Você está na página 1de 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315941744

Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis dengan Menggunakan Critical Pain


Observation Tool(CPOT) di Intensive Care Unit(ICU)

Article · August 2016


DOI: 10.24198/jkp.v4n2.6

CITATIONS READS

0 2,116

3 authors, including:

Ayu Prawesti Nursiswati Nursiswati


Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
14 PUBLICATIONS   1 CITATION    11 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pelatihan Manajemen Bencana Bagi Anggota Padjadjaran Nursing Corps (PNC) View project

All content following this page was uploaded by Ayu Prawesti on 09 August 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis dengan Menggunakan Critical Pain
Observation Tool (CPOT) di Intensive Care Unit (ICU)

Ayu Prawesti Priambodo, Kusman Ibrahim, Nursiswati


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email : ayu.prawesti@unpad.ac.id

Abstrak

Penggunaan alat ukur pengkajian nyeri yang sistematik dan terstandar pada pasien kritis yang tidak mampu
untuk melaporkan rasa nyeri adalah suatu hal yang perlu diperhatikan. Behavioural pain scales (BPS) adalah alat
ukur yang lebih dini dan banyak digunakan di area keperawatan kritis. Critical pain observation tools (CPOT)
adalah alat yang dikembangkan menggunakan unsur-unsur rasa nyeri yang ada pada beberapa alat ukur pengkajian
nyeri, termasuk BPS, namun CPOT belum banyak dikenal dan digunakan. Tujuan penelitian adalah melihat
kesesuaian alat ukur CPOT dengan alat ukur BPS. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan
Crosssectional dengan sampel pasien GICU (General Intensive Care Unit) dengan penurunan kesadaran dan
menggunakan ventilasi mekanik sebanyak 48 pasien. Teknik pengambilan sampel dengan consecutive sampling.
Pengkajian dilakukan dengan observasi skala nyeri menggunakan BPS dan CPOT pada saat pasien kondisi istirahat
dan positioning untuk melihat keandalan alat ukur nyeri. Hasil uji beda dan korelasi pada hasil pengukuran nyeri
pada BPS dan CPOT adalah bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa BPS dan CPOT dapat mengukur perbedaan
intensitas nyeri saat istirahat dengan saat positioning. Hasil uji kesesuaian (kappa) pengukuran BPS dengan CPOT
memiliki nilai kesesuaian yang bermakna, dengan nilai kesesuaian (kappa) BPS-CPOT pada kondisi istirahat
sebesar 0,937, sedangkan nilai kesesuaian (Kappa)BPS-CPOT pada kondisi positioning sebesar 0,265. BPS dan
CPOT adalah alat penilaian nyeri yang dapat digunakan dalam menilai rasa sakit dan meningkatkan manajemen
nyeri pada pasien kritis. CPOT lebih mudah digunakan dan aplikatif karena memiliki definisi operasional yang jelas.

Kata kunci : Behavioural pain scale, Critical pain observation tool, pasien kritis.

Pain Assessment among Critically Ill Patients using the Critical Pain
Observation Tool (CPOT) in the Intensive Care Unit

Abstract
A systematic and standardised tool to assess pain experienced by critically ill patients has been previously
highlighted. The BPS is the common tool used in the intensive care setting which can be used. But, the Critical
Pain Observation Tool (COPT) has not been used extensively in the hospital. Thus, the efficacy of this tool needs
to be examined. This descriptive observational study aimed to find an agreement of CPOT with BPS using a cross-
sectional method recruited 48 participants with consecutive sampling technique. Pain assessment was performed
during a resting and positioning period to check the agreement of the tools. Data was analysed using Cohen’s
Kappa index analysis. Findings demonstrated a significance difference of pain intensity measured by BPS and
CPOT during the period of resting (κ = 0.937) and positioning (κ = 0.265). Thus, BPS and CPOT are reliable
scales to measure pain intensity. It is expected that those tools can help nurses to improve pain management for
critically ill patients. However, CPOT is considered more applicable and user-friendly compared to the BPS.

Keywords: Behavioral Pain Scale, Critical Pain Observation Tool, critical nursing care.

