Você está na página 1de 9

Learning Objectives

1. Perawatan medis di Rumah Sakit dan pengobatan bagi kecanduan narkoba


2. Aspek rehabilitasi kecanduan narkoba
3. Kebijakan pemerintah dalam mencegah dan mengontrol kasus drug abuse
4. Substansi dari masing-masing zat naRkoba yang menyebabkan kecanduan
5. Diagnosis kecanduan narkoba
6. Apakah sakau atau overdosis yang menyebabkan kematian

JAWABAN
NO.1
a. Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM)
Program Metadone ini merupakan salah satu bentuk partisipasi Lapas
Narkotika dalam menjalankan kebijakan pemerintah untuk Harm Reduction di
Lapas. Program metadone adalah suatu terapi membantu para pemakai
berat napza jenis heroin, melakukan pola kebiasaan baru, memperbaiki
kualitas hidup bagi penggunanya tanpa kekuatiran terjadinya gejala putus
obat. Manfaat Program Metadone :
1. Dengan dosis yang tepat akan membuat adiksi berhenti menggunakan
heroin
2. Membuat stabil mental emosional sehingga dapat menjalani hidup normal.
3. Mendorong adiksi hidup lebih sehat.
4. Menurunkan resiko penularan HIV/AIDS, Hepatitis B dan C karena
penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
5. Menurunkan tindak kriminal
6. Membuat hubungan dengan keluarga dan social jauh lebih baik.
Program Metadone Lapas Narkotika telah berjalan sejak tanggal 1 Desember
2006, bekerja sama dengan RSKO Cibubur. Total keseluruhan jumlah warga
binaan yang pernah mengikuti PTRM sebanyak 150 orang. Dari jumlah
tersebut diperoleh data sebagai berikut :
• Masih Aktif = 41 orang
• Bebas = 64 orang
• Drop out = 42 orang
• Meninggal = 3 orang
Pelaksanaan pemberian PTRM dilakukan setiap hari pada jam 09.00-12.00
WIB.
b. Terapi Complementer
Terapi Complementer adalah suatu terapi tambahan, pelengkap atau
penunjang yang bertumpu pada potensi diri seseorang dan alam. Dalam terapi ini seseorang diajarkan
beberapa ilmu pengobatan yang berasal dari
ilmu kedokteran maupun ilmu tradisional. Terapi Komplementer mulai
dilaksanakan di Lapas Narkotika sejak tanggal 8 November 2007 dengan
bekerja sama dengan Yayasan Taman Sringanis Jakarta.
Pada awalnya terapi ini di peruntukan untuk membantu warga binaan yang
sudah terinfeksi HIV/AIDS (ODHA) agar kesehatan mereka bisa terjaga
dengan baik. Namun saat ini terpai komplementer dapat dimanfaatkan oleh
warga binaan lain yang memiliki minat pada terapi ini. Terapi Complementer
meliputi olah nafas, meditasi, akupuntur, prana, serta menjaga kesehatan
melalui menu sehat.
Manfaat terapi komplementer adalah :
1. Untuk mencegah timbulnya penyakit baru
2. Menjaga stamina dan kekebalan tubuh
3. Mengatasi keluhan fisik yang ringan
4. Mengurangi dan menghindari stress

