Você está na página 1de 37

CASE REPORT SESSION

KISTA DAN ABSES BARTHOLINI

Oleh:

ANNISA DAMAYANTI 1210313041

ULFAYANTI SYAHMAR 1740312091

Preseptor:

dr. Pasca Alfajra, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD PARIAMAN

2018
KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan hidayah-

Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Kista dan Abses

Bartholini.” Referat ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat dalam

mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Pasca Alfajra, Sp.OG selaku

pembimbing yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak yang telah

Membantu dalam penulisan Referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Referat ini masih memiliki banyak

kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga

Referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pariaman, 19 Juli 2018

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kista dan abses bartholini adalah penyakit terkait kelenjar bartholini yang

paling sering terjadi dan merupakan salah satu kelainan pada vulva dengan angka

kejadian yang terbilang tinggi. Penyakit ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang

ahli anatomi Belanda pada tahun 1677 bernama Casper Bartholini. Kelenjar bartholini

atau the greater vestibular glands merupakan kelenjar pada perempuan yang

homolog dengan kelenjar bulbourethral (kelenjar cowper) pada laki-laki. Kelenjar

mulai berfungsi pada masa pubertas dan berfungsi memberikan kelembaban untuk

vestibulum. Letak kelenjar tertutup dan berpasangan. Kelenjar ini berfungsi untuk

mensekresi cairan pembersih, mukus yang alkalis kedalam duktus yang bagian

dalamnya tersusun atas sel kolumner dan bagian luar tersusun atas epitel

transisional.1,2

Kista bartholini adalah penyumbatan duktus kelenjar bagian distal berupa

pembesaran berisi cairan yang mempunyai struktur seperti kantong bengkak ( swolen

sac-like structure ). Jika lubang pada kelenjar barthlolini tersumbat, lendir yang

dihasilkan kelenjar akan terakumulasi sehingga terjadi dilatasi kistik duktus

proksimal dan obstruksi. Kista bartholini yang mengalami obstruksi dan terinfeksi

dapat menjadi abses.1 Kista bartholini merupakan masalah yang sering didapatkan

pada wanita usia reproduksi, kebanyakan kasus terjadi pada usia 20 sampai 30 tahun

3
dengan sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista bartholini atau abses,

sehingga hal ini merupakan masalah yang perlu untuk dicermati.. 3,5

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini untuk mengetahui anatomi, definisi,

epidemiologi, etiologi, patofisilogi, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding,

penatalaksanaan dari kista dan abses bartholini.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah dengan tinjauan pustaka yang merujuk

pada berbagai literatur.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Bartholini

Kelenjar bartholini atau glandula vestibularis mayor merupakan salah satu

organ genitalia eksterna pada wanita. Kelenjar bartholini berjumlah dua buah

bilateral, berbentuk bundar, dan terletak posterolateral dari vestibulum arah jam 4 dan

jam 8 pada dasar labium minora, masing-masing berukuran sekitar 0,5 cm dan

mensekresikan mukus kedalam duktus yang memiliki panjang 2-2,5 cm. Saluran

keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang terdapat diantara labium minus

pudendi dan tepi hymen. Glandula ini homolog dengan glandula bulbourethralis pada

pria. Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus dan mengeluarkan sekresinya untuk

membasahi atau melicinkan permukaan vagina di bagian caudal. kelenjar bartholini

diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus pudendus dan

nervus hemoroidal inferior.1,2,3 Kelenjar bartholini sebagian tersusun dari jaringan

erektil dari bulbus, jaringan erektil dari bulbus menjadi sensitif selama rangsangan

seksual dan kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai

lubrikan. Normalnya kelenjar bartholini tidak teraba pada pemeriksaan palpasi

kecuali kemungkinan pada wanita yang sangat kurus.4

5
Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Bartholini 3

Gambar 2.2 Anatomi kelenjar bartholini2

2.2 Definisi Kista dan Abses Bartholini

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk

di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Suatu abses terjadi bila kista

6
menjadi terinfeksi. Kista kelenjar Bartholini terbentuk apabila kelenjar ini menjadi

tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka

panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini

akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang

dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar

membengkak dan membentuk suatu kista. 4,5

2.3 Epidemiologi Kista dan Abses Bartholini

Kista Bartholini merupakan kista yang sering terjadi pada vulva. Dua - tiga

persen wanita mengalami kista Bartholini pada suatu saat dalam kehidupannya. Abses

umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista. Salah satu penelitian

kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam yang lebih

cenderung untuk mengalami kista bartholini atau abses bartholini daripada wanita

hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki risiko terendah.

