Você está na página 1de 35

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Hemato-Onkologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

Disusun oleh:
Lili Widianto (1410029002)

Pembimbing:
dr. William S. Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Februari 2015
Tutorial Klinik

ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


LILI WIDIANTO
1410029002

Menyetujui,

dr. William S. Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Februari 2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
yang berjudul “ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. William S. Tjeng, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, ”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki
laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
"Jangan percaya pada sesuatu hanya karena anda telah mendengarnya. Jangan
percaya pada sesuatu hanya karena diucapkan dan dikabarkan oleh banyak
orang. Jangan percaya pada sesuatu hanya karena ditemukan tertulis dalam
buku-buku agama Anda. Jangan percaya pada apapun hanya berdasarkan
otoritas guru dan orang tua. Jangan percaya pada tradisi karena mereka telah
diwariskan selama beberapa generasi. Tapi setelah observasi dan
analisis, ketika Anda menemukan yang sejalan dengan alasan dan kondisi
untuk kebaikan dan ada manfaat, maka terimalah dan hiduplah dengan itu."
-Siddharta Gautama-

Februari, 2015

Penulis
BAB 1

KASUS

Identitas pasien

- Nama : An. C
- Jenis kelamin : Perempuan
- Umur : 3 tahun 11 bulan
- Alamat : Kesejahteraan Rt. 68
- Anak ke : 2 dari 2 saudara
- MRS : 25 Januari 2015
- No. RM : 15176166
- Kamar : Melati 03

Identitas Orang Tua

- Nama Ayah : Tn. M


- Umur : 33 tahun
- Alamat : Kesejahteraan Rt. 68
- Pekerjaan : Swasta
- Ayah perkawinan ke :1
- Riwayat kesehatan : Tidak ada penyakit

- Nama Ibu : Ny. S


- Umur : 30 tahun
- Alamat : Kesejahteraan Rt. 68
- Pekerjaan : IRT
- Ibu perkawinan ke :1
- Riwayat kesehatan : Tidak ada penyakit
Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesa pada tanggal 25 Januari


2015 dengan ibu kandung pasien.

Keluhan Utama :

Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengalami demam tinggi kurang lebih 5 hari. Pasien juga


mengalami perdarahan pada gusi disertai bintik-bintik merah dan lebam pada kulit.
Pasien juga sering mengeluhkan badannya capek dan minta dipijat oleh ibunya.
Sebelum MRS di RS X pasien tampak lemas tidak seperti biasanya.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pada bulan November pasien MRS di Bakti Nugraha dengan keluhan


demam tinggi yang tidak mereda setelah diberikan parasetamol. Pada saat itu hasil
lab pasien menunjukkan trombosit yang rendah sehingga didiagnosis demam
berdarah dengue. Dua minggu setelah KRS pasien kembali MRS di RS Dirgahayu
dengan keluhan pucat. Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan kadar Hb
rendah dan trombosit yang rendah. Pada saat itu pasien mendapatkan transfuse PRC
dan TC 10 unit. Sejak saat itu pasien diduga mengalami kelainan darah dan
disarankan segera kembali ke RS apabila terdapat keluhan demam dan tanda
perdarahan.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tante dari ayah kandung pasien didiagnosa kanker getah bening.


Riwayat Saudara-Saudaranya :

Hamil Kondisi Jenis Usia Sehat/tidak Umur Sebab


ke saat persalinan (tahun) meninggal meninggal
lahir
1 Aterm Spontan 12 Sehat - -

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :

Berat badan lahir : 3100 gram

Panjang badan lahir : 49 cm

Berat badan sekarang : 11,7 kg

Panjang badan sekarang : 91 cm

Gigi keluar : 4 bulan

Tersenyum : 2 bulan

Miring : 1 bulan

Tengkurap : 1 bulan

Duduk : 4 bulan

Merangkak : 4 bulan

Berdiri : 11 bulan

Berjalan : 12 bulan

Berbicara 2 suku kata : lupa

Makan dan minum anak

ASI : Tidak minum ASI

Susu sapi : sejak lahir hingga saat ini


Bubur susu :-

Tim saring :-

Buah : semua jenis/ umur 6 bulan

Lauk dan makan padat : sudah bisa

Pemeliharaan Prenatal

Periksa di : RS Dirgahayu

Penyakit Kehamilan :-

Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin + Zat Besi

Riwayat Kelahiran :

