Você está na página 1de 25

REFERAT HEMATOLOGI

“DIATHESA HEMORARGIK”

Oleh:
Ana Khurnia Rahmawati
1113103000015

Pembimbing:
dr. Tumpal Yansen Sihombing, SpA

MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala pimpinan-Nya
sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini penyusun laksanakan dalam
rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Diathesis Hemorargik”.

Besar harapan penyusun bahwa makalah ini dapat berguna bagi kita semua, dan dalam
kesempatan ini penyusun hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Tumpal Yansen S, SpA


2. Semua pihak yang telah ikut memberikan dukungan dan bantuan sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan
banyak kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sehingga akan tercipta makalah yang
lebih baik lagi.

Jakarta, Juli 2018

Penulis

2
Daftar isi

Kata pengantar .................................................................. 2


Daftar isi .................................................................. 3

BAB I
Pendahuluan .................................................................. 4
Latar belakang .................................................................. 4
Tujuan .................................................................. 5

BAB II
Hemostasis .................................................................. 6
Definisi .................................................................. 6
Proses hemostasis .................................................................. 6

BAB III
Diathesa hemorargik .................................................................. 13
definisi .................................................................. 13
Klasifikasi etiologi .................................................................. 13
Pendekatan diagnostik .................................................................. 18
Algoritma pendekatan .................................................................. 21
diatesis hemorargik
Terapi .................................................................. 22
.................................................................. 25
Kesimpulan
Daftar Pustaka .................................................................. 26

3
BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Dalam praktek sehari-hari sering kali pasien datang dengan keluhan perdarahan.
Ketika terjadi perdarahan secara normal tubuh akan melakukan proses hemostasis.1
Hemostasis bertujuan untuk mempertahankan komponen darah dalam keadaan cair (fluid
state) sehingga tubuh dalam keadaan fisiologik mampu mempertahankan aliran darah dari
atau dalam pembuluh darah.2 Proses hemostasis membutuhkan 4 komponen yang dapat
berfungsi secara normal, yaitu pembuluh darah atau vaskular, trombosit, kaskade
koagulasi, dan sistem fibrinolisis.3

Pada pasien diathesis hemorargik atau tendensi terjadinya perdarahan merupakan


kondisi patologi yang timbul akibat kelainan faal hemostasis.4 Klasifikasi penyebab
perdarahan dapat dibedakan akibat kelainan pembuluh darah, trombosit dan pembekuan
darah.3,6

Pendekatan klinis pasien dengan perdarahan melalui anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium. Berdasarkan data anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat mengerucutkan kecurigaan diagnosis penyebab dari perdarahan
tersebut berasal dari kelainan koagulasi atau gangguan vaskular atau trombosit.
Manifestasi klinis yang biasa ditemukan adalah petekie, ekimosis, hematom, dan prolong
bleeding.3

Dengan data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dapat dilakukan
pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan laboratorium sebagai skrining, yaitu darah tepi
lengkap, apusan darah tepi, masa perdarahan / bleeding time, dan waktu pembekuan/
clotting time. Pada beberapa kasus mungkin juga diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan penyebab lebih lanjut. Tatalaksana pasien perdarahan bergantung pada
keadaan klinis dan penyebab perdarahan.2,3,5,6

4
Diathesa hemorargik perlu untuk diketahui penyebabnya untuk melakukan
tatalaksana lanjutan. Sebagai dokter umum perlu untuk memahami pendekatan klinis dan
skrining awal kemungkinan penyebab diathesa hemorargik pada pasien sehingga
komplikasi akibat perdarahan dapat dicegah. Berdasarkan uraian di atas saya tertarik
untuk membuat referat mengenai diathesa hemorargik.

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah referat:
- Mengetahui fisiologi hemostasis normal.
- Mengetahui klasifikasi kelainan hemostasis
- Mengetahui pendekatan klinis dan diagnosis pasien diathesa hemorargik

5
BAB II
Hemostasis

2.1. Definisi

Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang rusak.
Untuk terjadi defek atau perdarahan pada pembuluh darah harus mengalami kerusakan
dan tekanan dari dalam yang lebih tinggi daripada tekanan luarnya.1

2.2. Proses hemostasis

Proses hemostasis membutuhkan 4 komponen yang dapat berfungsi secara normal, yaitu
pembuluh darah atau vaskular, trombosit, kaskade koagulasi, dan sistem fibrinolisis.2,3,5

1. Pembuluh darah 2,3,5


Sel endotel pembuluh darah mempunyai fungsi esensial melindungi dinding
pembuluh darah agar selalu dalam keadaan intak, yaitu dengan berperan sebagai
sawar fisik yang mencegah kontak antara trombosit dalam sirkulasi darah dengan
jaringan subendotel pembuluh darah, sehingga terbentuknya trombus dapat
dicegah. Selain itu, sel endotel pembuluh darah berperan penting dalam proses
koagulasi(prokoagulan) dan juga dalam mencegah terjadinya koagulasi yang
berlebihan dalam pembuluh darah(antikoagulan).

