Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Gambar 1. Anatomi kandung kemih. Kandung kemih dari posisi anteroposterior. Inset: dinding
kandung kemih terdari dari tunika mukosa, submukosa, muskularis dan adventitia.
Kandung kemih
Kandung kemih merupakan kantung yang diselimuti otot polos, berfungsi untuk
menampung dan mengalirkan urin secara volunter. Fungsi ini terutama diperantarai oleh
sistem saraf simpatik. Selama pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan resistensi
outlet. Otot detrusor tetap inaktif selama pengisian kandung kemih, tanpa kontraksi
involunter. Ketika kandung kemih telah mencapai volume tertentu, peregangan kandung
kemih merangsang reseptor tension-stretch dan diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi
penuh. Sensasi ini memicu refleks berkemih dari otak. Refleks ini diatur oleh mekanisme
kontrol dari korteks, tergantung pada keadaan lingkungan dan kondisi sistem saraf. Proses
berkemih yang normal dilakukan secara volunteer dengan relaksasi otot panggul dan
uretra, disertai dengan kontraksi kontinyu dari otot detrusor, sehingga dapat mengosongkan
kandung kemih dengan sempurna.(24, 28)
Uretra
Uretra wanita berbentuk seperti tabung dengan panjang 3-5 cm dan lumennya berdiameter
0,6 cm. Dinding uretra tersusun atas beberapa lapis sebagai berikut:
Lapisan Mukosa. Lapisan paling dalam dengan epitel yang tebal, bagian proksimal
terdiri dari epitel transisional sedangkan bagian distal terdiri dari epitel skuamosa.
Epitel yang tebal ini bersifat kedap air.
Lapisan Submukosa. Lapisan submukosa banyak mengandung pembuluh darah yang
membentuk pleksus-pleksus pembuluh darah. Kondisi ini menyebabkan lapisan mukosa
terdorong ke dalam lumen uretra sehingga makin kedap air. Selain itu, pada lapisan
submukosa bagian distal dapat ditemukan kelenjar skene.
Lapisan otot polos destrusor (sirkular-longitudinal). Otot polos detrusor berjalan
sepanjang uretra, merupakan kelanjutan dari otot polos di kandung kemih. Otot polos
ini mengandung reseptor-α yang sensitif terhadap rangsangan simpatis. Otot polos dari
permukaan trigonum juga bersambung ke uretra proksimal, bersatu dengan otot detrusor
uretra. Saat otot destrusor uretra berkontraksi, otot uretra akan memendek dan lumen
akan terbuka atau melebar.
Lapisan otot lurik rabdosfingter atau otot urogenital. Lapisan ini terdiri dari 3 otot,
yaitu sfingter uretra (mengelilingi 20% uretra bagian proksimal), uretrovagina
(mengelilingi 40% bagian tengah uretra dan vagina) dan otot kompresor (mengelilingi
20% bagian bawah uretra); sedangkan 20% distal uretra terbuka pada vestibulum
vagina.(24, 28)
Persarafan
Saluran kemih bawah menerima persarafan dari tiga sistem, yaitu (i) simpatik, (ii)
parasimpatis, dan (iii) sistem saraf somatik (sfingter uretra eksternal). Sistem saraf
simpatik terutama mengendalikan proses penampungan dalam kandung kemih, dan
sistem saraf parasimpatis mengendalikan pengosongan kandung kemih. Sistem saraf
somatik berperan dalam mengendalikan sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul
secara volunter.(28)
Sistem saraf simpatik berasal dari medula spinalis segmen torakolumbalis, setinggi
T11 hingga L2 atau L3. Ganglion dari sistem saraf simpatik terletak dekat dengan korda
spinalis, dimana asetilkolin berfungsi sebagai neurotransmitter praganglionik.
