Você está na página 1de 24

LAPORAN KASUS

ADENOTONSILITIS KRONIS

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT-KL


RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

Disusunoleh :
Fajar Baskoro
01.211.6388

Pembimbing:
dr. Shelly Tjahyadewi , Sp. THT-KL,M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2018

1
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Mukti Asih
Jeniskelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Alamat : Jalan Pandansari 07 rt 02/ 01 no 268
No.RM : 01352552

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 22 Juni 2018, jam 10.00 WIB secara
autoanamnesa.dan alloanamnesa di poli THT RSI Sultan Agung Semarang.

1. Keluhan utama
Sulit menelan

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh nyeri ketika menelan sejak pasien kelas 5 SD,sekitar 21 tahun yang
lalu.. Pasien merasa bertambah nyeri ketika menelan makanan. Nyeri dirasakan hilang
timbul. Pasien juga mengeluh sering demam. Demam sering disertai dengan batuk dan
pilek. Lendir berwarna putih. Menurut suami pasien, ketika tidur pasien sering mengorok
dan sering terbangun karena tersedak. Pasien mengeluh nyeri pada telinga kiri, tidak ada
kurang pendengaran, tidak gemerebek dan tidak ada sakit kepala. Pasien hanya diberikan
obat pil oleh bidan tanpa tahu jenis dan dosis obatnya.
± 7 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri ketika menelan dan sulit untuk bernafas,
menurut suami, pasien juga masih sering mengorok ketika tidur. Tidak ada keluhan
demam, batuk, pilek dan hidung tersumbat. Telinga kiri dirasakan nyeri dan berdenging
namun tidak terasa penuh ataupun keluar cairan, tidak ada pendengaran berkurang.
Kemudian pasien dibawa berobat ke poli THT RSI Sultan Agung Semarang. Oleh dokter

2
disarankan untuk dilakukan operasi. Suami pasien setuju untuk dilakukan operasi
pengangkatan amandel.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sakit serupa : sejak kelas 5 SD
 Riwayat ISPA : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat penyakit lain : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Anggota keluarga tidak ada yang sakit seperti ini
 Riwayat Alergi : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama suami. Suami pasien bekerja sebagai pegawai swasta.
Pasien bekerja sebagai karyawan pabrik. Biaya pengobatan menggunakan BPJS Non PBI.
Kesan ekonomi : cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata
 KeadaanUmum : Baik
 Kesadaran : Composmentis
 Aktivitas : Aktif
 Kooperativitas : Kooperatif
 Status Gizi : Obesitas
 Berat badan : 85 kg
 Vital Sign
o TD : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Nadi : 82 x/menit, reguler
o RR : 18 x/menit , reguler
3
o Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Kepala dan Leher
o Kepala : Mesosefal
o Wajah : Simetris, deformitas (-)
o Leher : Pembesaran Kelenjar limfe pada submandibula (-)
 Mata
o Conjungtiva Anemis (-/-)
o Sclera Ikterik (-/-)
o Secret (-/-)
 Pemeriksaan Jantung, Paru,&Ekstremitas tidak dilakukan.

2. Status Lokalisata
A. Telinga
Telinga Luar
Telinga AD AS
Preaurikula Fistel (-) Fistel (-)
Retroaurikula Dbn Dbn
Aurikula Nyeri Tarik (-), Nyeri Tarik (-),
Kelainan Kongenital (-) Kelainan Kongenital (-)
Tragus pain Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Mastoid Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

CAE
Canalis Acustikus AD AS
Eksternus
Mukosa Dbn dbn
Discharge (-) (-)
Serumen (-) (-)
Granulasi (-) (-)
Furunkel (-) (-)

4
Jamur (-) (-)
Corpus alienum (-) (-)

Membran Timpani
Membran Timpani AD AS
Warna Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) (+)
Perforasi (-) (-)
Bulging (-) (-)

