Você está na página 1de 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENDERITA KATARAK

Tugas ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pengampu Esri Rusminingsih, S.Kep.,Ns.,M.Kep

DI SUSUN OLEH

ASTUTI DWI JAYANTI ( 1602090 )

DHEA BRILIAN PRATIWI ( 1602095 )

KUSUMA ARUM MAHARANI ( 1602113 )

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

KLATEN

2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas limpahan rahmat, taufik, dan
hidayahnya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Asuhan
Keperawatan Pada Penderita Katarak” berkat kerja sama dari anggota kelompok kami serta
bimbingan dari dosen pembimbing.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II. Kami menyadari bahwa keberhasilan dalam pembuatan makalah
ini bukanlah keberhasilan kami semata. Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu
Esri Rusminingsih, S.Kep.,Ns.,M.Kep yang telah membimbing selama perkuliahan dan teman -
teman yang telah membantu secara tidak langsung.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan pada mahasiswa yang akan
datang.

Klaten, April 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................................. 2

C. Tujuan.................................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3

A. Pengertian .............................................................................................................................. 3

B. Etiologi .................................................................................................................................. 3

C. Patofisiologi .......................................................................................................................... 4

D. Pathway ................................................................................................................................. 5

E. Gejala Klinis .......................................................................................................................... 6

F. Derajat Katarak ..................................................................................................................... 6

G. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................................................................ 7

H. Penatalaksanaan .................................................................................................................... 7

I. Komplikasi .......................................................................................................................... 10

J. Konsep Asuhan Keperawatan ............................................................................................. 10

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................................... 17

A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 17

B. Saran .................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 18

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Mata Katarak ............................................................................................................... 3


Gambar 2. 2 Pathway Katarak.......................................................................................................... 5
Gambar 2. 3 Operasi ICCE .............................................................................................................. 9
Gambar 2. 4 Operasi ECCE ............................................................................................................. 9

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah mata merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia karena mata


merupakan organ sensoris yang sangat vital. Delapan puluh persen informasi diperoleh
dari penglihatan (Andayani G, 2008). Gangguan penglihatan diperkirakan diderita oleh
285 juta orang di dunia, dimana 246 juta mengalami low vision dan 39 juta mengalami
kebutaan, diantara jumlah tersebut 65% dari jumlah low vision dan 82% dari jumlah
kebutaan diderita pada usia lebih atau sama dengan 50 tahun (WHO, 2012). Data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan, prevalensi severe low vision dan
kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok usia 45 tahun keatas dengan rata-rata
peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low
vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok usia 75 tahun keatas
sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia.

Secara global penyebab utama gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi


tidak dikoreksi (43%) dan katarak (33%). Penyebab gangguan penglihatan lainnya adalah
glaukoma, Age Macular Degeneration (AMD), retinopati diabetik, trakoma dan
kekeruhan kornea. Sebagian besar penyebab dari gangguan penglihatan sekitar 18% tidak
dapat ditentukan. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (51%) dan sekitar 21%
penyebab kebutaan tidak dapat ditentukan (WHO, 2012). Permasalahan penglihatan ini
menginisiasi World Health Organisation (WHO) dalam menyusun Project 2020 untuk
mengatasi masalah katarak, tujuannya untuk menghilangkan katarak sebagai penyebab
kebutaan pada tahun 2020 karena kebutaan dapat mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan seperti menjadi beban tanggung jawab orang lain, kerugian keuangan dari
biaya operasi, perawatan atau rehabilitasi, juga dampak mental karena pasien merasa
cacat yang akan mengarah ke depresi (Andayani G, 2008).

Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa mata (Harper RA & Shock JP, 2013).
Beberapa studi cross-sectional di berbagai negara melaporkan prevalensi katarak sebesar
50% terdapat pada individu berusia 65-74 tahun dan prevalensi ini meningkat hingga 70%
pada individu di atas 75 tahun (Harper RA & Shock JP, 2013).

Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu
usia di atas 50 tahun (Ilyas S et al., 2013). Proses penuaan merupakan penyebab katarak
terbanyak yang merupakan penyebab umum gangguan penglihatan, tetapi banyak juga
faktor lain yang mungkin terlibat, antara lain trauma, toksin, penyakit sistemik seperti
diabetes, merokok, dan herediter (Harper RA & Shock JP, 2013). Faktor risiko katarak
terkait usia dianggap multifaktorial, tetapi stres oksidatif serta faktor genetik dianggap
faktor utama dalam perkembangannya (Liao RF et al., 2015). Diabetes juga diperkirakan
menjadi salah satu faktor risiko pada penderita katarak senilis karena dapat

1
mempengaruhi hasil operasi. Katarak diabetes sejati lebih jarang ditemukan daripada
katarak senilis pada pasien diabetes. Disebutkan bahwa sklerosis nuklear senilis, kelainan
subkapsular posterior, dan kekeruhan korteks terjadi lebih sering dan dini pada pengidap
diabetes (Thomas D et al., 2013). Penelitian oleh Pollreisz (2010) melaporkan kejadian
edema makula sebesar 22 % pada penderita diabetes setelah operasi katarak (11 dari 50
mata) sementara edema makula tidak terjadi pada mata tanpa retinopati sehingga
perbaikan visus setelah operasi akan terganggu.

Katarak terkait usia diperkirakan akan terus menjadi masalah kesehatan global
yang penting karena meningkatnya harapan hidup (Rao GN et al., 2011). Pernyataan ini
diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa angka harapan hidup
penduduk Indonesia dimulai dari tahun 1995 sampai tahun 2015 mengalami peningkatan
yaitu dari 66 tahun menjadi 70 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas di dapat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada katarak
2. Bagaimana pengkajian pada asuhan keperawatan dengan katarak ?
3. Bagaimana diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan dengan katarak ?
4. Bagaimana intervensi dan kriteria hasil pada asuhan keperawatan dengan katarak ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahu konsep dasar asuhan keperawatan pada katarak.
2. Untuk mengetahui pengkajian pada asuhan keperawatan dengan katarak.
3. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan dengan katarak.
4. Untuk mengetahui intervensi dan kriteria hasil pada asuhan keperawatan dengan
katarak.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Ilyas ( 2009 ) mendefinisikan Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau
terjadi akibat kedua-duanya. Iwan ( 2009 ) mengatakan katarak merupakan suatu keadaan
patologik lensa di mana lensa rnenjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi
protein lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang
dapat timbul pada berbagai usia tertentu.
Katarak adalah keadaan dimana terjadinya kekeruhan pada lensa mata dan
merupakan penyebab utama kebutaan di dunia serta penyebab utama kurangnya
penglihatan di Amerika Serikat. Katarak bisa terjadi pada semua usia dan disebabkan oleh
berbagai penyebab. Walaupun terapi untuk katarak sudah tersedia di seluruh dunia,
namun berbagai hambatan seperti biaya, asuransi kesehatan dan keputusan pasien
membuat banyak penderita katarak tidak bisa tertangani dengan baik (CDC, 2013).

Gambar 2. 1 Mata Katarak

B. Etiologi

Ada berbagai macam penyebab dari katarak menurut Gupta et al (2014), yaitu
sebagai berikut :

1. Katarak kongenital, terjadi sejak lahir atau sejak bayi hingga dewasa. Penyebabnya
adalah hereditas, infeksi, obat-obatan, radiasi, kelainan metabolik, trauma persalinan,
malnutrisi, kongenital anomali, idiopatik.
2. Katarak senilis, terjadi pada orang lanjut usia berusia > 50 tahun. Penyebabnya adalah
usia yang semakin tua, dehidrasi, penyakit sistemik, merokok, stress oksidatif dan
kekurangan nutrisi.
3. Katarak karena trauma, terjadi pada orang yang bekerja pada kondisi yang berbahaya,
seperti tukang las. Penyebabnya adalah kerusakan pada kapsul lensa mata dan
masuknya benda asing.

3
4. Katarak komplikasi, terjadi pada orang yang menderita penyakit kulit, alergi, uveitis,
diabetes glukoma, asma dan emfisema. Penyebabnya adalah komplikasi dari
inflamasi kronis dan penyakit mata degeneratif.
5. Katarak karena toksik metabolik, terjadi pada orang yang mengalami defisiensi
beberapa enzim dan hormon. Serta orang yang menjalani terapi steroid dan obat yang
mempunyai efek toksik. Penyebabnya adalah kelainan metabolik seperti diabetes
mellitus, galaktosemia dan beberapa obat (steroid, NSAID).
6. Katarak karena radiasi, terjadi pada orang yang sering kontak dengan sinar matahari,
radiasi buatan dan tegangan tinggi. Penyebabnya adalah sinar infrared, sinar X dan
sinar ultraviolet.

C. Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, bentuk
kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung 3 komponen
anatomis. Pada zona sentral terdapat nukcelus, di perifer ada korteks dan mengelilingi
keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Perubahan fisik dan kimia dalam lensa
mengakibatkan hilangnya transpotasi, perubahan pada serabut halus multipel ( zunula )
yang memanjang dibadan selier kesekitar daerah diluar lensa misalnya dapat
menyebabkan koagulasi, sehingga mengaburkan pandangan dengan menghambat jalan
cahaya keretina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi di
sertai influks air kedalam lensa.

Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan menganggu transmisi sinar.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai kecepatan yang berbeda, dapat
disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistematis, seperti DM, namun sebenarnya
merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Katarak dapat bersifat
congenital dan dapat diidentifikasi awal, karena bila tidak dapat di diagnosa dapat
menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering
yang berperan dalam terjadinya katarak meliputi sinar ultraviolet B, obat – obatan,
alcohol, merokok, DM, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu
lama ( Andra Saferi Wijaya dan Yesi Maria, 2013 ).

4
D. Pathway

Fisik ( trauma ) Usia ( Kimia ( paparan Penyakit tertentu (


bertambahnya usia ) sinar uv ) DM )

Degenerasi lensa
Lensa luar Kadar glukosa
Reaksi oksidasi
katarak mencair
pada lensa
Perubahan protein &
Membentuk cairan
senyawa pada lensa Glukosa menjadi
putih seperti susu
Kekeruhan pada sorbitol
lensa
Koagulasi serat
protein Penumpukan
cairan Kekeruhan lensa

Noda pada lensa (


lensa keruh ) Kapsul lensa
pecah

Katarak

Menghalangi cahaya yang Operasi Ansietas


masuk ke kornea

Bayangan semu yang sampai Tindakan pembedahan


ke retina dengan mengganti lensa
mata

Luka pasca operasi


Sensitivitas & ketajaman Otak menginterpretasikan
mata menurun sebagai bayangan berkabut

Nyeri akut
Sensitif dengan Pandangan kabur
cahaya

Gangguan persepsi Risiko Infeksi


Risiko cidera sensori penglihatan

Gambar 2. 2 Pathway Katarak

5
E. Gejala Klinis

Gejala klinis pasien katarak menurut Andra Saferi Wijaya dan Yessi Maria Putri,
(2013) antara lain :

1. Rasa silau karena terjadi pembiasan tidak teratur oleh lensa yang keruh.
2. Penglihatan akan berkurang secara perlahan
3. Pada pupil terdapat bercak putih
4. Bertambah tebal nucleus dengan perkembangnya lapisan korteks lensa
5. Penglihatan kabur
6. Rasa nyeri pada mata

Katarak hipermatur akan menimbulkan penyakit, mata menjadi merah disertai rasa
sakit yang kemudian akan berakhir dengan kebutaan. Secara klinis proses ketuaan sudah
tampak dalam pengurangan kekuatan akomodasi lensa, akibat mulai terjadinya sclerosis
lensa yang dimanifikasikan dalam bentuk presbiopi.

Selain itu gejala berupa keluhan penurunan ketajaman penglihatan secara progresif
( seperti rabun jauh memburuk secara progresif ). Penglihatan seakan – akan melihat asap
dan pupil mata seakan – akan tampak benar – benar penting, sehingga reflek cahaya pada
mata menjadi menjadi negatif ( - ). Bila dibiarkan akan dapa menimbulkan komplikasi
berupa glaucoma dan uveitis.

Gejala umum gangguan katarak meliputi :

1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek


2. Peka terhadap sinar atau cahaya
3. Dapat melihat doble dalam satu mata
4. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca
5. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu

F. Derajat Katarak

Ilyas (2009) mengatakan derajat katarak adalah sebagai berikut :

1. Derajat 1 : Nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/12, tampak
sedikit kekeruhan dengan warna agak Reflek fundus masih mudah
diperoleh. biasanya kurang dari 50 tahun

2. Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, biasanya visus antara 6/12 –


6/30, tampak nucleus mulai sedikit berwarna Reflek fundus masih mudah
diperoleh dan paling sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis
posterior.

