Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Walaupun
kejadian alergi makanan lebih sering ditemui pada anak-anak, penelitian terbaru melaporkan
1,4-6% populasi dewasa pernah juga mengalami alergi makanan. Alergi makanan adalah
respons abnormal terhadap makanan yang diperantarai reaksi imunologis. ( Evy, Iris., 2014).
Prevalensi alergi makanan makanan di Amerika dilaporkan meningkat dari 3,4% - 5,11%
antara tahun 1997 dan 2011. (Abrams EM, Sicherer SH.,2016).
Tidak semua reaksi makanan yang tak diinginkan dapat disebut sebagai alergi
makanan. Klasifikasi yang dikeluarkan EAACI ( European Association of Allergy and
Clinical Immunology) membagi reaksi makanan yang tidak diinginkan menjadi reaksi toksik
dan non toksik. Reaksi toksik ditimbulkan iritan tertentu atau racun dalam makanan, misalnya
jamur,susu atau daging terkontaminasi atau sisa pestisidsa dalam makanan. Reaksi non toksik
dapat berupa reaksi imunologis dan reaksi non imunologis (intoleransi makanan). Intoleransi
makanan dapat diakibatkan zat yang terdapat pada makanan tersebut (seperti histamin yang
terdapat pada ikan yang diawetkan), farmakologi makanan seperti tiramin pada keju), atau
akibat kelainan pada orang tersebut (seperti defisiensi laktosa) atau idiosinkrasi. ( Evy, Iris.,
2014).
PATOFISIOLOGI
Alergi makanan pada orang dewasa dapat merupakan reaksi yang memang sudah terjadi saat
anak-anak atau reaksi yang memang baru terjadi pada usia dewasa. Secara umum
patofisiologi alergi makanan dapat diperantarai IgE, tidak diperantarai IgE maupun campuran
IgE dan tanpa perantara IgE.
Tabel 1. Menunjukkan klasifikasi alergi makanan (Sampson,et al. 2014)
Alergi makanan yang diperantarai IgE terjadi ketika terjadi ikatan antara alergen
makanan dengan IgE spesifik alergen tersebut yang melibatkan peran dari sel mast dan
basofil, yang mana keduanya melepaskan berbagai mediator seperti histamin. Reaksi alergi
ini terjadi cepat (dalam 2 jam) yang dapat melibatkan berbagai sistem seperti respirasi,
gastrointestinal, kardiovaskuler, sistem saraf atau kulit. (Sampson,et al. 2014)
Patogenesis reaksi alergi makanan yang tidak diperantarai IgE belumlah diketahui
dengan jelas. Reaksi hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik), tipe III (reaksi kompleks
imun), dan tipeIV pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang mengalami alergi makanan,
walaupun belum cukup bukti untuk membuktikan perannya alergi makanan. ( Evy, Iris.,
2014).
Gambar 1. Menunjukkan reaksi imunologis di usus halus. (Johnston, et al, 2014)
Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada satu atau
berbagai organ target. Kulit manifestasi antara lain (urtikaria, angioedema, dermatitis atopik),
saluran napas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem
kardiovaskuler (syok anafilaktik). Pada perempuan dapat juga menyebabkan kontraksi uterus.
( Evy, Iris., 2014).
Tabel 2. Menunjukkan gejala-gejala alergi makanan yang diperantarai IgE. (Sampson,et al.
2014)
Tabel 3. Menunjukkan gejala klinis yang tidak diperantarai IgE dan campuran. (Sampson,et
al. 2014)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti merupakan hal yang terpenting dalam alergi
makanan. Kebanyakan reaksi cepat akibat makanan terjadi dalam beberapa menit, tetapi
dapat terjadi sampai 30 menit. Identifikasi makanan yang diduga sebagai penyebab, dan
singkirkan sebab-sebab lainnya.
Kontrol positif (larutan histamin fosfat 0.1% dan kontrol negatif larutan phospate-bufferd
saline dengan fenol 0.4%)
Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit.
2. Blood test (specific IgE test = radio allergo sorbent test (RAST) )
Dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan cara
RAST (radio allergo sorbent test) atau ELISA. Hasil tes ini akan menunjukkan detail
riwayat klinis untuk mendiagnosis alergi makanan yang diperantarai IgE (Reeves, 2017).
Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dibandingkan tes kulit adalah resiko pada pasien
tidak ada, hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat atau keeadaan kulit, alergen lebih
stabil.Kerugiannya adalah mahal, hasil tidak segera dapat dibaca, kurang sensitif
dibanding tes kulit ( Evy, Iris., 2014).
Double blind placebo controlled food challenge dianggap sebagai baku emas menegakkan
diagnosis alergi makanan. Prosedur tersebut lama tetapi dapat dimodifikasi.Pasien pantang
makanan terduga sedikitnya 2 minggu, antihistamin dihentikan sesuai waktu paruhnya.
Makanan diberikan dalam bentuk kapsul.Tes ini dihentikan bila timbul reaksi alergi. Hasil
negatif dikonfirmasi jika setelah menelan makanan yang dicurigai dalam jumlah yang
lebih besar tidak terjadi reaksi alergi ( Evy, Iris., 2014).
TERAPI