B. Hidung dan Sinus Paranasal


Hidung Luar
Bentuk Dbn
Massa (-)
Deformitas (-)
Radang (-)

Sinus Paranasal
Sinus Etmoid Sinus Frontal Sinus Maxilla
Hiperemis (-) (-) (-)
Nyeri Tekan (-) (-) (-)
Nyeri Ketok (-) (-) (-)
Oedem (-) (-) (-)

Rinoskopi Anterior
Cavum Nasi Dextra Sinistra
Konkanasi inferior Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

5
Secret (-) serous (-) serous
Massa (-) (-)

C. Tenggorok
Nasofaring : Pemeriksaan Rinoskopi Posterior tidak dilakukan
Orofaring
 Mukosa Bukal : Hiperemis (-)
 Lidah : dbn
 Uvula : di tengah, dalam batas normal
 Palatum : Hiperemis (-)
 Arcus faring : Hiperemis (-), granulasi (-)

TONSIL
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T4 T4
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar melebar
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Detritus (+) (+)
Laringofaring :Tidak dilakukan pemeriksaan

D. Kepala Dan Leher


Kepala :Mesosepal
Wajah : Tidak ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB (-)

E. Gigi danMulut
Gigi dan mulut: Caries (-)
Lidah : dbn
Palatum : simetris ,radang (-)

6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Garpu tala : tidak dilakukan
 Audiometri : tidak dilakukan

E. INITIAL PLANNING
 Pemeriksaan Laboratorium Darah rutin

F. RINGKASAN
Pasien mengeluh nyeri ketika menelan sejak pasien kelas 5 SD,sekitar 21 tahun
yang lalu.. Pasien merasa bertambah nyeri ketika menelan makanan. Nyeri dirasakan
hilang timbul. Pasien juga mengeluh sering demam. Demam sering disertai dengan
batuk dan pilek. Lendir berwarna putih. Menurut suami pasien, ketika tidur pasien
sering mengorok dan sering terbangun karena tersedak. Pasien mengeluh nyeri pada
telinga kiri, tidak ada kurang pendengaran, tidak gemerebek dan tidak ada sakit
kepala. Pasien hanya diberikan obat pil oleh bidan tanpa tahu jenis dan dosis obatnya.
± 7 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri ketika menelan dan sulit untuk bernafas,
menurut suami, pasien juga masih sering mengorok ketika tidur. Tidak ada keluhan
demam, batuk, pilek dan hidung tersumbat. Telinga kiri dirasakan nyeri dan
berdenging namun tidak terasa penuh ataupun keluar cairan, tidak ada pendengaran
berkurang. Kemudian pasien dibawa berobat ke poli THT RSI Sultan Agung
Semarang. Oleh dokter disarankan untuk dilakukan operasi. Suami pasien setuju
untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat sakit serupa : sejak kelas 5 SD
 Riwayat ISPA : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat penyakit lain : disangkal

7
Hasil Pemeriksaan :
 Telinga : dalam batas normal
 Hidung : dalam batas normal
 Tenggorokan :
Nasofaring : Pemeriksaan Rinoskopi Posterior tidak dilakukan
Orofaring
 Mukosa Bukal : Hiperemis (-)
 Lidah : dbn
 Uvula : di tengah, dalam batas normal
 Palatum : Hiperemis (-)
 Arcus faring : Hiperemis (-), granulasi (-)

TONSIL
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T4 T4
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar melebar
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Detritus (+) (+)
Laringofaring :Tidak dilakukan pemeriksaan

G. DIAGNOSIS BANDING
 Adenotonsilitis Kronis
 Tonsilitis Kronis
 Abses Peritonsil

8
H. TERAPI
Medikamentosa:
a. Antibiotik golongan Penicilin ( Amoccicilin 500 mg 3x1 ) selama 10- 14 hari
b. Kortikosteroid IV/IM / 12 jam
Non Medikamentosa
c. Menghindari makanan yang merangsang seperti pedas, asam, gorengan, dan
minuman yang dingin.
d. Istirahat yang cukup
e. Menjaga hygiene mulut
Operatif
f. Pro Adenotonsilektomi

I. EDUKASI
o Istirahat yang cukup.
o Minum obat secara teratur sesuai dosis.
o Apabila sebelum obat habis terdapat keluhan lain segera control ulang.