Neurotransmiter pascaganglionik di sistem saraf simpatik adalah norepinefrin, dan
bekerja pada dua jenis reseptor, yaitu reseptor α yang terletak terutama di uretra dan
kandung kemih, dan reseptor β, yang terletak terutama dalam kandung kemih. Stimulasi
reseptor α meningkatkan tonus uretra dan dengan demikian memicu penutupannya,
sedangkan penyekat reseptor α-adrenergik memiliki efek sebaliknya. Stimulasi reseptor β
menurunkan tonus kandung kemih.(24, 28)
Sistem saraf parasimpatis mengendalikan fungsi motorik dari kandung kemih, yaitu
kontraksi kandung kemih dan pengosongan kandung kemih. Sistem saraf parasimpatis
berasal dari medulla spinalis segmen sakral, setinggi S2 hingga S4; sama dengan
persarafan somatik ke dasar panggul, uretra, dan sfingter anal eksternal. Sensasi di
perineum juga dikendalikan oleh serabut sensorik yang terhubung dengan medulla
spinalis pada tingkat yang sama. Oleh karena itu, pemeriksaan refleks perineum, refleks
otot panggul, dan tonus otot panggul atau sfingter anal dapat digunakan untuk evaluasi
klinis saluran kemih bagian bawah. Neuron parasimpatis memiliki bagian praganglionik
yang panjang dan bagian pascaganglionik yang pendek. Baik neuron praganglionik dan
pascaganglionik menggunakan neurotransmitter asetilkolin yang bekerja pada reseptor
muskarinik. Oleh karena asetilkolin merupakan neurotransmitter utama dalam kontraksi
otot detrusor, maka hampir semua obat yang digunakan untuk mengontrol otot detrusor
memiliki sifat antikolinergik.(24, 28)
Gambar 2. Proses berkemih. Saat kandung kemih terisi, sinyal sensorik aferen berjalan melalui
nervus pelvikus dan hipogastrikus ke korda spinalis, kemudian diteruskan ke pusat berkemih di
pons melalui traktus spinotalamikus lateral dan kolumna dorsalis. Stimulasi simpatik dihantarkan
melalui nervus hipogastrikus untuk mempertahankan kerja otot polos di sfinter uretra dan
relaksasi detrusor dalam rangka penampungan urin. Selain itu, sinyal somatik eferen berjalan ke
otot lurik di dasar panggul melalui nervus pudendalis yang berkaitan dengan kendali volunter dari
sfingter uretra eksterna dan peningkatan resistansi uretra yang cepat sebagai respons dari
peningkatan tekanan intravesika. Saat sinyal aferen semakin bertambah seiring dengan pengisian
kandung kemih, maka sinyal akan mencapai ambang batas dimana seseorang menyadari kandung
kemihnya sudah penuh dan disertai dengan kesempatan berkemih. Pada titik tersebut, sinyal dari
pusat berkemih di pons akan berjaan ke korda spinalis segmen sakral melalui traktus
retikulospinais dan kortikospinalis. Stimulasi kolinergik dari detrusor dan relaksaan otot dasar
panggul terjadi setelah ada rangsangan tersebut. Akhirnya proses berkemih dimulai. Beberapa
obat farmakologis memeliki efek pada lokasi yang dilingkari.
Penampungan dan pengosongan kandung kemih melibatkan interaksi dari sistem saraf
simpatik dan parasimpatik. Berbagai perubahan dalam proses ini dipengaruhi oleh berbagai
neurotransmiter nonadrenergik, nonkolinergik dan neuropeptida, yang menyempurnakan impuls
saraf dengan mekanisme fasilitasi atau di korda spinalis dan atau pada tingkat yang lebih tinggi
dari sistem saraf pusat. Dengan demikian, kelainan neurologi pada berbagai tingkat di korda
spinalis dapat mengganggu fungsi saluran kemih bagian bawah.(24, 28)
Proses berkemih
Proses berkemih dipicu oleh sistem saraf perifer di bawah kendali dari sistem saraf pusat. Proses
ini dimulai saat sudah tercapai ambang volume urin dalam kandung kemih, di mana terjadi akan
refleks kontraksi detrusor. Ambang volume ini tidak menetap, dan dapat berubah tergantung pada
sensasi dari perineum, kandung kemih, usus besar, dan rektum serta impuls dari sistem saraf
pusat.