Gambar 1. Sel endotel pembuluh darah 5

6
Tabel 1. Faktor-faktor dalam sel endotel pembuluh darah.3

Ketika terjadi kerusakan pembuluh darah, sel endotel akan teraktivasi dan
berada dalam keadaan prokoagulan state. Produksi serotonin, epinefrin,
norepinefrin, tromboxan, dan endotelin akan meningkat. Sedangkan produksi
nitrit oksida(NO) dan prostaglandin sel endotel akan berkurang sehingga akan
terjadi vasokonstriksi. Keadaan ini juga memfasilitasi proses adhesi, aktivasi, dan
agregasi dari trombosit sehingga akan terbentuk sumbat trombosit (initial platelet
plug). Proses ini disebut juga hemostasis primer.2
Sebaliknya sel endotel juga berperan dalam menghambat pembentukan
pembekuan darah. Bila terdapat trombin, sel endotel akan menurunkan produksi
prostasiklin sehingga aktivasi dan agregasi trombosit akan menurun. Selain itu sel
endotel akan meningkatkan poduksi trombomodulin yang akan mengikat trombin
dan selanjutnya ikatan ini akan mengaktivasi protein C yang merupakan bagian
dari sistem fibrinolisis, sehingga pembentukan trombin selanjutnya akan
dihambat. Sel endotel juga akan meningkatkan produksi tissue plasminogen
activator(tpa) yang merupakan enzim fibrinolisis yang utama. Dengan proses
tersebut maka pembentukan bekuan darah yang berlebihan dalam tubuh dapat
dicegah. Sehingga akan terjadi kesetimbangan.2
2. Trombosit 2,3,5
Ketika terjadi kerusakan dinding pembuluh darah, trombosit dalam sirkulasi akan
berikatan dengan kolagen di jaringan subendotel dinding pembuluh darah yang
rusak melalui reseptor GPIa/IIa, dan juga berikatan dengan faktor von willebrand
melalui reseptor GPIb/IX-V. Ikatan tersebut menyebabkan trombosit melepaskan

7
kandungan granula dense dan granula alpha(α), sehingga terjadi proses agregasi
trombosit dan aktivasi kaskade koagulasi untuk membentuk trombin.

Gambar 2. Aktivasi dan agregasi trombosit 5

3. Kaskade koagulasi 1,2,3,5,6


Kaskade koaguagulasi terbagi menjadi dua jalur yaitu, jalur intrinsik dan
ekstrinsik. Jalur intrinsik diawali dengan aktivasi faktor XII (hageman faktor) oleh
adanya kontak permukaan (contact surface), sedangkan jalur ekstrinsik dimulai
dengan aktivasi faktor VII oleh faktor jaringan (tissue factor). Secara fisiologi
kedua jalur ini bekerja sama memberikan stimulasi maksimal terhadap faktor X
untuk mengaktifkan protrombin menjadi trombin dengan bantuan faktor V,
selanjutnya trombin akan mengaktifkan faktor XIII yang akan mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Jalur ekstrinsik merupakan proses permulaan dalam
pembentuk fibrin sedangkan jalur intrinsik berperan dalam melanjutkan proses
pembentukan fibrin yang stabil.
- Jalur ekstrinsik 2
Proses koagulasi dalam darah in vivo dimulai oleh jalur ekstrinsik yang
melibatkan komponen dalam darah dan pembuluh darah. Komponen utama adalah
tissue factor, suatu protein membran intrinsik yang berupa rangkaian polipeptide
tunggal yang diperlukan sebagai kofaktor faktor VIII dalam jalur intrinsik dan

8
faktor V dalam common pathway. Tissue factor ini akan disintesis oleh makrofag
dan sel endotel bilamana mengalami induksi oleh endotoksin dan sitokin seperti
interleukin-1 dan tumor necrosis factor. Komponen plasma utama dari jalur
ekstrinsik adalah faktor VII yang merupakan vitamin K dependen protein (seperti
faktor IX, X, protrombin, dan protein C). Jalur ekstrinsik akan diaktifasi apabila
tissue factor yang berasal dari sel-sel yang mengalami kerusakan atau stimulasi
kontak dengan faktor VII dalam peredaran darah dan akan membentuk suatu
kompleks dengan bantuan ion Ca. kompleks factor VIIa–tissue factor ini akan
menyebabkan aktifasi faktor X menjadi Xa disamping juga menyebabkan aktifasi
faktor IX menjadi IXa (jalur intrinsik).
- Jalur intrinsik 2
Jalur intrinsik merupakan suatu proses koagulasi paralel dengan jalur ekstrinsik,
dimulai oleh komponen darah yang sepenuhnya ada berada dalam sistem
pembuluh darah. Proses koagulasi terjadi sebagai akibat dari aktifasi dari faktor
IX menjadi faktor IXa oleh faktor XIa. Protein contact system (faktor XII,
prekalikrein, high moleculer weight kininogen dan C1 inhibitor) disebutkan
sebagai pencentus awal terjadinya aktifasi ataupun inhibisi faktor XI. Protein
contact system ini akan berperan sebagai respon dari reaksi inflamasi, aktifasi
komplemen, fibrinolisis dan angiogenesis. Faktor XI dikonversikan menjadi XIa
melalui 2 mekanisme yang berbeda yaitu diaktifkan oleh kompleks faktor XIIa
dan high molekuler weight kininogen(HMWK) atau sebagai regulasi negative
feedback dari trombin, regulasi negative feedback ini juga terjadi pada faktor VIII
dan faktor V, hal ini yang dapat menerangkan tidak terjadinya perdarahan pada
penderita yang kekurangan faktor XII, prekalikrein dan HMWK. Faktor IXa akan
membentuk suatu kompleks dengan faktor VIIIa dengan bantuan adanya
fospolipid dan kalsium yang kemudian akan mengaktifkan faktor X menjadi
faktor Xa. Faktor Xa akan mengikat faktor V bersama dengan kalsium dan
fosfolipid membentuk suatu kompleks yang disebut protrombinase, suatu
kompleks yang bekerja mengkonversi protrombin menjadi trombin. Faktor IX
dapat juga diaktifkan oleh faktor XIa.