6
3. Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium, biasanya visus antara 6/30 –
3/60, tampak nucleus berwarna kuning disertai kekeruhan korteks yang
berwarna keabu=abuan.

4. Derajat 4 : Nukleus keras, biasanya visus antara 3/60 – 1/60, tampak nukleus
berwarna kuning Reflek fundus sulit dinilai.

5. Derajat 5 : Nukleus sangat keras, biasanya visus biasanya hanya 1/60 atau
lebih Usia penderita sudah di atas 65 tahun. Tampak nucleus berwarna
kecoklatan bahkan sampai kehitaman . katarak ini sangat keras dan disebut
juga sebagai Brunescence cataract atau Black cataract.

G. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita katarak menurut Andrea


Saferi dan Yessie ( 2013 ) adalah sebagai berikut :

1. Kartu mata snellen/mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan


kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf,
penglihatan ke retina.
2. Lapang Penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
3. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
4. Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
5. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
6. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema,
perdarahan.
7. Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
8. EKG, kolesterol serum, lipid
9. Tes toleransi glukosa : kontrol DM
10. Keratometri.
11. Pemeriksaan lampu slit.
12. A-scan ultrasound (echography).
13. Penghitungan sel endotel penting untuk fakoemulsifikasi & implantasi.
14. USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan katak menurut Andrea Saferi Wijaya & Yessie ( 2013 ) adalah
sebagai berikut :

Gejala-gejala yang timbul pada katarak yang masih ringan dapat dibantu dengan
menggunakan kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau kacamata yang
dapat meredamkan cahaya. Pada tahap ini tidak diperlukan tindakan operasi.

7
Tindakan operasi katarak merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki lensa
mata, tetapi tidak semua kasus katarak memerlukan tindakan operasi. Operasi katarak
perlu dilakukan jika kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam pengelihatan
sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari. Operasi katarak dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan jika katarak terjadi berbarengan dengan penyakit mata
lainnya, seperti uveitis yakni adalah peradangan pada uvea. Uvea (disebut juga saluran
uvea) terdiri dari 3 struktur :

1. Iris
cincin berwarna yang melingkari pupil yang berwarna hitam.
2. Badan silier
otot-otot yang membuat lensa menjadi lebih tebal sehingga mata bisa fokus pada
objek dekat dan lensa menjadi lebih tipis sehingga mata bisa fokus pada objek jauh.
3. Koroid
lapisan mata bagian dalam yang membentang dari ujung otot silier ke saraf optikus di
bagian belakang mata.

Sebagian atau seluruh uvea bisa mengalami peradangan. Peradangan yang terbatas
pada iris disebut iritis, jika terbatas pada koroid disebut koroiditis.

Juga operasi katarak akan dilakukan bila berbarengan dengan glaukoma, dan
retinopati diabetikum. Selain itu jika hasil yang didapat setelah operasi jauh lebih
menguntungkan dibandingkan dengan risiko operasi yang mungkin terjadi. Pembedahan
lensa dengan katarak dilakukan bila mengganggu kehidupan social atau atas indikasi
medis lainnya. Indikasi dilakukannya operasi katarak :

1. Indikasi social
Jika pasien mengeluh adanya gangguan penglihatan dalam melakukan rutinitas
pekerjaan.
2. Indikasi medis
Bila ada komplikasi seperti glaucoma.
3. Indikasi optic
Jika dari hasil pemeriksaan visus

Ada beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:

1. ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction)


ICCE yaitu dengan mengangkat semua lensa termasuk kapsulnya. Sampai akhir tahun
1960 hanya itulah teknik operasi yg tersedia. Pada pembedahan jenis ini lensa
diangkat seluruhnya. Keuntungan dari prosedur adalah kemudahan proses ini
dilakukan, sedangkan kerugiannya mata beresiko tinggi mengalami retinal
detachment dan mengangkat struktur penyokong untuk penanaman lensa intraokuler.
Salah satu teknik ICCE adalah menggunakan cryosurgery, lensa dibekukan dengan
probe super dingin dan kemudian diangkat.