Kista Bartholini, yang paling umum terjadi pada labia majora. Involusi bertahap dari

kelenjar Bartholini dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun.

Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya terjadi kista Bartholini dan abses

selama usia reproduksi. Biopsi eksisional mungkin diperlukan lebih dini karena

massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang menjadi kanker. Beberapa

penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak diperlukan karena

rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker per 100.000 wanita-tahun).

Namun, jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat menjadi lebih buruk. Sekitar

1 dalam 50 wanita akan mengalami kista Bartholini atau abses di dalam hidup

7
mereka. Jadi, hal ini adalah masalah yang perlu dicermati. Kebanyakan kasus terjadi

pada wanita usia reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun. Namun, tidak menutup

kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.6

2.4 Etiologi Kista dan Abses Bartholini

Pembesaran kista bartholini bisa terjadi akibat parut setelah infeksi (terutama

yang disebabkan oleh neisseria gonorrhoeae dan kadangkadang streptokokus dan

stafilokokus) atau trauma yang kemudian menyebabkan sumbatan pada saluran

ekskresi kelenjar Bartholini. Obstruksi distal saluran bartholini bisa mengakibatkan

retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista.

Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartholini

tidak selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar.2

Infeksi pada abses bartholini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri,

termasuk organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia

dan Gonorrhoeae serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan,

seperti Escherichia coli. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis

organisme. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang

dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia

trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran

Bartholini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi

menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan

abses tersebut. 2,4,6

8
Tabel 2.1 Bakteri Penyebab Kista dan Abses Bartholini.5

2.5 Patofisiologi dan Patogenesis Kista dan Abses Bartholini

Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartholini dapat menyebabkan

retensi dari sekresi, dengan akibat berupa pelebaran duktus dan pembentukan kista.

Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan abses bisa berkembang dalam kelenjar.

Kelenjar BartholiIn sangat sering terinfeksi dan dapat membentuk kista atau abses

pada wanita usia reproduksi. Kista dan abses bartholini seringkali dibedakan secara

klinis.4

Kista Bartholini terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat, sehingga

menyebabkan distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini

biasanya merupakan akibat sekunder dari peradangan nonspesifik atau trauma. Kista

bartholini dengan diameter 1-3 cms seringkali asimptomatik. Sedangkan kista yang

berukuran lebih besar, kadang menyebabkan nyeri dan dispareunia. Abses Bartholini

merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar, atau kista yang terinfeksi. Pasien

dengan abses Bartholini umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan

9
bertambah secara cepat dan progresif. Abses kelenjar Bartholini disebakan oleh

polymicrobial.3,6,7

Peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan duktus sekretorius dan

kelenjar Bartholini dapat juga terjadi secara kronis dan berlangsung hingga bertahun-

tahun. Untuk jenis ini, biasanya diameter indurasi kista, tidak mencapai ukuran yang

besar sehingga penderita juga tidak menyadari adanya kelainan ini. Bila pembesaran

kelenjar Bartholini terjadi pada usia pascamenopause, sebaiknya dilakukan

pemeriksaan secara saksama terkait dengan risiko tinggi terhadap keganasan.4

10
Diagram patofisilogi kista dan abses barthlini

2.6 Manifestasi Klinis Kista dan Abses Bartholini

Jika kista kelenjar Bartholini masih kecil dan belum terjadi inflamasi,

penyakit ini bisa menjadi asimptomatik. Kista biasanya nampak sebagai massa yang

menonjol secara medial dalam introitus posterior pada regio yang duktusnya berakhir

di dalam vestibula. Jika kista menjadi terinfeksi maka bisa terjadi abses pada kelenjar.

Indurasi biasa terjadi pada sekitar kelenjar, dan aktivitas seperti berjalan, duduk atau

melakukan hubungan seksual bisa menyebabkan rasa nyeri pada vulva.

11
Kista duktus Bartholini dan abses glandular harus dibedakan dari massa vulva

lainnya. Karena kelenjar Bartholini biasanya mengecil saat menopause, pertumbuhan

vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya

keganasan , khususnya jika massa irregular, nodular dan indurasi persisten.