9
- Common pathway 2
Bilamana telah terbentuk faktor Xa baik melalui faktor ekstrinsik atau intrinsik
maka akan terjadi konversi protrombin menjadi trombin. Bersama dengan vit K
dependen yang lain akan suatu kompleks protrombinase (faktor Xa, faktor V,
fosfolipid, dan kalsium). Kompleks protrombinase ini mempunyai kemampuan
lebih tinggi kurang lebih 300.000 kali lipat dalam hal mengaktifasi protrombin
dibandingkan dengan hasil yang didapat dari aktifasi enzim (faktor Xa) dan
subtrat (protrombin) sendiri.
- Sistem Inhibisi 2
Mekanisme antikoagulan dalam sistem pembuluh darah akan membatasi dan
melokalisasi pembentukan hemostatis plug atau trombus pada tempat terjadinya
kerusakan pembuluh darah. Inhibitor utama dari unsur-unsur sistem kontak adalah
C1 inhibitor, terutama berperan sebagai inhibitor faktor XIIa dan juga terhadap
kalikrein. Antitrombin III merupakan suatu inhihitor utama terhadap faktor IXa,
Xa, dan trombin. Di dalam peredaran darah, terdapat cukup antitrombin III
sehingga mampu menetralisasi terjadinya trombin yang dalam darah. Akan tetapi
bilamana terjadi penurunan sekitar 40 – 50% dari jumlah normal maka keadaan
ini merupakan predisposisi terhadap terjadinya penyakit trombotik seperti pada
kasus defisiensi anti trombin III kongenital yang mempunyai risiko tinggi
terjadinya tromboembolism. Kemampuan inhibisi yang dihasilkan anti trombin
III akan diperkuat dengan adanya heparin, akan tetapi bila telah terbentuk trombin
maka trombin ini akan menjadi resisten terhadap anti trombin demikian juga
terhadap kompleks anti trombin dan heparin. Heparin dalam tubuh dikenal
sebagai heparin kofaktor II merupakan suatu serin protease inhibitor khususnya
terhadap trombin tidak terhadap faktor Xa.
Disamping itu juga dikenal á2-macroglobulin yang merupakan inhibitor terhadap
beberapa faktor koagulasi dalam plasma dan terhadap enzim fibrinolitik seperti
kalikrein, plasmin dan trombin. Alfa-2 antiplasmin merupakan inhibitor primer
terhadap plasmin, bekerja mencegah terjadinya respon fibrinogenolitik terhadap
stimulus dalam darah, membatasi terjadinya respons fibrinolitik akibat stimulus
dari trombus dan menyebabkan hemostatic plug tetap utuh sampai terjadi

10
penyembuhan terjadi. Pada keadaan defisiensi á2-antiplasmin maka hemostatic
plug akan melarut sebelum penyembuhan terjadi.

Gambar 3. Jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik 5

Gambar 4. Common pathway 5

4.
Fibrinolisis 1,2,3
Sistem fibrinolis merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah pembentukan
trombus dan membantu penyembuhan dinding pembuluh darah agar aliran darah
kembali lancar seperti semula. Sistem fibrinolisis terdiri dari faktor-faktor
fibrinolisis(aktivator plasminogen, plasminogen, dan plasmin) dan inhibitor
sistem koagulasi dan trombosit(protein C, protein S, antitrombin II/AT-III dan
tissue factor pathway inhibitor/TFPI). Kedua sistem ini akan bekerja setelah
diaktivasi oleh serangkaian proses enzimatik seperti juga sistem koagulasi.