8
Gambar 2. 3 Operasi ICCE

2. ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction)


Terdiri dari 2 macam yakni:
a. Standar ECCE atau planned ECCE dilakukan dengan mengeluarkan lensa secara
manual setelah membuka kapsul lensa. Tentu saja dibutuhkan sayatan yang lebar
sehingga penyembuhan lebih lama.
b. Fekoemulsifikasi (Phaco Emulsification). Bentuk ECCE yang terbaru dimana
menggunakan getaran ultrasonic untuk menghancurkan nucleus sehingga material
nucleus dan kortek dapat diaspirasi melalui insisi ± 3 mm. Operasi katarak ini
dijalankan dengan cukup dengan bius lokal atau menggunakan tetes mata anti
nyeri pada kornea (selaput bening mata), dan bahkan tanpa menjalani rawat inap.
Sayatan sangat minimal, sekitar 2,7 mm. Lensa mata yang keruh dihancurkan
(Emulsifikasi) kemudian disedot (fakum) dan diganti dengan lensa buatan yang
telah diukur kekuatan lensanya dan ditanam secara permanen. Teknik bedah
katarak dengan sayatan kecil ini hanya memerlukan waktu 10 menit disertai waktu
pemulihan yang lebih cepat.

Gambar 2. 4 Operasi ECCE

9
Kasus komplikasi saat maupun pasca operasi juga sangat jarang terjadi.
Kapsul/selaput dimana lensa intra okular terpasang pada mata orang yang pernah
menjalani operasi katarak dapat menjadi keruh. Untuk itu perlu terapi laser untuk
membuka kapsul yang keruh tersebut agar penglihatan dapat kembali menjadi jelas.

I. Komplikasi

Adapun komplikasi dari katarak menurut Andrea Saferi & Yessie ( 2013 ) adalah
sebagai berikut :

a. Glaucoma
Kelainan yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan intraokuler di dalam bola mata
sehingga lapang pandang mengalami gangguan dan virus mata menurun.
b. Kerusakan retina
Kerusakan retina ini dapat terjadi setelah pasca bedah, akibat ada robekan pada retina,
cairan masuk kebelakang dan mendorong retina atau terjadi penimbunan eksudat
dibawah retina sehingga retina terangkat.
c. Infeksi
Ini bisa terjadi setelah pasca bedah karena kurang perawatan yang tidak adekuat.

J. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Anas Tamsuri, 2011 adalah sebagai berikut :
a. Anamnesis
1) Keluhan umum
a) Umur katarak terjadi pada semua umur tetapi umumnya pada lanjut usia
b) Riwayat trauma, trauma tumpul atau tidak tembus dp merusak kapsul lensa
c) Riwayat pekerjaan pada pekerja yang berhubungan dengan bahan kimia
atau terpapar sinar radioaktif atau sinar X.
d) Riwayat penyakit misalnya penyakit mata yang lain dan penyakit sistemik.
e) Riwayat penggunaan obat – obatan
2) Pola fungsi
a) Aktivitas dan istirahat
Gejala: perubahan aktifitas biasanya atau hobi sehubungan dengan
gangguan penglihtan
b) Makanan dan cairan
Gejalanya : mual atau muntah
c) Neurosensori
Gejala :
(1) Gangguan penglihatan (kabur) tidak jelas,sinar terang menyebabkan
silau dengan kehilangan bertahap penlihatan feriver, kesulitan
memfokuskan kerja dengan dekat atau merasa di ruang gelap.

10
(2) Perubahan kacamata atau pengobatan untuk tidak memperbaiki
penglihatan. Tanda : tampak kecoklatan atau putih susus pada pupil
d) Peningkatan air mata
(1) Nyeri/kenyamanan
Gejala : ketidaknyamanan ringan / mata berair
(2) Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : riwayat keluarga Glaukoma, diabetes, gangguan sistem
vaskuler, terpajan pada radiasi, steroid atau toksisitas fetotiazin.
b. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan visus
Menurut illyas ( 2009 ) menyatakan pemeriksaan visus adalah sebagai
berikut :
Visus adalah sebuah ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk
mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih
dengan jarak yang telah distandardisasi serta ukuran dari simbol yang
bervariasi. Istilah “visus 20/20” adalah suatu bilangan yang menyatakan jarak
dalam satuan kaki yang mana seseorang dapat membedakan sepasang benda.
Pemeriksaan visus dapat dilakukan dengan menggunakan Optotype Snellen,
kartu Cincin Landolt, kartu uji E, dan kartu uji Sheridan/Gardiner. Optotype
Snellen terdiri atas sederetan huruf dengan ukuran yang berbeda dan
bertingkat serta disusun dalam baris mendatar. Huruf yang teratas adalah yang
besar, makin ke bawah makin kecil. Penderita membaca Optotype Snellen dari
jarak 6 m, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan
beristirahat atau tanpa akomodasi. Pembacaan mula-mula dilakukan oleh mata
kanan dengan terlebih dahulu menutup mata kiri. Lalu dilakukan secara
bergantian.
Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan. Pembilang menunjukkan
jarak pasien dengan kartu, sedangkan penyebut adalah jarak pasien yang
penglihatannya masih normal bisa membaca baris yang sama pada kartu.
Dengan demikian dapat ditulis rumus :