162 Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

Pendahuluan masih merupakan ‘standar emas’ dalam


pengkajian nyeri sesuai dengan pedoman
Pasien di unit perawatan intensive memiliki dari International Association for The Study
berbagai pengalaman yang kompleks of Pain. Di area keperawatan kritis banyak
dan kondisi yang mengancam jiwa, dan pasien dengan sedasi dan intubasi yang tidak
memiliki masalah dengan rasa nyeri dan mampu berkomunikasi untuk menunjukkan
ketidaknyamanan (Gelinas, 2007). Insidensi tingkat rasa nyeri mereka, baik secara lisan
nyeri pada pasien kritis lebih besar dari atau dengan menunjukkan tingkat rasa nyeri
50 %, pengalaman nyeri dirasakan ketika mereka dengan menggunakan alat bantu skala
istirahat maupun selama menjalani prosedur nyeri, hal ini membuat pegkajian nyeri sulit
klinis yang rutin dilaksanakan (Chanques et dilakukan dalam kelompok pasien ini (Pasero,
al., 2006, Payen et al., 2007, Puntillo et al., 2009). Hal ini yang menyebabkan pengkajian
2014). Sumber nyeri yang telah diidentifikasi nyeri di area keperawatan kritis merupakan
adalah traumatik injuri, standar prosedur hal yang sangat kompleks..
(pengangkatan drain/tube, mobilisasi, suction Kompleksnya pengkajian nyeri di area
endotrakeal), penyakit akut, pembedahan, keperawatan kritis memerlukan pengkajian
peralatan invasif (Siffleet et al., 2007, Puntillo nyeri yang komprehensif sebagai evaluasi
et al., 2014). Tidak adekuatnya pengkajian yang objektif melalui pengamatan pada
nyeri dapat menyebabkan tidak dikenalinya indikator rasa nyeri. Namun, tidak ada alat
masalah nyeri sehingga nyeri tidak tertangani. yang sempurna untuk mengevaluasi rasa nyeri.
Nyeri yang tidak ditangani secara optimal Penggunaan skala nyeri berdasarkan indikator
dapat menimbulkan dampak yang buruk perilaku direkomendasikan untuk pasien yang
terhadap fungsi fisiologis (fluktuasi tanda- tidak bisa mengkomunikasikan rasa nyerinya,
tanda vital, nosokomial infeksi), meningkatkan dengan mengamati fungsi motorisnya (Barr et
waktu rawat inap di ICU, meningkatkan waktu al., 2013)
penggunaan ventilator (Canques et al., 2006, Puntillo et al. (2014) meneliti perilaku
De Jong et al., 2013, Sessler et al., 2008, yang ditunjukkan oleh pasien yang mengalami
Payen et al., 2009, Futier et al., 2012). Selain rasa nyeri dan mengidentifikasi sejumlah
hal tersebut, nyeri yang tidak tertangani indikator perilaku nyeri (pada pasien yang
juga bisa menyebabkan peningkatan tekanan sadar) dengan tujuan untuk dijadikan acuan
intra kranial (Bor Seng et al., 2013), pada dalam mengidentifikasi rasa nyeri pada
level yang tinggi juga memiliki konsekuensi pasien dengan sedasi dan tidak sadarkan diri.
menimbukan post traumatic stres disorder Termasuk meringis, kekakuan, menutup mata,
(Myhren et al.,2010) dan mengepalkan tangan.
Manajemen yang tepat dari nyeri tergantung Berbagai alat ukur nyeri telah tersedia,
pada pengkajian nyeri yang sistematis dan tetapi belum secara pasti keandalannya untuk
akurat (Herr et al., 2006). Nyeri seharusnya diterapkan dalam beragam populasi pasien
dikaji secara rutin dan terstruktur, tetapi hal ICU. Tahka et al (2009) mengidentifikasi lima
ini seringkali tidak dilakukan (Barr et al., alat ukur pengkajian nyeri untuk digunakan
2013). Alat ukur pengkajian nyeri yang valid pada pasien kritis yang tidak mampu
dan direkomendasikan telah tersedia, namun memverbalisasikan intensitas nyerinya,yaitu
banyak perawat yang tidak menggunakannya Behavioral Pain Scales (BPS), Critical
(Rose et al., 2012). Banyak pasien di ICU yang Care Pain Observation Tool (CPOT), Non
karena kondisi penyakitnya, menyebabkan Verbal Adult Pain Assessment Scale (NVPS),
pasien tidak sadarkan diri atau menggunakan Pain Assessment and Intervention Notation
alat bantu napas ventlator, sehingga mereka Algorithm (PAIN), dan Pain Assessment
tidak dapat mengkomunikasikan rasa nyerinya. Algorithm.
Hal ini menjadi suatu tantangan bagi perawat Berdasarkan studi Tahka et al. (2009)
ICU, kerena beratnya intensitas nyeri pasien disimpulkan bahwa diantara 5 alat ukur nyeri
sering diremehkan (Ahlers et al., 2008). Hal yang dikaji, BPS, CPOT dan NVPS memiliki
ini disebabkan karena terdapat kelompok nilai terbaik dalam quality assessment.
pasien ICU yang tidak dapat berkomunikasi Alat ukur BPS dan CPOT dinilai memiliki
secara efektif, sedangkan metoda self- report banyak kesamaan, yaitu alat ukur dengan satu

Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016 163


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

dimensi dan telah banyak diuji di area tatanan kesadaran somnolens dan stupor, memiliki
keperawatan kritis. Pada BPS dan CPOT hemodinamik stabil.
seluruh evaluasi nyeri didasarkan pada tanda- Pasien dilakukan pengkajian nyeri pada
tanda perilaku (behaviour). Fokus BPS dan saat pasien istirahat dan pada saat prosedur
CPOT adalah pada perubahan yang dihasilkan yang menyakitkan (nociceptive) yaitu
dari peningkatan intensitas nyeri di kedua perubahan posisi (repositioning). Pengkajian
parameter. Berbeda dengan CPOT dan BPS, nyeri dilakukan menggunakan BPS yang
NVPS menggunakan gerakan tubuh dengan berdasarkan pada tiga domain : ekspresi wajah,
cara yang mirip dengan BPS dan CPOT, tetapi gerakan ekstremitas atas, dan kepatuhan
untuk ekspresi wajah penilaiannya bergantung dengan ventilasi mekanik (compliance
pada durasi ekspresi yang menunjukkan rasa ventilated). Pada pasien yang sama kemudian
nyeri selama periode pengukuran. Pada BPS dilakukan pengkajian nyeri dengan CPOT
dan CPOT seluruh evaluasi nyeri didasarkan yang berdasarkan pada empat domain: ekspresi
pada tanda-tanda perilaku (behaviour). wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot, dan
BPS ditemukan lebih dini dan lebih banyak kepatuhan dengan ventilasi mekanis untuk
digunakan daripada CPOT, namun CPOT pasien dengan intubasi dan vokalisasi untuk
memiliki indikator yang lebih komprehensif pasien ekstubasi. Pasien dinilai 0, 1, atau 2
dan memiliki definisi operasional yang lebih pada empat domainnya, CPOT memberikan
detil. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan nilai keseluruhan dari 0 (tidak ada rasa sakit)
melihat kesesuaian CPOT dengan BPS. sampai 8 (sakit maksimum) (Gelinas, Fillion,
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan et al, 2006).
alat ukur pengkajian yang tepat dan terbaik Pengujian nilai kesesuaian antara alat ukur
untuk meningkatkan kualitas perawatan untuk CPOT dengan BPS, melalui beberapa tahap
pasien dengan sakit kritis. yaitu:
1. Uji beda rerata respon skor nyeri saat
istirahat dan saat mobilisasi pada dua alat
Metode Penelitian ukur Behavioural Pain Scales (BPS) dan
Critical Pain Observation Tools (CPOT).
Penelitian ini merupakan observasional 2. Uji hubungan dari dua alat ukur,
analitik dengan rancangan cross sectional. Behavioural Pain Scales (BPS) dan
Sampel penelitian adalah 48 pasien kritis Critical Pain Observation Tools (CPOT)
dengan penurunan kesadaran dan ventilasi dalam mengkaji nyeri pada pasien kritis
mekanis yang menjalani perawatan di ruang dengan penurunan tingkat kesadaran
General Intensive Care Unit (GICU) di Rumah (unconscious) dan ventilasi mekanik.
Sakit Hasan Sadikin Bandung. Penelitian 3. Uji kesesuaian (agreement) alat ukur
menggunakan Consecutive sampling, dengan Behavioural Pain Scales (BPS) dengan
kriteria sampel berusia ≥ 18 tahun, tidak dapat Critical Pain Observation Tools (CPOT)
melaporkan rasa nyerinya, menggunakan dengan kappa.
ventilasi mekanik, pasien dengan tingkat
Tabel 1 Analisis Perbedaan Pengukuran Respon Nyeri Antara Kondisi Istirahat dan Positioning
pada Alat Ukur BPS dan CPOT
Istirahat Positioning Z p
(Me(rentang) (Me(rentang)

