Você está na página 1de 19

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Syok Distributif


1.1 Definisi Syok distributif
Seseorang dikatakan syok bila terdapat ketidakcukupan perfusi oksigen
dan zat gizi ke sel- sel tubuh. Kegagalan memperbaiki perfusi menyebabkan
kematian sel yang progressif, gangguan fungsi organ dan akhirnya kematian
penderita (Boswick John. A, 1997,).

Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena


adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara
efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006). Seperti
halnya tipe kolaps kardiovaskular lainnya, syok distributif juga dikarakterisasi
oleh perfusi jaringan yang inadekuat, dengan manifestasi klinis berupa
perubahan kondisi mental, takikardi, hipotensi, maupun oliguria (Weil, 2007).
Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan
perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan
permeabilitasnya, dimana faktor inilah yang mencetuskan terjadinya
hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan tersebut langsung mempengaruhi
distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk kebutuhan jaringan
tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul hipotensi, diikuti dengan
gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel. Meskipun efek hipoksik dan
metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya hanya menyebabkan jejas sel
secara reversibel, syok yang terus terjadi pada akhirnya akan mengakibatkan
jejas jaringan secara ireversibel dan dapat berpuncak pada kematian pasien
(Robbins dkk, 2007).
Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya adalah
sepsis, SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis. Syok septik
adalah bentuk paling umum dari syok distributif dengan angka kematian yang
cukup besar. Sama halnya dengan sepsis, systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) yang merupakan kondisi inflamasi sistemik, juga menjadi
penyebab kematian tersering di negara barat khususnya Amerika Serikat
(Sudoyo et al, 2009). Anafilaksis dan kegagalan tonus vasomotor adalah
pencetus lain dari syok distributif. Namun demikian, semua faktor di atas
cukup adekuat untuk memicu berbagai reaksi berantai dalam tubuh yang bila
dibiarkan berlanjut tanpa terapi, akan menimbulkan konsekuensi yang sifatnya
fatal bagi pasien (Duane, 2008).

1.2 Etiologi Syok distributif


Karena syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat,
maka setiap keadaan yang menurunkan curah jantung jauh di bawah normal
akan sangat mungkin menyebabkan syok (Guyton & Hall, 2008). Namun
demikian, faktor tersebut tidak selamanya berlaku mengingat dalam
mekanismenya, syok distributif mencakup dinamika yang lebih kompleks.
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau
oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel, karena itu, kondisi-kondisi yang
menempatkan pasien pada resiko-resiko di atas tergolong sebagai etiologi dari
syok distributif itu sendiri (Robbins dkk, 2007).

Tabel 2.1. Etiologi Syok Distributif Berdasarkan Bentuk-Bentuknya


Variasi Syok Distributif Etiologi Pencetus
SIRS dan sepsis  Infeksius (sepsis) : Bakteremia,
Secara umum, penyebab viremia, fungemia, mycobacteria,
dari SIRS dapat dibagi infeksi protozoa, infeksi organ solid,
kedalam 2 golongan, yakni dll
infeksius dan noninfeksius  Non-infeksius (SIRS) : Trauma, luka
bakar masif, luka pasca operasi,
pankreatitis, kanker, overdosis obat,
suntikan sitokin, sindrom aspirasi,
iskemia visceral (Sudoyo et al, 2009)
Toxic shock syndrome  Staphylococcus aureus
TSS dapat dipicu oleh  Streptococcus pyogenes (Sharma,
eksotoksin/enterotoksin 2006).
yang dihasilkan oleh bakteri
Insufisiensi adrenal  Autoimun (kurang lebih 70-90 kasus)
 Infeksi (TBC, histoplasmosis, HIV,
syphilis)
 Keganasan, seperti metastase dari
paru-paru, mamae, carcinoma colon,
melanoma, dan limfoma
 Terapi glukokortikoid jangka lama
(mensupresi CRH)
 Tumor pituitari/hipotalamus
 Penyakit infeksi dan infiltrasi dari
kelenjar pituitari (sarkoid,
histiositosis, TB, dll)
 Radiasi pituitari (Corrigan, 2006).
Syok Anafilaksis  Obat-obatan :
Khususnya antibiotik seperti penisilin
dan sefalosporin,
 Protein Heterolog :
Seperti racun serangga, makanan,
serbuk sari, dan produk serum darah
(Kanaparthi, 2012).
Heat Stroke Suhu tubuh yang meningkat melebihi
suhu kritis, dalam rentang 105o
sampai 108oF (Guyton & Hall, 2006).
Syok neurogenik Trauma/cedera ataupun karena
penggunaan zat anestesi pada medula
spinalis di segmen toraks bagian atas
(Cheatham, 2003).
(Data dirangkum kembali dari berbagai sumber)

Penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme yang paling mungkin terkait


dengan etiologi tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya. Untuk
sementara waktu, perlu dicatat bahwa akhirnya nanti, semua ini
mengakibatkan kurangnya pengiriman zat makanan ke jaringan-organ kritis,
dan juga mengakibatkan kurangnya pembuangan produk sisa metabolisme sel
dari jaringan.

1.3 Tanda dan gejala syok distributif


Gambaran klinis syok distributif bergantung pada gangguan yang
ditimbulkan oleh pencetus, dan hal ini tidak hanya berlaku untuk syok
distributif melainkan juga untuk syok tipe lain. Pada kebanyakan kasus,
gambaran klinis dari syok distributif mencakup tanda-tanda berikut ini:
 Perubahan pada status mental, mengacu pada tingkat kesadaran pasien
(apatis ataupun somnolen). Biasanya, tingkat kesadaran dapat bervariasi
menurut progresifitas syok saat itu juga. Seringkali saat syok semakin
berat, maka semakin buruk pula tingkat kesadarannya
 Frekuensi jantung yang lebih dari 90 kali/menit (perlu dicatat bahwa
elevasi pada frekuensi jantung bukanlah pertanda adanya syok bila pasien
sedang dalam terapi beta-blocker
 Hipotensi, dengan tekanan sistol yang kurang dari 90 mmHg atau
mengalami penurunan sebesar 40 mmHg dari standar normalnya
 Meningkatnya frekuensi pernafasan hingga melebihi 20 kali/menit
(takipnea). Pada keadaan yang lebih berat, akan terlihat nafas cepat dan
dangkal akibat asidosis
 Ekstremitas teraba hangat (akral hangat) dengan tekanan pulsasi (tekanan
sistol dikurangi diastol) yang meningkat, khususnya pada tahap awal syok
distributif
 Hipertermia, jika suhu tubuh > 38,3oC atau 101oF
 Hipotermia, dapat pula ditemukan jika temperatur turun hingga di bawah
36oC atau 96,8oF
 Hipoksia dan hipoksemia relatif yang dapat terjadi sebagai akibat disfungsi
atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi
 Oliguria, yakni berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin
dewasa adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)

1.4 Patofisiologi syok distributif


Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi
jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial
karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular
resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam efektifitas sirkulasi volume
plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan darah di
pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena
peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer
yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan
penurunan kurva fungsi ventrikel. Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan
aliran vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam
sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera
spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa
takikardi atau vasokonstriksi kulit.
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga
perfusi ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu
lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik bisa juga
akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan
denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah.
Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional.
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali
neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien dengan
nyeri hebat, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena
mekanisme reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang
tidak efektif dan terjadi sinkop, syok neurogenik disebabkan oleh gangguan
persarafan simpatis descendens ke pembuluh darah yang mendilatasi
pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya hipotensi dan bradikardia.
(Ristari, 2012)
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya kontrol saraf simpatis
terhadap tahanan vaskular, sehingga sebagai hasilnya, terjadilah vasodilatasi
arteriol dan venula secara besar-besaran di seluruh tubuh (Cheatham dkk,
2003). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa etiologi yang
mendasari terjadinya syok neurogenik antara lain adalah penggunaan zat
anesthesia maupun cidera pada medula spinalis yang mekanismenya kurang
lebih dapat dijelaskan melalui skema berikut ini.

