1. Pendahuluan. Yang dimaksud dengan adab penuntut hadits adalah sifat-sifat yang memang harus dimiliki para penuntut hadits, berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia, sesuai dengan mulianya ilmu yang tengah dituntut, yaitu hadits Rasulullah saw. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab bagi muhaddits, ada juga yang khusus bagi penuntut hadits. 2. Adab yang bersekutu dengan adab muhaddits a. Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah swt. dalam menuntut hadits. b. Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut hadits yang bisa menghantarkannya pada motif-motif keduniawian. Abu Dawud dan Ibnu Majah telah mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah, yang berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan oleh Allah swt, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” c. Mengamalkan hadits-hadits yang didengarnya.
3. Adab yang berlaku khusus bagi Muhaddits
a. Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan dan pertolongan Allah swt. dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya. b. Selalu memperhatikan hadits secara komprehesif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya. c. Memulai dengan mendengar dari guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu maupun agamanya. d. Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarnya dan senantiasa menghormatinya. Itu karena tinggi ilmu dan sebab-sebab diraihnya manfaat, berupaya memperoleh keridlaan dan bersabar atas kekurangan, itu pun jika ada. e. Menunjuki kawan-kawan dan orang-orang terdekat dalam rangka memperoleh sesuatu yang bermanfaat, tidak menyembunyikannya terhadap mereka. Karena menutup-nutupi manfaat ilmu merupakan cacat yang bisa menutupi kebodohan. Apalagi, tujuan menuntut ilmu ini adalah untuk menyebarluaskannya. f. Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan sesuatu serta memperoleh ilmu, meski berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah. g. Tidak berpuas diri hanya dengan mendengar dan mencatat hadits tanpa mengetahui dan memahaminya. Maka ia mesti rela melelahkan dirinya tanpa mengenal waktu. h. Dalam hal mendengar, menghafal dan memahami, hendaknya mendahulukan kitab shahihain, kemudian Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, lalu Sunan al-Kubranya Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami’. Seperti Musnad dan jawami’, seperti Musnad Imam Ahmad, al-Muwaththa-nya Imam Malik, termasuk kitab-kitab ‘ilal, seperti ‘ilalnya Daruquthni. Sedangkan dari kitab-kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh al-Kabirnya Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Ta’dilnya Ibnu Abi Hatim; Dlabthu al-Asmanya Ibnu Makula; sedangkan yang menyangkut hadits gharib adalah kitab an-Nihayahahnya Ibnu Atsir.