V =D/d
Keterangan:
V = ketajaman penglihatan (visus)
d = jarak yang dilihat oleh penderita
D = jarak yang dapat dilihat oleh mata normal
Dengan Optotype Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti :
1) Bila visus 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter,
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
2) Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan
angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.

11
3) Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan
angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4) Bila visus adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6 meter
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
5) Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal
pada jarak 60 meter.
6) Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan
pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang
berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
7) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan visus pasien yang
lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau
lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti visus adalah 1/300.
8) Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam
penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak
tidak berhingga.
9) Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total. Visus dan penglihatan
kurang dibagi dalam tujuh kategori.

b. Pemeriksaan Lensa
1) Klien mengeluh penurunan pandangan bertahap dan tidak nyeri
2) Pandangan kabur, berkabut atau pandangan ganda
3) Klien juga memberikan keluhan bahwa warna menjadi kabur atau tampak
kekuningan.
4) Jika klien mengalami kekeruhan sentral klien mungkin mengeluhkan
dapat melihat lebih baik pada cahaya suram daripada terang pada saat
dilatasi klien dapat melihat dari sekeliling kekeruhan.
5) Kaji virus, terda;at penurunan significant
6) Inspeksi dengan penlight menunjukkan pupil putih susu dan pada katarak
lanjut terdapat area putih keabu – abuan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan persepsi sensori penglihatan bd penurunan ketajaman penglihatan.
b. Risiko cidera bd peningkatan TIO.
c. Nyeri akut bd luka pasca operasi.
d. Risko infeksi bd prosedur invasif ( bedah )
e. Ansietas bd kurang pemahaman mengenai perawatan pasca operasi.

12
3. Intervensi dan Kriteria Hasil

No. Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional


1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji ketajaman 1. Mengidentifikasi
persepsi keperawatatan selama 3 x penglihatan klien. kemampuan
sensori 24 jam diharapkan klien 2. Identifikasi alternatif visual klien.
penglihatan tidak mengalami gangguan untuk optimalisasi 2. Memberikan
bd penurunan persepsi sensori. Dengan sumber rangsangan. keakuratan
ketajaman kriteria hasil : 3. Sesuaikan lingkungan penglihatan dan
penglihatan 1. Dengan penglihatan untuk optimalisasi perawatannya.
yang terbatas klien penglihatan : 3. Meningkatkan
mampu melihat a. Orientasi klien kemampuan
lingkungan terhadap ruang persepsi sensori.
semaksimal mungkin. rawat. 4. Meningkatkan
2. Mengenal perubahan b. Letakkan alat kemampuan
stimulus yang positif yang sering respon terhadap
dan negatif. digunakan stimulus
3. Mengidentifikasi didekat klien lingkungan.
kebiasaan lingkungan. atau pada sisi
4. Klien mengidentifikasi mata yang lebih
faktor – faktor yang sehat.
memengaruhi fungsi c. Berikan
penglihatan. pencahayaaan
5. Klien mengidentifikasi yang cukup
dan menunjukkan pola d. Letakkan alat
– pola alternatif untuk ditempat yang
meningkatksan tetap.
penerimaan e. Hidari cahaya
rangsangan menyilaukan.
penglihatan. 4. Anjurkan
penggunaan
alternatif rangsang
lingkungan yang
dapat diterima :
Auditorik, taktil.
2 Risiko cidera Setelah dilakukan tindakan 1. Diskusikan tentang 1. Meningkatkan
bd keperawatan selama 3 x 24 rasa sakit, kerja sama dan
peningkatan jam diharapkan pasien pembatasan aktivitas pembatasan
TIO tidak mengalami cidera. dan pembalutan yang
Dengan kriteria hasil : mata. diperlukan.
1. Menunjukkan 2. Tempatkan pasien 2. Istirahat
perubahan perilaku, pada tempat tidur mutlak
pola hidup untuk yang lebih rendah diberikan
menurunkan faktor dan anjurkan untuk hanya beberapa
resiko dan untuk membatasi menit hingga
melindungi diri dari pergerakan satu atau dua
cedera. mendadak/tiba – tiba jam
2. Mengubah serta menggerakkan pascaoperasi
lingkungan sesuai kepala berlebih. atau satu
indikasi untuk 3. Bantu aktivitas malam jika ada
meningkatkan selama fase istirahat. komplikasi.
keamanan. 3. Mencegah atau
3. Klien menyebutkan menurunkan
faktor yang risiko
menyebabkan komplikasi
cidera. cidera.
4. Klien tidak
melakukan aktivitas
yang meningkatkan