SUMBER: www.lapasnarkotika.files
NO.2
Pada tahap ini warga binaan menjalankan salah satu program terapi rehabilitasi yang bertujuan untuk
merubah perilaku adiksi yang tidak sesuai dengan normanorma masyarakat. Melalui terapi dukungan
kelompok para pecandu mendapatkan bimbingan dan pembelajaran tentang bagaimana bersikap tegas
untuk meninggalkan dan menolak menggunakan napza kembali. Ada beberapa program terapi non
medis yang ditawarkan yaitu :
a. Therapeutic Community (TC)
TC adalah suatu program pemullihan yang membantu merubah perilaku adiksi seorang penyalah guna
Napza menuju “Healthy Life Style”(Gaya hidup yang sehat tanpa Napza). Bentuk kegiatannya berupa
terapi kelompok yang biasa disebut sebagai ‘family’. Adapun jenis kegiatan yang
dilakukan sebagai berikut :
_ Morning Meeting
_ Encounter Group
_ Mix Confontation
_ Static Group
_ PAGE Group
_ Seminar
_ Morning Briefing
Pelaksanaan TC di Lapas Narkotika dimulai pada bulan April 2004. Sampai
saat ini sudah tercatat sebanyak 315 orang (11 angkatan) yang telah
mengikuti program TC. Dan yang masih aktif sampai saat ini sebanyak 30
orang.
b. Criminon
Criminon diartikan sebagai no crime, artinya terapi ini bertujuan untukmembentuk seorang
narapidana untuk tidak melakukan kembali kejahatan.Filosofi dasar dari Criminon menyatakan,
bahwa pada dasarnya seseorangmelakukan kejahatan adalah karena kurangnya rasa percaya diri.
Ketiadaanrasa percaya diri ini mengakibatkan seseorang tidak mampu untukmenghadapi tantangan
kehidupan serta tidak mampu menyesuaikan diridengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat
sehingga yangbersangkutan melakukan pelanggaran hukum.
Tujuan pelatihan criminon:
_ Membantu memperbaiki dan meningkatkan kemampuan seseorangdalam menghadapi rasa bersalah,
rendah diri, takut, emosi, dan mampumengendalikan diri
_ Membantu narapidana dalam menghadapi hambatan belajar
_ Memberikan pengetahuan untuk mencapai kebahagiaan lebih baik bagi
diri sendiri maupun orang lain
_ Memberikan dasar-dasar pengetahuan untuk mencapai kestabilan dan
kebahagiaan dalam hidup

3. Tahapan Rehabilitasi After Care


Pada tahap ini warga binaan diberi kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnyauntuk mengisi kegiatan
sehari-hari. Tujuan dari tahapan ini adalah untukmembekali para pecandu dengan pengetahuan dan
ketrampilan yangbermanfaat dan bisa diaplikasikan di kehidupannya setelah kembali kemasyarakat.
Dengan demikian pecandu bisa mengaktualisasikan diri di tengahmasyarakat sebagai manusia yang
produktif dan tidak lagi bergantung padaNapza. Ada beberapa program yang disediakan di Lapas
Narkotika yaitu :
a. Pesantren Terpadu
Program pesantren terpadu merupakan program pembinaan mental untukwarga binaan guna
mengembalikan nilai-nilai moral agama yang telahhilang. Ini berkaitan dengan perilaku mereka
selama menjadi pecandu sangat jauh dari nilai-nilai spiritual. Melalui pendekatan agama diharapkan
pecandu semakin memiliki dasar yang kuat untuk menata ulang kehidupanmereka ke arah yang lebih
baik. Program ini baru di dilaksanakan sejakMaret 2008 dan diikuti 50 peserta.
b. Kursus Bahasa Inggris dan Komputer
Memberikan bekal ketrampilan yang berguna merupakan bagian penting dari program pembinaan di
Lapas. Penyelenggaraan kursus Bahasa Inggris dan Komputer memberikan kesempatan bagi warga
binaan untuk mengasah kemampuan mereka di bidang Komputer dan Bahasa Inggris.
Hal ini diharapkan mempermudah warga binaan saat mencari pekerjaan
setelah bebas nanti.
c. Kegiatan Kerja
Untuk memberdayakan potensi dan menyalurkan bakat yang dimiliki warga binaan, Lapas Narkotika
menyediakan beberapa kegiatan kerja yang bisa diikuti diantaranya: sablon, kaligrafi, perikanan,
Kaligrafi, air isi ulang dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya program ini, pecandu bisa
mengisi waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat.
d. Kegiatan olahraga dan kesenian
Bentuk kegiatan ini adalah:
a. Olahraga. Kegiatan olahraga dilaksanakan setiap hari, pagi dan sore sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain lari pagi, senam pagi massal, sepak bola,
bola voli, tenis meja, dan catur.
b. Kesenian. Kegiatan kesenian dimaksudkan untuk membina dan mengasah bakat-bakat seni
narapidana, sehingga mereka dapat menyalurkan bakat seni yang mereka miliki. Kegiatan kesenian
yang dilaksanakan antara lain vokal group, group band, serta group rebana.

