Você está na página 1de 8

‫او ُنِِف ا‬

ِ‫ىِاْل اس اَلم‬ ُ ‫التَّعا‬


(Tolong Menolong Dalam Pandangan Islam)

‫َََل‬
‫ٰ و‬ َۖ
‫ى‬ ‫ْو‬
‫َّق‬
‫َالت‬ ِّ
‫ِ و‬
‫ِر‬ ْ ‫لى‬
‫الب‬ ََ‫نوا ع‬ َُ‫َاو‬
‫تع‬ََ
‫و‬
‫ُوا‬
‫اتق‬َّ َ
‫انِ و‬ۚ َ ُْ
‫دو‬ ْ َ
‫الع‬ ‫ِ و‬‫ثم‬ ِْ ْ ‫لى‬
‫اْل‬ ََ
‫نوا ع‬ َُ‫َاو‬ َ
‫تع‬
ِ‫َاب‬‫ِق‬ ْ ‫د‬
‫الع‬ ُ‫ِي‬ ‫اَّللَ شَد‬
َّ ‫ن‬ َِّ
‫اَّللَ إ‬
َّ
ۖ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [Al-Mâidah:2 Surat Ke-5, Juz Ke-]

Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫َِّللاِ اهذااِنان‬
ُِ‫ص ُرًً ه‬ َّ ‫سو ال‬ ‫ظال ًماِأ ا اوِ امظلُوِ ًماِقاالُواِيا ا‬
ُ ‫اِر‬ ‫صرِأاخ ا‬
‫ااكِ ا‬ ُ ‫ا ان‬
ُِ ‫ظال ًماِقاا ال اًِتاأ ا‬
ِ‫خذُِفا اوقا ِياداياه‬ ‫ص ُرهُِ ا‬
ُ ‫افِنا ان‬ ‫ام ا‬
‫ظلُو ًماِفا اكي ا‬
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang
bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong
orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan
kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]
‫الدالُِ اعلا ا‬
ِ‫ىِال اخيارِ اكفااِعله‬
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]

Interaksi dengan Non Muslim yang Dibolehkan


Setelah kami membahas berkenaan dengan ucapan selamat natal, agar tidak disalahpahami, sekarang
kami akan utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’)
pada orang kafir. Dalam penjelasan kali ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah
dengan mereka yang hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan.

Para pembaca -yang semoga dirahmati oleh Allah- kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu
ada empat macam:

1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum
muslimin memiliki perjanjian.
2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka
mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap
mereka.
3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh
penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi
orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka.[1]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri
kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ِ‫َِِّللاِِث ُ َّمِِأابال اغهُِِ امأ ا امناهُِِذالكاِِبأانَّ ُه امِِقا اومِِْلِيا اعلا ُمونا‬
‫اركاِِفاأاج ارهُِِ احتَّىِيا اس ام اعِِ اك ا‬
َّ ‫َلم‬ ‫اوإ انِِأ ا احدِِم ا‬
‫ناِِال ُم اشركيناِِا است ا اج ا‬
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah
ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”(QS. At Taubah: 6)
Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka
berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ُِ ‫علاىِأاْلِت ا اعدلُواِاعادلُواِ ُه اِوِأ ا اق ار‬
ِ‫ب‬ ‫اآنِقا اومِِ ا‬
ُِ ‫شن‬ ‫ش اهداا اِءِب االقساطِِ اوْلِ ايجا ر امنَّ ُك اِمِ ا‬
ُ ِ‫لِل‬ َِّ ِِ‫اياِأايُّ اهاِالَّذيناِِآ امنُواِ ُكونُواِقا َّوامينا‬
ِ‫َّللااِخابيرِِب اماِت ا اع املُونا‬ َِّ ِ‫للت َّ اق اوىِ اواتَّقُوا‬
َِّ ‫َّللااِإ‬
َِّ ِ‫ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al
Maidah: 8)
Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian
sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti
telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk
mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang
mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah
Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan,
“Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut
masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji
bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.”[2]
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena
Allah Ta’ala berfirman,
‫َّناِِالر اشدُِِم ا‬
ِ‫ناِِالغاي‬ ُّ ‫ْلِإ اك اراهاِِفيِالدينِِقا ادِِتاباي‬
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa
seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang.
Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri
hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti
telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah
butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk
Islam.”[3]
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam,
tanpa harus dipaksa.

Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
‫يرةِِأ ا ارباعيناِِ ا‬
‫عا ًما‬ ِ‫نِ امس ا‬ َِّ ‫ِ اوإ‬،ِِ‫لِ ُمعااهدًاِلا اِمِيا ارحاِِ ارائ اح ِةاِ اال اجنَّة‬
ِ‫نِري اح اهاِتُو اج ِدُِم ا‬ ِ‫نِقات ا ا‬
ِ‫ام ا‬
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau
surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”[4]
Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan
transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat
di hadapan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
‫ش ايئًاِبغايارِِطيبِِنا افسِِفاأانااِ احجي ُجهُِِيا او ام ا‬
ِ‫ِِالق ايا امة‬ ‫طاقاتهِِأ ا اوِِأ ا اخذاِِم انهُِِ ا‬
‫صهُِِأ ا اوِِ اكلَّفاهُِِفا اوقاِِ ا‬
‫ظلا امِِ ُم اعاهدًاِأاوِِا انتاقا ا‬
‫أاْلاِِ ام انِِ ا‬
“Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka
beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka
akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.”[5]
Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan
dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq
yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala
berfirman,
‫اوقُولُواِللنَّاسِِ ُح اسنًا‬
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini
umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫سي اُورث ُ ِه‬ ‫لِب اال اجارِِ احتَّىِ ا‬
‫ظنا انتُِِأانَّ ِهُِ ا‬ ُِ ‫لِيُوصينىِجباري‬
ِ‫اماِزا ا ا‬
“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga
tersebut akan mendapat warisan.”[6]
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya
adalah wa ‘alaikum.[7] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫لِ االكت اابِِفاقُولُواِ او ا‬
ِ‫علا اي ُك ام‬ ُِ ‫علا اي ُك اِمِأ ا اه‬
‫سلَّ اِمِ ا‬
‫إذااِ ا‬
“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.”[8]
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ‫سَلام‬
َّ ‫ارىِبال‬
‫ص ا‬‫ْلاِت ا ابدا ُءواِ اال اي ُهو ِداِ اوالنَّ ا‬
ِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.”[9]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan
adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama
tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah
kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini berdasarkan
keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ِِر ا‬
ِ‫ط ابةِِأاجا ر‬ ‫فىِ ُكلِِ اكبد ا‬
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”[10]
Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan
memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk
Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu
sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim
diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa
menimbulkan rasa cinta pada mereka.
Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan transaksi jual
beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki
(tanpa harus pergi ke negeri kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama
wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami
dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ِِ‫صنااتُِِمناِِ اال ُمؤا مناات‬
‫طعاا ُم ُك اِمِحلِِلا ُه اِمِ او اال ُمحا ا‬ ِ‫طعاا ُِمِالَّذيناِِأُوتُواِ االكت ا‬
‫اابِحلِِلا ُك اِمِ او ا‬ َِّ ‫االيا او اِمِأُح‬
َّ ِ‫لِلا ُك ُِم‬
‫الطيبااتُِِ او ا‬
‫نِقابال ُك اِم‬ ِ‫صنااتُِِمناِِالَّذيناِِأُوتُواِ االكت ا‬
ِ‫اابِمِ ا‬ ‫او اال ُمحا ا‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ingat,
seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau
dianjurkan.
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan
Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,

ِ‫نِحلِِلا ُه اِمِ اوْلِ ُه اِمِياحلُّوناِِلا ُه َّن‬


َِّ ‫ْلِ ُه‬
“Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh
yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan dua syarat:
1. Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir.
2. Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang dibantu.
Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.
Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar
tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ِ‫علا اي اهاِ او اال ُم اؤلَّفاةِِقُلُوبُ ُه ام‬
‫ساكينِِ او االعاامليناِِ ا‬
‫صداقااتُِِل الفُقا اراءِِ او اال ام ا‬
َّ ‫إنَّ اماِال‬
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-
pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At Taubah: 60)
Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri
pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut
berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.
***

Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan
mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang
dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Hukum Arisan Kurban dan Berutang untuk Kurban


Bolehkah berutang untuk kurban? Seperti yang dilakukan oleh orang saat ini dengan arisan kurban.
Karena arisan sama saja dengan berutang.