Lahir di : RS Dirgahayu

Persalinan ditolong oleh : Dokter Spesialis

Berapa bulan dalam kandungan : 10 bulan

Jenis partus : Sectio caesaria dengan indikasi perdarahan

Pemeliharaan postnatal :

Periksa di : Dokter Spesialis

Keadaan anak : Sehat

Keluarga berencana : Ya
IMUNISASI

Imunisasi Usia saat imunisasi


I II III IV Booster I Booster II
BCG + //////// /////// /////// /////// ///////
Polio + + + + - -
Campak + + /////// /////// /////// ///////
DPT + + + /////// - -
Hepatitis B + + + /////// - -

PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 17 September 2014

Kesan umum : sakit sedang

Kesadaran : E4V5M6

Tanda Vital

 Frekuensi nadi : 100 x/menit, isi cukup, reguler


 Frekuensi napas : SDE (menangis)
 Temperatur : 38,2o C per axila
Antropometri

Berat badan : 11,7 kg

Panjang Badan : 91 cm

Status Gizi : Gizi baik (-1 sd 0)

Kepala

Rambut : Hitam

Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), Refleks


Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3mm), mata cowong (-/-)

Mulut : Lidah kotor (-),faring Hiperemis (-), mukosa bibir basah,


pembesaran Tonsil (-/-), gusi berdarah
Leher

Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB submandibular (+/+),

Thoraks

Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,


retraksi (-), Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordis teraba icv V


MCLS

Perkusi : Sonor di semua lapangan paru

Batas jantung

Kiri : ICS V midclavicula line sinistra

Kanan : ICS III para sternal line dextra

Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler,


bising (-)

Abdomen

Inspeksi : Tampak datar

Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-)


splenomegali (-), turgor kulit kembali cepat

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-)
Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap (25/1/15) Darah lengkap (27/1/15) Nilai normal


Leukosit 145.800 Leukosit 97.560 4.800-10.800 /uL
Hb 7.6 Hb 9.3 11,3-14,1 gr/dl
MCV 90.9 MCV 85.2 80-100
MCH 28.7 MCH 28.1 27-34
MCHC 31.6 MCHC 33 32-36
Hematokrit 24.1 % Hematokrit 28.2% 33-41 %
Platelet 10.000 Platelet 12.000 150.000-450.000
Darah lengkap (29/1/15) Darah lengkap (30/1/15) Nilai normal
Leukosit 19.580 Leukosit 39.010 4.800-10.800 /uL
Hb 6.7 Hb 7.3 11,3-14,1 gr/dl
MCV 84 MCV 85.7 80-100
MCH 28 MCH 28.3 27-34
MCHC 28.9 MCHC 33.0 32-36
Hematokrit 20 % Hematokrit 22.1% 33-41 %
Platelet 56.000 Platelet 105.000 150.000-450.000

Hapusan Darah Tepi (25/1/15)


Eritrosit Normokrom anisositosis
Leukosit Kesan jumlah sangat meningkat, limfositosis, sel blast (+)
95%
Trombosit Jumlah sangat menurun
Kesan Bisitoenia dengan leukositosis berat dengan adanya sel
blast (+) 95% es susp ALL , splenomegali ?
Saran Retikulosit, BMP

Kimia Darah (27/1/15)


GDS 84
SGOT 31
SGPT 19
UR 20.7
CR 0.5
Elektrolit UL
25/1/15 Dbn
Na : 138
K : 4.4
Cl : 105
27/1/15
Na : 138
K : 4.6
Cl : 109