J. PROGNOSIS
o Quo ad Vitam : ad bonam
o Quo ad Sanam : ad bonam
o Quo ad Fungsionam : ad bonam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ADENOTONSILITIS KRONIK

Anatomi dan Fisiologi :


Tonsil :
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di bawah
epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang
ditunjang oleh jaringan ikat retikuler dan kapsel jaringan ikat serta kripte di dalamnya.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :

1. Tonsila lingualis, terletak pada radiks linguae.


2. Tonsila palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dsan
arcus glossopharingicus.
3. Tonsila pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
4. Tonsila tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva.
5. Plaques dari Peyer (tonsil perut), terletak pada ileum.
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsila lingualis, tonsila palatina, tonsila pharingica
dan tonsila tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama Cincin Waldeyer.Kumpulan jaringan ini
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada Cincin
Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan
tonsil pada usia 5 tahun, yang kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.

10
Gambar. Tonsil

Jaringan limfoid pada Cincin Waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai
daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar (makan, minum,
bernafas), dan sebagai surveilen imun. Fungsi ini didukung secara anatomis dimana di daerah
faring merupakan tikungan jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya yang
tidak datar, sehingga terjadi turbulensi udara pernapasan. Dengan demikian kesempatan kontak
berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun Cincin
Waldeyer itu semakin besar.

Vaskularisasi

Arteri terutama masuk melalui polus caudalis, tetapi juga bisa melalui polus cranialis.
Melalui polus caudalis : rr. tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis.
Melalui polus cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua
cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna.

Darah venous dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di sekitar
kapsula tonsil membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan dengan pleksus
pharyngealis. Vena paratonsil dari palatum mole menuju ke bawah lewat pada bagian atas
tonsillar bed untuk menuangkan isinya ke dalam pleksus pharyngealis.

Cairan limfe dituangkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan sebagian
besar ke lnn. cervicalis profundus superior terutama pada limfonodi yang terdapat di dorsal
angulus mandibular (lnn. tonsil). Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.

11
Innervasi

Innervasi terutama dilayani oleh n. IX (glossopharyngeus) dan juga oleh n. palatina minor
(cabang ganglion sphenopalatina). Pemotongan pada n. IX menyebabkan anestesia pada semua
bagian tonsil .

Imunologi

Tonsil merupakan organ yang unik karena keterlibatannya dalam pembentukan imunitas
lokal dan pertahanan imunitas tubuh. Imunoglobulin (Ig G, A, M, D), komponen komplemen,
interferon, lisosim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsillar. Infeksi bakterial kronis pada
tonsil akan menyebabkan terjadinya antibodi lokal, perubahan rasio sel B dan sel T.

Adenoid

Adenoid / tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang


terletak pada aspek posterior nasofaring. Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring,
berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba
eustachius-telinga tengah-kavum mastoid pada bagain lateral.

Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal, beberapa


cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis. Inervasi sensible merupakan cabang
dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan makroskopik dari adenoid
menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan tonsila palatine. Adenoid adalah organ
limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang dalam, hanya terdiri beberapa
kripte berbeda dengan tonsila palatine yang memiliki jumlah kripte lebih banyak.

Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.

FISIOLOGI

Tonsil

Tonsil membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran napas dan saluran
pencernaan yang dikenal sebagai cincin Waldeyer. Pada cincin Waldeyer, tonsil terdiri dari tiga
jenis yaitu tonsil lingualis berjumlah satu pasang yang terletak dibawah lidah, satu buah tonsil

12
adenoid yang terletak di belakang hidung, dan tonsil palatina yang terletak disebelah kanan-kiri
rongga mulut. Cincin Waldeyer ini mampu mengeluarkan imunoglobulin jenis G, A, M , D , dan
E.