Alat Ukur
BPS 3 6 -6, 069 0, 00*
(3 – 5) (4 – 10)
CPOT 0 4 -6. 063 0, 00*
(0 – 3) (1 – 6)
Keterangan : *p-value < 0, 001

164 Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

Hasil Penelitian berkorelasi rendah dengan tinggi rendahnya


hasil pengukuran CPOT dalam kondisi
Analisis Perbandingan Pengukuran positioning.
Respon Nyeri Antara Kondisi Istirahat dan Hasil uji korelasi antara BPS istirahat
Positioning Pada Alat ukur BPS dan CPOT dengan CPOT positioning diperoleh nilai
significancy p>0,05 yang menunjukkan
Berdasarkan Tabel 1, dengan menggunakan bahwa korelasi adalah tidak bermakna .
uji Wilcoxon, terdapat perbedaan respon Dengan demikian, hal ini menunjukkan
nyeri antara kondisi positioning dengan bahwa tinggi rendahnya hasil pengukuran
respon nyeri dalam kondisi istirahat dengan BPS dalam kondisi istirahat tidak berkorelasi
menggunakan alat ukur BPS dan CPOT. Hal dengan tinggi rendahnya hasil pengukuran
ini menunjukkan bahwa alat ukur CPOT dan CPOT dalam kondisi positioning. Pada uji
BPS keduanya terbukti andal dapat mengukur korelasi antara BPS Positioning dengan CPOT
perbedaan skala nyeri pada kondisi istirahat istirahat diperoleh nilai significancy p<0,05
dan positioning. yang menunjukkan bahwa korelasi adalah
bermakna. Nilai korelasi Spearman sebesar
Korelasi Pengukuran Nyeri Antara Alat 0,419 menunjukkan bahwa arah korelasi positif
Ukur Nyeri BPS dan CPOT dengan kekuatan korelasi sedang. Dengan
demikian, hal ini menunjukkan bahwa tinggi
Berdasarkan Tabel 2, pada uji korelasi rendahnya hasil pengukuran CPOT dalam
antara BPS istirahat dengan BPS positioning kondisi istirahat berkorelasi sedang dengan
diperoleh nilai p < 0,05 yang menunjukkan tinggi rendahnya hasil pengukuran BPS dalam
bahwa korelasi adalah bermakna. Nilai kondisi positioning.
korelasi Spearman sebesar 0,364 menunjukkan Berdasarkan pada uji korelasi alat ukur BPS
bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan dengan alat ukur CPOT diperoleh nilai p=
korelasi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa 0,000 yang menunjukkan bahwa korelasi hasil
tinggi rendahnya hasil pengukuran BPS dalam pengukuran dengan menggunakan alat ukur
kondisi istirahat berkorelasi rendah dengan BPS dan CPOT adalah bermakna (p<0,05).
tinggi rendahnya hasil pengukuran BPS dalam Nilai korelasi Spearman pada BPS-CPOT pada
kondisi positioning. Uji korelasi antara CPOT kondisi istirahat sebesar 0,967 menunjukkan
istirahat dengan CPOT positioning diperoleh bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan
nilai significancy p<0,05 yang menunjukkan korelasi sangat kuat. Nilai korelasi Spearman
bahwa korelasi adalah bermakna. Nilai pada BPS-CPOT pada kondisi positioning
korelasi Spearman sebesar 0,323 menunjukkan sebesar 0,733 menunjukkan bahwa arah
bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi positif dengan kekuatan korelasi
korelasi rendah. Dengan demikian, hal ini kuat. Dengan demikian, hal ini menunjukkan
menunjukkan bahwa tinggi rendahnya hasil bahwa tinggi rendahnya hasil pengukuran
pengukuran CPOT dalam kondisi istirahat dengan menggunakan alat ukur CPOT
Tabel 2 Analisis Korelasi Pengukuran Nyeri Antara Alat Ukur BPS dan CPOT
BPS CPOT
Variabel Istirahat Positioning Istirahat Positioning
(rs, p) (rs, p) (rs, p) (rs, p)