Allah Ta’ala berfirman,


َ‫تَ ُجنُوبُ َهاَفَ ُكلُواَ ِم ْن َها‬
َْ َ‫افَفَإِذَاَ َو َجب‬
َّ ‫ص َو‬ َ َ‫َللاَ َعلَ ْي َها‬ َِّ َ‫َللاَلَ ُك َْمَ ِفي َهاَ َخيْرََفَا ْذ ُك ُرواَاس ََْم‬ َِّ َ‫شعَا ِئ َِر‬ َْ ‫َو ْالبُدْنَََ َجعَ ْلنَاهَاَلَ ُك َْمَ ِم‬
َ َ‫ن‬
ََ‫س ّخ ْرنَاهَاَلَ ُك َْمَلَعَلّ ُك َْمَت َ ْش ُك ُرون‬َ َََ‫ط ِع ُمواَ ْالقَانِ ََعَ َو ْال ُم ْعت ََّرَ َكذَ ِلك‬ْ َ ‫َوأ‬
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam
keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya
dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang
yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan
kamu bersyukur.” (QS. Al Hajj: 36).
Ibnu Katsir mengatakan mengenai maksud “kebaikan” dalam ayat tersebut, yaitu balasan pahala di
negeri akhirat. Sedangkan, Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud kebaikan di situ adalah pahala
dan kemanfaatan. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 415 dan 416.
Jadi ayat tersebut menerangkan bahwa kurban itu akan memperoleh kebaikan yang banyak. Sehingga
sebisa mungkin seorang muslim meraih kebaikan ini meski dengan cara berutang.

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, ”Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun
menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, ”Apakah betul engkau mencari utangan dan
telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, ”Aku telah mendengar firman Allah,
َ‫لَ ُك َْمَ ِفي َهاَ َخيْر‬
“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
5: 415).
Untuk masalah akikah, Imam Ahmad berkata,

‫إذاَلمَيكنَمالكاََماَيعقََفاستقرضَأرجوَأنَيخلفََللاََعليهَ؛َألنهَأحياَسنةَرسولََللاََصلىَهللاَعليهَوسلم‬
“Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan
menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam.” (Matholib Ulin Nuha, 2: 489, dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 278). Untuk kurban pun
berlaku demikian, bisa dengan berutang.
Dalam Fatwa Islam Web no. 7198 disebutkan,
َ،‫َألجلَمعلوم‬،‫َأوَالمؤجل‬،‫فمنَكانَغيرَواجدَللمالَالذيَيكفيَلشراءَاألضحيةَفاشترىَأضحيتهَبالدينَالمقسط‬
َ‫َبلَإنَمنَأهلَالعلمَمنَاستحبَلغيرَالواجدَأنَيقترضَلشراء‬،َ‫َوالَحرجَعليه‬،‫وضحىَبهاَأجزأهَذلك‬
َ .‫َإذاَعلمَمنَنفسهَالقدرةَعلىَالوفاء‬،‫أضحيته‬
َ‫َفهذا‬.‫َإالَأنهَالَيجدَاآلنَالسيولةَالكافيةَلشراءَاألضحية‬،‫وليسَمنَهذاَالبابَمنَكانتَعندهَسعةَمنَالمال‬
.‫َوهللاَتعالىَأعلم‬.‫َفعليهَأنَيقترضَحتىَيضحي‬،‫َألنهَواجدَفيَالحقيقة‬،‫مخاطبَباألضحية‬
“Siapa yang tidak mendapati kecukupan harta untuk membeli hewan kurban, maka hendaklah ia membeli
kurban dengan cara berutang (menyicil) atau dibayar pada waktu akan datang yang telah disepakati
(dijanjikan). Jika seseorang berkurban dalam keadaan berutang seperti ini, kurbannya sah, tidak ada
masalah baginya. Bahkan sebagian ulama ada yang menganjurkan bagi orang yang tidak mendapati
harta saat berkurban supaya ia mencari pinjaman untuk membeli hewan kurban dengan catatan ia
mampu untuk melunasi utangnya.

Hal ini tidaklah masuk dalam masalah orang yang tidak punya kelapangan rezeki. Namun saat ingin
berkurban, ia tidak punya kecukupan harta untuk membeli hewan kurban padahal ia sudah terkena
perintah berkurban. Karena kenyataannya ia termasuk oramg yang mampu. Maka saat itu hendaklah ia
berutang untuk tetap bisa berkurban. Wallahu Ta’ala a’lam.”
Catatan untuk yang melaksanakan arisan kurban,

1- Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan
berarti berutang.

2- Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik
setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.

3- Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang
untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.