Kista Bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang

dirasakan sebagai benda padat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Jika

kista bartholini masih kecil dan tidak terinfeksi, umumnya asimtomatik. Tetapi bila

berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk.

Tanda kista Bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada

salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva.

Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri, dan dispareunia.

Penyakit ini cukup sering rekurens. Bartholinitis sering kali timbul pada gonorrea,

akan tetapi dapat pula mempunyai sebab lain, misalnya Streptokokus. Pada

Bartholinitis akuta kelenjar membesar, merah, nyeri, dan lebih panas dari daerah

sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui duktusnya, atau jika

duktusnya tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang kadang-

kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan bisa di

atasi dengan antibiotika, jika sudah bernanah harus dikeluarkan dengan sayatan.

Pasien dengan abses dapat memberikan gejala sebagai berikut:

 Nyeri yang akut disertai pembengkakan labial unilateral.

 Dispareunia

12
 Nyeri pada waktu berjalan dan duduk

 Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge

(sangat mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses)4

Gambar 2.3 Kista Bartholini

Gambar 2.4 Abses Kelenjar Bartholini 3

13
2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesa

Pada anamnesa abses kelenjar bartholini biasanya ditemukan gejala klinis,

berupa :

 Benjolan

 Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual

(dispareunia)

 Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan

mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai

dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal

 Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari

 Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca pembengkakan,

terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan melalui

hubungan seksual

 Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge (sangat

mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses)6

 Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut, dan

berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras.6

14
2.7.2 Pemeriksaan fisik

Kista kelenjar Bartholini dapat didiagnosis melalui pemeriksaan fisik

khususnya dengan pemeriksaan ginekologis pelvik. Pemeriksaan fisik dengan posisi

litotomi.

Hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap abses

bartholini adalah sebagai berikut: 1,4,6,11

 Pada inspeksi, terlihat massa unilateral di daerah labium, biasanya pada labium

minor arah jam 4 dan 8 atau posisi jam 5 atau 7 dengan daerah sekitar yang

eritema dan edema. Dalam beberapa kasus didapatkan daerah selulitis disekitar

abses

 Pada perabaan teraba massa yang lunak, berbatas tegas, berfluktuasi dan sangat

nyeri tekan dengan daerah sekitar yang eritema dan edema.

 Jika abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat duh yang purulen

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan gram dan biakan materi purulen membantu identifikasi

bakteri patogen12

2) Pemeriksaan darah rutin untuk melihat adanya tidaknya leukositosis.

Namun apabila pasien afebris, pemeriksaan darah rutin tidak diperlukan. 13

3) Mengambil sampel sekresi dari vagina atau servix untuk mengetahui

adanya infeksi menular seksual, gonorrhoeae, sifilis atau infeksi menular

15
seksual lainnya. Kultur jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasi jenis

bakteri penyebab infeksi.

4) Untuk kultur, di ambil swab dari abses atau daerah lain seperti serviks.

Hasil tes ini baru dapat dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini

tidak menunda pengobatan. Dari hasil tes ini dapat diketahui apakah

antibiotik yang perlu diberikan.12

5) Biopsi dari massa untuk mengetahui adanya sel-sel kanker, bagi

pasien:13,14

a. Perimenopause, menopause atau lebih dari 40 tahun

b. Kegagalan penyembuhan dengan pengobatan yang teratur

c. Ada riwayat menderita keganasan labial

d. Kronik dan atau tidak nyeri sama sekali

2.8 Diagnosis Banding

Tabel 2.2 Diagnosis banding kistik dan lesi padat vulva

Lesion Location Characteristics

Cystic lesions

Bartholini's duct Vestibule Usually unilateral; asymptomatic if

cyst remains small

Epidermal Labia majora Benign, mobile, nontender; caused by

inclusion cyst (usually) trauma or obstruction of pilosebaceous

16
ducts

Mucous cyst of Labia minora, Soft, less than 2 cm in diameter, smooth

the vestibule vestibule, surface, superficial location; solitary or

periclitoral area multiple; usually asymptomatic

Hidradenoma Between labia Benign, slow-growing, small nodule (2 mm

papilliferum majora and labia to 3 cm); arises from apocrine sweat glands

minora

Cyst of the canal Labia majora, Soft, compressible; peritoneum entrapped

of Nuck mons pubis within round ligament; may mimic inguinal

hernia

Skene's duct cyst Adjacent to Benign, asymptomatic; if large, may cause

urethral meatus in urethral obstruction and urinary retention

vestibule

Solid lesions

Fibroma Labia majora, Firm, asymptomatic; may develop pedicle;