29/1/15

Darah tepi

Limfoblast 90%

Eritrosit : normokrom anisositosis, normoblast 1/100 leukosit

Leukosit : kesan meningkat dengan limfoblast ± 90%

Trombosit : kesan menurun

Bone Marrow Punction

Selularitas : hiperseluler

M:E : 1:1

Eritropoeisis : kesan sangat menurun

Granulopoeisis : kesan sangat menurun

Megakariopoeis : kesan sangat menurun

Ditemukan limfoblast ± 98% pada sumsum tulang


Kesimpulan : ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) L-1

Diagnosis Kerja : Acute Lymphoblastik Leukemia L-1

Diagnosis Lain :-

Diagnosis Komplikasi :-

Penatalaksanaan IGD

- IVFD D51/2NS 12 tpm


- Inj. Cefotaxime 3x350 mg (skin test)
- Paracetamol syrup 3 x cth I
- Transfusi WB 100 cc

Prognosis : Dubia ad Malam

Follow Up

Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning


Hari ke- 1 S: Gusi berdarah A: Suspek ALL
26-01-2015 P:
Melati - Hiperhidrasi
O: T:37.4 Nadi kuat angkat RR
- Inj. Cefotaxime 3x350 mg
SDE, Ane (+), ikt (-), Rh (-),
(skin test)
Wh (-), BU(+)N, NT(-),
- Paracetamol syrup 3 x cth
organomegali (-) petekia (+)
I
- PostTransfusi WB 100 cc
- Pro BMP 29/1/15

Hari ke-2 S: Gusi Berdarah, batuk, belum A: Suspek ALL


27-01-2015 BAB P:
Melati O: T:37.4 Nadi kuat angkat RR - IVFD D51/2NS 12 tpm
SDE, Ane (-), ikt (-), Rh (-), - Inj. Cefotaxime 3x350 mg
Wh (-), BU(+)N, NT(-), (skin test)
organomegali (-) petekia (+) - Paracetamol syrup 3 x cth
I
- Transfusi TC 2 unit
Pro BMP
Hari ke-3 S: Gusi berdarah (-), demam td A: Suspek ALL
28-01-2015 malam, keluar cairan dari P:
Melati telinga S - IVFD D51/2NS 12 tpm
- Inj. Cefotaxime 3x350 mg
O: T:36.8 Nadi kuat angkat RR (skin test)
SDE, Ane (-), tonsil - Paracetamol syrup 3 x cth
(membesar), ikt (-), Rh (-), I
Wh (-), BU(+)N, NT(-), - Konsul THT
organomegali (-) petekia (+) Pro BMP
Hari ke-4 S: Gusi berdarah (-), keluar A: Suspek ALL
29-01-2015 cairan bening dari telinga S P:
Melati - IVFD D51/2NS 12 tpm
O: T:376.8 Nadi kuat angkat RR - Inj. Cefotaxime 3x350 mg
SDE, Ane (-), tonsil (skin test)
(membesar), ikt (-), Rh (-), - Paracetamol syrup 3 x cth
Wh (-), BU(+)N, NT(-), I
organomegali (-) petekia (+) BMP (+)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. Leukimia Limfoblastik Akut


2.1 Definisi dan Epidemiologi

Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada anak


merupakan 35 % dari kanker anak. Delapan puluh persen merupakan Leukemia
Limphoblastik Akut (LLA) dan 20 % Leukemia mieloblastik akut (LMA) .
Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi
progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang
dikenal sebagai limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak
dibawah usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak setiap
tahunnya. Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua
penderita LLA, 35 % menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang
berhubungan dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan
dan 20 % mengalami event- free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga
menggambarkan situasi di Indonesia secara umum (Indonesian ALL Childhood
Protocol, 2013).

Insiden ALL di Amerika sebesar 3.7-4.9 kasus per 100.000 anak dengan
usia 0-14 tahun (Vikramjit, 2014). Puncak insiden ALL terjadi pada usia 2-5 tahun
(Ching, et al, 2008). Insiden penyakit ini akan berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Dengan kemajuan teknik diagnosis dan terapi, angka
kesembuhan pada anak yang menderita ALL saat ini mencapai 90% (Ribera, 2009).
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada kulit putih dibandingkan kulit hitam
(Vikramjit, 2014).