Bagian terpenting sistem saraf otonom bagi pengaturan sirkulasi


adalah sistem saraf simpatis. Secara anatomis, serabut-serabut saraf
vasomotor simpatis meninggalkan medula spinalis melalui semua saraf
spinal toraks dan melalui satu atau dua saraf spinal lumbal pertama. Serabut-
serabut ini segera masuk ke dalam rantai simpatis yang berada di tiap sisi
korpus vertebra, kemudian menuju sistem sirkulasi melalui dua jalan utama :
- Melalui saraf simpatis spesifik yang terutama mempersarafi pembuluh
darah organ visera interna dan jantung
- Hampir segera memasuki nervus spinalis perifer yang mempersarafi
pembuluh darah perifer
Di sebagian besar jaringan, semua pembuluh darah kecuali kapiler,
sfingter prekapiler, dan sebagian besar metarteriol diinervasi oleh saraf
simpatis. Tentunya inervasi ini memiliki tujuan tersendiri. Sebagai contoh,
Inervasi arteri kecil dan arteriol menyebabkan rangsangan simpatis untuk
meningkatkan tahanan aliran darah dan dengan demikian menurunkan laju
aliran darah yang melalui jaringan. Inervasi pembuluh darah besar, terutama
vena, memungkinkan rangsangan simpatis untuk menurunkan volume
pembuluh darah ini. Keadaan tersebut dapat mendorong darah masuk ke
jantung dan dengan demikian berperan penting dalam pengaturan pompa
jantung.
Selain serabut saraf simpatis yang menyuplai pembuluh darah, serabut
simpatis juga pergi secara langsung menuju jantung. Perlu diingat kembali
bahwa rangsangan simpatis jelas meningkatkan aktivitas jantung,
meningkatkan frekuensi jantung, dan menambah kekuatan serta volume
pompa jantung.
Hubungan antara saraf simpatis dan sistem sirkulasi yang baru saja
dijabarkan secara singkat, sebenarnya membawa serabut saraf
vasokonstriktor dalam jumlah yang banyak sekali dan hanya sedikit serabut
vasodilator. Serabut tersebut pada dasarnya didistribusikan ke seluruh
segmen sirkulasi dan efek vasokonstriktornya terutama sangat kuat di ginjal,
usus, limpa dan kulit tetapi kurang kuat di otot rangka dan otak.
Dalam keadaan normal, daerah vasokonstriktor di pusat vasomotor
terus menerus mengantarkan sinyal ke serabut saraf vasokonstriktor seluruh
tubuh, menyebabkan serabut ini mengalami cetusan yang lambat dan kontinu
dengan frekuensi sekitar satu setengah sampai dua impuls per detik. Impuls
ini, mempertahankan keadaan kontraksi parsial dalam pembuluh darah yang
disebut tonus vasomotor. Tonus inilah yang mempertahankan tekanan darah
dalam batas normal, sehingga fungsi sirkulasi tetap terjaga untuk kebutuhan
jaringan.
Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan
manifestasi klinis dari syok neurogenik. Sebagai contoh, trauma pada
medula spinalis segmen toraks bagian atas akan memutuskan perjalanan
impuls vasokonstriktor dari pusat vasomotor ke sistem sirkulasi. Akibatnya,
tonus vasomotor di seluruh tubuh pun menghilang.
Efeknya (vasodilatasi), paling jelas terlihat pada vena-vena juga arteri
kecil. Dalam vena kecil yang berdilatasi, darah akan tertahan dan tidak
kembali bermuara ke dalam vena besar. Karena faktor ini, aliran balik vena
maupun curah jantung akan menurun, dan dengan demikian tekanan darah
secara otomatis jatuh hingga nilai yang sangat rendah. Di momen yang
bersamaan, dilatasi arteriol menyebabkan lemahnya tahanan vaskular
sistemik yang seharusnya membantu memudahkan kerja jantung sebagai
pompa yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Pada saat ini,
didapatkanlah tanda-tanda syok neurogenik yang jalur akhirnya tidak jauh
berbeda dengan syok tipe lain.
Konsekuensi akhir dari gangguan perfusi dalam berbagai bentuk syok
distributif dapat berbeda pada tiap pasien, tergantung dari derajat dan durasi
hipoperfusi, jumlah sistem organ yang terkena, serta ada tidaknya disfungsi
organ utama. Harap ditekankan bahwa apapun tipenya, sekali syok terjadi,
cenderung memburuk secara progresif. Sekali syok sirkulasi mencapai suatu
keadaan berat yang kritis, tidak peduli apa penyebabnya, syok itu sendiri
akan menyebabkan syok menjadi lebih berat. Artinya, aliran darah yang
tidak adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai mengalami kerusakan,
termasuk jantung dan sistem sirkulasi itu sendiri, seperti dinding pembuluh
darah, sistem vasomotor, dan bagian-bagian sirkulasi lainnya (Guyton &
Hall, 2008).