SUMBER: www.lapasnarkotika.files

NO. 3
Saat ini, Indonesia menggunakan UU 35/2009 yang antara lain mengatur tentang tindakan melawan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Isi kandungan UU 35/2009 secara garis besar dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, mengatur tentang kewajiban pecandu narkotika melaporkan diri kepada pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban ini
juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Bagi mereka yang melaporkan diri ke Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) diberikan perawatan yang ditanggung pemerintah dan status
kriminalnya berubah menjadi tidak dapat dituntut pidana (Pasal 128). Rehabiltasi medis dan sosial
dapat diselenggarakan instansi pemerintah maupun komponen masyarakat.
Kedua, Penyalah guna narkotika diancam dengan pidana paling lama 4 tahun karena sebagai tindak
pidana ”ringan”. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 21 KUHAP maka penyalah guna narkotika
selama proses pidana tidak memenuhi syarat dilakukan penahanan oleh penyidik atau penuntut umum
dan sejauh mungkin “ditahan” di tempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan
(penjelasan pasal 21 KUHAP). Penegak hukum (penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim) diberi
kewenangan menempatkan penyalah guna untuk diri sendiri ke lembaga rehabilitasi sesuai tingkat
pemeriksaannya (Pasal 13 huruf 4 PP 25/2011). Masa penempatan rehabilitasi dalam rangka
menjalani pengobatan dan/atau perawatan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (Pasal
103). Hakim dalam memeriksa penyalah guna narkotika untuk diri sendiri diberikan kewenangan
untuk memutuskan memerintahkan dan menetapkan penyalah guna narkotika menjalani pengobatan
dan/atau perawatan baik yang bersangkutan terbukti bersalah maupun terbukti tidak bersalah.
Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2009 yang
kemudian diganti dengan SEMA Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,
Korban Penyalahgunaan Narkotika dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial menunjukkan secara jelas bahwa terdapat upaya yang sungguh-sungguh untuk
tidak menghukum penjara terhadap pecandu dan penyalah guna narkotika. Selain itu juga untuk
memberikan kriteria secara jelas antara penyalah guna dan pengedar narkotika berdasarkan barang
bukti ketika tertangkap tangan.
Barang bukti hanya merupakan salah satu alat bukti, sedangkan pembuktian minimal harus ada 2
(dua) alat bukti. Apabila dalam proses peradilan terbukti adanya tindak peredaran yang dilakukan
terdakwa meskipun barang bukti narkotika yang dimiliki di bawah batas maksimal, tentu saja sangat
sah bagi hakim untuk menjatuhkan vonis sebagai pengedar/bandar.
Dengan ketentuan tersebut, dunia peradilan Indonesia sebetulnya telah membuka mata tentang
hakekat penyalah guna narkotika. Dalam konteks ilmu hukum khususnya viktimologi, memposisikan
penyalah guna narkotika sebagai korban dalam keadaan sakit ketergantungan kronis yang
memerlukan rehabilitasi. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sulit dilegitimasi sehingga selama
perang terhadap narkotika yang selalu dikumandangkan adalah memasukkan pecandu dan penyalah
guna narkotika ke dalam tahanan atau penjara. Dengan demikian, hak-hak korban untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dan perlakuan khusus dalam hal ini rehabilitasi menjadi hilang.
Menurut UU 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang
mengubahnya, yang sampai saat ini masih berlaku dan menjadi dasar UU Narkotika menyatakan
walaupun penyalahgunaan narkotika diancam dengan pidana, namun apabila penyalah guna narkotika
telah melakukan pelanggaran pidana dapat diberikan suatu pengganti (alternatif) hukuman. Penyalah
guna narkotika harus menjalani tindakan perawatan, pendidikan, after care, rehabilitasi dan re-
integrasi sosial (Pasal 36).
Ketiga, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib direhabilitasi (Pasal 54). Menurut pasal
ini, pecandu narkotika yang bermasalah dengan hukum wajib mendapatkan hukuman rehabilitasi.
Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan dan dalam keadaan
ketergantungan narkotika baik fisik maupun psikis, oleh karena itu faktor ketergantungan narkotika
inilah yang sangat penting untuk dimunculkan oleh penegak hukum (penyidik, jaksa penuntut umum,
dan hakim) yang menangani perkara pecandu narkotika. Sebab, hakim dalam persidangan diberikan
kewenangan untuk memberikan alternatif penghukuman berupa hukuman rehabilitasi. Penyalah guna
narkotika untuk diri sendiri harus menjalani tindakan rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak
terbukti bersalah (Pasal 103).
Keempat, UU 35/2009 menjamin penyalah guna narkotika yang ditangkap penyidik narkotika
(penyalah guna narkotika yang bermasalah dengan hukum) dihukum rehabilitasi, meskipun melarang
