suram. Densitas cairan abses
berkisar 10-20 H.U. Pascakontras tampak penyengatan pada dinding abses yang
tebal. Septa terlihat pada 30% kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase
porta. 2
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses
lainnya terdapat pada segmen VII dan VIII.8
b. Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivate diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3x500mg/hari selama 10 hari atau 1-
1,5mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE
relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot
jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung,
kehamilan, ginjal, dan anak-anak.
c. Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1
g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
√ Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut diatas
tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur
atau bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada
kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan
USG.
√ Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman
ruptur atau diameter abses >7cm, respons kemoterapi kurang,
infeksicampuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada
tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase
perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum,
dan perikardial.
√ Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
membaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah
dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga
untuk perdarahan yang jarang terjadi tetapi mengancam jiwa penderita,
disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena
abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk
tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil.
Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi
terjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
√ Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3gr/hari selama 3 minggu
diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri
dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis
bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi
ketiga seperti cefoperazone 1-2gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob
terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
√ Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka
terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif.
Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus
abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi
komputer.
√ Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik,
aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.
I. KOMPLIKASI
1. Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur
dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit.
Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau
drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi.
Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya
abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta
penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial
dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung
amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung
biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat
menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ
peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah
dilaporkan terjadi sebagai komplikasi.12,13,14
J. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai
sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus
yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba,
mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan
umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau
sindroma hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh
virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya
komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal,
serta infeksi peritonial dan perikardium.2,13
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat
dengan USG, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama
yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau
hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis
abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke
paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta
yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati.
Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai
bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan
dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan
diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus,
hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.1,2
K. DIAGNOSIS BANDING18
DIAGNOSIS BANDING Manifestasi Klinis
Hepatoma √ Merupakan tumor ganas hati primer.
√ Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut
kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan
atas.
√ Pemeriksaaan fisik: hepatomegali berbenjol-
benjol,stigmata penyakit hati kronik.
√ Laboratorium: peningkatan AFP, PIVKA II,
alkalifosatase
√ USG: lesi lokal/ difus di hati
Kolesistitis akut √ Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat
infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
√ Anamnesis: nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan,
demam.
√ Pemeriksaan fisik: teraba massa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal,
Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan
adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik.
√ Laboratorium: leukositosis
√ USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula Sludge atau batu.
BAB IV
KESIMPULAN
Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan bakteri, jamur, maupun
nekrosis steril yang dapat masuk melalui kandung kemih yang terinfeksi dan infeksi
dalam perut lainnya. Abses hati dibedakan menjadi 2 yaitu abses hati amebik dan abses
hati piogenik. Adapun gejala-gejala yang sering timbul diantaranya demam tinggi, nyeri
pada kuadran kanan atas abdomen, hepatomegali, ikterus. Diagnosis yang di pakai sama
seperti penyakit lain yaitu pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan laboratorium.
Terapi yang diberikan adalah antibiotika spektrum luas, aspirasi cairan abses, drainase,
laparatomi dan hepatektomi. Abses hepar dapat disembuhkan bila ditangani dengan cara
yang tepat dalam waktu yang secepatnya, oleh karenanya sangatlah penting untuk dapat
mendiagnosanya sedini mungkin.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Wenas, Nelly Tendean. Waleleng, B.J. Abses Hati Piogenik. Dalam: Sudoyo, Aru
W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-
461.
2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.Anatomi
hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic Resonance Imaging
(MRI) Hati. Abses hati. Penyakit Hati Parasit. Dalam: Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul.
Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi
Pertama. Jakarta: Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
3. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam:
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Vol.1 Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal 472-476.
4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati Sebagai Suatu Organ. Dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.
5. Sherwood, Lauralee. Sistem Pencernaan. Dalam: Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC. 2001. Hal 565.
6. Keshav, Satish. Structure and Function. Dalam: The Gastrointestinal System at A
Glance. United Kingdom: Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-28.
7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, Biliary
Tract And Pancreas. Protozoal and Helminthic Infections. Dalam: Papadakis,
Maxine A. Mcphee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current Medical Diagnosis
and Treatment 2008 Forty-Seventh Edition. Jakarta: PT.Soho Industri Pharmasi.
2008. Page 596, 1304-1306.
8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver Abscesses and Hydatid Disease. Dalam:
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain: Graphycems,
Navarra. 2001. Chapter 40-42.
9. Soedarto. Penyakit Protozoa. Dalam: Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya:
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic Liver Abcesses. January 23th, 2009. November 29th,
2014. Available From http://Emedicine.Medscape.Com/Article/193182-
Overview#Showall.
11. Crawford, James M. Hati dan Saluran Empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins.
Buku Ajar Patologi Vol.2 Edisi 7. Jakarta: EGC. 2007. Hal 684.
12. Fauci. Et All. Infectious Disease. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine
17th Edition. USA. 2008. Chapter 202.
13. Brailita, Daniel. Amebic Liver Abscesses. September 19th, 2008. November 29th,
2014. Available From http://Emedicine.Medscape.Com/Article/183920-
Overview#Showall.
14. Junita, Arini. Widita,Haris. Soemohardjo, Soewignjo. Beberapa Kasus Abses Hati
Amuba. Dalam: Jurnal Penyakit Dalam Vol. 7 Nomor 2. Mei 2006. 29 November,
2014. Diunduh Dari: Http://Ejournal.Unud.Ac.Id/Abstrak/Beberapa%20kasus
%20abses%20hati%20amuba%20(Dr%20arini).Pdf.
15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The Digestive System. Dalam: Nelson
Textbook of Pediatric 18th Edition. USA. 2007. Chapter 356.
16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi Hati. Dalam: Rasad, Sjahriar. Radiologi
Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469.
17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam: Gunawan, Sulistiagan. Setiabudy,
Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit UI. 2008.
Hal 551-554.
18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ikaprasetya.
Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses Hati. Kolesistitis Akut. Dalam: Panduan Pelayanan
Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-324.
19. Almatsier, Sunita. Diet Penyakit Hati dan Kandung Empedu. Dalam: Penuntun Diet
Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.