Adenoid

Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan limfoid
bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian
penting sistem pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman
mikroorganisme dan molekul asing.

Proses imunologi pada adenoid dimulai ketika bakteri, virus atau antigen makanan
memasuki nasofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen adenoid pertama
sebagai barier imunologis. Kemudian akan diabsorbsi secara selektif oleh makrofag, sel HLA
dan sel M dari tepi adenoid. Antigen selanjutnya diangkut dan dipresentasikan ke sel T pada area
ekstra folikuler dan ke sel B pada sentrum germinativum oleh follicular dendritic cells (FDC).

Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC bersama dengan IL-
1 akan mengakibatkan aktifasi sel T yang ditandai oleh pelepasan IL-2 dan ekspresi reseptor IL-
2. Antigen bersama-sama dengan sel Th dan IL-2, IL-4, IL-6 sebagai aktifator dan promotor bagi
sel B untuk berkembang menjadi sel plasma. Sel plasma akan didistribusikan pada zona
ekstrafolikuler yang menghasilkan immunoglobulin (IgG 65%, IgA 20%, sisanya IgM, IgD, IgE)
untuk memelihara flora normal dalam kripte individu yang sehat.

HISTOLOGI

Tonsil

Permukaan tonsila palatina yang dilapisi mukosa terdiri dari epitel berlapis pipih yang
mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana mukosa tonsila
palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga memerlukan perlindungan yang lebih
baik agar lebih tahan terhadap trauma.

13
Kripte pada tonsila palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte dalam
jumlah yang banyak. Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa yang terdapat di
sekitar tonsil.

Adenoid

Secara histologis, adenoid tersusun atas 3 jenis epitel pada permukaannya: epitel
kolumnar bertingkat dengan silia, epitel berlapis skuamous dan epitel transisional. Infeksi kronik
atau pembesaran adenoid cenderung akibat peningkatan proporsi epitel berlapis skuamous (aktif
untuk proses antigen) dan berkurangnya epitel respirasi (aktif untuk klirens mukosilier).

HIPERTROFI ADENOID

Definisi
Adenoid merupakan jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring,
termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Pembesaran adenoid adalah membesarnya ukuran
adenoid pada nasofaring yang dapat diketahui dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinik
THT dan pemeriksaan foto polos lateral.

Epidemiologi
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun
terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi.
Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan
pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan
data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan
kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.

Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara fisiologis dan
faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu
3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala.

14
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada
saluran pernapasan atas atau ISPA. Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis yag berulang
kali antara usia 4-14 tahun.

Pathogenesis
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4
tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil)
merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang menfagosit kuman-kuman patogen.
Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan
bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap
kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme pathogen.
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya
jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk bernafas
sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid dapat menyebabkan
obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara.
Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya
menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang
tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.

Gejala Klinis

Pembesaran adenoid menimbulkan beberapa gangguan :

Obstruksi nasi

Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung sehingga terjadi
ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus bernapas melalui mulut. Beberapa
peneliti menunjukkan korelasi statistic antara pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan
rinoskopi anterior.

15
Facies Adenoid

Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai
tampak muka yang karakteristik.

Tampakan klasik tersebut meliputi :

Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek. Namun sering
juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam jangka
panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/ hipoplastik, sedut alveolar atas lebih
sempit, arkus palatum lebih tinggi.

Efek pembesaran adenoid pada telinga

Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media efusi telah
dibuktikan baik secara radiologis dan penelitian tentang tekanan oleh Bluestone.

