Você está na página 1de 2

BAB I

PENDAHULUAN

Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme. Sekitar 80%


kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1.1
Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar
hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan karena
adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan
mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu
perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan
kadar hormon tiroid melebihi normal.2
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah HLA.
Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam amino ke
tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’ Disease asam
amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine, sedangkan umumnya
pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa glutamine.2
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’ disease
perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Menurut Baskin
et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis
Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid (T3 dan T4) total dan
bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin receptor antibodies (TRAb).3
Terapi pada pasien Graves’ disease dapat berupa pemberian obat anti tiroid,
iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di Amerika Serikat, iodine radioaktif paling
banyak digunakan sebagai terapi pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa
dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan
dibandingkan iodine radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan
pada kondisi pasien misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan
kekambuhan.4
Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu mendapatkan
terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk mengatasi keluhan
seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker
direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak.4
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), hipertiroid
memiliki standar 3A. Hal ini menunjukkan bahwa dokter umum harus mampu
membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat. Selain itu, dokter umum harus mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien dan mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan. Melalui tinjauan pustaka ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan mengenai DKA agar dapat didiagnosis dan ditatalaksana dengan
tepat.

Você também pode gostar