Korda spinalis dan tingkatan yang lebih tinggi dalam sistem saraf memiliki sifat
inhibisi dan fasilitasi. Pusat fasilitatif yang paling penting di atas korda spinalis adalah
pons, yang merupakan substansia grisea di daerah mesensefalon dan batang otak. Pusat
ini sering disebut pusat bekemih, yang berfungsi sebagai jaras akhir untuk semua neuron
motorik ke kandung kemih. Kerusakan pada korda spinalis di bawah pons dapat
menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih, sedangkan kerusakan di atas pons
mengarah ke obveraktivitas detrusor. Serebelum juga memiliki peran penting, yaitu
sebagai pusat koordinasi antara relaksasi otot dasar panggul dan kontraksi detrusor.
Di atas tingkat ini, korteks serebri dan struktur terkait menginhibisi refleks berkemih.
Dengan demikian, saat ada rangsangan untuk berkemih, korteks melepaskan inhibisi,
sehingga pusat berkemih pons dapat mengirim impuls eferen melalui korda spinalis ke
pusat berkemih di segmen sakral, yang akhirnya menimbulkan kontraksi detrusor dan
berakhir dengan pengosongan kandung kemih.(24, 27, 28)
II.4.1. Definisi
Retensio urin adalah gangguan proses berkemih, yang disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam mengosongkan kandung kemih secara sempurna setelah proses
berkemih yang volunter. Retensio urin dapat dikelompokkan menjadi retensio urin akut
dan kronik. Retensio urin akut, merupakan distensi kandung kemih yang menimbulkan
rasa nyeri, terkadang nyeri hebat yang membutuhkan penanganan segera. Retensio urin
akut dapat mereda sendiri atau dapat berkelanjutan menjadi kronik. Secara kuantitatif,
retensio urin akut didefinisikan sebagai rasa nyeri yang muncul tiba-tiba atau riwayat
tidak berkemih tanpa rasa sakit selama 12 jam dengan bukti adanya distensi kandung
kemih, dan membutuhkan kateterisasi dengan pengeluaran volume urin sama dengan atau
lebih dari kapasitas kandung kemih normal.(34, 35)
Retensio urin kronik merupakan distensi kandung kemih yang tidak menimbulkan rasa
nyeri, dapat menimbulkan inkontinensia overflow dan meningkatkan risiko kerusakan
saluran kemih bagian atas. Secara kuantitaif, retensio urin kronik didefinisikan sebagai
kegagalan pengosongan kandung kemih secara sempurna, dimana dengan kateterisasi
dapat dikeluarkan lebih dari 50 persen kapasitas kandung kemih normal. Urin residu
dalam jumlah besar pada retensio urin kronik merupakan faktor risiko terjadi infeksi
saluran kemih, dimana akan timbul gejala disuria, peningkatan frekuensi serta nyeri
abdomen bagian bawah.(34, 35)
Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna menunjukkan adanya residu
pascaberkemih (postvoid residual/PVR) yang bermakna. Hingga saat ini, penanda adanya
PVR bermakna masih belum disepakati bersama, namun dalam beberapa institusi sudah
dideskripsikan mengenai volume absolute, proporsi kapasitas kandung kemih, atau
adanya gejala yang relevan. Secara patofisiologi, retensio urin disebabkan oleh satu atau
lebih faktor – faktor terkait, yaitu penurunan kontraktilitas kandung kemih, penurunan
kontraksi detrusor, melemahnya anatomi outlet, melemahnya relaksasi outlet, atau
kerusakan neurologis yang terkait proses berkemih.(34)
Secara kuantitatif, retensio urin didefinisikan sebagai tidak adanya proses berkemih
spontan, enam jam setelah berkemih yang terakhir atau kateter tetap dilepaskan, atau
dapat berkemih spontan dengan urin sisa > 200 ml untuk kasus obstetrik.(36, 37) Sedangkan
retensio urin pada kasus ginekologi adalah jika tidak dapat berkemih spontan enam jam
setelah kateter tetap dilepaskan atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa > 100
ml.(33)
Tabel 1. Penyebab retensio urin dan obstruksi collum vesika pada wanita
(diadaptasi dari referensi (34))
Anatomik Fungsional
Uretra Perioperatif
Divertikulum
3. Ultrasonografi
Meskipun ultrasonografi sudah sering digunakan untuk mengevaluasi fungsi kandung kemih,
penggunaannya sebagai alat diagnostik retensio urin pascabedah baru populer pada dua dekade
terakhir. Sebagian besar penelitian mengenai retensio urin pascabedah menggunakan
ultrasonografi untuk memperkirakan volume urin residu. Walaupun begitu, seperti yang
dikemukakan sebelumnya, hingga saat ini setiap penelitian menggunakan batas volume urin
residu yang berbeda – beda; ada yang menggunakan 200 mL, ada pula yang menggunakan 300
mL sebagai batas. International Continence Society menyatakan bahwa retensio urin pada kasus –
kasus bukan pascapartus adalah jika melebihi atau sama dengan 100 mL.