Selengkapnya mengenai hal di atas, baca artikel Hukum Qurban Secara Kolektif.
Semoga sajian yang singkat ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Wizaroh Al Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah, Kuwait.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

َ‫َوهلَهوَمنَبابَالقرضَالذي‬،‫َوكلَشخصَمنهمَيأخذهَشهريًّا‬،‫َماَ ُحكمَماَيسمىَ”َجمعية”َوهوَعبارةَعنَعدةَأشخاصَيدفعونَمبلغاَمنَالمال‬:‫أحسنَهللاَإليك؛َيقول‬
‫يجرَنفعاَ؟‬
Pertanyaan, “Apa hukum arisan? Arisan adalah sekumpulan orang yang menyerahkan sejumlah uang setiap bulan
sehingga ada orang yang secara bergilir mendapatkan uang-uang tersebut setiap bulannya. Apakah ini termasuk
transaksi hutang piutang yang membuahkan manfaat tambahan?”
َ،‫َثمَالثانيَفيَالشهرَالثاني‬،‫َيستلمَرواتبَالجميعَمرة‬،‫َثمَكلَواحدَيستلمَرواتبهمَمرة‬،‫َيكونَاإلنسانَمحتاجاَعشرةَأوَعشرين‬:‫َيعني‬،‫َهذاَسببَتعاوني‬،‫هذاَالَبأسَبه‬
‫َليسَفيهَشيءَبهذهَالمثابة‬،‫ثمَالثالث‬.
Jawaban Syaikh Abdul Azizi ar Rajihi, “Hal ini hukumnya adalah tidak mengapa. Arisan itu termasuk dalam bagian
dari upaya tolong menolong. Ada sepuluh atau dua puluh orang kemudian setiap orang menerima uang yang berasal
dari gabungan semua anggota arisan secara bergilir. Kegiatan semacam ini tidaklah masalah”.
Sumber:
http://shrajhi.com/?Cat=1&Fatawa=472
Catatan:
Mubah adalah hukum asal arisan menurut pendapat yang paling kuat. Namun hukum asal ini bisa berubah dalam
kondisi tertentu karena ada ketidakadilan dalam pelaksanaan arisan

1. Arisan termasuk urusan muamalat manusia, dan kaidahnya “Asal dalam muamalah
adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya”. Bahkan, arisan merupakan salah
satu bentuk sosial yang dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan sesama.

2. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Arisan hukumnya adalah boleh, tidak terlarang.
Barangsiapa mengira bahwa arisan termasuk kategori “memberikan pinjaman dengan
mengambil manfaat” maka anggapan tersebut adalah keliru, sebab semua anggota
arisan akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan gilirannya masing-masing”. (Syarh
Riyadhus Shalihin, 1:838)

3. Ringkasnya, arisan hukumnya boleh bahkan memiliki manfaat. Namun perlu


diingatkan bahwa dalam acara arisan hendaknya diisi dengan sesuatu yang bermanfaat
seperti pengajian, nasihat atau hal-hal yang bermanfaat, minimal adalah perkara-
perkara yang mubah, janganlah mengisi acara arisan dengan hal-hal yang haram
seperti yang banyak terjadi, seperti: ghibah, mendengar nyanyian, senda gurau yang
berlebihan dan lain sebagainya.