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 EKG : Mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan
aksis, iskemia dan kerusakan pola.
1.5.2 ECG : Mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark / fibrilasi
atrium, ventrikel hipertrofi, disfungsi pentyakit katub jantung.
1.5.3 Rontgen dada : Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam
pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulmonal.
1.5.4 Scan Jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
gerakan jantung.
1.5.5 Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan
membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis
katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner.
1.5.6 Elektrolit : Mungkin berubah karena perpindahan cairan atau
penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic.
1.5.7 Oksimetri nadi : Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika CHF
memperburuk PPOM.
1.5.8 AGD : Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau
hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
1.5.9 Enzim jantung : meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan
jantung,missal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim
CPK dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).

1.6 Komplikasi syok distributif


1.6.1 Cardiopulmonary arrest Kegagalan multi organ akibat penurunan
aliran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan
1.6.2 Sindrome disstres pernafasan dewasa akibat destruksi pertemuan
alveolus kapiler karena hipoksia.
1.6.3 DIC (Koagulasi Intravaskuler Diseminasi) akibat hipoksia dan
kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktivan berlebihan
jenjang koagulasi

1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok
lainnya. Karena termasuk kondisi gawat darurat, maka yang pertama kali
dilakukan adalah tatalaksana suportif untuk mencegah syok berkembang ke
tahap yang lebih buruk. Selanjutnya, tatalaksana akan lebih diberatkan ke arah
eliminasi etiologi, dimana tentunya akan cenderung disesuaikan dengan faktor
pencetus syok distributif itu sendiri.
a. Tatalaksana suportif

Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari


SIRS, sepsis, maupun bentuk syok distributif lainnya, yakni kegagalan
organ. Seiring berjalannya waktu, pasien SIRS/sepsis akan menerima
konsekuensi yang fatal apabila tidak mendapat terapi penunjang yang
tepat.
- Oksigenasi
Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien
mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana
hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik
ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat
perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal
nafas bila disertai penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang
berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan.
- Terapi cairan
Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat)
maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena
mudah didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah banyak.
Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan albumin < 2 gr/dl
koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit diperlukan pada
keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin rendah
pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB yang
dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun
pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata,
melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta
keuntungan dan kerugian pemberian transfusi.
- Vasopresor dan Inotropik
Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih
ditemukan kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis
terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP)
60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor
dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram
(mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit. Sebagai
inotropik yang dapat digunakan dobutamin dengan dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase.
- Bikarbonat
Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya
gangguan transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan
terjadi penurunan pH sel ke tingkat yang sangat rendah. Secara
empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < 7,2 atau serum
bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik.
- Disfungsi renal
Gangguan fungsi renal pada syok distributif terjadi sebagai akibat
buruknya perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3
mcg/kg/menit) terbukti tidak menurunkan mortalitas, untuk itu
sebagai terapi pengganti dilakukan hemodialisis dan hemofiltrasi
kontinu.
- Nutrisi
Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin,
diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan
baru diberikan secara parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah
juga perlu dilakukan oleh karena berbagai penelitian menunjukkan
manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan mortalitas.
- Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan
pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan
perbaikan syok dan disfungsi organ (Bone, 1992).

b. Kontrol Kausa
Hal terpenting dalam tatalaksana Syok distributif adalah
menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi
(khususnya sepsis).
- Antibiotik
Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan maksimal,
termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan
aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat pada awal
perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki prognosis dan
bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder
serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.
- Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh
trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-
kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai
sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen.
- Kontrol kausa lainnya
Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai
fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi
patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus
yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu dilakukan
untuk mengontrol penyebab SIRS (Bone, 1992).
c. Terapi inovatif
- Modulasi imun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal
serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem
imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas
pasien-pasien Sepsis.
- Inhibitor NO
Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan
meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor
yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam tatalaksana
MODS
- Filtrasi darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat
menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan
mengeluarkannya dari jaringan.
- Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien
sebesar 6% (Bone, 1992).
II. Rencana Asuhan klien dengan gangguan
2.1 Pengkajian
Airway : penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan
mengenai adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada
klien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan napas bersih.
Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti
snoring.

Breathing : frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan,


retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan
paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas tambahan
seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.