perineal body, may undergo myxomatous degeneration;

introitus potential for malignancy

Lipoma Labia majora, Benign, slow-growing; sessile or

clitoris pedunculated

17
2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Tindakan Operatif

Beberapa prosedur yang dapat digunakan:8,9,10

1. Insisi dan Drainase

Insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudah dilakukan serta

memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur ini harus

diperhatikan karena ada kecenderungan kekambuhan kista atau abses.Ada studi yang

melaporkan, bahwa terdapat 13% kegagalan pada prosedur ini.10

2. Word Catheter

Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960-an. Merupakan

sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat digembungkan dengan saline pada

ujung distalnya, biasanya digunakan untuk mengobati kista dan abses Bartholinii.

Panjang dari kateter karet ini adalah sekitar 1 inch dengan diameter No.10 French

Foley kateter. Balon kecil di ujung Word catheter dapat menampung sekitar 3-4 mL

larutan saline.9

18
Gambar 2.5 word catheter

Setelah persiapan steril dan pemberian anestesi lokal, dinding kista atau abses

dijepit dengan forceps kecil dan blade no.11 digunakan untuk membuat insisi

sepanjang 5mm pada permukaan kista atau abses.Penting untuk menjepit dinding

kista sebelum dilakukan insisi, atau bila tidak kista dapat collapse dan dapat terjadi

insisi pada tempat yang salah.Insisi harus dibuat dalam introitusexternal hingga ke

cincin hymenal pada area sekitar orifice dari duktus.Apabila insisi dibuat terlalu

besar, Word catheter dapat lepas.4,6,8,10

Setelah insisi dibuat, Word catheter dimasukkan, dan ujung balon

dikembangkan dengan 2 ml hingga3 ml larutan saline. Balon yang mengembang ini

membuat kateter tetap berada di dalam rongga kista atau abses. Ujung bebas dari

kateter dapat dimasukkan ke dalam vagina. Agar terjadi epitelisasi pada daerah bekas

pembedahan, Word catheter dibiarkan di tempat selama empat sampai enam minggu,

meskipun epithelialisasi mungkin terjadi lebih cepat, sekitar tiga sampai empat

minggu. Jika Kista Bartholini atau abses terlalu dalam, pemasangan Word catheter

19
tidak praktis, dan pilihan lain harus dipertimbangkan.6 angka rekurensinya mencapai

3%.

Gambar 2.6 prosedur pemasangan Word Catheter

3. Marsupialisasi7,8,10

Alternatif pengobatan selain penempatan Word catheter adalah marsupialisasi

dari kista Bartholini . Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda- tanda

abses akut.

Gambar 2.7. Marsupialisasi Kista Bartholini (kiri)

20
Suatu insisi vertikal dibuat pada bagian tengah kista, lalu pisahkan mukosa

sekitar; (kanan) Dinding kista dieversi dan ditempelkan pada tepi mukosa vestibular

dengan jahitan interrupted. Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian

anestesi lokal, dinding kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat insisi

vertikal pada vestibular melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari hymenal

ring. Insisi dapat dibuat sepanjang 1.5 hingga 3cm, bergantung pada besarnya kista.

Setelah kista diinsisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi

dengan larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding kista ini

lalu dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa dengan jahitan

interrupted menggunakan benang absorbable 2.0. Kekambuhan kista Bartholini

setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10 %.

Cara:

• Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan betadine.

• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %.

• Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm (insisi sampai diantara

jaringan kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar dengan dasar

selaput himen.

• Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem pada 4 sisi,

sehingga rongga kista terbuka dan kemudian dinding kista diirigasi dengan

cairan salin.

• Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut. Jika

memungkinkan muara baru dibuat sebesar mungkin (masuk 2 jari tangan),

21
dan dalam waktu 1 minggu muara baru akan mengecil separuhnya, dan dalam

waktu 4 minggu muara baru akan mempunyai ukuran sama dengan muara

saluran kelenjar bartholini sesungguhnya.