BPS Istirahat 1, 00 0, 364* 0, 967* 0, 225


p=0, 124
Positioning 1, 00 0, 419* 0, 733*
CPOT Istirahat 1, 00 0, 323*
Positioning 1, 00
Keterangan: *p < 0, 05

Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016 165


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

Tabel 3 Analisis Kesesuaian Alat Ukur CPOT dan BPS dalam Pengukuran Respon Nyeri pada
Kondisi Istirahat (yang telah disesuaikan)
CPOT Istirahat Total
Tidak Nyeri Nyeri Ringan
Tidak Nyeri 27 1 28
BPS Istirahat (57, 4%) (2, 1%) (59, 6%)
Nyeri Ringan 0 19 19
(0 %) (40, 4%) (40, 4%)
Total 27 20 47
(57,4%) (40,4%) (100%)
Keterangan : Kappa Index = 0, 956
p = 0, 000 ( p <0, 05)

Tabel 4 Analisis Kesesuaian CPOT dengan BPS pada Kondisi Positioning


CPOT Positioning Total
Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri Berat
BPS Positioning Nyeri Ringan 14 17 0 31
(29, 2%) (35, 4%) (0, 0%) (64, 6%)
Nyeri Sedang 1 12 3 16
(2, 1%) (25%) (6, 3%) (33, 3%)
Nyeri Berat 0 0 1 1
(0, 0%) (0, 0%) (2, 1%) (2, 1%)
Total 15 29 4 48
(31, 3%) (60, 4%) (8, 3%) (100%)
Keterangan : Kappa Index 0, 265 (p = 0, 011

memiliki korelasi yang sangat kuat dengan maka diperoleh diperoleh nilai significancy
tinggi rendahnya hasil pengukuran dengan 0,011 yang menunjukkan bahwa kesesuaian
menggunakan alat ukur BPS pada kondisi antara hasil pengukuran nyeri oleh CPOT dan
yang sama. BPS adalah bermakna (p<0,05), dengan nilai
kappa sebesar 0,265 menunjukkan tingkat
Kesesuaian (Agreement) Alat Ukur Nyeri agreement cukup baik (fair agreement).
BPS dan CPOT

Tabel 3 menggambarkan hasil rumus kappa, Pembahasan


menunjukkan bahwa kesesuaian hasil
pengukuran dengan menggunakan alat ukur Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
CPOT dan BPS adalah bermakna (p < kedua alat ukur nyeri yaitu BPS dan CPOT
0, 05), dengan nilai Kappa sebesar 0, 956 memiliki keandalan dalam menilai rasa nyeri
menunjukkan tingkat agreement sangat baik. pada pasien kritis, bagi pasien yang tidak
Berdasarkan Tabel 4, Dengan menggunakan mampu melaporkan rasa nyerinya secara
rumus kappa maka diperoleh besar probabilitas verbal. Hal ini ditunjukkan pada hasil analisis
agreement (Po) 29,2% pada kategori nyeri uji beda skor respon nyeri saat istirahat
ringan-nyeri ringan, 25% pada kategori nyeri dengan skor respon nyeri saat positioning
sedang-nyeri sedang dan 2,1% pada kategori pada alat ukur BPS dan CPOT adalah
nyeri berat-nyeri berat. Nilai probabilitas bermakna (p < 0, 05). Hal ini menjelaskan
ketepatan dalam matriks (Pe) sebesar 3/9 = bahwa kedua alat ukur BPS dan CPOT dapat
0,33. Dengan menggunakan rumus kappa mengukur perbedaan tingkat respon nyeri