pemakaian untuk diri sendiri (Pasal 127). Untuk menjamin penyalah guna narkotika dihukum
rehabilitasi, UU 35/2009 mencatumkan secara eksplisit politik hukum pemerintah yang dinyatakan
secara jelas dalam tujuannya sebagaimana dalam pasal 4. Hal ini supaya masyarakat dan penegak
hukum mengetahui arah yang harus dituju dalam mengatasi penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika. Adapun pasal 4 UU 35/2009 berbunyi:
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terhadap peredaran legal untuk kepentingan kesehatan diatur dan diawasi secara ketat agar tidak
menjadi sumber peredaran gelap narkotika.
Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.
Mencegah dilakukan terhadap mereka yang belum menggunakan narkotika dan dicegah jangan
sampai menggunakan, melindungi khususnya terhadap korban penyalahgunaan narkotika yaitu
mereka yang dipaksa, ditipu untuk menggunakan narkotika, menyelamatkan penyalah guna narkotika
khususnya penyalah guna narkotika yang dalam keadaan ketergantungan narkotika baik fisik maupun
psikis.
c. Memberantas peredaran gelap narkotika. Memberantas dalam hal ini adalah terhadap peredarannya
yang didalamnya terdapat bandar, produsen, kurir, pengedar, dan mereka yang memperdagangkan
narkotika.
d. Menjamin upaya pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial bagi penyalah guna dan
pecandu. Pada prinsipnya penyalah guna untuk diri sendiri harus direhabilitasi. Apabila tidak
direhabilitasi, mereka akan berkarir sebagai pecandu narkotika. Sementara pecandu narkotika yang
tidak direhabilitasi akan merugikan masa depan diri mereka sendiri, masa depan bangsa dan Negara.
Kelima, upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dapat diselenggarakan oleh instansi
pemerintah maupun komponen masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (Pasal 57).
Pembinaan terhadap peningkatan kemampuaan lembaga rehabilitasi pecandunarkotika merupakan
tugas pemerintah (Pasal 60). Keenam, masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta dan mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Ketujuh, UU 35/2009 bersifat sangat keras terhadap para pengedar dengan memberlakukan hukuman
minimal paling rendah dan mengancam dengan hukuman mati secara selektif (pasal 113, 114, 116,
118). UU 35/2009 ini menganut double track system pemidanaan terhadap tersangka penyalahgunaan
narkotika yang sedang menjalani proses pertanggungjawaban pidana. Mereka dapat dihukum pidana
dan dapat dihukum rehabilitasi atau dihukum pidana dan ditambah hukuman rehabilitasi (Pasal 36 UU
8/1976 dan Pasal 103 UU 35/2009).
Kedelapan, mengatur tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana narkotika dan
perkursor narkotika. Aset tersangka dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak dirampas
untuk negara serta diberlakukan pembuktian terbalik di sidang pengadilan (Pasal 136 dan 137).
Hakim diberi kewenangan meminta terdakwa membuktikan seluruh harta kekayaan dan harta benda
istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika yang dilakukan terdakwa (Pasal 98). Hasil tindak pidana narkotika dan tindak
pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan
untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial (Pasal 101).
Kesembilan, mengancam aparat penegak hukum dengan pidana apabila tidak melaksanakan tugas
sesuai aturan. Penyidik PNS, penyidik Polri, dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan
kewajibannya ketika melakukan penyitaan, penyisihan barang sitaan untuk sampel pengujian
laboratorium diancam dengan pidana (Pasal 87, 88, 89 dan 90). Kepala Kejaksaan Negeri yang tidak
melaksanakan kewajiban untuk menetapkan barang sitaan, penyidik Polri dan penyidik BNN tidak
memenuhi kewajiban untuk memusnahkan narkotika yang ditemukan diancam dengan pidana (Pasal
91 dan 92).
Kesepuluh, merupakan kesimpulan UU 35/2009 yang mengatur upaya mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Upaya pertama dari sisi demand yakni mencegah
jangan sampai terjadi Penyalah guna Narkotika baru. Penyalah guna Narkotika yang lama
direhabilitasi dengan cara melapor diri ke IPWL untuk mendapatkan penyembuhan. Apabila tidak
melapor ke IPWL akan menjadi sasaran penyidik untuk ditangkap yang selanjutnya dipaksa
ditempatkan di lembaga rehabilitasi sebagai bentuk hukuman karena masa menjalani rehabilitasi
dihitung sebagai masa menjalani hukuman (Pasal 103 ayat 2). Upaya kedua memberantas peredaran
gelap Narkotika dengan sasaran mulai dari kultivasi, produksi, bandar, pengedar, kurir dengan
hukuman setimpal dan secara simultan dilakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang dengan
merampas aset yang dimiliki para pengedar dan diberlakukan dengan pembuktian terbalik di
pengadilan. Upaya ketiga adalah mendorong masyarakat agar berperan serta seluas luasnya dalam
upaya pencegahan maupun pemberantasan.