13
risiko cidera.

3 Nyeri akut bd Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu klien dalam 1. Membantu


luka pasca keperawatan selama 3 x 24 mengidentifikasi pasien
operasi jam diharapkan nyeri tindakan menemukan
berkurang. Dengan kriteria penghilangan nyeri tindakan yang
hasil : yang efektif. dapat
1. Nyeri berkurang, 2. Jelaskan bahwa menghilangkan
skala nyeri ringan. nyeri dapat terjadi atau
2. Klien tidak sampai beberapa jam mengurangi
menunjukkan setelah pembedahan. nyeri yang
perilaku distraksi. 3. Lakukan tindakan efektif.
3. Klien tidak tampak mengurangi nyeri 2. Nyeri dapat
meringis. dengan cara : terjadi sampai
4. Klien tampak rileks. a. Posisi : tinggikan anestesi local
bagian kepala habis,
tempat tidur, ganti memahami hal
posisi dan tidur, ini dapat
ganti posisi dan membantu
tidur pada sisi yang mengurangi
tidak dioperasi kecemasan
b. Distraksi yang
c. Latihan relaksasi berhubungan
4. Berikan obat dengan yang
analgetik sesuai tidak
progam. diperkirakan.
3. Latihan nyeri
dengan
menggunakan
tindakan non
farmakologi
memungkinkan
klien untuk
memperoleh
rasa kontrol
terhadap nyeri.
4. Analgesik
dapat
menghambat
reseptor nyeri.

4 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Tingkatkan 1. Nutrisi dan


berhubungan keperawatan selama 3x24 penyembuhan luka hidrasi yang
dengan jam diharapkan tidak dengan: optimal
prosedur terjadi infeksi dengan a. Beri dorongan meningkatkan
invasif(bedah kriteria Hasil: untuk mengikuti kesehatan
pengangkatan) 1. Tanda-tanda infeksi diet seimbang dan secara
tidak terjadi asupan cairan yang keseluruhan,
2. Penyembuhan luka adekuat meningkatkan
dalam rentang b. Instrusikan klien penyembuhan
waktu minimal untuk tetap luka
menutup mata pembedahan.
sampai hari pertama 2. Tehnik aseptik

14
setelah operasi atau meminimalkan
sampai masuknya
diberitahukan mikroorganism
1. Gunakan teknik aseptic e dan
untuk meneteskan tetes mengurangi
mata: infeksi.
a. Cuci tangan 3. Tehnik aseptik
sebelum memulai menurunkan
pegang alat penetes risiko
agak jauh dari mata. penyebaran
b. Ketika meneteskan infeksi/bakteri
hindari kontak dan
antara mata dengan kontaminasi
tetesan dan alat silang.
penetes. 4. Mencegah
2. Gunakan teknik aseptic kontaminasi
untuk membersihkan dan kerusakan
mata dari dalam keluar sisi operasi.
dengan tisu basah/bola 5. Deteksi dini
kapas untuk tiap infeksi
usapan, ganti balutan memungkinkan
dan memasukkan lensa penanganan
bila menggunakan yang cepat
3. Tekankan pentingnya untuk
tidak atau menggaruk meminimalaka
mata yang dioperasi. n keseriusan
4. Observasi tanda dan infeksi.
gejala infeksi seperti: 6. Ketegangan
kemerahan, kelopak pada jahitan
mata bengkak,drainase dapat
purulen, infeksi menimbulkan
konjunctiva (pembuluh interupsi,
darah menonjol), atau menciptakan
peningkatan suhu. jala masuk
5. Anjurkan untuk untuk
memecah ketegangan mikroorganism
pada jahitan dengan e.
cara : menggunakan 7. Sediaan topical
kaca mata protektif dan di gunakan
pelindung mata pada secara
malam hari. profilaksis,
6. Kolaborasi obat sesuai dimana terapi
indikasi : lebih agresif
a. Antibiotika (topical, diperlukan bila
parental, atau sub terjadi infeksi
conjunctiva) menurunkan
b. Steroid inflamasi.