Circulation : dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output


serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status
hemodinamik, warna kulit, nadi.

Disability : nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil.

2.1.1 Riwayat keperawatan


a. Aktivitas / istirahat :
Gejala : iskemia, anemia, infeksi, emboli paru, kelebihan cairan.
Tanda : lemas, pucat, letih
b. Sirkulasi :
Gejala : riwayat syok kardiogenik dan sebelumnya pernah
mengalami penyakit infark miokard, angina, atau gagal jantung
kongastif.
Tanda : gagal memompa, penurunan aliran vena, frekuensi jantung,
frekuensi nadi, bunyi napas, bunyi jantung, irama jantung, dan
perubahan EKG.
c. Integritas Ego :
Gejala : takut, stres b.d penyakit/ kepribadian
Tanda : berbagai manifestasi prilaku, mis takut, marah
d. Eliminasi :
Gejala : Periksa urine, warna, bau
e. Makanan / cairan :
Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual - muntah
Tanda : Distensi abdomen, oedem
f. Hygiene
Gejala : Keletihan / lekemahan, selama aktifitas perawatan diri.
Tanda : perawatan menandakan perawatan profesional .
g. Neurosensori
Gejala : kelemahan
Tanda : penurunan perilaku
h. Nyeri / Kenyamanan :
Gejala : nyeri dada, angina akut
Tanda : tidak tenang, gelisah, perilaku melindungi diri
i. Pernapasan :
Gejala : Dipsnea saat aktifitas menggunakan alat-alat bantu untuk
menggantikan jantung yang gagal
j. Keamanan
Gejala : perubahan dalam fungsi mental kehilangan kekuatan
k. Interaksi sosial
Gejala : penurunan keikutsertaan dlm aktifitas sosial yang biasa
dilakukan.

2.1.2 Pemeriksaan fisik : data fokus


a. Keadaan umum
1) Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran.
2) Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar
dimengerti, kadang tidak bisa bicara.
3) Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi
bervariasi.
b. Pemeriksaan integumen
1) Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping
itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada
daerah yang menonjol karena klien stroke hemoragik harus
bed rest 2-3 minggu.
2) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
3) Rambut : umumnya tidak ada kelainan
c. Pemeriksaan kepala dan leher
1) Kepala : bentuk normocephalik
2) Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
3) Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998).
d. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur
akibat penurunan refleks batuk dan menelan.
e. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama,
dan kadang terdapat kembung.
f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
g. Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
a. EKG : Mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan
aksis, iskemia dan kerusakan pola.
b. ECG : Mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark / fibrilasi
atrium, ventrikel hipertrofi, disfungsi pentyakit katub jantung.
c. Rontgen dada : Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam
pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulmonal.
d. Scan Jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
gerakan jantung.
e. Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan
membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis
katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner.
f. Elektrolit : Mungkin berubah karena perpindahan cairan atau
penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic.
g. Oksimetri nadi : Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika
CHF memperburuk PPOM.
h. AGD : Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan
atau hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.
i. Enzim jantung : meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan
jantung,missal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK,
isoenzim CPK dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).
2.2 Diagnosa Keperawatan
- Perfusi jaringan cerebral tidak efektif b/d gangguan afinitas Hb
oksigen, penurunan konsentrasi Hb, Hipervolemia, Hipoventilasi,
gangguan transport O2, gangguan aliran arteri dan vena.
- Penurunan curah jantung b/d gangguan irama jantung, stroke volume,
pre load dan afterload,kontraktilitas jantung.
- Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d Infeksi, disfungsi
neuromuskular, hiperplasia dinding bronkus, alergi jalan nafas, asma
- Risiko aspirasi
- Hipertermia b/d
2.2.1 Intervensi dan rasional.