11
Gambar 5. Sistem fibrinolisis 5

12
BAB III
Diathesa Hemorargik

3.1. Definisi :
Suatu kondisi patologi yang timbul akibat adanya kelainan faal hemostasis.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan risiko terjadinya perdarahan. Manifestasi
diathesis hemorargik secara umum menunjukkan manifestasi perdarahan seperti
ekimosis, purpura, mimisan, dan perdarahan yang sulit berhenti.2,3,4

3.2 Klasifikasi Etiologi


Perdarahan pada bayi dan anak dapat disebabkan akibat kelainan trombosit baik
kuantitatif maupun kualitatif, kelainan pembuluh darah maupun kelainan
koagulasi. 6

Bagan 1. Klasifikasi etiologi perdarahan 6


- Kelainan trombosit 3,5

Kelainan trombosit yang paling sering menyebabkan perdarahan pada anak adalah
trombositopenia. Trombositopenia dapat disebabkan oleh adanya peningkatan

13
destruksi trombosit atau menurunnya produksi trombosit. Penyebab terbanyak
trombositopenia pada bayi dan anak akibat peningkatan destruksi trombosit.
Peningkatan destruksi trombosit dapat disebabkan oleh proses autoimun dan
nonimun. Purpura trombositopenik imun (PTI) merupakan penyebab tersering
trombositopenia pada anak akibat adanya peningkatan destruksi trombosit.
Penyakit ini ditandai oleh jumlah trombosit yang kurang dari normal (< 150.000
/uL) akibat timbulnya antibodi terhadap membran trombosit. Gambaran klinis
berupa perdarahan pada kulit (tersering berupa petekiae dan ekimosis) ataupun
perdarahan mukosa yang mendadak timbul pada anak yang tampak sehat.
Penyakit ini sering didahului oleh infeksi virus, terutama infeksi saluran
pernapasan atas, yang terjadi 2-3 minggu sebelumnya. Insidens tersering pada usia
2-6 tahun dan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. Kelainan perdarahan ini
tidak disertai demam, nyeri tulang, pucat, limfadenopati dan hepatosplenomegali.
Trombositopenia non imun dapat disebabkan oleh sindrom hemolitik-uremik,
purpura trombotik trombositopenik ataupun koagulasi intravaskular diseminata
(KID).
- Kelainan pembuluh darah 3,5
Perdarahan kulit akibat kelainan pembuluh darah disebut juga purpura vaskular.
Purpura vaskular pada bayi dan anak dapat disebabkan beberapa keadaan, seperti
vaskulitis (penyakit Henoch Schönlein, penyakit Kawasaki, poliarteritis nodosa),
infeksi virus/bakteri, penyakit jaringan ikat (scurvy, sindrom Ehlers Danlos,
sindrom Marfan), teleangiektasi hemoragik herediter, hiperproteinemia atau
disproteinemia. Purpura vaskular yang paling sering ditemukan pada anak adalah
penyakit Henoch Schönlein. Sekitar 75% kasus terjadi pada anak berusia 2 sampai
11 tahun, biasanya didahului infeksi saluran napas atau setelah mengkonsumsi
obat-obatan tertentu. Penyakit Henoch Schönlein merupakan vaskulitis yang
diperantarai IgA dan mengenai pembuluh darah kecil. Penyakit ini ditandai
dengan adanya purpura nontrombositopenik terutama di tungkai (dorsum kruris),
nyeri perut, artritis dan nefritis.

14
- Kelainan koagulasi 3,5
Defisiensi faktor koagulasi herediter pada anak yang paling banyak dijumpai
adalah hemofilia. Dikenal 2 tipe hemofilia, hemofilia A dan hemofilia B. Pada
hemofilia A terdapat kekurangan faktor VIII sedangkan hemofilia B terdapat
kekurangan faktor IX. Gejala klinik hemofilia A dan hemofilia B sulit dibedakan.
Perdarahan dapat terjadi secara spontan ataupun menyertai trauma yang ringan
sampai sedang. Hal ini bergantung pada beratnya hemofilia. Manifestasi
perdarahan yang biasanya dapat dijumpai ialah perdarahan mulut (frenulum,
misalnya pada bayi), hemartrosis, hematoma subkutan atau intramuskular,
perdarahan intrakranial, hematuria, epistaksis, atau perdarahan selaput lendir
lainnya. Dapat pula dijumpai perdarahan yang terus berlangsung setelah suatu
tindakan operatif ringan seperti cabut gigi, sirkumsisi dan lainnya. Pada hemofilia
berat, gejala klinik biasanya timbul pada waktu bayi dapat merangkak. Dari semua
episode perdarahan, hemartrosis merupakan yang paling banyak ditemukan, yaitu
sekitar 85% dan lokasi tersering berturut-turut ialah lutut, siku, pergelangan kaki,
bahu, pergelangan tangan dan lain-lain. Hemofilia diturunkan secara sex (X) –
linked recessive. Gen faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q)
kromosom X. Oleh karena itu perempuan biasanya sebagai pembawa sifat
sedangkan lelaki sebagai penderita. Seorang anak lelaki diduga menderita
hemofilia apabila terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis, hematoma),
atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu, dengan
atau tanpa riwayat keluarga yang positif.
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan atau uji hemostasis, seperti
masa pembekuan memanjang, masa perdarahan dapat normal, protrombin
biasanya normal, masa tromboplastin parsial memanjang, thromboplastin
generation test abnormal dan kurangnya kadar faktor VIII atau faktor IX. Apabila
sarana tersedia dapat ditambah dengan pemeriksaan petanda gen pada kromosom.
Penyakit von Willebrand adalah kelainan koagulasi herediter yang tersering pada
anak setelah hemofilia. Prevalensi penyakit ini kurang lebih 1% dari populasi
umum. Sekitar 81% penyakit Von Willebrand merupakan tipe 1 yang ringan
sedangkan sisanya adalah tipe 2 yang terdiri dari tipe 2A,2B dan 2N. Tipe 3 yang