166 Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

pada saat istirahat dengan respon nyeri saat pasien kritis. Hal ini sejalan dengan penelitian
positioning pada pasien kritis. Pada pasien Gelinas et al., (2006) yang menyatakan
kritis, rasa nyeri dapat dirasakan, meskipun terdapat hubungan yang signifikan antara nilai
dalam kondisi istirahat (chanques et al., 2007) CPOT dengan laporan diri pasien tentang
ataupun selama tindakan yang menimbulkan rasa nyerinya yang dianggap sebagai Gold
rasa nyeri (puntillo et al., 2014) termasuk Standard.
positioning, sehingga sejumlah indikator Berdasarkan uji Kappa index menunjukkan
perilaku nyeri dapat diamati menggunakan bahwa BPS dan CPOT memiliki tingkat
BPS maupun CPOT (Gelinas et al.,2006; kesesuaian (agreement) yang sangat baik
Gelinas & Johnston 2007). Penggunaan BPS (Kappa = 0, 937, p< 0, 05) pada pengukuran
(payen et al., 2007) maupun CPOT (Gelinas yang dilakukan pada saat istirahat, sedangkan
et al., 2006) pada kondisi ini, merupakan alat tingkat kesesuaian (agreement) BPS dan
ukur yang valid yang direkomendasikan untuk CPOT pada pengukuran yang dilakukan pada
pasien kritis (Herr et al., 2011). saat positioning memiliki tingkat kesesuaian
Hasil uji analisis korelasi rank spearman yang cukup baik (Kappa = 0, 265, p < 0, 05).
antara hasil pengukuran respon nyeri saat Hal ini terjadi dapat disebabkan oleh beberapa
istirahat dengan skor nyeri saat positioning faktor, diantaranya yaitu BPS memiliki butir
pada masing – masing alat ukur BPS dan CPOT observasi yang lebih banyak, yaitu 4 butir pada
menunjukkan tingkat korelasi yang rendah. setiap domain pada alat ukurnya dibandingkan
Nilai korelasi BPS istirahat-positioning dengan CPOT. Sebagai contoh, pada domain
sebesar 0, 364 sedangkan nilai korelasi CPOT ekspresi wajah, pada BPS terbagi menjadi
istirahat-positioning sebesar 0, 323. Hal ini elemen rileks, sebagian tegang, seluruh bagian
menunjukkan bahwa tingginya tingkat nyeri tegang dan meringis. Sedangkan pada CPOT,
seseorang pada kondisi istirahat yang diukur domain ekspresi wajah hanya terbagi menjadi
menggunakan alat ukur BPS dan CPOT, 3 elemen yaitu, rileks, tegang dan meringis.
belum tentu akan menunjukkan tingkatan Hal ini menyebabkan BPS lebih banyak
nyeri yang lebih tinggi pada pengukuran saat menilai respon nyeri pada kategori nyeri
positioning, apabila dibandingkan dengan ringan, sedangkan CPOT lebih banyak menilai
pasien yang memiliki tingkatan nyeri lebih respon nyeri pada kategori nyeri sedang.
rendah saat pengukuran pada kondisi istirahat. Faktor kedua yang dapat menyebabkan
Hal ini terjadi disebabkan karena pasien rendahnya tingkat kesesuaian antara BPS
bersifat individual dalam responnya terhadap dan CPOT pada kondisi positioning yaitu,
nyeri. Rasa nyeri memiliki makna tersendiri ketidakkonsistenan pada interrater reliability
pada tiap individu, yang dipengaruhi oleh latar dari BPS, dikarenakan pemahaman yang ambigu
belakang budayanya (Davidhizr et al., 1997; dari beberapa butir pada tiap indikatornya (Li
Marrie, 2002). et al., 2008). Hal ini menunjukkan kurangnya
Hasil uji analisis korelasi pengukuran definisi operasional pada alat ukur BPS.
respon nyeri antara alat ukur BPS dengan Berbeda halnya dengan BPS, CPOT memiliki
CPOT pada kondisi istirahat dan positioning. definisi operasional yang lebih jelas, sehingga
menunjukkan korelasi yang kuat antara alat memudahkan untuk digunakan dalam
ukur CPOT dengan alat ukur BPS (ρ istirahat pengkajian nyeri. Hal ini merupakan salah
= 0, 967, ρ positioning = 0, 733, p < 0, 05). satu kelebihan alat ukur CPOT). Selain itu,
Hal ini menjelaskan bahwa pada pengukuran CPOT juga memiliki domain observasi nyeri
respon nyeri pada alat ukur CPOT pada pada pasien yang mampu memverbalisasikan
saat istirahat maupun pada saat positioning nyerinya dan pada pasien dengan intubasi.
berkorelasi dengan hasil pengukuran pada CPOT memiliki kelebihan dalam hal definisi
pasien yang sama dengan menggunakan alat operasional sehingga lebih mudah dipahami
ukur BPS. Tinggi rendahnya skor nyeri yang dan diaplikasikan kerena CPOT adalah alat
diukur oleh CPOT berhubungan dengan yang dikembangkan menggunakan unsur-
tinggi rendahnya hasil ukur menggunakan unsur rasa nyeri yang ada pada beberapa alat
BPS, sehingga dapat disimpulkan bahwa ukur pengkajian nyeri sebelumnya termasuk
CPOT memiliki keandalan yang sama dengan BPS, dan aspek-aspek lain berasal dari penulis
BPS dalam mengukur/mengkaji nyeri pada sebelumnya (Gelinas et al., 2007).

Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016 167


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

CPOT merupakan alat ukur yang memiliki Bor-Seng-Shu, E., Paiva, Ws., Figueiredo,
kesesuaian hasil ukur dengan BPS yang Eg., Fujimoto, Y., De Andrade, A., Fonoff,
merupakan alat ukur pendahulu untuk rasa Et., et al. (2013). Post traumatic refractory
nyeri pada pasien kritis, namun CPOT intra cranial hypertension and brain herniation
memiliki kelebihan pada penggunaannya yang syndrome. Biomed Res Int.
lebih aplikatif dan mudah untuk dipahami.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rose Chanques, G., Jaber, S., Barbotte, E., Violet,
et al., 2013 yang menyebutkan bahwa CPOT S., Sebbane, M., Perrigault, P., et al. (2006).
meningkatkan dokumentasi pengkajian nyeri Impact of systematic evaluation of pain and
, dan perawat melaporkan bahwa CPOT agitation in an intensive care unit. Crit Care
membantu mereka melakukan pengkajian Med, 34, 1691-9.
nyeri dengan lebih efektif.
De Jong, A., Molinari, N., De Lattre, S.,
Gniadek, C., Carr, J., Conseil, M., et al.
Simpulan (2013). Decreasing severe pain and serious
adverse events while moving intensive care
Alat ukur BPS dan CPOT dapat mengukur unit patients. Crit Care, 17(2), R74.
perbedaan tingkat respon nyeri pada saat
istirahat dengan respon nyeri saat positioning Futier, E., Chanques, G., Constantin, C.,
pada pasien kritis. Terdapat hubungan Vernis, L., Barres, A., Guerin, R., et al. (2012).
antara hasil pengukuran respon nyeri oleh Influence of opioid choice on mechanical
Behavioural Pain Scales (BPS) dengan hasil ventilation duration and length of stay.
pengukuran oleh Critical Pain Observation Minerva Anestiol, 78(1), 46–53.
tool (CPOT). Hasil ukur CPOT memiliki
tingkat kesesuaian (agreement) yang baik Gelinas, C. (2007). Management of pain
dengan hasil ukur BPS pada pengukuran yang in cardic surgery ICU patients: Have we
dilakukan pada saat istirahat dan positioning improved over time?. Intensive Crit Care
CPOT merupakan alat ukur nyeri yang cukup Nurs, 23, 298–303.
aplikatif untuk digunakan di area perawatan
kritis karena memiliki definisi operasional Gelinas, C., Fillion, L., Puntillo, K.A., Viens,
yang jelas pada setiap butir observasinya. C., & Fortier, M. (2006). Validation of the
CPOT juga memiliki domain observasi nyeri critical care pain observation tool in adult
pada pasien yang mampu melaporkan rasa patients. American Journal of Critical Care,
nyerinya. Penelitian lebih lanjut diperlukan 15, 420–427.
untuk mengetahui pengaruh penggunaan
alat ukur pengkajian nyeri terhadap praktik Gelinas, C., & Johnston, C. (2007). Pain
manajemen nyeri dan outcome pada pasien. assessment in the critically ill ventilated adult:
Validation of the critical care observation tool
and physiologic indicators. Clinical Journal
Daftar Pustaka of the Pain, 23, 497–505.