SUMBER: BNN.GO.ID

NO.4
NAPZA yang masuk dalam darah akan mendorong pengeluaran dopamine dan serotonin ke celah
sinaptik lebih banyak dan akibatnya tercapai respons rasa nyaman atau nikmat yang tinggi. Lama-
kelamaan akan terjadi desensitisasi. Desensitisasi reseptor menyebabkan terjadinya toleransi dimana
untuk mendapatkan kadar kebahagiaan yang sama diperlukan peningkatan kadar dopamine dan
serotonin. Jika kadar serotonin dan dopamine rendah orang akan merasa tidak nyaman bahkan
kesakitan sehingga ia perlu mengkonsumsi NAPZA (lagi) dan untuk memperoleh rasa nikmat yang
sama dibutuhkan NAPZA yang makin lama semakin banyak kadarnya. Toleransi zat dan pengulangan
yang terus-menerus ini disebut kecanduan (adiksi). Beberapa senyawa seperti Opiat (heroin, kokain)
dapat merusak sistem neurotransmiter GABA yang berfungsi sebagai penghambat reseptor dopamin
yang akan meningkatkan kadar dopamin terus menerus. Sistem GABA yang membentuk sirkuit
keseimbangan otak ini dihancurkan oleh zat adiktif heroin atau kokain. Maka individu secara tak
terkendali menyuntikkan heroin terus sampai sehari sepuluh kali untuk meningkatkan dopamin yang
menghasilkan rasa nikmat NAPZA.
Minuman berakohol,
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat,
dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan
tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika,
memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
- Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
- Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
- Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House,
Johny Walker, Kamput.)
SUMBER: Wicaksana Inu, 2011, Otak dan Perilaku Kecanduan (AdiksiSI),
http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/02/28/otak-dan-perilaku-kecanduan-adiksisi/