15
merupakan tipe paling berat sangat jarang. Gambaran klinis penyakit von
Willebrand adalah perdarahan dari ringan sampai berat berupa kebiruan di kulit,
epistaksis, menoragia dan perdarahan yang sulit berhenti bila terjadi luka pasca
trauma atau operasi. Diagnosis ditegakkan bila pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan hitung trombosit normal, masa perdarahan >10 menit, kadar Faktor
VIII, Faktor von Willebrand : Antigen kofaktor Ristocetin (R.Co) di bawah 40
U/dL. Gangguan koagulasi didapat (acquired coagulation disorder) pada anak
dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin K, penyakit hati atau ginjal, adanya
inhibitor terhadap faktor koagulasi tertentu (misalnya inhibitor factor VIII, IX,
von Willebrand dan protrombin) dan KID. Koagulasi intravaskular diseminata
merupakan komplikasi dari berbagai keadaan lain seperti syok, infeksi berat/
sepsis bakteri Gram-negatif atau trauma kepala berat. KID ditandai dengan
aktivasi faktor koagulasi dan fibrinolisis dan terbentuknya trombin dan plasmin.
Selanjutnya terjadi deposisi fibrin secara difus di pembuluh-pembuluh darah
kecil, sehingga terjadi trombosis mikrovaskular yang menyebabkan gangguan
fungsi organ. Gejala klinis bervariasi sesuai penyakit dasarnya, disertai
perdarahan. Hitung trombosit menurun, PT, aPTT, TT (thrombin time)
memanjang, demikian pula kadar protrombin dan fibrinogen. Terdapat penurunan
yang signifikan kadar protein C, protein S dan antitrombin III.
Tabel 2. Perbedaan hemofilia tipe A dan B dengan penyakit vWF 6
Variabel Hemofilia A Hemofilia B
Penyakit von
Willebrand
Cara penurunan x- linked X-linked Autosomal dominan
Defisiensi faktor Faktor 8 Faktor 9 Faktor von willebrand
Lokasi perdarahan Otot, sendi, Otot, sendi, Membran, mukosa,
pembedaha pembedahan kulit, pembedahan,
n menstrual
PT Normal Normal Normal
aPTT Memanjang Memanjang Memanjang atau
normal
Waktu Normal Normal Memanjang atau
perdarahan/PFA-100 normal
Aktivitas faktor 8 Rendah Normal Rendah atau normal
koagulan
Antigen faktor von Normal Normal Rendah
Willebrand

16
Aktivitas faktor von Normal Normal Rendah
Willebrand
Faktor 9 Normal Rendah Normal
Aglutinasi trombosit Normal Normal Normal,rendah, atau
yang diinduksi oleh meningkat pada
ristosetin ristosetin dosis rendah
Agregasi trombosit Normal Normal Normal
Terapi DDAVP Rekombinan DDAVP atau
atau faktor 9 konsentrat FvW
rekombinan
faktor 8

- Masalah hemostasis pada neonatus 3


Neonatus rentan mengalami gangguan hemostasis karena fungsi sistem
hemostasisnya masih imatur. Konsentrasi faktor-faktor koagulasi di dalam
plasma, terutama faktor koagulasi yang pembentukannya bergantung kepada
vitamin K (faktor II, VII, IX, X) masih rendah, yaitu sekitar 50% kadar normal
orang dewasa. Demikian pula konsentrasi protein antikoagulan (antitrombin,
protein C dan protein S) dan sistem fibrinolisis. Hal ini perlu diingat dalam
menilai hasil pemeriksaan laboratorium hemostasis neonatus, untuk
menggunakan nilai rujukan normal yang sesuai sehingga tidak terjadi kekeliruan
interpretasi. Fungsi trombosit juga belum sempurna (hiporeaktif). Fungsi sistem
hemostasis ini akan semakin matang dengan bertambahnya usia dan mencapai
kadar yang kurang lebih sama dengan orang dewasa normal pada usia sekitar 6
bulan. Pada neonatus yang tidak tampak sakit (apparently well neonate), bila
terdapat perdarahan perlu dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan seperti
neonatal alloimmune thrombocytopenia atau gangguan koagulasi herediter. Pada
neonatus yang sakit, misalnya infeksi berat atau sepsis, perdarahan terjadi
umumnya karena koagulopati konsumtif (seperti KID) dan trombositopenia.
Trombositopenia akibat peningkatan destruksi trombosit pada neonatus dapat
disebabkan oleh neonatal autoimmune thrombocytopenia dan neonatal
isoimmune (alloimmune) thrombocytopenia. Yang lebih sering ditemukan adalah
neonatal isoimmune (alloimmune) thrombocytopenia. Gejala klinis keduanya
tidak berbeda, namun terdapat perbedaan riwayat penyakit autoimun pada ibu.