Dijawab oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

ARISAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Hampir seluruh penduduk di pelosok tanah air mengenal yang namanya arisan. Arisan yang
berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula,
arisan semen dan lain-lain. Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab
juga telah dikenal sejak abad ke sembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan
istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni, hingga kini fenomena ini masih
berkembang dengan pesat. Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan
penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama. Apalagi permasalah ini
termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para salaful ummah dahulu. Fenomena
ini demikian semarak dilakukan kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu
mereka serta bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam?
HAKEKAT ARISAN
Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu
diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota
memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976
hlm:57)
Ini sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan istilah jum’iyyah al-
Muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni. Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama
sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang
yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap
bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya, kemudian semua uang yang terkumpul
dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan
–sesuai dengan kesepakatan mereka-. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka
menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang sebelumnya. Terkadang arisan ini
berlangsung satu putaran atau dua putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota.
Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang
menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya kecuali orang yang pertama
mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga
orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi hutang kepada anggota.
Berdasarkan hal ini, apabila salah seorang anggota ingin keluar dari arisan pada putaran pertama
diperbolehkan selama belum pernah berhutang (belum menarik arisannya). Apabila telah berhutang
maka ia tidak punya hak untuk keluar hingga selesai putaran arisan tersebut sempurna atau
melunasi hutang-hutang kepada setiap anggota arisan.
Berdasarkan definisi diatas, para Ulama memberikan tiga bentuk arisan yang umum beredar di
dunia; yaitu:
Pertama : Sejumlah orang bersepakat untuk masing-masing mereka membayarkan sejumlah uang
yang sama yang dibayarkan pada setiap akhir bulan atau akhir semester dan semisalnya. Kemudian
semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan dalam bulan pertama untuk salah seorang dari
mereka dan pada bulan berikutnya untuk yang lain dan seterusnya sesuai kesepakatan mereka.
Demikian seterusnya hingga setiap orang menerima jumlah uang yang sama dengan yang diterima
oleh anggota sebelumnya. Arisan ini bisa berlanjut dalam dua putaran atau lebih tergantung
kesepakatan dan keridhaan peserta. Dalam bentuk ini tidak ada syarat harus menyempurnakan satu
putaran.
Kedua : Bentuk ini menyerupai bentuk yang pertama, namun ada tambahan syarat semua peserta
tidak boleh berhenti hingga sempurna satu putaran.
Ketiga : Bentuk ini mirip dengan bentuk kedua, hanya saja ada tambahan syarat harus
menyambung dengan putaran berikutnya.
Hukum Arisan Secara Umum
Ada dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang dijelaskan dalam
hakekat arisan diatas, tanpa ada syarat harus menyempurnakan satu putaran penuh.
Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah al-
Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh
Abdurrahman al-Barak.
Argumentasi mereka adalah:
1. Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad hutang bersyarat yaitu
menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang
membawa keuntungan (qardh jarra manfaatan). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang
memberikan kemanfaatan maka itu adalah haram dan riba, seperti dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir
dalam kitab al-Ijma’, halaman ke-120 dan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 6/346.
2. Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap wajah Allah dan
membantu meringankan orang yang berhutang. Oleh karena itu dilarang orang yang
menghutangkan menjadikan hutang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang
berhutang.
3. Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi seperti dua jual beli dalam
satu transaksi (bai’atain fi bai’ah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘alihi wa sallam yang berbunyi:
َ ‫ي ص ّل هللا عليه وسلّم‬
‫ع ْن بَ ْيعَتَي ِْن ف ِْي بَ ْيعَة‬ ُّ ِ‫نَ َهى النَّب‬
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli [HR. Ahmad dan
dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 5/149]
Itu adalah pendapat sekelompok Ulama yang pertama, sedangkan kelompok yang lain berpendapat
bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-hafizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826), (lihat
Hasyiyah al-Qalyubi 2/258) fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai’ah Kibaar al-
Ulama) Saudi Arabia, diantara mereka Syaikh Abdulaziz bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu) dan
Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin.
Argumentasi mereka adalah:
1. Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena hutang yang membantu
meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang dapat memanfaatkan uang tersebut
dalam waktu tertentu kemudian ia mengembalikannya sesuai dengan jumlah urnag yang diambilnya