2.2 Patogenesis

Menurut Permono (2005), meskipun LLA sering dihubungkan dengan


sindroma gangguan genetik, namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih
belum diketahui. Faktor lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA
adalah pemaparan terhadap radiasi ion dan elektromagnetik.Selain itu beberapa
jenis virus juga berkaitan dengan insiden LLA, terutama infeksi virus yang terjadi
pada masa prenatal seperti virus influenza dan varicella. Leukemia limfoblastik
akut juga dapat terjadi pada anak dengan gangguan imnunodefisiensi kongenital
seperti Wiscot-Aldrich Syndrome, congenital Hypogammaglobulinemia danAtaxia-
Telangiectasia.
Virus penyebab LLA akan mudah masuk ke tubuh manusia jika struktur
antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Struktur antigen manusia
terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput
lendir yang terletak di permukaan tubuh.World Health Association (WHO) telah
menetapkan istilah HL-A Human leucocyte locus A.Sistem HL-A individu ini
diturunkan menurut hukum genetika sehingga adanya peranan faktor ras dan
keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan (Permono & Bambang,
2005).
Menurut Anderson & Sylvia (2006), manifestasi klinis LLA adalah adanya
bukti anemia, pendarahan dan infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan
pendarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas,pembesaran
dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotieal hati limfa dan limfonudus.
Kemudian adanya peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi meningens,
seperti sakit kepala,muntah bahkan penurunan kesadaran.
Limfosit imatur berproliferasi dalam susunan tulang dan jaringan parenkim
dan mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya hematopoesis normal
terhambat mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan
trombosit.Pemeriksaanawal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap. Biasanya akan ditemukan leukositosis (leukosit>10.000/uL), neutropenia,
anemia dan trombositopenia. Pemeriksaan penunjang umumnya berupa apusan
darah tepi dan pemeriksaan biopsi sumsum tulang (Sugondo et al., 2007).

Pembagian LLA menurut sistem klasifikasi French American British (FAB)


berdasarkan atas morfologi:L1: Limfoblast kecil, sitoplasma sedikit, dan nukleolus
yang mencolok, merupakan kasus LLA terbesar pada anak, mencakup 85%.L2: Sel
limfoblas lebih besar daripada L1. Gambaran sel menunjukkan adanya
heterogenitas ukuran dengan nukleolus yang menonjol serta sitoplasma yang
banyak dan merupakan 14% kasus LLA pada anak.L3: Limfoblas besar, sitoplasma
basofilik. Terdapat vakuola pada sitoplasma dan menyerupai gambaran limfoma
Burkitt, L3 mencakup 1% kasus LLA pada anak (Hasyimzoem, 2014).

Patogenesis dari ALL merupakan sebuah proses yang kompleks dan


mencakup berbagai macam faktor (genetic, imun, lingukangan, dan obat). Terdapat
tiga hal utama yang merupakan kunci dari pathogenesis dari penyakit ini yaitu :
monoclonal origin yang proliferasi sel yang tidak terkontrol akibat self-stimulasi
secara terus-menerus pada reseptor pertumbuhan, tidak adanya respon untuk
memberikan sinyal inhibitor pertumbuhan, dan perpanjangan umur sel akibat dari
penurunan proses apoptosis (Galegos, 2013).

Gambar 2.1 Cell Origin and Evolution of a Cancer Stem Cell (Galegos, et al,
2013)
Gambar 2.2 Infection Based Model dalam Patogenesis ALL (Ching, et al,
2008)
Gambar 2.3 Distribusi Kelainan Genetik pada ALL (Galegos, et al, 2013)

2.3 Diagnosis

Diagnosis LLA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium


berupa karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum
tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American
British ). Persentase sel blast yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%.
Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan immunophenotyping (Indonesian ALL
Childhood Protocol, 2013).
Gambar 2.4 Gambaran Hapusan Darah dan BMP ALL – L1, L2, L3
(Pathologyoutlines, 2015)

2.4 Penatalaksanaan

Penatalaksaan ALL yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengacu pada
Protokol ALL yang diterbitkan oleh Indonesian Childhood ALL pada tahun 2013.
Penatalaksanaan ALL terbagi menjadi dua yaitu : persiapan sebelum mengawali
pemberian sitostatika kemudian dilanjutkan dengan pemberian sitostatika. Berikut
pembahasan lebih detail mengenai kedua tahapan tersebut.