4. Eksisi (Bartholiniectomy)10,11

Eksisi dari kelenjar Bartholini dapat dipertimbangkan pada pasien yang

tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada

infeksi aktif. Eksisi kista bartholini karena memiliki risiko perdarahan, maka

sebaiknya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum. Pasien

ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit berbentuk linear

yang memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat ujung medial labia

minora dan sekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring. Hati – hati saat

melakukan insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista.Struktur vaskuler terbesar

yang memberi suplai pada kista terletak pada bagian posterosuperior kista. Karena

alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian bawah kista dan mengarah ke superior.

Bagian inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari jaringan sekitar.

Alur diseksi harus dibuat dekat dengan dinding kista untuk menghindari perdarahan

plexus vena dan vestibular bulbi dan untuk menghindari trauma pada rectum.

22
G

Gambar 2.8 Diseksi Kista

Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi utama

dari kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan

diligasi dengan benang chromic atau benang delayed absorbable 3-0.

Gambar 2.9 Ligasi Pembuluh Darah

Cool packs pada saat 24 jam setelah prosedur dapat mengurangi nyeri,

pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, dapat dianjurkan sitz bath

hangat 1-2 kali sehari untuk mengurangi nyeri post operasi dan kebersihan luka.

23
2.9.2 Pengobatan Medikamentosa11,12

Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual

biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia. Idealnya,

antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase. Beberapa

antibiotikyang digunakan dalam pengobatan abses bartholini:

• Infeksi Neisseria gonorrhoe:

Ciprofloxacin 500 mg single dose

Ofloxacin 400 mg single dose

Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan bumil)

Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan bumil)

• Infeksi Chlamidia trachomatis:

Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po

Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po

• Infeksi Escherichia coli:

Ciprofoxacin 500 mg oral single dose

Ofloxacin 400 mg oral single dose

Cefixime 400 mg single dose

• Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :

Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari

24
Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po.

Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.

2.9.3 Komplikasi12

Komplikasi yang paling umum dari abses bartholini adalah kekambuhan.

 Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan

drainase abses.

 Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati.

 Timbul jaringan parut.

25
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. VE
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Pariaman
Suku/bangsa : Minang
Pekerjaan : IRT
Status pernikahan : kawin
Tanggal Masuk : 18 Juli 2018
No. RM : 14 48 03
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : benjolan pada bibir kemaluan sebelah kanan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
 Pasien datang ke RSUD Pariaman dengan keluhan benjolan di bibir
kemaluan sebelah kanan. Benjolan diketahui pertama kali sejak 4
hari yang lalu. Awalnya benjolan tersebut sebesar biji jagung dan
terasa nyeri. Semakin hari benjolan bertambah besar. Nyeri yang
dirasakan juga semakin bertambah, sehingga mengganggu aktivitas
sehari-harinya dan mengganggu kualitas tidurnya.
 Keputihan ada berwarna putih dan tidak berbau.
 Pasien juga merasakan demam pada 4 hari yang lalu.
 BAB dan BAK tidak ada keluhan.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya pada 2 tahun

26
lalu
 Riwayat penyakit jantung, hipertensi, hepar, paru dan DM, ginjal dan
alergi disangkal
d. Riwayat konsumsi alkohol dan rokok : disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular
dan kejiawaan.

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sudah menikah selama, pasien seorang IRT.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal tanggal 22 Oktober 2013 Pk. 12.15 WIB

 Keadaan umum : baik.


 Kesadaran : compos mentis
 Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit isi dan tegangan cukup

Respiratory rate : 20 x/menit

Suhu : 37˚C

 Status gizi : Kesan gizi sedang


a. Status Internus
Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-)
Hidung : tidak ada kelainan
Telinga : tidak ada kelainan

27
Mulut : Bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Torak :
- Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra,
nyeri tekan (-).
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal.
Auskultasi : normal, murmur (-) gallop(-)
Pulmo :
Inspeksi : statis, dinamis, retraksi (-).
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri.
Perkusi : sonor seluruh lapang paru.
Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+, Rh -/-, Wh-/-

Ekstremitas
Superior : akral dingin (-/-), udem kedua tangan (-/-)
Inferior : akral dingin (-/-), udem kedua kaki (-/-)
b. Pemeriksaan ginekologi
 Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, NT (-), NL (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : BU (+) N
 Pemeriksaan genitalia eksterna :
Inspeksi : massa (+) di labia mayor dextra ukuran 2 x 5 cm, batas tegas,
eritem (+), edema (+) fluor albus (+), darah (-).
Palpasi : nyeri tekan (+), panas (+), konsistensi kenyal kesan berisi
cairan.