tanpa ada penambahan dan pengurangan. Inilah hakekat hutang (al-qardh al-mu’tad) yang sudah
diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para Ulama. Arisan adalah salah satu
bentuk hutang. Hutang dalam arisan serupa dengan hutang-hutang biasa, hanya saja dalam arisan
berkumpul padanya hutang dan menghutangkan (piutang) serta pemanfaatan lebih dari seorang.
Namun kondisi ini tidak menyebabkan dia terlepas dari hakekat dan penamaan hutang.
2. Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah halal. Semua transaksi yang tidak ada dalil syariat
yang mengharamkannya diperbolehkan. Anggap saja arisan ini tidak termasuk jenis hutang, maka ia
tetap pada hukum asalnya yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang melarangnya.
3. Arisan berisi unsur kerjasama, tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, karena ia adalah
salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang butuh dan menolong mereka untuk menjauhi
mu’amalat terlarang.
4. Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak mengurangi sedikit pun harta orang yang minjam
uang dan kadang orang minjam mendapatkan manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang
lainnya. Sehingga mashlahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh peserta
arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau mendapatkan tambahan manfaat
pada pemberi hutangan yang menjadi tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan
mengharamkan kemashlahatan yang tidak berisi kemudharatan.
PENDAPAT YANG RAJIH
Setelah melihat argumentasi para Ulama di atas, penulis buku Jum’iyyah al-Muwadzafin
Prof.DR.Abdullah bin Abulaziz al-Jibrin merajihkan pendapat yang membolehkan dengan alasan:
1. Kuatnya argumentasi pendapat ini
2. Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena:
• Alasan pertama pendapat ini lemah disebabkan arisan tidak termasuk hutang bersyarat,
sebagaimana telah diungkapkan oleh pemilik pendapat yang membolehkan.
• Alasan kedua juga lemah karena hutang diperbolehkan walaupun tidak diniatkan mendapatkan
pahala dan keridhaan Allah. Karena hutang pada hakekatnya disyariatkan untuk membantu orang
yang membutuhkannya.
• Alasan ketiga juga lemah karena hadits larangan dua jual beli dalam satu akad tidak pas
diterapkan pada arisan ini.
3. Pendapat yang membolehkan lebih pas dan sesuai dengan ushul dan kaedah syariat, karena
seluruh syariat dibangun di atas dasar “mengambil maslahat dan menolak kemudharatan dan
kerusakan”.
Dengan demikian jelaslah hukum Arisan tanpa syarat yang menjadi bentuk pertama ini hukumnya
adalah boleh.
HUKUM BENTUK KEDUA YAITU ARISAN DENGAN SYARAT HARUS SEMPURNA SATU
PUTARAN
Dalam bentuk yang kedua ini, para Ulama pun berbeda pendapat sama dengan bentuk yang
pertama. Pendapat yang mengharamkannya menganalogikan (qiyas) kepada pengahraman bentuk
pertama. Sehingga argumentasi seputar pengaharaman bentuk ini sama dengan bentuk yang
pertama dengan ditambahkan adanya syarat tambahan syarat manfaat untuk yang menghutangkan.
Syarat tambahan itu adalah adanya pihak ketiga atau lebih yang meminjamkan uangnya (dengan
membayar iuran arisan tersebut). Ini tidak diperbolehkan karena riba disebabkan adanya tambahan
manfaat keuntungan yang didapatkan oleh pemberi hutang.
Pendapat ini dapat dijawab bahwa syarat yang disepakati para Ulama dalam mengaharamkan dan
memberlakukan hukum riba pada sesuatu adalah adanya penetapan syarat manfaat berupa
keuntungan yang dirasakan dan diperoleh oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang hanya
karena semata-mata hutang. Dan ini tidak ada dalam bentuk arisan ini; karena manfaat keuntungan
yang disyaratkan disini tidak diberikan oleh penghutang sama sekali dan juga manfaat
keuntungannya dirasakan oleh semua peserta arisan kecuali yang dapat urutan terakhir karena ia
hanya memberikan hutang terus dan tidak berhutang kepada yang lainnya.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Abdullah bin Jibrin membolehkan arisan bentuk ini.
PENDAPAT YANG RAJIH
Prof. DR. Abdullah Ali Jibrin setelah meneliti dan menjelaskan argumentasi para Ulama seputar
masalah ini, beliau mengatakan,”Belum nampak bagiku adanya faktor yang menyebabkan
terlarangnya arisan yang bersyarat seperti ini. Tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan sandaran
dalam mengharamkannya. Hukum asal dalam mu’amalat itu halal. Arisan ini memiliki manfaat untuk
semua pesertanya tanpa menimbulkan madharat pada salah satu dari mereka. [Jum’iyyah al-
Muwadzaffin,hlm 53].
Dengan demikian bentuk kedua inipun diperbolehkan secara syariat.
BENTUK KETIGA BERSYARAT SELURUH PESERTA HARUS MENYEMPURNAKAN LEBIH DARI
SEKALI PUTARAN
Hakekat model arisan seperti ini adalah arisan dengan syarat pemberi hutang memberikan syarat
kepada orang yang akan berhutang kepada mereka untuk menghutangkan kepadanya di putaran
kedua dan seterusnya.
Hukum masalah ini pun berkisar pada masalah bolehkah orang yang menghutangkan sesuatu
menetapkan syarat pada yang berhutang untuk memberinya hutangan di waktu yang akan datang
dan apakah syarat tersebut memberikan tambahan manfaat keuntungan pada pemberi hutang
pertama?
Yang rajih dalam bentuk ini adalah haram, karena ada padanya syarat tambahan manfaat
keuntungan untuk yang menghutangkan hanya karena hutang yang pertama tadi.
Demikianlah hukum arisan yang belum mengalami perubahan dan tambahan-tambahan. Sedangkan
arisan-arisan yang berkembang dewasa ini, masih harus diteliti kembali kehalalannya dengan
melihat sistem yang dibuat dalam arisan tersebut. Apabila sesuai dengan yang telah dijelaskan
hakekatnya maka hukumnya adalah yang sudah dijelaskan diatas. Apabila tidak sesuai maka harus
diteliti dan dihukumi sesuai dengan system yang diperlakukan dalam bentuk arisan tersebut.
Wallahu a’lam

Você também pode gostar