2.4.1 Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika


Persiapan ini ditujukan untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut
karena pengrusakan oleh sel leukemia selama induksi. Awal terdiagnosis sebaiknya
pasien diberikan hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis 1-2
ml/kg/jam.
Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjadi
tanda sindrom lisis tumor diberikan terapi hiperhidrasi. Hidrasi dilakukan dengan
cairan parenteral glukosa 5% dalam 0,225% normal salin, sebanyak 2-3 kali
kebutuhan cairan rumatan atau 2-3 liter/m2/hari untuk mendapatkan diuresis
minimal 3 cc/kg/hari. Alkalinisasi urin dilakukan dengan menambahkan sodium
bikarbonat ke dalam cairan parenteral sebanyak 40-60 meq/L untuk
mempertahankan pH urin antara 7,0-7,5.2 Dengan kenaikkan pH urin tersebut
menyebabkan asam urat terionisasi sehingga mencegah pembentukan kristal asam
urat. Namun bila terjadi alkalinisasi yang berlebihan, dapat menyebabkan deposisi
kompleks kalsium-fosfat yang kemudian akan terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan ketat pH urin. Pemberian
allopurinol dengan dosis 200-300 mg/m2/ hari atau 10 mg/kgBB/hari ditujukan
untuk menurunkan konsentrasi asam urat plasma. Obat ini diberikan sampai
didapatkan pH urin mencapai sekitar 7,5 (Endang & Caroline, 2002).
Transfusi dianjurkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin> 10 g/dl
selama pelaksanaan kemoterapi. Catat berat badan guna mengontrol kelebihan
cairan, bila perlu beri furosemide. Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika
adalah > 8 g/dl. Namun setelah pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen
sel darah merah diberikan hingga kadar Hb mencapai > 10 g/dl (oksigenasi jaringan
dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 – 12 g/dl ) (untuk lebih jelasnya lihat
lampiran transfusi darah). Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit <
50.000/mm3, beri transfusikomponen trombosit.
Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction (IPF). Bila ada
trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan mutlak diberitransfusi konsentrat
trombosit. Jika trombositopenia berkepanjangan, dapat diberikan transfusi
trombositbersamaan tindakan intratekal (IT), atau segera setelah selesai melakukan
IT. Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang
disebabkan karena faktor koagulasi yang dibuktikan dengan pemanjangan dari jalur
intrinsic dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.
Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum memulai
kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus dipastikan, jangan
ragu menggunakan NGT (nasogastric tube). Pengendalian infeksi juga perlu
diperhatikan. Pengendalian infeksi ini meliputi :wajib mencuci tangan sebelum dan
sesudah memeriksa pasien, periksa rutindan menjaga kebersihan mulut dan mandi
sikat gigi,hindari terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok
gigi terlalu keras, tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti jamur
(utamanya derivat azol ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika
terdapat sepsis, pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal
3x24 jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan, pemberian
sitostatika bersamaan dengan antibiotika. Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan
antiseptik apapun. Kontrol ke dokter gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/
bebas dari fokus infeksi pada saat sakit dan tiap 6 bulan. Bila perlu konsul sejawat
ahli THT untuk mencari fokus infeksi. Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg
dosis tunggal atau 2x100 mg selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal;
pirantel pamoat 10-12,5 mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru
didiagnosis. Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan
20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu
merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari jerovecii,diberikan
segera setelah selesai fase konsolidasi. Pemeriksaan status gizi senantiasa dilakukan
pada awal pengobatan, setelah induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan
sebelum blok steroid. Pemeriksaan status nutrisi termasuk : anamnesa riwayat
tumbuh kembang, antropometri. Serta dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin, albumin SGOT, SGPT,
bilirubin direk, bilirubin total, asam urat, dan pH urin.