17
Pada neonatal autoimmune thrombocytopenia disebabkan oleh antibodi ibu yang
terbentuk akibat penyakit PTI pada ibu, lupus eritematosus sistemik, ataupun obat
yang melewati sawar plasenta. Neonatal isoimmune thrombocytopenia terjadi
karena ibu membuat antibodi terhadap antigen trombosit janin yang dapat
melewati sawar plasenta. Defisiensi faktor koagulasi herediter seperti hemofilia
atau penyakit von Willebrand yang ringan-sedang umumnya tidak menyebabkan
perdarahan pada masa neonatal. Pada gangguan yang berat dapat terjadi
perdarahan tali pusat, sefalhematom luas, bruising, atau perdarahan yang sulit
berhenti dari bekas tusukan pengambilan darah maupun pasca sirkumsisi.
Penyebab perdarahan didapat pada neonatus yang paling sering adalah defisiensi
vitamin K, koagulasi intravaskular diseminata dan gangguan fungsi hati seperti
pada keadaan hipoksia, atresia bilier, hepatitis virus atau kelainan metabolik.

3.3. Pendekatan diagnosis pasien dengan perdarahan


Dalam menghadapi pasien dengan perdarahan diperlukan data sebagai berikut:
a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
- Who: usia, jenis kelamin dan riwayat perdarahan dalam keluarga
- When : awitan perdarahan dan perjalanan klinis, kemungkinan hubungan
dengan penyakit lain yang sedang diderita pasien, riwayat trauma/operasi,
obat-obatan yang dikonsumsi pasien sebelumnya
- Where : lokasi atau organ yang mengalami perdarahan, apakah perdarahan
terdapat di mukokutan(superficial) atau di dalam sendi atau otot
- What : karakteristik perdarahan(prolong/delayed), bentuk perdarahan(petekie,
ekimosis, atau hematoma)
Pemeriksaan fisik
- Deskripsi lokasi perdarahan dan bentuk perdarahan
- Pemeriksaan uji rumple leed

18
b) Pemeriksaan laboratorium awal sebagai skrining 2,3,7
1. Darah tepi lengkap
Dari pemeriksaan ini ada dua informasi penting yang dapat digunakan untuk
membantu diagnosis, yaitu ada tidaknya trombositopenia sebagai salah satu
penyebab perdarahan dan perkiraan berapa lama atau beratnya perdarahan dari Hb
dan Hematokrit.
2. Apusan darah tepi
Apusan darah tepi penting untuk menilai morfologi sel darah merah dan
konfirmasi jumlah serta morfologi trombosit. Pada DIC dapat ditemukan adanya
fragmentasi sel darah merah(schistocytosis) akibat dari proses mikroangiopati.
3. Masa perdarahan/ bleeding time
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya gangguan fungsi
trombosit. Bila hitung trombosit > 100.000/ul dan fungsi trombosit normal maka
akan didapatkan masa perdarahan normal (3-8 menit). pemeriksaan ini umumnya
telah digantikan oleh tes agregasi trombosit spesifik, pemeriksaan perlekatan
trombosit, dan tes platelet function analysis. Waktu perdarahan memanjang pada
trombositopenia tetapi normal pada kelainan pembuluh darah.
4. Prothrombin time(PT) dan aPTT(activated partial thromboplastin time)
Prothrombin time dan activated partial thromboplastin time merupakan uji
terhadap hemostasis sekunder. PT berguna untuk menilai jalur ekstrinsik dan jalur
bersama, sedangkan aPTT berguna untuk menilai jalur intrinsik dan jalur bersama
kaskade koagulasi.