28
 Pemeriksaan genitalia interna : tidak dilakukan pemeriksaan.

IV. RESUME
Pasien, wanita 37 tahun datang ke RSUD Pariaman dengan keluhan benjolan di
labia mayor dextra.

Dari anamnesis pasien dengan keluhan benjolan di bibir kemaluan sebelah


kanan. Benjolan diketahui pertama kali sejak 4 hari yang lalu. Awalnya benjolan
tersebut sebesar biji jagung dan terasa nyeri. Semakin hari benjolan bertambah besar.
Nyeri yang dirasakan juga semakin bertambah, sehingga mengganggu aktivitas
sehari-harinya dan mengganggu kualitas tidurnya. Keputihan ada berwarna putih dan
tidak berbau. Pasien juga merasakan demam pada 4 hari yang lalu. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah


110/70 mmHg, nadi 80 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup. Frekuensi nafas
20 kali/menit, suhu 37°C.

Pada pemeriksaan genetalia eksterna didapatkan : Inspeksi : massa (+) di labia


mayor dextra, diameter 2 x 5 cm, batas tegas, eritem (+), fluor albus (+), darah (-).

29
Palpasi : nyeri tekan (+), panas (+), konsistensi kenyal kesan berisi cairan.
Pemeriksaan genitalia interna : tidak dilakukan pemeriksaan.

V. DIAGNOSIS
Abses bartholini.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium tanggal 18 Juli 2018.

 Darah rutin
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 12,1
Lekosit 18.610
Eritrosit 3,84 juta
Hematokrit 32,8
Trombosit 313.000

Kesan: Leukositosis

VII. PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
 Menjaga kebersihan area kewanitaan.
 Tirah baring

b. Medikamentosa
 Infus RL 20 tpm.
 Cefotaxim 2x1 gr IV
 Metronidazol 3x500 mg IV
 Asam mefenamat 3x500 mg PO

c. Pembedahan
Insisi dan drainase

30
VIII. MONITORING
a. Perbaikan kondisi umum pasien.
b. Monitoring tanda-tanda infeksi pada lesi.
c. Tanda vital pasien.

IX. EDUKASI
a. Pasien diberitahu mengenai penyakitnya dan penyebab dari penyakitnya
tersebut.
b. Pasien diedukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan di daerah
kewanitaannya.
c. Pasien diberitahu tentang tindakan operasi yang akan dilakukan dan
persiapan-persiapan sebelum operasi.

31
BAB IV

DISKUSI

Seorang wanita usia 37 tahun datang ke RSUD Pariaman dengan keluhan


benjolan di bibir kemaluan sebelah kanan. Benjolan diketahui pertama kali sejak 4
hari yang lalu. Awalnya benjolan tersebut sebesar biji jagung dan terasa nyeri.
Semakin hari benjolan bertambah besar. Nyeri yang dirasakan juga semakin
bertambah, sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya dan mengganggu kualitas
tidurnya. Keputihan tidak ada. Untuk BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien
merasakan demam pada 4 hari lalu.

Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri, dan dispareunia. Pada
abses bartholini didapatkan adanya benjolan pada salah satu sisi bibir kemaluan
(asimetris). Hal itu disebabkan oleh adanya infeksi bakteri pada kelenjar bartholini.
Infeksi tersebut sering disebabkan oleh neisseria gonorrhoeae dan kadang-kadang
streptokokus dan stafilokokus) atau trauma yang kemudian menyebabkan sumbatan
pada saluran ekskresi kelenjar Bartholini. Obstruksi distal saluran bartholini bisa
mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan
pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam
kelenjar.

Pada pemeriksaan genetalia eksterna didapatkan pada inspeksi terdapat massa


(+) di labia mayor dextra, diameter 2 x 5 cm, batas tegas, eritem (+), edema (+), fluor
albus (-), darah (-). Pada palpasi nyeri tekan (+), panas (+), konsistensi kenyal kesan
berisi cairan. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa pada penyakit ini ditemukan
tanda inflamasi pada kelenjar bartholini oleh karena infeksi bakteri. Umumnya
bakteri yang menginfeksi tidak hanya satu bakteri namun gabungan dari beberapa
bakteri diantaranya neisseria gonorrhoeae dan kadang-kadang streptokokus dan
stafilokokus serta E.coli.