2.4.2 Pemberian Sitostatika


1. Fase Induksi
Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari prednisone
(PRED), vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan
methotrexate ( MTX ) intratekal. Prednisone digunakan pada Risiko Biasa (RB)
dan Risiko Tinggi (RT). Pada RB, window period diberikan dosis 60 mg/m2 per
oral dibagi dalam 3 dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40 mg/m2 selama
5 minggu (total 6 minggu). Setelah 5 minggu dosis harus diturunkan setiap 3 hari
menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42. Pada RT dosis
ditingkatkan secara bertahap. Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah
prednisone selesai, harus diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones
).

Gambar 2.5 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood
ALL, 2013)
Pada tanda bintang, bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai
denganminggu ke-5 protokol RT. Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan
liquor , terapi intratekal hanya menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada
pemeriksaan liquor,menggunakan MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ),
2x seminggu dilakukan sampai negatif 3x berturut-turut. Apabila terjadi relaps CNS
akan dikelola secara khusus. Dosis 30 mg/m2, bila tidak ada dapat diganti
Doxorubicin 20 mg/m.
Gambar 2.6 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood
ALL, 2013)
Vinkristin (VCR) :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam
10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR)intravena :
- untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28 dengan
dosis 30 mg/m2.

- untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28,
35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip IV
dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan Daunorubicin
dengan dosis 20 mg/m2.

L-Asparaginase (L-Asp) (jenis L-Asp E coli) :


- Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga
akhir minggu ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT

- Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian dalam
2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT
- Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya
meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda
dengan merk lain dari Asparaginase.

- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m
dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi dalam
syringe, ditambahkan 0,5 –1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak dikocok
agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.

- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20000 IU/m2/dosis.
- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase reinduksi.
- Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi trombosit
terlebih dahulu.

Metotreksat (MTX) triple drug intratekal.


- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28

- Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). Gunakan 3


ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Gambar 2.7 Dosis MTX (Indonesian Childhood ALL, 2013)

Beberapa hal yang perlu diingat :


1. Luas permukaan tubuh bisa dilihat dari tabel perkiraan permukaan tubuh
berdasarkan dari BB dan TB dari Gehan dan George Pada bayi (anak dibawah
1 tahun dengan BB < 10kg), dosis yang diberikan berdasarkan formula sbb ;
Dosis =dosis dalam mg/m2=.....mg/kg
30
BB < 6 kg : reduksi 50%
BB 6 -10 kg/< 1 tahun : reduksi 30%
2. Ikutilah protokol secara tepat selam induksi ini. Lekopeni atau trombositopeni
bukan merupakan indikasi untuk mengurangi dosis VCR, deksametason dan L-
Asp pada fase ini. Begitu juga dosis DNR pada risiko tinggi harus diberikan
secara penuh terlepas dari parameter hematologi.

3. Ketika terjadi reaksi alergi terhadap L-Asparaginase (produk dari E-coli), terapi
tetap bisa dilanjutkan dengan L-Asp dari Erwinia Caratova dengan dosis yang
sama atau bisa diberikan antihistamin sebagai profilaksis. Penggunaan L-asp
dihentikan bila terjadi gangguan fungsi hati yang berat, pankreatitis atau
hiperglikemia simtomatis. Jika sudah mencapai nilai normal, L-Asp bisa
dilanjutkan kembali dan dapat diberikan setengah dosis. Jika terjadi
hipofibrinogenemia (<50 mg %), bisa diberi FFP.

