Você está na página 1de 12

ANALISIS PENANGGULANGAN BENCANA

BERBASIS PERSPEKTIF CULTURAL THEORY

Wasisto Raharjo Jati


Jurusan Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGM
Jalan Sosio Yustisio No.2, Bulaksumur Yogyakarta-55281.
E-mail: wasisto.raharjo@mail.ugm.ac.id

Abstract

This study aimed to analyze the cultural theory as an alternative paradigm in disaster risk
reduction. In this case, the focus of the study of cultural theory lies in the perception of public
knowledge about the disaster. Modern rational society will assess disaster is a day-to-day issues
that have an adequate knowledge of disaster while traditional societies tend to view disasters as
divine punishment and despair when disasters come. Applications of cultural theory have become
DQLPSRUWDQWDQGVLJQL¿FDQWWRDQDO\]HWKHULVNFKDUDFWHULVWLFVRIWKHUHJLPHLQHDFKFRXQWU\(DFK
regime has its own risk model of disaster management are different depending on the geography
and spatial. The birth of the idea of risk regulatory regime is a manifestation of cultural theory by
placing the state as the dominant actor in disaster issues. The consequence is that the state has
a different orientation in view of the disaster that spans the hierarchy in disaster risk reduction
policies.

Keywords: Risk regulatory regime, cultural theory, risk reduction.

1. PENDAHULUAN aspek sosial terhadap skema penanggulangan


bencana sendiri dikarenakan adanya
Kajian ini mengangkat tentang aspek perubahan paradigma ilmu bencana. Bencana
penanggulangan bencana ditinjau dari kini bukan lagi dianggap sebagai fenomena
perspektif persepsi publik tentang pemahaman yang sporadis, namun sebisa mungkin bencana
bencana. Hal ini menjadi sangat urgent dan tersebut dikelola dan direduksi. Oleh karena
signifikan untuk mengetahui pengetahuan itulah, bencana bukan lagi dianggap sebagai
mendasar tentang hal yang mesti dilakukan hazard yang menempatkan bencana sebagai
dalam menanggulangi bencana. Dalam sesuatu yang absurd untuk dikelola. Akan
hal ini, kajian mengenai penanggulangan tetapi, bagaimana kemudian kita menempatkan
bencana bukan lagi menjadi dominasi dari unsur keselamatan (safety) dalam bencana
ilmu pasti konsentrasinya lebih mengarah tersebut. Munculnya gagasan “kerentanan”
kepada pembangunan fisik sebagai cara (vulnerability) adalah untuk mengakomodasi
penanggulangan bencana. Melainkan juga pranata maupun unit sosial sebagai bagian
telah merambah kepada cabang ilmu sosial dari kajian bencana. Khususnya terhadap
lainnya seperti sosiologi dan antropologi. eksistensi peradaban dan kehidupan manusia
Membicarakan aspek penanggulangan yang berada di dunia. Bencana berikut
bencana dari perspektif ilmu sosial akan lebih faktor pemicu maupun implikasinya terhadap
mengarah pada pola behavioralisme seseorang kehidupan manusia perlu untuk direduksi
dalam mempersepsikan suatu bencana. Cara maupun terdeteksi sedini mungkin, sehingga
pandang ini setidaknya menjadi penting untuk dari situlah kemudian menciptakan skema
melihat dampak bencana terhadap kehidupan manajemen bencana.
sosial kemasyarakatan. Penekanan terhadap Adapun penggunaan istilah perspektif

Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 1
“cultural theory” yang digunakan dalam tulisan Paradigma risiko muncul sebagai wujud dari
ini adalah suatu cara bagaimana dan mengapa perkembangan lanjutan modernisasi kehidupan
individu memberikan penilaian terhadap manusia di dunia. Istilah risiko sendiri diartikan
bencana begitu juga potensi kerusakan yang sebagai sebuah kemungkinan serangan
ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan upaya fisik yang diakibatkan dari perkembangan
pemenuhan hak keadilan sosial kepada teknologi dan prosesnya. Artinya, risiko
masyarakat untuk mengetahui informasi bencana sendiri terjadi dari sebuah proses
kebencanaan secara akurat dan mendetail. perkembangan manusia di dunia dan bukan
Pemenuhan hak tersebut menjadi penting disebabkan oleh faktor alamiah bencana alam.
utamanya dalam mengkonstruksikan bencana Pemahaman risiko menarik dicermati untuk
tersebut karena isu penanggulangan bencana melihat keseimbangan relasi antar manusia
sendiri tidak terlepas dari tiga premis utama dan alam selama ini yang menunjukkan gejala
yakni kekuasaan (power), keadilan (justice), yang tidak seimbang. Peristiwa mutakhir yang
dan legitimasi kekuasaan (legitimacy). Relasi terjadi seperti pemanasan global, efek gas
kekuasaan terhadap penanggulangan bencana rumah kaca, bencana radiasi nuklir di Jepang
adalah melihat bagaimana respons negara tahun 2011 lalu merupakan bencana yang
dalam menanggulangi dampak destruktif disebabkan oleh berkembangnya modernitas
bencana baik dari segi sosial maupun ekologis manusia (manufactured risk). Meskipun ada
dan konstruksi informasi publik yang dihadirkan juga bencana yang disebabkan murni oleh
negara terhadap bencana dan dampaknya faktor alam (natural risk) seperti gempabumi
kepada masyarakat. Isu keadilan berkaitan dan gunung meletus. Namun pemahaman
dengan pemenuhan kebutuhan sosial bagi risiko sendiri lebih mengarah pada faktor
masyarakat dan legitimasi sendiri terkait ketidakseimbangan relasi antara manusia
dengan tingkat kepercayaan publik terhadap dengan alam.
pemerintah dalam menanggulangi bencana Salah satu faktor riil yang bisa menjelaskan
(Douglas, 2001 : 34). premis tersebut adalah tragedy of the commons
Ketiga hal tersebut dikristalkan dalam (tragedi kebersamaan). Tragedi ini merujuk
bentuk pemahaman risk regulatory regime pada suatu peristiwa dimana lingkungan alam
yakni karakteristik rezim suatu negara menjadi rusak karena ulah kerakusan manusia.
dalam menanggulangi bencana. Adapun risk Manusia adalah individu yang rasional yang
regulatory regime ini menempatkan negara senantiasa untuk mengeruk keuntungan
sebagai aktor tunggal dalam penanggulangan sebesar-besarnya. Maka implikasi yang timbul
bencana. Konsepsi ini terkait dengan kemudian adalah adanya kavlingisasi alam
karakteristik penanggulangan bencana menjadi komoditas ekonomi. Akibatnya yang
yang dilakukan oleh negara yang berbeda terjadi adalah tatanan ekologi menjadi rusak
disesuaikan dengan keadaan ekologis, karena ulah eksplorasi dan eksploitasi alam
geologis, maupun morfologis negara tersebut. secara masif.
Secara lebih lanjut, tulisan ini akan dibagi Faktor riil lainnya adalah menguatnya
dalam beberapa bagian. Pertama, menjelaskan market way (cara pasar) dalam mengelola
terlebih dahulu mengenai desain utama aspek alam yang menjadi dominan ketimbang state
penanggulangan bencana dari kacamata way (cara negara) dan common pool resources
sosiologi bencana. Kedua, menjelaskan (cara masyarakat) yang lebih memandang
konteks risiko dalam studi bencana. Ketiga alam sebagai sumber kemakmuran. Maka
mengelola risiko bencana dan keempat ketika kemakmuran yang dikeruk dari alam
membahas mengenai rezim penanggulangan itu habis, alam menciptakan faktor laten
bencana. terjadinya bencana alam. Sebenarnya dari
ketiga cara tersebut, mekanisme masyarakat
2. KONTEKS RISIKO DALAM STUDI berbasis common pool resources sebenarnya
BENCANA merupakan bentuk kesadaran menghargai