19
PT lebih sensitif untuk menilai faktor koagulasi yang pembentukannya tergantung
pada vitamin K(II,VII,IX,X). Pemeriksaan PT juga berguna untuk mendeteksi
kadar fibrinogen yang rendah yaitu <100 mg/dl; terutama digunakan untuk
monitoring terapi antikoagulan atau skrining terhadap defisiensi vitamin K.
aPTT merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap kelainan dalam jalur intrinsik
(XII,XI,IX dan VIII) dan kurang sensitif terhadap pemeriksaan defisiensi protrombin dan
fibrinogen. Pemeriksaan APPT ini ditujukan untuk mengetahui adanya defisiensi faktor
pembekuan atau adanya inhibitor dalam jalur intrinsik. Pemanjangan aPTT menunjukkan
adanya defisiensi dari satu atau beberapa faktor pembekuan (prekalikrein, high molekuler
weight kininogen, faktor XII,XI,VIII,X,V,II atau fibrinogen) atau adanya inhibisi pada
proses koagulasi (heparin, lupus anti coagulant, fibrinfibrinogen degradation product)
atau oleh karena adanya faktor inhibitor spesifik. Nilai aPTT akan memanjang
umumnya bila kadar koagulasi telah menurun sekitar 40% dari kadar normal
dalam sirkulasi.
5. Thrombin clotting time (TCT)
Pemeriksaan TCT merupakan pemeriksaan dengan menambahkan thrombin dalam
plasma untuk mengetahui keadaan jumlah dan kualitas fibrinogen atau kecepatan
konversi fibrinogen menjadi fibrin. Nilai TCT yang memanjang menggambarkan adanya
defisiensi fibrinogen (<100 mg/dl); misalnya pada keadaan congenital hipofibrinogemia
atau afibrinogemia, kadar yang abnormal terjadi pada reaksi inflamasi, kualitas yang
abnormal dari fibrinogen (hereditary dysfibrinogemia, sirosis, karsinoma hepatoselular,
neonatus). Selain itu bahan-bahan yang mengganggu kerja trombin dalam mengubah
fibrinogen menjadi fibrin seperti heparin, anti thrombin antibody, produk proteolitik dari
fibrinogen dan fibrin (FDP) akan menyebabkan TCT memanjang.
Tabel 4 . Uji Tapis Untuk Kelainan Perdarahan6

20
Etiologi diatesis hemorargik
Pemeriksaan Pembuluh darah Trombosit Pembekuan
Hitung trombosit Normal Menurun Normal
Uji bendung/ + + Normal
Rumple leed
Masa perdarahan Normal Abnormal Normal
Waktu pembekuan Normal Normal Abnormal

3.4. Algoritma pendekatan diagnosis pasien perdarahan 3,5


Apabila pada suatu pemeriksaan anamnesis dan fisik ditemukan adanya
kecenderungan perdarahan maka seharusnya dilakukan pemeriksaan skrining hemostasis
seperti halnya hitung trombosit, waktu perdarahan, dan pemeriksaan yang khususnya
menggambarkan kelainan koagulasi dan rangkaian hemostasis selanjutnya seperti
pembentukan fibrin dan fibrinolisis yaitu activated partial tromboplastin time(APTT),
protrombin time(PT), trombin cloting time (TCT), fibrinogen, euglobin lysis time (ELT),
fibrinogen-fibrin degradation product (FDP),
Pada pasien dengan perdarahan terdapat 5 langkah pendekatan diagnosis pasien
perdarahan. Pertama dinilai terlebih dahulu apakah terdapat kelainan pada trombosit,
seperti trombositopenia ataupun gangguan fungsi trombosit yang dinilai dari hitung
trombosit dan masa perdarahan. Kemudian dilakukan penilaian apakah terdapat defisiensi
faktor koagulasi tertentu, seperti faktor VII, VIII, IX,X,V, XI, dan fibrinogen. Kemudian
nilai apakah terdapat defisiensi faktor koagulasi multiple seperti pada pasien yang
defisiensi vitamin K, penyakit hati, atau penggunaan warfarin. Kemudian dinilai adakah
kemungkinan peningkatan antikoagulan dalam sirkulasi. Seperti pada pasien pengobatan
dengan warfarin, penyakit lupus antikoagulan dan antibodi terhadap faktor VIII/IX.
Kemudian dinilai adakah koagulopati konsumtif seperti pada pasien sepsis, trauma,
vaskulitis, sindrom hemolitik uremik, dan penyakit hati.

21
3.5. Terapi 3,4
Tata laksana pasien perdarahan bergantung pada keadaan klinis dan penyebab
perdarahan.
Mayoritas kasus idiopatik trombositopenia purpura akut tidak memerlukan terapi
karena ITP akut termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting disease).
Terapi diberikan bila terjadi perdarahan berat, perdarahan mukosa, perdarahan kulit yang
luas atau trombosit < 20.000/uL. Yang termasuk perdarahan berat adalah perdarahan
intrakranial, perdarahan retina, epistaksis yang memerlukan tampon atau kauterisasi
untuk menghentikannya, perdarahan gastrointestinal (hematemesis atau melena). Terapi
lini pertama yang dapat diberikan pada ITP akut adalah kortikosteroid, imunoglobulin
intravena, dan Anti-D. Kortikosteroid yang diberikan berupa metilprednisolon 2
mg/kg/hari selama 1 minggu, kemudian diturunkan bertahap selama 1 minggu
berikutnya.12,13 Aspirasi sumsum tulang pada kasus PTI masih kontroversial. Aspirasi
sumsum tulang dilakukan bila trombosit < 20.000/uL, terdapat organomegali, gambaran
bisitopenia atau pansitopenia, morfologi sel abnormal, adanya nyeri tulang, penurunan
hemoglobin yang tidak sesuai dengan jumlah perdarahan dan bila akan diberikan
kortikosteroid. Pada kasus ITP kronik perlu dilakukan aspirasi sumsum tulang,
pemeriksaan ke arah penyakit autoimun (misalnya SLE), dan infeksi kronik seperti HIV,
EBV, CMV. Rawat inap dilakukan pada ITP dengan trombosit < 20.000/uL, atau adanya
perdarahan berat, anak usia < 3 tahun atau adanya permintaan orang tua.