Pemeriksaan USG untuk kandung kemih sering dilakukan transabdominal menggunakan probe di
region suprapubik untuk memperlihatkn potongan transversal dan sagital. Pada wanita, kandung
kemih berada di depan dan bawah uterus, sehingga jumlah urin residu yang kecil seringkali
disalahinterpretasikan sebagai vagina. Setelah proses berkemih selesai, seharusnya tidak
ditemukan urin residu pada kandung kemih.
Ultrasonografi lebih baik dibandingkan dengan kateterisasi, karena dapat mencegah ISK terkait
kateter. Selain itu, pasien juga lebih merasa nyaman. Namun, seringkali pemeriksaan
ultrasonografi tidak akurat pada pasien pascabedah uroginekologi, terutama bila ditemukan
kelainan pelvis.(46)
Retensio urin merupakan salah satu komplikasi yang umum terjadi pasca persalinan dan memiliki
dampak yang luas. Berbagai dampak yang ditimbulkan adalah dampak klinis, psikologis dan
finansial yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas akibat RUPP. Retensio urin pasca
persalinan gejala klinisnya dapat berupa keluhan Keluhannya dapat berupa buang air kecil
sedikit, buang air kecil tidak lampias, kandung kemih terasa penuh, waktu berkemih yang lama,
tingginya frekuensi berkemih dan dapat berakhir dengan ketidakmampuan pasien untuk
berkemih. TSedangkan tanda klinisnya adalah tingginya residu urin menjelang dan saat
persalinan kala II. Beberapa faktor risiko yang mungkin menyebabkan retensio urin antara lain
persalinan primigravida, partus kala II lama, robekan jalan lahir yang luas, serta persalinan
dengan menggunakan alat seperti forsep atau vakum.
PadahalDan jika kita dapat memprediksi kemungkinan terjadinya suatu retensio urin kita akan
dapat melakukan penatalaksanaan dengan memasang kateter menetap selama 24 jam dan setelah
itu 6 jam kemudian kita dapat mengetahuimengukur volume residu urinnya dan jika kurang dari
200 ccmL dikatakan normal dengan kata lain akhirnya tidak terjadi retensio urin. Atau kita dapat
mengobservasi pasien hingga 6 jam pasca persalinan dengan mengukur volume residu urin. Jika
kurang dari 200 ccmL, berarti volume residu urin dikatakan normal. Dengan kata lain tidak ada
retensio urin. Akan tetapi, tatalaksana ini tidak dilakukan oleh penolong persalinan (dokter
obstetri dan ginekologi atau bidan) karena ketidakmampuan mereka dalam memprediksi
kemungkinan terjadinya retensio urin pasca persalinan, sehingga akhirnya terjadi retensio urin di
kemudian waktu yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Berdasarkan uraian di atas, perlu ditentukan metode non-invasif diagnosis retensio urin berupa
scoring system, mengingat banyaknya pasien gagal dan terlambat didiagnosis adanya retensio
urin. Hal itu tentu dapat itu menimbulkan dampak morbiditas berupa distensi kandung kemih
yang berlebih, ruptur kandung kemih, sampai menyebabkan mortalitas berupa kematian karena
uremia dan sepsis. Dengan sistem skoring ini diharapkan angka morbiditas dan mortalitas RUPP
dapat diturunkan secara signifikan karena kita dapat melakukan diagnosis lebih awal dan
tatalaksana pencegahan terjadinya retensio urin dengan baik.