2 Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12


relasi seimbang antara alam dan manusia yang dampak bencana tersebut agar segala capaian
tujuannya jelas menghindari adanya dampak pembangunan modernitas manusia tidak
destruktif yang dihadirkan alam kepada hancur dalam sekejap sehingga mengharuskan
manusia apabila manusia tidak menghargai manusia untuk kembali kepada titik nol untuk
alam sepantasnya. Sekilas, pandangan ini memulai peradabannya yang baru. Bencana
memang mempunyai similaritas dengan sebisa mungkin harus dikelola oleh negara
pandangan ekologis yang menganjurkan dan masyarakat. Adapun konsep pengelolaan
adanya hubungan timbal balik dan seimbang tersebut dapat dimulai dari memahami konteks
antar manusia dan alam. risiko dalam studi bencana. Risiko (risk)
Pemahaman risiko dalam studi bencana sebenarnya merupakan bentuk konstruksi
sebenarnya berangkat dari pola yang sama wacana seberapa signifikan konskuensi
yakni untuk menyelaraskan kembali hubungan dampak bencana terhadap pengaruhnya
alam dan manusia. Hanya saja risiko lebih kepada kehidupan. Pemahaman mengenai
mengarah pada aspek antroposentrisme yakni risiko adalah memahami sebuah estimasi
berorientasi kepada keselamatan manusia dan probabilitas bencana itu diukur sehingga
(human security) sendiri dari bencana yang dapat direduksi pengaruhnya. Berikut ini fase
ditimbulkan oleh alam. Oleh karena itulah, perkembangan pengetahuan tentang risiko
dimensi kerentanan (vulnerabilities) lokusnya bencana.
terletak di pola kehidupan manusia. Hal Dari berbagai pengelompokan tersebut,
itu sebenarnya merupakan sebentuk dari bencana kemudian dipahami dalam bentuk yang
SHQJDODPDQNRQWHPSODVLVHNDOLJXVMXJDUHÀHNVL kian berkembang dari semula sangat tradisional
manusia atas capaian modernitas yang telah dan teologis menjadi rasionalistik dan modern.
dicapai justru menimbulkan risiko bencana Namun demikian, dalam membahas bencana
lebih besar yang tidak dikehendaki, tidak sendiri ada yang perlu dikontekstualisasikan
terduga, maupun tidak dapat ditanggulangi
oleh kontrol rezim negara modern. Tabel 1. Tahapan Perkembangan Pemahaman
3HULODNXUHÀHNVLDWDVPRGHUQLWDVWHUVHEXW Masyarakat tentang Risiko Bencana
merupakan bagian dari pintasan linearitas
peradaban manusia dalam memahami bencana. Fase Pra- Masyarakat Masyarakat
Dalam hal ini, pemahaman manusia tentang Modernitas Modernitas Industri Risiko /
bencana (hazard) mengalami perkembangan Kehidupan Refleksi
konsep dari semula menilai bahwa bencana Modernitas
lebih banyak didominasi pemahaman teologis Tipologi aDecisional Risk Radicalized
yang memposisikan bencana sebagai bentuk Risiko Calculus Risk
penghakiman Tuhan atas manusia yang
ingkar kepada-Nya. Bencana dianggap Asal-usul Bencana Bencana Bencana
sebagai entitas katastropik yang memiliki Risiko Alam, Alam Artifisial /
kekuatan destruktif yang besar. Sekarang ini Bencana Bahaya, ditambah manufactured
dan lingkungan risk yang
berbicara bencana lebih banyak didominasi
Kerusakan dengan disebabkan
oleh pemahaman ketahanan, modernitas, dan lainnya kondisi oleh kondisi
ekologis yang menempatkan bencana sebagai seperti kerja, sosial-
bagian dari unit sosial kehidupan manusia di kelaparan, industri, politik,
dunia. Manusia modern kian menyadari bahwa gempa risiko ekonomi,
bencana sebagai sesuatu yang tidak dapat bumi, dan maupun
bentuk berasal dari
terelakkan dari kehidupan masa kini entah
bencana operasionali-
itu dalam wujud nyata (manifest) ataukah alam sasi
tersembunyi (laten) (Beck, 1992 : 42). lainnya teknologi
Lahirnya konsep manajemen bencana dan industri
sebenarnya merupakan upaya meminimalisir

Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 3
Bencana Tidak Ya Tidak, terutama mengkaitkan relasi antara bencana
sebagai Bencana Bencana bencana itu dengan struktur sosial kemasyarakatan. Hal
bagian tersebut merupakan hadir dalam LQL PHQMDGL SHQWLQJ GDQ VLJQL¿NDQ XWDPDQ\D
fungsi dari merupakan hasil dari bentuk dalam melihat isu bencana menjadi bagian dari
kebijakan bentuk industrialisa- kolektif rutinitas kehidupan masyarakat modern. Dalam
individu kuasa dari si dan yakni dari
hal ini, kaitan antara bencana dan masyarakat
Tuhan penggunaan proses alam
teknologisasi dan proses
dapat ditinjau dari formulasi bencana sebagai
perkembang sebuah kejadian (events) yang kemudian
an teknologi menghasilkan dampak (impact) kepada
masyarakat (social units) yang kemudian
Skope Masyarakat, Dibatasi Tidak menghasilkan respon (response) balik atas
Kerusakan Kota, oleh ruang, terbatas, kejadian tersebut. seperti ini (Kreps, 1985 :51).
Bencana Negara, waktu, dan risiko
dan semuanya bencana
wilayah telah tidak bisa
spasial diperkirakan ditanggula-
lainnya dan ngi
dikontrol melainkan
oleh direduksi
asuransi karena
risiko
bencana
sifatnya
menurun
antar
generasi
Kalkulasi Tidak tentu Dapat Tidak bisa Gambar 1. Skope Kausalitas Risiko Bencana
Bencana dan tidak diprediksi dijadikan
pasti dan dapat standar yang Lebih lanjut, makna bencana sebagai
karena dikalkulasi pasti untuk
kejadian (events) diartikan sebagai kejadian
bencana level mengukur
sendiri bencana tingkat luar biasa (extraordinary events) yang
merupakan dan tingkat kerusakan memiliki pengaruh terhadap instabilitas
bentuk kerusakan dan level manusia. Bencana sendiri dapat dikategorikan
penghakim ya. bencana PHQMDGL WLJD PDFDP \DNQL ¿VLN (physical),
an dan waktu (temporal), dan sosial (social). Artinya
hukuman
penanganan kasus bencana sendiri tidak bisa
Tuhan
terhadap diseragamkan dalam satu pola saja. Misalnya
manusia saja dalam berbagai kasus penanganan di
Indonesia sendiri, pola penanganan bencana
Letak Tidak Ada Ada dan
berbasis kebutuhan ad hoc selalu menjadi pilihan
Pertang- Ada, tergantung Tidak, utama seperti pemberian bantuan makanan
gungjawab- karena itu dari tergantung siap saji, perlengkapan tidur, maupun pakaian
an menjadi kesepakatan dari tingkat siap pakai. Dalam konteks ini, penanggulangan
bagian antar kerusakan bencana perlu melihat pola dasar pemantik
takdir dan pemangku yang terjadinya sebuah bencana. Penanggulangan
merupakan kepentingan ditimbulkan
kekuatan dari bencana
bencana juga perlu melihat waktu periode
supranatural tersebut. berlangsungnya bencana tersebut supaya
dari Tuhan upaya cepat melakukan evakuasi menjadi
OHELK H¿VLHQ GDQ HIHNWLI  3HUVHSVL SXEOLN
Sumber: Smith, 1996 : 307 yang menjadi lokus utama dalam tulisan
ini menjadi penting melihat penilaian publik
dalam penanggulangan bencana. Perspektif

4 Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12


ini penting karena publik merupakan korban lainnya yang intinya menempatkan umat manusia
langsung dari terjadinya kejadian bencana sebagai entitas yang rentan terhadap bencana.
tersebut. Dampak (impact) dibedakan menjadi Pada masa depan, potensi risiko bencana akan
dua hal yakni bencana ekologis dan bencana kian membesar berkorelasi dengan modernitas
sosial. Bencana ekologis sendiri diartikan peradaban manusia. Intinya adalah masalah
sebagai rusaknya lingkungan hidup yang murni penanggulangan bencana sendiri kini bukan lagi
disebabkan oleh alam, sedangkan bencana melakukan koordinasi penanggulangan bencana
sosial lebih mengarah pada instabilitas tatanan berbasiskan koordinasi dari pusat saja. Namun
relasi sosial yang menjadi chaos karena dampak penanggulangan bencana sendiri memungkinkan
bencana tersebut. Hal lain yang terjadi adalah komunitas masyarakat untuk lebih pro-aktif dalam
munculnya fenomena keributan sosial karena masalah kebencanaan tersebut. Masyarakat
semua individu mengalami gejolak batin yang lebih memiliki pengetahuan bencana lebih baik
belum mereda paska bencana. Masyarakat daripada negara karena merekalah yang lebih
sebagai social unit berperan sebagai agen tahu mengenai kondisi riil lingkungannya masing-
dalam mengelola persepsi pengetahuan masing.
publik tersebut menjadi pola penanggulangan Mengenai hal tersebut, terdapat dua
bencana. Respons (response) merupakan paradigma penting dalam membahas mengenai
bentuk upaya tanggap dari masyarakat dalam pentingnya masyarakat sebagai community
mereduksi dampak bencana. dalam penanggulangan risiko bencana. Yang
Dalam hal ini, masing-masing faktor pertama, adalah model crunch. Model ini
tersebut memiliki hubungan yang saling kait- mengasumsikan bahwa bencana (disaster)
mengkait. Artinya bahwa bencana bukanlah sendiri merupakan hasil dari proses bertemunya
aktor tunggal saja yang menjadi penyebab hazard yang kemudian berkembang menjadi
utama / causa prima saja. Semua memiliki faktor faktor pemicu bencana seperti gempabumi,
memiliki peranan yang saling berpengaruh gunung meletus, dan lain sebagainya dengan
pada kinerja semua organ, seperti yang terlihat vulnerability yang di dalamnya terdapat sebuah
dalam gambar berikut ini. kondisi yang tidak nyaman (unsafe condition)
dimana terdapat eskalasi kerentanan dan
EVENTS-IMPACTS kerawanan yang dialami penduduk baik sebelum
terjadinya bencana maupun sesudahnya. Namun
dalam hal ini, kondisi kerentanan dalam unsafe
DISASTER DOMAINS SOCIAL STRUCTURE
condition tersebut tidak meletakkan manusia
benar-benar tidak dapat berbuat banyak atas
bencana dan terpaku hanya menunggu bantuan
dari negara saja. Penanggulangan risiko
SOCIAL UNITS-RESPONS bencana yang terdapat dalam model crunch
sendiri lebih mengarah sikap pasif masyarakat
Gambar 2. Sirkulasi Manajemen Bencana dalam menghadapi bencana. Masyarakat diminta
Sumber: Kreps, 1985 : 52 menunggu terlebih dahulu dalam melakukan aksi
tanggap darurat ketika bencana benar-benar
Disadari atau tidak, relasi bencana dan sudah mereda dan pemulihan kondisi psikologis
manusia semakin mendekat. Secara naluriah, korban bencana sudah dapat ditanggulangi.
manusia sendiri kemudian kian tergantung Malah justru selama dalam kondisi yang
dengan alam untuk memenuhi kebutuhan tidak aman dan rentan tersebut terdapat berbagai
hidupnya. Namun demikian, alam semakin bentuk dinamika yang dilakukan oleh komunitas
lama juga mengalami penurunan kualitas untuk masyarakat seperti halnya kemampuan untuk
dihuni. Ancaman itu kian nyata manakala melihat PHQ\HUDSJRQFDQJDQVRVLDOPDXSXQ¿VLNGDUL
fenomena bumi mutakhir seperti lubang ozon, dampak bencana, kapasitas untuk memulihkan
salju kian mencair, pergeseran lempeng bumi diri secara cepat, dan kemampuan untuk
yang kian tidak menentu, maupun bencana beradaptasi mengikuti potensi bencana yang

Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 5
bisa datang sewaktu-waktu. Komunitas memiliki memadai tentang bencana terutama kaitannya
pengetahuan yang berasal dari kearifan lokal di GHQJDQLOPXJHRORJLVYXONDQRORJLRVHDQRJUD¿
OLQJNXQJDQQ\DPDPSXEHUJHUDNVHFDUDÀHNVLEHO maupun cabang ilmu kebencanaan lainnya.
dalam melakukan upaya tanggap darurat. Relase model sendiri lebih mengarah pada
Kearifan lokal dalam bencana tersebut membuat kebiasaan-kebiasaan yang biasanya diwariskan
masyarakat lebih paham dalam konteks riil melalui sistem tradisi kemasyarakatan. Hal
terhadap pemetaan masalah yang terjadi dalam inilah yang kemudian membuat dilema antara
bencana. pengetahuan rasional dan tradisional (Blaikie,
Model kedua yakni release model, model 1994 : 35). Namun demikian, dalam kondisi riil
ini berkebalikan dengan model crunch yang kebencanaan keduanya saling bahu-membahu
memposisikan manusia harus beradaptasi dalam aksi penanggulangan risiko bencana
dengan bencana sehingga dapat mereduksi dimana pengetahuan rasional berperan besar
bahaya kerentanan terhadap bencana. Model ini dalam mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis
lebih mengedepankan pada pola aktif masyarakat dalam penangggulangan risiko bencana
dalam pencegahan bencana seperti halnya sedangkan pengetahuan tradisional lebih
ajakan tidak membuang sampah sembarangan berperan dalam meredam gejolak sosial yang
sehingga mengakibatkan banjir, larangan terjadi di masyarakat dalam masa tanggap
menebang pohon karena rawan terjadinya tanah darurat.
longsor, maupun gerakan reboisasi penghijauan
kota desa. 3. MENGELOLA RISIKO BENCANA
Oleh karena itulah, derajat kerentanan
(vulberability) yang meletakkan manusia dalam Yang dimaksudkan dengan mengelola risiko
kondisi yang bersifat unsafe condition dalam bencana dalam konteks ini adalah mengatur
model crunch. Sebisa mungkin dalam model dampak bencana seminimal mungkin agar tidak
release ini, terjadi konversi dari unsafe menjadi menimbulkan dampak destruktif yang lebih besar
safe. Adapun konteks kerentanan (vulnerability) lagi. Dalam pemahaman perspektif cultural
yang dicari dalam analisa penanggulangan risiko theory yang menjadi tema utama dalam makalah
bencana sendiri bukanlah mencari akar penyebab ini, terdapat dua hal utama yakni pengetahuan
terjadinya bencana. Namun lebih kepada tradisional dan pengetahuan modern. Dua hal
penyebab gejolak sosial yang ditengarai sebagai tersebut sebenarnya sudah dibahas dalam sub
penyebab terjadinya kerentanan tersebut. bab sebelumnya dimana terdapat titik singgung
Perilaku seperti halnya krisis ideologi, krisis politik, antara tradisional yang berorientasi pada hal-hal
krisis ekonomi, maupun krisis budaya. Berbagai bersifat sosial sedangkan pengetahuan modern
hal itulah yang menempatkan manusia sendiri berorientasi pada penanganan hal teknis.
dalam posisi rentan dalam bencana. Bencana Pengetahuan modern lebih mengarah kepada
sendiri sebenarnya dapat ditanggulangi asalkan pembentukan formulasi risiko/risk (R) merupakan
ikatan sosial kemasyarakatan sendiri menjadi bentuk dari gabungan eskalasi/exposure (E)
kuat dan terikat antar sesama anggota. Hanya dan besaran bencana/magnitude (M) sehingga
saja, terkadang baik sebelum dan sesudah membentuk format (R=EM) (Tansey, 1999 : 78).
bencana sendiri, ikatan sosial kemasyarakatan Adapun mekanisme penanggulangan risiko
kemudian menjadi kacau karena semua orang bencana yang ditawarkan dalam pendekatan ini
sendiri merasa berhak untuk diselamatkan PHQJDUDKSDGDSHQJJXQDDQLQIUDVWUXNWXU¿VLN
terlebih dahulu dari potensi mara bahaya seperti halnya pembangunan sistem peringatan
bencana yang berpotensi menimbulkan korban dini tentang bahaya bencana yang dianggap
lebih banyak lagi. lebih rasional dan ilmiah bagi masyarakat untuk
Dalam kasus di Indonesia, sebenarnya menghadapi bencana. Sedangkan, pengetahuan
dimensi risiko penanggulangan bencana berbasis tradisional menolak unsur rasionalitas yang
release ini sebenarnya sudah ada dan sedang terdapat pada pengetahuan modern dimana
digalakkan oleh komunitas masyarakat lokal. konsentrasi pendekatan ini lebih mengarah
Hanya saja, terbentur dengan informasi yang analisa psikometris seperti halnya kecemasan,