NO.5
Penegakkan diagnosis pada penderita/penyalahguna NAPZA sering kali tidak mudah
dilakukan oleh kerena adanya stigma di masyarakat terhadap penyalahguna. Hal ini
membuat pasien bersifat tertutup dan menghindar untuk mengatakan keadaan yang
sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan ketrampilan khusus untuk membuat pasien
percaya dan mau berterus terang.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menegakkan diagnosis :
A. SIKAP MENTAL PETUGAS
-- Bersikap positif, penuh perhatian dan menerima pasien apa adanya.
-- Berempati (dapat memahami dan meraba rasakan masalahnya)
-- Tidak menghina, mengkritik, menertawakan, mengejek, menyalahkan, karena hal
ini akan menyebabkan pasien tertutup sehingga akan mengganggu proses
autoanamnesis.
Sikap mental diatas diharapkan dapat menciptakan suasana hubungan terapeutik
petugas Puskesmas-Pasien.
B. TEKNIK WAWANCARA
Wawancara dapat dilakukan secara alloanamnesis maupun autoanamnesis. Urutan
pelaksanaannya dapat dilakukan alloanamnesis terlebih dahulu atau sebaliknya
dan dapat juga bersamaan tergantung situasi dan kondisi.
1. Alloanamnesis dilakukan sebelum Autoanamnesis
Petugas telah memperoleh informasi tentang pasien, sehingga autoanamnesis
lebih terarah
Kemungkinan pasien lebih terbuka dan tidak menyangkal lagi
Pasien menyangkal dan bertahan mengatakan tidak menggunakan NAPZA
Pasien menyatakan sudah berhenti menggunakan
Petugas terpengaruh orang tua/guru yang terlalu kuatir, pada hal pasien
tidak menggunakan
Pasien mencurigai petugas sudah terpengaruh dengan orang tua/guru yang
mengantar, sehingga tidak kooperatif
2. Alloanamnesis dilakukan sesudah Autoanamnesis
Petugas belum dipengaruhi oleh keterangan yang diberikan orang tua/
pengantar lain.
Pasien tidak berprasangka bahwa petugas telah dipengaruhi orang tua/guru
atau berpihak pada orang tua/guru yang menyalahkan pasien
Kemungkinan pasien membohongi atau tidak terbuka pada petugas
3. Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan bersamaan
-- Pasien tidak dapat berbohong mengenai hal-hal yang diketahui orang
tua/guru
-- Pasien dapat bersikap tertutup
penggunaan NAPZA biasanya tidak membawa hasil. Sebaiknya anamnesis
dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan pertanyaan sebagai berikut :
-- Apakah ada yang bisa dibantu -
-- Apakah ada masalah dengan orang tua,guru,teman pacar -
-- Apakah ada kesulitan belajar,malas kerja,sulit tidur -
-- Apakah sering tidak betah dirumah,sering begadang -
-- Apakah sering mengalami stres,kegelisahan,kesedihan -
-- Apakah untuk mengatasi kegelisahan atau kebosanan merokok lebih
banyak dari biasa -
-- Bila sedang frustasi,lalu minum minuman keras,apakah pernah mabok atau
teler -
-- Bila minum minuman keras apakah dicampur obat tidur,masing-masing
berapa banyak dan berapa sering -
Pada pasien sudah bersikap terbuka, anamnesis/pertanyaan mengenai NAPZA
meliputi:
-- Keluhan pasien dan riwayat perjalanan penyakit terdahulu yang pernah
diderita
-- Riwayat penyalahgunaan NAPZA
1) Jenis NAPZA yang dipakai
2) Lamanya pemakaian
3) Dosis,Frekuensi dan cara pemakaian
4) Riwayat/gejala intoksikasi/gejala putus zat
5) Alasan penggunaan
-- Taraf Fungsi sosial
1) Riwayat pendidikan
2) Latar belakang kriminal
3) Status keluarga
4) Kegiatan sosial lain
-- Evaluasi keadaan psikologis
1) Keadaan emosi
2) Kemampuan pengendalian impuls
3) Kemungkinan tindak kekerasan,bunuh diri
4) Riwayat perawatan terdahulu

C. PEMERIKSAAN
Penampilan pasien,sikap wawancara,gejolak emosi dan lain-lain perlu
diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan
pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan
gejala yang ada.
1. Fisik
-- Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada
tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.
-- Pemeriksaan fisik terutama ditijikan untuk menemukan gejala
intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis,
Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.
-- Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sklera
ikterik, conjunctiva anemis, perforasi septum nasi, caries gigi, aritmia jantung,
edema paru, pembesaran hepar dan lain-lain.
2. Psikiatrik
-- derajat kesadaran
-- daya nilay realitas
-- gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih,
depresi, euforia)
-- gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi)
-- gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola
tidur, sikap manipulatif dan lain-lain)
3. Penunjang
a. Analisa Urin
-- Bertujuan untuk mendeeteksi adanya NAPZA dalam tubuh
(benzodiazepin, barbiturat, amfetamin, kokain, opioida, kanabis)
-- Pengambilan urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian
zat terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien
b. Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan
-- Laboratirium rutin darah,urin
-- EKG, EEG
-- Foto toraks
-- Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi
Psikologik, Evaluasi Sosial)