22
Terapi definitif untuk pasien dengan defisiensi faktor koagulasi tertentu seperti
hemofilia adalah terapi pengganti (replacement therapy), yaitu pemberian faktor VIII
atau faktor IX dan biasanya dilakukan beberapa hari sampai perdarahan berhenti dan
selama fisioterapi. Kebutuhan faktor antihemofilia dapat dihitung dengan berbagai cara
yaitu secara empiris atau berdasarkan persentase kadar faktor yang dibutuhkan pada
berbagai jenis perdarahan atau tindakan. Dosis secara empiris faktor VIII yang diberikan
adalah 20-25 U/kg setiap 12 jam sedangkan dosis faktor IX adalah 40-50 U/kg setiap 24
jam dengan terlebih dahulu memberikan dosis muatan awal (loading dose) diberikan
sebanyak 2 kali lipat dosis biasa. Faktor VIII dapat diberikan dalam bentuk konsentrat
ataupun kriopresipitat, sedangkan faktor IX dalam bentuk FFP (konsentrat faktor IX tidak
tersedia di Indonesia). Sebelum pengobatan definitif dapat diberikan, sebagai langkah
awal dan segera yang harus dilakukan pada pasien hemofilia adalah RICE yang terdiri
dari Rest (istirahat), Ice (kompres es), Compression (ditekan/dibebat), dan Elevation
(posisi ditinggikan). Tindakan ini dilakukan pada lokasi perdarahan untuk
menghentikan/mengurangi perdarahan. Tindakan tersebut harus dikerjakan terutama
apabila penderita jauh dari pusat pengobatan sebelum pengobatan definitif dapat
diberikan. Untuk mengatasi rasa nyeri boleh diberikan analgetik yang tidak mengganggu
agregasi trombosit. Penyakit von Willebrand ringan dan sedang jarang memerlukan
pengobatan. Bila pengobatan lokal tidak berhasil pada penyakit tipe 1 dapat digunakan
desmopressin, yaitu analog sintesis dari hormon antidiuretik vasopressin secara subkutan,
intranasal atau intravena. Lebih dari 90% pasien penyakit von Willebrand tipe 1
memberikan hasil yang baik dengan pengobatan desmopressin, tetapi hasil bervariasi
pada tipe 2. Pada perdarahan yang berat atau preoperasi perlu diberikan komponen darah
(kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII).
Perdarahan pada KID dapat diatasi dengan mengobati penyakit dasarnya dan
mengatasi proses koagulopati konsumtif yang sedang berlangsung dengan pemberian
transfusi trombosit, faktor koagulasi dan antirombin-III bila diperlukan.

23
BAB IV
Kesimpulan

1. Hemostasis adalah proses penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah


yang rusak agar darah dalam kondisi fluid state. Hemostasis melibatkan 4
komponen; pembuluh darah, trombosit, kaskade koagulasi, dan fibrinolisis.
2. Diathesa hemorargik atau tendensi terjadi perdarahan terjadi akibat keadaan
patologi dari proses hemostasis. Yang dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi;
(1)akibat kelainan hematologi yaitu trombositopenia dan koagulopati dan
(2)kelainan vaskular atau non hematologi.
3. Pendekatan klinis dengan anamnesis terarah dan skrining awal berupa
pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, SADT, dan profil hemostasis
merupakan tindakan awal untuk menentukan diagnosis pada pasien, sehingga
dapat melakukan tatalaksana dengan tepat.

24
Daftar Pustaka

1. Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta: EGC


2. Abdulsalam Maria, Trihono Partini, Kaswandani Nastiti, dkk. Pendekatan
Praktis Pucat: Masalah Kesehatan Yang Terabaikan Pada Bayi Dan Anak.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UI/RSCM. Jakarta:2007
3. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in clinical practice. Edisi ke-
4. New York: McGraw Hill; 2005.
4. Oktarlina R, Prasetyani Radita. Diatesis hemorargik e.c suspek hemofilia. J
AgroMedUnila vol 4/No 1/Juni 2017
5. Montgomery RR, Scott JP. Hemorrhagic and thrombotic disorder. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson BH. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.
6. Mantik MFJ. Gangguan Koagulasi. Sari pediatri vol 6, NO.1. (supplement),
juni 2004:60-67.
7. Hoffbrand A V, Moss P . Kapita Selekta Hematologi. Jakarta;EGC.2005

25

Você também pode gostar