6 Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12


ketakutan, maupun gejala gangguan psikologis menekankan para peran aktif komunitas untuk
lainnya selama masa tanggap darurat. Selain berperan besar dalam mengelola isu bencana.
itu pula, pengetahuan tradisional sendiri lebih Peran tersebut dapat dijabarkan melalui kekuatan
mengedapankan kepada aspek common sense modal sosial dalam ikatan sosial-kemasyarakatan
berbasis adat maupu kearifan lokal yang menurut yang kuat antar masyarakat dalam mengelola
pandangan orang modernis tidak sesuai dalam isu bencana. Bencana sendiri dapat dihadapi
aksi penanggulangan risiko bencana. Aplikasi dengan menjalin solidaritas sesama anggota
cultural theory di sini sebenarnya merupakan masyarakat sehingga guncangan batin dan psikis
jalan tengah dari dua pengetahuan besar tersebut dapat ditanggung dan direduksi bersama-sama.
yakni perspektif menganalisis mengapa risiko Model fatalis sendiri lebih mengajak pada peran
menjadi isu yang terpolitisasi. Adapun makna pasif masyarakat dalam mengelola isu bencana.
terpolitisasi sendiri tidak dimaksudkan bahwa Bencana merupakan area kekuasaan arbitrasi
risiko sendiri menjadi komoditas kampanye politik dari Tuhan sehingga manusia hanya bisa
maupun sejenisnya. Namun terpolitisasi sendiri pasrah menilai bencana itu datang memporak-
mengarah pada pembentukan sikap percaya porandakan lingkungan mereka. Sehingga
(trust), distribusi (distribution), pertanggung harus kembali kepada titik nol kembali untuk
jawaban (liability), dan perhatian penuh (consent). memulai sebuah peradaban baru. Budaya nrimo
Maka dalam pemahaman cultural merupakan salah satu contoh riil dari karakter
theory sebagai paradigma alternatif dalam fatalis ini di kalangan masyarakat Jawa.
penanggulangan risiko bencana tidaklah terlalu Dari keempat model tersebut, kita dapat
penting memperdebatkan pihak yang rasional dan meninjau kembali dan mengklasifikasikan
pihak yang tradisional sebagai cara yang tepat pemahaman masyarakat tentang
dalam mereduksi dampak bencana. Konstruksi penanggulangan risiko bencana terhadap empat
sosiologis yang dihadirkan berdasarkan empat model tersebut. Adapun masing-masing model
hal tersebut sebagai jalan tengah meminimalkan memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat
dampak risiko bencana terhadap kehidupan. bencana sebagaimana yang terlihat dalam bagan
Dalam konteks ini, terdapat dua paradigma berikut ini.
konstruksi sosiologis kebencanaan yang
dominan yakni pengetahuan rasional-teknokratis Tabel 2. Tipologi Rezim Pengaturan Bencana
dan pengetahuan tradisional.
Pengetahuan rasional-teknokratis Kolektif Hierarki
menekankan pada aspek objektifitas dan  Masyarakat  Masyarakat
rasionalitas berbasis pengetahuan ilmiah dalam dan alam adalah bagian
menghadirkan konstruksi penanggulangan risiko terpisah dari alam
bencana. Hal ini tampak konstruksi turunan  Relasi keduanya  Relasi keduanya
dari pengetahuan rasional tersebut yakni adalah negatif adalah positif
model individualistik (individualism) dan Model  Bencana telah  Bencana
hierarkis (hierarchy). Pengelolaan isu bencana menjadi rutinitas menjadi
ala model pasar sendiri mengindikasikan pada dan menjadi isu rutinitas dan
politik sehari-hari isu politik
aspek individualismLQRYDVLGDQSURJUHVL¿WDV
(daily politic) bagi sehari-hari
dalam mengelola isu bencana. Sedangkan Model masyarakat bagi masyarakat
hierarkis sendiri lebih mengarah pada peran  Penanggulangan  Penanggulangan
organisasi negara maupun yang berwenang risiko bencana lebih risiko bencana
dalam kasus bencana sebagai entitas yang mengarah kepada mengarah kepada
berhak dalam memberikan informasi terhadap egosentrisme kolektivitas
pengelolaan risiko bencana.
High Grid
Dua model tersebut mendapatkan tentangan
High Grid
dari dua model turunan dari pengetahuan
Low Group
tradisional yakni kebersamaan (egalitarian) dan
High Group
kolektivis (collectivist). Model egalitarian sendiri

Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 7
 

 

 
melihat bahwa setiap kotak tentang persepsi
Individualistik Egalitarian pengetahuan publik terhadap bencana tersebut
memiliki berbagai variasi yang berbeda.
 Masyarakat dan  Masyarakat dan Sebut saja, dalam model kolektif, praktik
Alam terpisah Alam terpisah
berjejaringnya kuat namun solidaritasnya kurang.
 Relasi keduanya  Relasi keduanya
Hal ini dikarenakan model penanggulangan
adalah positif adalah negatif
 Bencana bukanlah  Bencana bukanlah risiko bencana berbasis kolektif sendiri lebih
isu publik, namun isu publik, namun mengutamakan keselamatan dan keamanan
merupakan isu merupakan isu pribadi dalam bencana. Sebaliknya dalam
pribadi yang pribadi yang model egalitarian, praktik berjejaringnya lemah,
sifatnya privat sifatnya privat namun solidaritasnya kuat karena egalitarian
 Penanggulangan  Bencana telah memandang kesetaraan antar korban yang
risiko bencana lebih menjadi rutinitas sama-sama merupakan korban bencana tanpa
mengarah kepada dan menjadi isu
melihat berat-kecil kerugian yang diterima
egosentrisme politik sehari-hari
korban.
(daily politic)
bagi masyarakat Adapun model penanggulangan risiko
bencana yang saling bertolak belakang
adalah model individualistic dan hierarki.
Model individualistic sendiri menempatkan
kemampuan pribadi mampu untuk mereduksi
High Grid Low Grid GDPSDNEHQFDQDNDUHQDOHELKÀHNVLEHOGDODP
Low Group mengerjakan berbagai sesuatu tanpa menunggu
High Group
perintah komando. Sedangkan hierarki sendiri
lebih tepatnya sebagai cara negara yang dominan
Sumber: Tansey, 1999 : 80 dalam penanggulangan risiko bencana. Negara
dipandang mampu untuk mengendalikan situasi
dalam bencana karena mempunyai sumber daya
Yang dimaksudkan dengan grid maupun
yang lebih lengkap daripada individu sehingga
group yang terletak pada bagian bawah
mampu menjamin keselamatan semua warga
dari empat kotak tersebut sebenarnya untuk
negara.
menunjukkan derajat berjejaring (grid) dan
solidaritas (group).
4. REZIM PENGELOLAAN BENCANA
Dari pemaparan gambar tersebut, kita bisa
Gagasan rezim pengelolaan bencana
sebenarnya merupakan jalan tengah dalam
Kolektif Hierarki alur pikir pengetahuan publik terhadap
penanggulangan risiko bencana. Dua varian
lainnya adalah masyarakat risiko (risk society)
High dan pengaturan negara (regulatory states).
Adapun gagasan masyarakat risiko lebih
mengarah kepada pembentukan kesadaran
Grid
baru terhadap mayarakat dalam kehidupan
Individualistik Egalitarian modernisasi lanjutan (advance modernization)
akan bahaya bencana yang ditimbulkan
dari konskuensi berkembangnya peradaban
Low manusia (manufactured risks). Bencana itu
ELVDEHUEHQWXNNUHDVLDUWL¿VLDOPDQXVLDVHSHUWL
bocornya gas nuklir, hujan asam, lubang ozon
yang semakin membesar, hingga pemanasan
Gambar 3. Derajat Vulnerabilitas Rezim Bencana global lebih tepatnya terjadi karena berkembang

8 Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12


industrialisasi tanpa dibarengi dengan upaya kawasan negara tropis. Skandinavia sadar akan
peningkatan ketahanan ekologis alam. Gagasan bahaya pemanasan global yang menunjukkan
masyarakat risiko (risk society) lebih mengajak eskalasi yang meningkat setiap tahun berpotensi
pada peran aktif dan komitmen masyarakat melelehkan salju di kutub sehingga menyebabkan
dalam penanggulangan risiko bencana tersebut banjir bandang yang berpotensi melenyapkan
dengan mulai mengkampanyekan penghijauan, negara. Hal sama juga berlaku di Belanda
pengurangan emisi, maupun perdagangan dimana ancaman pemanasan global berpotensi
karbon sebagai cara untuk mereduksi dampak menenggelamkan negara apabila dam penahan
bencana tersebut. tidak diperbarui. Pemerintah mengajarkan
Sedangkan gagasan negara mengatur kepada masyarakat untuk senantiasa memelihara
(regulatory states) sendiri lebih menempatkan OLQJNXQJDQVHH¿VLHQPXQJNLQDJDUWLGDNWHUMDGL
negara sebagai aktor dominan dalam kasus banjir.
penanggulangan bencana. Namun demikian, Jepang sebagai negara maju sangatlah
cara negara sendiri terkadang kurang luwes rentan sekali terhadap bencana alam berupa
GDQÀHNVLEHOGDODPSHQDQJJXODQJDQDNVLULVLNR gempa dan tsunami yang bisa muncul setiap
bencana karena sulitnya medan yang ditempuh saat. Letak Jepang yang kurang menguntungkan
berikut hambatan-hambatan lainnya yang ditemui terletak di jalur cincin api mengharuskan bencana
di lapangan. Dalam satu sisi, regulatory states itu menjadi isu keseharian bagi masyarakatnya baik
penting terutama perannya sebagai stabilitator, dalam politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
namun kadang kala pula, regulatory states Anak-anak sekolah di Jepang sedini mungkin
sendiri juga menjadi resistor karena mata rantai telah diajarkan bencana dalam kurikulum mereka
birokrasi dan keruwetan prosedur administrasi baik cara menyelamatkan diri ketika bencana
yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum itu datang maupun pada saat tanggap darurat.
melakukan aksi penanggulangan bencana. Bangunan gedung perkantoran dan fasilitas
Sehingga penanganan bencana ala negara publik di Jepang sudah didesain tahan gempa
PHQMDGLWLGDNHIHNWLIGDQH¿VLHQXQWXNGLODNXNDQ dan tsunami. Meskipun itu terkadang luput,
'LWLQMDXGDULDNDU¿ORVR¿VGDQJHRJUD¿Q\D namun setidaknya mereka memiliki pengetahuan
sebenarnya ide masyarakat risiko (risk society) yang cukup tentang kebencanaan.
lebih berkembang pada masyarakat Barat dan Dalam kasus Indonesia sendiri maupun
negara maju lainnya. Dimana secara sosiologis kawasan negara berkembang lainnya, gagasan
kondisi lingkungan yang serba modern namun masyarakat risiko belum berkembang secara
secara spasial, kondisi lingkungannya sangatlah VLJQL¿NDQNDUHQDSRWHQVLEHQFDQDWLGDNVHVHULXV
rentan seperti ancaman pergerakan lempeng daripada negara maju. Pola pengaturan negara
bumi, gempa, pemanasan global, maupun (regulatory states) menjadi lebih dominan daripada
ancaman badai. Masyarakatnya sadar akan masyarakat risiko sehingga ketergantungan
potensi bencana tersebut sehingga kemudian masyarakat terhadap pertolongan negara
mereka sering mendapatkan pelatihan bencana sangatlah besar daripada kesadaran masyarakat
maupun kesiap-siagaan menghadapi bencana. sendiri. Hal inilah yang kemudian membuat
Masyarakat menjadi tahu apa yang harus negara mengalami keterbatasan sumber daya
dilakukan dan bagaimana cara yang dilakukan apabila dampak bencana begitu besar sehingga
selama masa tanggap darurat belum selesai. bantuan asing diperbolehkan masuk untuk
Contoh riil dari penerapan masyarakat meringankan negara, Paska bencana Aceh 26
risiko itulah adalah masyarakat Skandinavia dan Desember 2004, diikuti dengan bencana alam
Jepang. Kondisi Skandinavia yang lingkungannya lainnya. Timbulnya kesadaran akan potensi
selalu ditutupi salju sangatlah rentan terhadap bencana telah tumbuh secara gradual di
bencana kelaparan dan bencana kedinginan masyarakat Indonesia, meskipun berkembang
membuat masyarakat paham akan kondisi VHFDUDVLJQ¿NDQ$MDNDQNHPEDOLNHDULIDQORNDO
tersebut seperti halnya mengumpulkan bahan maupun komunitas adalah segilintir kasus
makanan dan obat-obatan di musim panas berkembangnya gagasan masyarakat risiko di
maupun mengkampanyekan penghijauan di Indonesia.

Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 9
Gagasan rezim pengelolaan bencana Tabel 3. Karakteristik Penanganan Risiko
(risk regulatory states) sebenarnya merupakan dalam Setiap Rezim Bencana
bentuk institusionalisasi ide dari cultural theory
tentang persepsi pengetahuan bencana oleh Indikator Fatalis Hierarkis
publik dengan menempatkan negara sebagai
aktor tunggal dalam isu bencana tersebut. Persepsi Bencana Potensi
Penempatan negara sebagai rezim dalam isu Bencana adalah bencana dapat
sesuatu yang diprediksi dan
penanggulangan risiko bencana ini tidak terlepas
tak diperkirakan
dari kegagalan pasar dan masyarakat dalam terkontrol
mengelola isu tersebut. Dalam teori governance tak
memang terjadi desentralisasi kekuasaan dikendalikan
antara negara, pasar, dan masyarakat yang
memiliki fungsi penyeimbang dan pengontrol Peran Sangat Bersikap dini
satu sama lain. Namun dalam teori cultural Pemerintah minimal mengantisipasi
theory, governance menjadi tidak berhasil dalam dalam munculnya
mengurus penanggulangan risiko bencana antisipasi bencana
dikarenakan limitasi sumber daya yang dimiliki bencana sedini
pasar dan masyarakat. mungkin
Kegagalan pasar dalam mengelola isu
bencana karena mekanisme untung rugi (pay- Tipe Ad Hoc Teknokratis
off) yang dirasa menciderai semangat solidaritas Kebijakan
dalam bencana. Adanya perlakuan istimewa
bagi yang bermodal untuk diselamatkan terlebih Prioritas Spekulatif Semuanya
Diselamatkan tergantung
dahulu dan diperlakukan secara istimewa
dampak
menimbulkan kecemburuan sosial di tengah iklim bencana
stabilitas yang belum mereda. Penanggulangan
bencana model pasar tidaklah memikirkan Indikator Individualis Egalitarian
risiko sebagai faktor penting, yang ada pasar
menilai kehidupan serba normal dan linier. Persepsi Bencana Bencana
Oleh karena itulah, ketika bencana itu datang Bencana ditanggulangi ditanggulangi
sebagai wujud dari abnormalitas, maka yang individu komunitas
terjadi pasar kalang kabut dalam menghadapi
bencana. Penanggulangan risiko bencana ala Peran Minimalis Mendukung
masyarakat terbentur pada kendala terbatasnya Pemerintah
infrastruktur yang memadai sehingga terkadang
Tipe Asuransi Partisipatoris
aksi penyelamatan bencana menjadi tidak cepat
Kebijakan
GDQLQH¿VLHQ $OH[DQGHU 
Pemahaman risk regulatory regime
mengambil bentuk adaptasi dari cultural theory Prioritas Diri Sendiri Masyarakat
untuk diinstitutisionalkan dalam kebijakan suatu Diselamatkan
negara terhadap penanggulangan risiko bencana.
Tentunya ada berbagai ragam kebijakan negara Sumber : Hood, 2001 : 13
–negara dunia dalam menghadapi bencana ini
yang tentunya tidak dapat diseragamkan satu Dalam hal ini, negara yang fatalis cenderung
persatu. Setiap negara memiliki potensi risiko melihat bencana sebagai kejadian yang tak
bencana dan cara menanggulanginya secara terduga-duga sehingga penanggulangan risiko
berbeda-berbeda. Berikut ini merupakan bentuk bencana bersifatnya sporadis karena tidak
analisis cultural theory dalam melihat bentuk ada perencanaan terhadap kebencanaan
rezim pengelolaan bencana sebagaimana dalam sebelumnya. Pada akhirnya, negara fatalis
tabel berikut ini. sendiri dalam melakukan manajemen bencana