SUMBER: Buku Pedoman Praktis mengenai Penyalahgunaan NAPZA

NO.6
Overdosis (OD) atau kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas
kemampuannya (lethal doses). Biasanya, hal ini terjadi akibat adanya proses toleransi tubuh terhadap
obat yang terjadi terus menerus, baik yang digunakan oleh para pemula maupun para pemakai yang
kronis. OD sering terjadi pada penggunaan NARKOBA golongan narkotik bersamaan dengan alkohol
dan obat tidur/anti depresan, misalnya golongan barbiturat luminal, valium, xanax, mogadon/BK, dan
lain-lain).
A. GEJALA KLINIS YANG TIMBUL AKIBAT OVER DOSIS
Ada beberapa gejala klinis yang dapat dilihat pada para pecandu yang mengalami gejala over dosis,
yakni:
1. Penurunan kesadaran
2. Frekuensi pernafasan kurang dari 12 kali per menit
3. Pupil miosis
4. Riwayat pemakaian morfin atau heroin mempunyai ciri yang khas yakni tanda bekas jarum suntik
B. PENANGANAN OVER DOSIS
Umumnya, mekanisme penanganan overdosis pada para pecandu NARKOBA yang dilakukan di
rumah-rumah sakit atau klinik-klinik ketergantungan obat mempunyai dasar terapi yang sama. Upaya
yang dilakukan ialah melakukan monitoring tanda-tanda vital dari tubuh manusia, yang meliputi:
1. Penanganan Kegawatan
a. Bebaskan jalan nafas
b. Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan
c. Pasang Infus Dextrose 5% emergensi NaCl 0,9% , atau cairan koloid bila diperlukan
d. Bila diperlukan, pasang endotracheal tube
2. Pemberian Antidotum Nalokson.
a. Tanpa hipoventilasi: Dosis awal diberikan 0,4 mg intra vena.
b. Dengan hipoventilasi : Dosis awal diberikan 1-2 mg intra vena.
c. Bila tidak ada respon dalam 5 menit, berikan Nalokson 1-2 mg intra vena sehingga timbul respon
perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil, atau telah mencapai dosis
maksimal 10 mg.
d. Bila tidak ada respon, lapor konsulen ke Tim Narkoba.
e. Efek Nalokson akan berkurang 20 - 40 menit setelah pemberian dan pasien dapat jatuh dalam
keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat terhadap tanda-tanda penurunan
kesadaran, pernapasan, perubahan pada pupil, dan tanda vital yang lain selama 24 jam.
f. Untuk pencegahannya dapat diberikan drip Nalokson satu ampul dalam 500 cc Dexstrose 5% atau
NaCl 0,9% yang diberikan dalam waktu 4 - 6 Jam.
g. Simpan sampel urin (untuk drug screen test dan urine rutin).
h. Lakukan foto torak untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan/sekunder infeksi pada paru-paru.
i. Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheal tube) bila dalam penanganan dengan pemberian
Nalokson selama lebih dari 3 jam masih terdapat depresi pernafasan, gangguan oksigenasi, dan
hipoventilasi menetap setelah pemberian Nalokson yang ke-2
j. Pasien dipuasakan selama 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pirolik (dianjurkan
setiap IGD mempunyai persediaan 5 ampul Nalokson untuk tindakan

Withdrawl Sindrom terjadi pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang menghentikan atau
mengurangi penggunaan obat pilihan mereka. Proses menghilangkan narkoba dan alkohol dari tubuh
dikenal sebagai detoksifikasi . Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri tubuh, dan tremor adalah
hanya beberapa dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian obat dan alkohol yang mungkin
terjadi selama detoksifikasi. Withdrawl syndrome terutama berfokus pada Withdrawl dari etanol,
sedatif hipnotik-, opioid, stimulan, dan gamma-hidroksibutirat (GHB) (Goldstein, 2009).Gejala
penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala
penyakit semula atau reaksi pembalikan
terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh
yang banyak dijumpai misalnya:
1. agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang
mungkin terjadi pada penghentian
2. pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat,
benzodiazepin dan alkohol,
3. krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid

Sumber: Goldstein D. 2009. Relationship of alcohol dose to intensity of withdrawal signs in mice.
Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics.

Você também pode gostar