Sleep apnea

Sleep apnea pada anak pertama kali diperkenalkan oleh Gastatut, berupa adanya episode
apnea saat tidur dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan
bradikardi. Episode apnea dapat terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau campuran.2

Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan timbul wajah adenoid, yaitu pandangan
kosong dengan mulut terbuka. Biasanya langit-langit cekung dan tinggi. Karena pernapasan
melalui hidung terganggu akibat sumbatan adenoid pada koane, terjadi gangguan pendengaran,
dan penderita sering beringus. Pada pemeriksaan tepi anterior adenoid yang hipertrofi terlihat
melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan konka mengerut, dengan cermin dahi, adenoid
juga terlihat melalui mulut. Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan bawah,
adenoid yang membesar dapat diraba.

Pemeriksaan Penunjang :

 Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole
pada waktu fonasi.
 Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).

16
 Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara
langsung.
 Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral dapat melihat pembesaran
adenoid.
 CT-Scan merupakan modilitas yang lebih sensitif daripada foto polos untuk identifikasi
patologi jaringan lunak, tapi kekurangannya karena biaya yang mahal.

Tatalaksana

Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan


obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain. Operasi
dilakukan dengan alat khusus (adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau
insufisiensi palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta.

Indikasi adenoidektomi:

o Sumbatan  sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep apnea,
gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi ( adenoid
face ).
o Infeksi  adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/ kronik, otitis media
akut berulang.
o Kecurigaan neoplasma jinak / ganas.

Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :

Eksisi melalui mulut

Merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan melalui mulut setelah
mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-langit mulut. Suatu cermin
digunakan untuk melihat adenoid karena adenoid terletak pada rongga hidung bagian belakang
melalui pendekatan ini beberapa instrumen dapat dimasukkan.

Cold Surgical Technique:

17
• Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional yang sukses dilakukan. Alat
adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan bengkok. Untuk mengangkat adenoid digunakan
mata pisau yang tajam setelah terlebih dahulu memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat
dikontrol dengan elektrocauter.

• Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu instrumen bengkok yang
mempunyai celah dan ditempatkan di atas adenoid kumudian celah itu ditutup dan pisau bedah
mengangkat adenoid.

• Magill Forceps : Adalah suatu instrumen yang berbentuk bengkok yang digunakan
untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.

Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan elektrocauter dengan
suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut jaringan adenoid.

Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan metode microdebrider, sebagian
orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan pasti terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian
besar dilaporkan perdarahan dengan menggunakan tradisional currete. Mikrodebrider
memindahkan jaringan adenoid yang sulit di jangkau oleh teknik lain.

Eksisi melalui hidung.

Satu-salunya teknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melalui rongga hidung


dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan dikontrol
dengan menggunakan cauter suction.

Komplikasi adenoidektomi:

Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid kurang


bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila
kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba
Eustachius dan akan timbul tuli konduktif.

18
Prognosis

Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan individu.


Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat cor
pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat diatasi.

TONSILITIS KRONIS

Definisi

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatine yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Penyebarannya dapat melalui udara (air borne droplet), tangan dan ciuman. Dapat
terjadi pada semua umur terutama pada anak. Tonsilitis dibagi menjadi 3 kategori :

Tonsilitis akut :
1. Tonsilitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih mnyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.
Penyebab paling sering adalah virus Epstein barr. Hemofilus influenza merupakan penyebab
tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga
mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum yang dirasakan sangat nyeri oleh pasien. Terapi
tonsillitis viral adalah dengan istirahat, minum cukup, analgetika dan antivirus diberikan jika
gejala berat.

2. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil yang disebabkan kuman grup A streptococcus β hemolitikus (strep throat,
streptococcus viridian, pneumococcus, streptococcus piogens). Infiltrasi bakteri pada epitel
jaringan tonsil akan menyebabkan reaksi radang berupa leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis,
bila bercak detritus menjadi satu membentuk alur-alur maka terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak
ini juga dapat melebar membentuk membrane semu yang menutupi tonsil.
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok,
nyeri telan, suhu tubuh tinggi, lesu nyeri di sendi, tidak nafsu makan, otalgia (melalui N.IX).