10 Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12


bersifat minimalis dan seadanya karena selama Tuhan maupun bencana sebagai konsekuensi
ini negara menganggap kondisi lingkungannya dari perkembangan teknologi yang terkendali.
selalu normal saja dan tidak ada kejadian Implikasinya terlihat dalam memperlakukan
bencana sebelumnya. Negara hierarkis melihat alam dalam perspektif manusia, apakah hanya
bencana perlu untuk dikendalikan secara teronggok sebagai benda mati saja namun
maksimal mungkin untuk meminimalkan dampak menyimpan bahaya laten ataukah selama
bencana sebelumnya. Negara berperan besar ini melihat alam sebagai kawan dan harus
dalam isu bencana karena memonopoli semua dijaga kelestariannya. Dikotomi konstruksi saja
aspek yang berkaitan risiko bencana. Akibatnya berimplikasi pada kebijakan publik tentang
masyarakat sendiri terkadang kurang dilibatkan bencana. Pada masyarakat yang memiliki
dalam bencana tersebut. Masyarakat hanya tingkat modernitas dan kemajuan teknologi akan
menjadi penonton pasif karena semua sudah melihat alam sebagai entitas yang perlu dijaga
diurus negara. kelestariannya. Hal ini nampak dari pemahaman
Negara yang berbasis individualis melihat ekologis yang begitu kuat di masyarakat seperti
bencana dapat direduksi dengan mengandalkan dari hal kecil misalnya dilarang membuang
setiap kemampuan individu dalam melakukan sampah di sungai untuk menghindari banjir.
aksi penanggulangan bencana. Peran Sedangkan pada masyarakat yang belum
aktif individu tersebut berperan besar agar mencapai tingkat modernitas yang belum seperti
redistribusi bantuan tepat sasaran dan tepat negara maju, alam hanya menjadi benda pasif
guna. Selain itu pula, penanganan bencana juga saja yang menjadi sumber pembuangan limbah
menjadi cepat karena semua individu bergerak kehidupan manusia.
mengumpulkan bantuan, informasi, dan lain Perilaku tersebut kemudian nampaklah
sebagainya. Hanya saja, penanggulangan risiko pada penanggulangan risiko bencana dimana
bencana menurut model lebih mengupayakan masyarakat yang berkawan dengan alam
keselamatan pribadi daripada kolektif. Peran sudah bersiap-siaga dan antisipatif terhadap
aktif individu lebih tepatnya dimaknai sebagai bencana. Bencana sudah menjadi isu rutinitas
memaksimalkan diri untuk mendapatkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidaklah
sumber daya lebih untuk menyelamatkan diri. kaget apabila terjadi bencana karena sudah
Sebaliknya negara yang egalitarian melihat diprediksi dan direncanakan manajemen
bencana dapat ditanggulangi bersama dengan bencananya. Sedangkan bagi masyarakat
mengedepankan semangat modal sosial berupa yang belum menjadikan bencana sebagai isu
partisipatoris semua anggota masyarakat. Hal publik. Dalam penanggulangan bencananya
ini kemudian berimplikasi kepada menebalnya akan terlihat sangat fatalistik dimana yang
solidaritas masyarakat dalam setiap event ada hanya pasrah ketika bencana itu datang
bencana yang bisa saja terjadi setiap saat. sambil berharap ada uluran bantuan datang
sesegera mungkin. Pada akhirnya pola tersebut
5. KESIMPULAN menurun pada rezim pengaturan bencana yang
menempatkan negara sebagai aktor dominan
Dari analisa perspektif cultural theory dalam penanganan isu bencana. Negara yang
sebagai paradigma alternatif dalam fatalis akan minimalis dalam melakukan upaya
penanggulangan risiko bencana sebagaimana tanggap darurat berbeda dengan negara yang
yang diangkat dalam tulisan ini. Kita dapat hierarkis yang maksimalis dalam melakukan
menyimpulkan berbagal hal. Pertama, persepsi penanganan bencana. Begitupun juga dalam
publik tentang bencana memegang peranan NRQWHNV QHJDUD \DQJ LQGLYLGXOLV OHELK ÀHNVLEHO
penting dalam penanganan bencana. Karakter dalam bencana, namun kurang dalam
publik seperti rasional, tradisional, individualis, kebersamaan dan negara egalitarian yang
maupun kolektif turut mempengaruhi kebijakan deliberatif dalam bencana serta menjunjung
negara terhadap bencana. Dinamika yang tinggi kebersamaan dalam menghadapi
berkembang dalam masyarakat cukup bervariasi bencana sebagai masalah bersama (commons
antara menilai bencana sebagai hukuman problem).

Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif Cultural Theory ... (Wasisto Raharjo Jati) 11
Analisa cultural theory ini setidaknya dapat
dijadikan gambaran bagi pemangku kebijakan
negara, LSM, maupun masyarakat tentang
bagaimana merumuskan kebijakan yang tepat
dalam penanggulangan risiko bencana karena
persepsi publik ternyata turut mempengaruhi
detail keseluruhan dari desain kebijakan
publik tentang bencana. Pemetaan tersebut
setidaknya membantu bagaimana menangani
bencana dalam masyarakat yang heterogen
dan bagaimana cara penyelesaiannya. Pada
intinya, cultural theory ingin berkata bahwa
risiko bencana mungkin bisa diturunkan jika
terjadi proses deliberasi publik dalam studi
kebencanaan.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, David. 2006. Globalization of


Disaster. Journal of International Affairs,
Vol.59, No.2. hal 1-23.
Beck, Ulrich. 1992. Risk Society : Toward New
Modernity. London : Sage Publication.
Blaikie, P. 1994. Disaster Pressure and Release
Model in At Risk: Natural Hazards, People’s
Vulnerability and Disasters. Routledge
London
Douglas, Mary. 2001. Risk and Blame. New
York : Taylor & Francis.
Hood, Christopher.2001.The Government of
Risk. New York : Oxford University Press.
Kreps, G.A. 1984. Sociological Inquiry and
Disaster Research. Annual Review of
Sociology, Vol. 10. No.1, hal. 309-330.
Smith, Anthony-Oliver. 1996. Anthropological
Research on Hazards and Disasters.
Annual Review of Anthropology, Vol. 25.
No.2. hal. 303-328.
Tansey, James. 1999. Cultural theory and risk:
a review. Health, Risk & Society, Vol.1,
No.1, hal 71-90.

12 Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1 Tahun 2013 Hal. 1-12

Você também pode gostar