Ahlers, S., VanGulik, L., Van der veen, Van Herr, K., Coyne, P., Key, T., Manworren,
Dongen, H., Bruins, P., & Belitser, S. (2008). R., McCaffery, M., & Merkel, S. (2006).
Comparison of different pain scoring systems Pain assessment in the nonverbal patient:
in critically ill patients in a general ICU. Position statement with clinical practice
Critical Care, 12. recomendations. Pain Management Nursing,
7, 44–52.
Barr, J., Fraser, G.L., Puntillo, K.A., Ely, E.W.,
Gelinas, C., Dasta, J.F., et al. (2013). Clinical Li, D., Puntillo, K.A., & Miaskowski, C.
practice guidelines for the management of (2008). A review of objective pain measures
pain, agitation, and delirium in adult ICU for use with critical care adult patients unable
patients. Crit Care Med, 41, 263–306. to selfreport. The Journal of Pain, 9, 2–10.

168 Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016


Ayu Prawesti Priambodo: Pengkajian Nyeri Pasien Kritis Menggunakan Critical Pain Observation Tool

Myhren, H., Ekeberg, O., Toien, K., Karlsson, Rose, L., Smith, O., Gelinas, C., Haslam,
S., & Stokland, O. (2010). Post traumatic stres, L., Dale, C., Luke, E., et al. (2012). Critical
anxiety and depression symptoms in patients care nurses pain assessment and management
during the first year post intensive care unit practices: A survey in Canada. Am J Crit Care,
discharge. Crit Care, 14, R14. 21(4), 251-9.

Pasero. (2009). A Assessment of Sedation Sessler et al. (2008). Evaluating and


during Opioid Administration for Pain Monitoring Analgesia and Sedation in the
Management. Journal of Perianastesia Intensive Care Unit, Crtical Care.12.
Nursing, 186–190
Sifflet, J., Young, J., Nikoletti, S., & Shaw, T.
Payen, J.F., Changques, G., Mantz, J., Hercule, (2007). Patients self report of procedural pain
C., Auriant, I., Leguillou, J.L., et al. (2007). in the intensive care unit. J Clin Nurs, 16(11),
Current practice in sedation and analgesia for 2148-8.
mechanically ventilated criticall ill patients.
Anesthesiology, 106, 687-95. Tahka, S., Axelin, A., Aantaa, R., Lund, V., &
Salantera, S. (2009). Pain assessment tools for
Payen, J.F., Bosson, J.L., Chanques, J., Mantz, unconscious or sedated intensive care patients:
J., Labarere, et al. (2009). Pain assessment A systematic review. Journal of Advanced
is associated with decreased duration of Nursing, 65, 946–956.
mechanical ventilation duration in intensive
care unit. Anesthesiology, 111(6), 1308-16. Young J, Siffleet J, Nikoletti S, & Shaw T.
(2006). Use of a behavioural Pain Scale to
Puntillo, K.A., Max, A., Timsit, J.F., Vignoud, assess pain in ventilated, unconcious and or
L., Chanques, G., Robleda, G., et al. (2014). sedated patients. Intensive and Critical Care
Determinants of procedularal pain intensity in Nursing, 22, 32–39.
the intensive care unit. Am J Respir Crit Care
Med., 189, 39–47.

Volume 4 Nomor 2 Agustus 2016 169

View publication stats

Você também pode gostar