5 Ansietas bd Setelah melakukan


kurang tindakan keperawatan
pemahaman selam 3 x 24 jam 1. Ajarkan penurunan 1. Meminimalkan
mengenai diharapkan pasien tidak ansietas ke khawatiran
perawatan cemas lagi. Dengan kriteria dan ketakutan
pasca operasi. hasil : terhadap
2. Ajarkan tehnik penyakit yang
1. Klien
menenangkan diri di derita.
mengungkapkan
kecemasan hilang
atau minimal. 3. Ajarkan peningkatan 2. Dengan tehnik
2. Klien berpartisipasi koping menenangkan
dalam persiapan
diri dapat

15
operasi meredakan
3. Pasien tidak tampak kecemasan
cemas. pada pasien.

3. Dapat
membantu
pasien untuk
beradaptasi
dengan
persepsi stresor
dan perubahan
yang
menghambat
pemenuhan
tuntutan dan
peran hidup.

16
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang mengakibatkan
pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di dalam mata, seperti melihat
air terjun menjadi kabur atau redup, mata silau yang menjengkelkan dengan distorsi
bayangan dan susah melihat Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif.
Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan
fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi.
Temuan objektif biasanya meliputi pengembunann seperti mutiara keabuan pada pupil
sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop.
Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya
ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah
pendangan di malam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman
bagi pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian asuhan
keperawatan secara profesional. Selain itu pembaca diharapkan dapat mengaplikasikan
tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk menghindari penyakit katarak ini.
Makalah ini masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan
makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Andayani G. ( 2008 ). “ Introduction to Eyes Problems in Jakarta”. Jakarta : Departement of


Opthalmology FKUI.

CDC.(2013). Vision Health Initative. Retrieved from Centers for Disease Control and
Prevention.
Gupta, V. B., Rajagopala, M., & Ravishankar, B. (2014). Etiopathogenesis of Cataract : An
appraisal. Indian Journal of Ophtalmology.
Harper, RA, Shock JP (2013). Lensa. Dalam : Whitcher JP, Eva PR (eds.). vaughan & asbury
oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran Jakarta EGC, pp : 169-
177.
Ilyas Sidarta ( 2009 ) “ Ilmu Penyakit Mata ed.3 “ . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Ilyas S, Yulianti SR (2013). Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Liao RF, Ye MJ, Liu CY , Ye DQ (2015). An updated meta-analysis: risk conferred by


glutathione s-transferases (gstm1 and gstt1). Hindawi Publishing Corporation Journal of
Ophthalmology Volume 2015, Article ID 103950
Pollreisz A, Schmidt U (2010). Diabetic cataract—pathogenesis, epidemiology and treatment.
Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology Volume 2010, Article ID
608751.
Rao GN, Khanna R, Payal A (2011).The global burden of cataract. Curr Opin Ophthalmol. 2011
Jan;22(1):4-9.
Riset Kesehatan Dasar (2013). Riskesdas tahun 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Tamsuri, Anas. 2011. “ Klien Gangguan Mata & Penglihatan “. Jakarta : EGC

Thomas D, Graham EM (2013). Gangguan mata yang menyertai penyakit sistemik. Dalam :
Whitcher JP, Eva PR (eds.). vaughan & asbury oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran Jakarta EGC, p : 319.
Wijaya, Andrea Saferi & Yessie Mariza Putri. 2013. “ KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah
Keperawatan Dewasa”. Yogyakarta : Nuha Medika
World Health Organisation (2012). Global data on visual impairments 2010. WHO Press.

18

Você também pode gostar