19
pada pemeriksaan ditemukan tonsil membengkak, hiperemis, terdapat detritus berbentuk folikel,
dan tertutup membrane semu. Terapi diberikan antibiotic spectrum luas penisilin, eritromisin,
antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Komplikasi yang dapat timbul pada
anak ialah OMA, sinusitis, abses peritonsil, abses parafaring, bronchitis, glumerulonefritis akut,
miokarditis, arthritis, serta septikemi akibat infeksi v.jugularis interna (sind.Lamierre). hipertrofi
tonsil menyebabkan napas melalui mulut, ngorok, sleep apnea (Obstructive Sleep Apnea
Syndrome/OSAS).
Tonsilitis membranosa :
Tonsillitis membranosa terdiri atas : tonsillitis difteri, t.septik (septic sore throat), angina
plaut Vincent, penyakit kelainan darah, proses specific lues-TBC, infeksi jamur dan virus
1. Tonsillitis difteri
Etiologi Corynebacterium diphteria
Angina plaut vincent
Etiologi : bakteri spiroceta atau treponema ditemukan pada higien mulut yang kurang dan def.vit
C
Tonsilitis kronis :
Factor predisposisi antara lain adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis
makanan, higien mulut yang buruk, cuaca, kelelahan fisik, pengonatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat. Etiologi sama dengan tonsillitis bacterial.
Patofisologi yaitu proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis sehingga proses penyembuhan jar.limfoid diganti dengan jaringan parut
yang mengkerut hingga kripte melebar dan terisi detritus. Proses ini berjalan hingga tembus
kapsul tonsil dan terjadi perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak biasanya
disertai pembesaran kelenjar limfe mandibula.
Tandanya : tonsil membesar, permukaan tidak rata, kripte melebar dan terisi detritus
Gejalanya : rasa mengganjal dan kering di tenggorokan, napas bau

Terapi local ditujukan untuk higien mulut dengan kumur atau obat hisap.

Komplikasi berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media.

Besar tonsil ditentukan sebagai berikut:

20
T0 : tonsil di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
T1 : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula
T2 : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3 : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula
T4 : bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih.

Indikasi Tonsilektomi

 Serangan tonsilitis >3x/tahun walau terapinya adekuat


 Tonsil hipertrofi, maloklusi gigi, ggn pertumb.orofasial
 Sumbatan jalan napas (hipertropi tonsil), sleep apnea, ggn menelan, ggn bicara.
 Rinitis dan sinusitis kronis, peritonsilitis dan abses peritonsil yang tidak hilang dalam
pengobatan.
 Napas bau yang tidak bisa diobati
 Tonsilitis berulang yang disebabkan bakteri grup A Streptokokus β hemoliticus
 Hipertrofi tonsil yang dicurigai ganas.
 Otitis media efusa/otitis media supuratif.

 Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi
yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat.

 Persiapan Pasien Tonsilektomi


Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien.
Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan
perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk

21
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung
darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin
titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu
indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan mencapai
puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan
positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu
pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum
pembedahan.

 Teknik Operasi Tonsilektomi


Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia
teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
diseksi.
 Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit
dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus.
Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole
bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
 Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila
tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
 Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada
tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
:
 Laser tonsilektomi Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser
KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam Soepardi,
Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan
Tenggorok. RSUD Saras Husada, Purworejo. Available at :
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kronik
(Accessed : March 28th 2014).
Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP H.
Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Medan.
USU Digital Library, 2009. Available at : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640
(Accessed : March 27th 2014).

23
Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher.
Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Ed 6.
Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271
Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter 23.The McGraw-
Hill Companies, 2004: p. 816

Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic Otorhinolaryngology. New


York. Thieme, 2006: p. 119

24

Você também pode gostar