Tatalaksana pada pasien berupa non medikamentosa, medikamentosa, serta


pembedahan. Non medikamentosa yang diterapkan yaitu menjaga kebersihan area

32
kewanitaan dan tirah baring. Medikamentosa yang diberikan Cefotaxim 2x1 gr IV,
Metronidazol 3x500 mg IV, Asam mefenamat 3x500 mg PO dan direncanakan untuk
dilakukan pembedahan berupa insisi dan drainase.
Infeksi kelenjar bartolini yang berkembang menjadi abses bartholini

disebabkan oleh neisseria gonorrhoeae dan kadang-kadang streptokokus dan

stafilokokus serta E.coli sehingga pengobatan yang diberikan berupa antibiotik sesuai

dengan sensitivitas bakteri. Untuk neisseria gonorrhoeae dan E.coli diberikan

antibiotik Ciprofloxacin 500 mg single dose atau Cefixime 400 mg oral.

33
BAB V

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk

di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Suatu abses terjadi bila kista

menjadi terinfeksi. Pembesaran kista bartholini bisa terjadi akibat parut setelah

infeksi (terutama yang disebabkan oleh Neisseria gonorrea dan kadang-kadang

streptokok dan stafilokok) atau trauma yang kemudian menyebabkan sumbatan pada

saluran ekskresi kelenjar Bartholini.Obstruksi distal saluran bartholini bisa

mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan

pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam

kelenjar.

Kista Bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang

dirasakan sebagai benda padat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Jika

kista bartholini masih kecil dan tidak terinfeksi, umumnya asimtomatik. Tetapi bila

berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk.

Tanda kista Bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada

salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva.

Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri, dan dispareunia. Pasien

dengan abses dapat memberikan gejala berupa nyeri yang akut disertai

pembengkakan labial unilateral, dispareunia, nyeri pada waktu berjalan dan duduk,

34
nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge (sangat mungkin

menandakan adanya ruptur spontan dari abses).

Penataksanaan terhadap kista dan abses bartholini dapat dilakukan dengan

tindakan operatif dan medikamentosa. Dengan penatalaksanaan yang tepat kista

bartholini dapat disembuhkan, walaupun angka rekurensinya tergolong cukup tinggi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaniary TIN, Martodiharjo S. 2017. Studi Retrospektif: Kista dan Abses


Bartholini. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin-Periodical of
Dermatology and Venereology. Vol. 29(1).52-8.
2. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. 2014. Obstetri Williams. Ed 24 Jakarta:
EGC.
3. Prawirohardjo S. 2011. Ilmu Kandungan. Ed 3. Jakarta: Bina Pustaka Sar.
4. Chen KT. 2015. Disorders of Bartholin gland. Available from :
www.uptodate.com. 1- 10.
5. Omole, F., Simmons BJ., Hacker Y. 2003. Management of Bartholini’s Duct Cyst
and Gland Abscess. Morehouse School of Medicine: Georgia
6. Blumstein, A Howard. 2005. Bartholini Gland Diseases.
http://www.emedicine.com/emerg/topic54.
7. Lee Min Y., Dalpiaz A., Schwamb R., Miao Y., Waltzer W., Ali Khan. Clinical
Pathology of Bartholini’s Glands: A Review of the Literature
8. Hill Ashley, M.D. 2002. Office Management of Bartholini Gland Cyst and
Abscess. http://www.fpnotebook.com/GYN 199.htm
9. Omole,FolashadeM.D. 2003. Management of Bartholini's Duct Cyst and Gland
Abscess. http://www. Aafp.org/afp/20030701/135.html.
10. Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
11. Bunker CB, Neill SM. The Genital, Perianal and Umbilical Regions in : Burn T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology.
Massachusetts:Blackwell Science; 2004. p.68.67
12. S Parvathi, et all. Bartholinitis caused by Streptococcus pneumoniae : Case
report and review of literature. Indian journal of pathology and microbiology.
2009. 52(2): 265-266
13. Tanaka, et all. Microbiology of Bartholini’s Gland Abscess in Japan. Journal of
Clinical Microbiology. 2005 August 43(8): 4258-4261

36
14. Amiruddin DM, Anggreni D, Madjid A, Bartholinitis dan Kista Bartholini in:
Amiruddin DM, ed. Penyakit Menular Seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. P.163-
175.

37

Você também pode gostar