4. Setiap akan melakukan tindakan intratekal, hitung trombosit harus lebih dari
50.000/mm3 dan tidak ada perdarahan, serta faal hemostasis normal

5. Setelah pemberian obat intratekal,dianjurkan injeksi 2-5 ml saline. Pasien harus


tetap berbaring terlentang dengan posisi kepala lebih rendah dari tungkai selama
2-4 jam setelah penyuntikan dengan maksud agar obat menyebar sampai ke
ruang araknoid (arachnoid space).
6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.
7. Bila jumlah lekosit ≥ 100.000/mm3, ada organomegali dan atau hiperurikemia
: beri allopurinol 200 mg/m2/hari p.o. selama 3 –7 hari.
-Minggu pertama :
-Stabilisasi kondisi pasien. Masalah yang paling sering ditemukan adalah
infeksi, anemia, trombositopenia, dan neutropenia.
- Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil rendah.
- Bila anemia,dibutuhkan tranfusi.Jika Hemoglobin < 4g% dengan ancaman
dekompensasi cordis , maka tranfusi diberikan pelan-pelan disertai diuretik.
- Timbang berat badan secara secara berkala untuk mengetahui adanya
kelebihan cairan .
- Pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan sindroma tumor lisis
Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum elektrolit
(Na,K, Ca, P)kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis terapkan
managemensindroma tumor lisis .
-Netropenia yang terjadi saat induksi disebabkan karena leukemianya, bukan
karena steroid, vincristine, L-Asp, karena itu , steroid dan vincristine dapat
dilanjutkan.
- Amati tanda-tanda infeksi
- Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek CRP,
dan kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi anal dan
sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien
tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam kemudian cek CRP dan
kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi tapi panas,segera
Berikan antibiotika spektrum luas.
- Pasien dengan jumlah netrofil < 500,
- lakukan pemeriksaan laboratorium dan kultur dan berikan antibiotika iv
dengan segera.
-Antibiotika spectrum luas harus mencakup gram positif dan gram negative.
Penggunaaan antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan antibiotik (TKA) dan
antibiotika yang tersedia dimasing –masing rumah sakit .
- Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak membaik,
dianjurkan pemberian anti jamur. Pada masa induksi, eradikasi sel leukemia
merupakan hal yang terpenting, sehingga sitostatika : PRED, VCR, dan L-Asp
diberikan dengan dosis penuh, mungkin DNR bisa ditunda sementara.

2. Fase Konsolidasi
Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-
MTX)dengan leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.

HD-MTX
- Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
•Lekosit ≥ 2000/mm3
•Trombosit ≥ 75000/ mm3
•Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
•Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas nilainormal.
•Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
•Tidak ada infeksi, diare, mucositis
•Tidak ada gangguan kencing
- Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
- Saat pemberian HD-MTX
•Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24 jam
ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.
• Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24
jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX,
diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam.
Tanda-tanda toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal,
toksisitas pada liver ( >5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian
tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada saat
pemberian HD-MTX.
•Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal liver,
gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan semuanya ditunda.
•Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan
penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv pada
42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.
• Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat
ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut
kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan
bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya
dilakukan setiap 3 bulan.
Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal.
- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28

- Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor).

- Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Cyclophosphamide
-Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan
pemberian Mesna.

Gambar 2.8 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Biasa (Indonesian


Childhood ALL, 2013)
Gambar 2.9 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian
Childhood ALL, 2013)

3. Fase Intensifikasi
Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.

Prednison (PRED) :
- Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4
minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh
dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.

Vincristine :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10
ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).

- Selesai intensifikasi, konsul neurologi.

Daunorubicin (DNR)intravena :
- Diberikan 2 x awal minggu ke 14 dan 16 dengan dosis 30 mg/m2(dalam 1 jam
IV).

Citarabine
- Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.
Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3
mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.
MTX i.t
- MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan
pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan konsolidasi).

Gambar 2.10 Protokol Fase Intensifikasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian


Childhood ALL, 2013)

4. Fase Rumatan

- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir
pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18, dan
akan berakhir pada minggu ke 118
- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase rumatan
merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas anak terhadap
kemoterapi.
- Persyaratan untuk mengawali rumatan.
•kondisi umum baik.
•tidak ada infeksi.
•Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500, trombosit >50.000/mm3
tidak ada perdarahan.
•fungsi hati dan ginjal baik.
6 MP dan MTX
- Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal yang
dapat ditoleransi.

- Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong
(setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan
dengan susu.

- Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.


Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.

- Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila
terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan MTX ini
juga harus dihentikan bila ada pneumonia.

- Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir


pemberian 6-MP.
Deksametason
- Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan
reaksi yang normal. Catatan, bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk
menurunkan ataupun menaikkan dosis.
Catatan Penting :
- Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat .

- Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat
berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek samping
cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.

- Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps, pemberian
obat sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol. Hentikan pemberian
cotrimoksazol, bila tidak ada peningkatan lekosit setelah 1 minggu pemberian 6 MP
dan MTX.
Gambar 2.11 Protokol Fase Rumatan ALL (Indonesian Childhood ALL,
2013)

2.5 Prognosis

Berikut ini faktor-faktor yang berpengaruh terhadap buruknya prognosis


ALL adalah sebagai berikut :

1. Jumlah leukosit awal >50.000/mm3


2. Umur pasien saat diagnosis dan pengobatan kurang dari 2 tahun atau lebih
dari 10 tahun
3. Jenis kelamin laki-laki
4. Ras African-American dan Hispanic
5. Translokasi kromosom 9 dan 22, 1 dan 19, atau 4 dan 11
6. Respon yang buruk pada saat pemberian kemoterapi inisial dilihat dari BMP
dimana sel blast >1000/mm3
7. Kelainan jumlah kromosom dengan indeks DNA>1.16 atau > 50 kromosom
8. Penyebaran pada cerebrospinal fluid
9. Masa mediastinal
10. Prednisone poor response
11. Immunophenotype B-cell
12. Ekspresi CD 10 menunjukkan prognosis baik

(Endang & Caroline, 2002; Caroline, et al, 2008; Sri & Silvia, 2009; Indonesian
ALL Childhood Protocol, 2013)
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas


infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik
yang dikenal sebagai limfoblas. Diagnosis ALL berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa karakteristik morfologi dan
pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi
menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ). Persentase sel blast
yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan
pemeriksaan immunophenotyping. Pengobatan ALL di Indonesia saat ini
mengikuti Indonesian Childhood ALL Protocol 2013. Prognosis dari penyakit ini
dipengaruhi banyak faktor.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. hlm.
170.

Caroline, et al. (2008). Prognostic Factors for Leukemic Induction Failure in


Children With Acute Lymphoblastic Leukemia and Outcome After Salvage
Therapy: The FRALLE 93 Study. American Society of Clinical Oncology.
Diunduh 2/2/15 dari http://jco.ascopubs.org/content/26/9/1496.full
Ching, H. P., Leslie, L. P., Thomas, A. L. (2008). Acute Lymphoblastic Leukaemia.
Lancet, 371, 1030-1043.

Endang, W., Caroline, M. (2002). Gangguan Metabolik pada Leukemia Limfositik


Akut dengan Hiperleukositosis. Sari PediatriI, 4(1), 31-35.

Gallegos, et al. (2013). Pathophysiology of Acute Lymphoblastic Leukemia.


Diunduh 26/1/2015 dari http://www.intechopen.com/books/clinical-
epidemiology-of-acute-lymphoblastic-leukemia-from-the-molecules-to-
the-clinic/pathophysiology-of-acute-lymphoblastic-leukemia.

Gambar HDT dan BMP ALL L1-3 diunduh 2/2/15 dari


http://www.pathologyoutlines.com.

Hasyimzoem, N. C. (2014). Leukemia Limfoblastik Akut pada Dewasa Dengan


Multiple Limfadenopati . Medula, 2(1), 30-38.

Indonesian Childhood ALL Protocol (2013)

Permono, Bambang. 2005. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi


Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm. 145-151.

Sri, M., Silvia, M. (2009). Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Usia di Bawah
Satu Tahun. Sari Pediatri, 11(3), 219-222.

Vikramjit, S. K. (2014). Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia. Diunduh


tanggal 29/1/2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/990113-
overview#aw2aab6b2b3aa.

Você também pode gostar