Diagnosa
keperawatan /
Rencana keperawatan
masalah
kolaborasi
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Perfusi jaringan NOC : NIC :
cerebral tidak  Status sirkulasi  Monitor TTV
efektif b/d  Status saraf  Monitor AGD, ukuran
gangguan  Tissue prefusion : pupil
afinitas Hb cerebral  Monitor pandangan
oksigen, setelah dilakukan kabur dan nyeri kepala
penurunan asuhan selama ....  Monitor tonus otot
konsentrasi Hb, ketidakefektifan perfusi  Catat perubahan pasien
Hipervolemia, jaringan cerebral dalam merespon stimulus
Hipoventilasi, teratasidengan kriteria  Tinggikan kepala 0-45o
gangguan hasil : tergantung pada kondisi
transport O2,  Tekanan systol pasien.
gangguan aliran dan diastol
arteri dan vena. dalam rentang
normal
 Pupil reaktif
 Tidak
mengalami
nyeri kepala
Penurunan NOC : NIC :
curah jantung  Cardiac pump  Evaluasi adanya nyeri
b/d gangguan effectiveness dada
irama jantung,  Status cirkulasi  Catat adanya disritmia
stroke volume,  Status TTV jantung
pre load dan  Tissue perfusion :  Catat adanya tanda dan
afterload,kontra perifer gejala penurunan cardiac
ktilitas jantung. setelah dilakukan output
asuhan selama ....  Monitor status
penurunan kardiak pernafasan yang
output klien menandakan gagal
teratasidengan kriteria jantung
hasil :  Monitor respon pasien
 Tanda vital terhadap efek pengobatan
dalam rentang antiaritmia
normal (TD,  Monitor TD, RR, suhu,
RR, suhu, nadi) nadi
 Tidak ada  Monitor jumlah dan
edema paru irama jantung
 Tidak ada  Monitor pola napas
penurunan  Monitor suhu,
kesadaran kelembaban dan warna
 AGD dalam kulit
batas normal  Monitor adannya cushing
 Tidak ada traid (tekanan nadi yang
distensi vena melebar, bradikardi,
jugularis peningkatan sistolik)
 Kolaborasi pemberian
obat anti aritmia,
inotropik, nitrogliserin
dan vasodilator untuk
mempertahankan
kontraktilitas jantung
 Kolabirasi pemberian
antikoagulan untuk
mencegah trombus
perifer.

Bersihan jalan NOC :  Berikan saksion bila perlu


nafas tidak  Status ventilasi  Berikan o2
efektif b/d  Status kepatenan jalan  Anjurkan pasien napas
 Infeksi, nafas dalam dan istirahat
disfungs  Kontrol aspirasi  Posisikan pasien untuk
i Setelah dilakukan memaksimalkan ventilasi
neuromu tindakan keperawatan pernafasan
skular, selama .... pasien  Auskultasi jalan nafas, catat
hiperpla menunjukan adanya suara tambahan
sia keefektifan jalan nafas  Monitor status
dinding dibuktikan dengan hemodinamik
bronkus, kriteria hasil : 
alergi  Mendemonstasi
jalan kan batuk
nafas, efektif , tidak
asma, ada depsneu dan
dan sianosis
trauma  Menunjukkan
 Obstruks kepatenan jalan
i jalan nafas
nafas  Saturasi o2
dalam batas
normal
 Foto thorak
dalam batas
normal
Risiko aspirasi NOC : NIC :
 Status pernafasan :  Monitor tingkat kesadaran,
ventilasi reflek batuk dan
 Kontrol aspirasi kemampuan menelan
 Status Swallowing  Monitor status paru dan
Setelah dilakukan jalan nafas
tindakan keperawatan  Lakukan suction jika
selama .... pasien tidak diperlukan
akan mengalami  Cek nasogastrik sebelum
aspirasi dengan kriteria makan
hasil :  Hindari makan jika residu
 Klien dapat masih banyak
bernafas dengan  Naikan kepala 30-45o
mudah sesudah makan
 Klien mampu
menelan, dan
mengunyah
tanpa terjadi
aspirasi
 Jalan nafas
paten
Hipertermia b/d NOC : NIC :
 Penyakit Termoregulasi  monitor suhu sesering
/ trauma Setelah dilakukan tindakan mungkin
 Peningk keperawatan selama ..... pasien  monitor warna kulit,
atan menunjukkan : tekanan darah, nadi, RR
metaboli Suhu tubuh dalam batas normal  monitor penurunan
sme tingkat kesadaran
 dehidras  monitor WBC, Hb dan
i Hct
 monitor intake dan
output
 berikan antipiretik
 kolaborasi antibiotik
 selimuti pasien
 berikan cairan intravena
 monitor hidrasi seperti
turgor kulit, kelembaban
membran mukosa.
DAFTAR PUSTAKA

AcklAsuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda Nic-Noc Edisi


Revisi Jilid 3, 2015.
Diagnosis Keperawatan, Definisi dan Klasifikasi 2015-2017, Edisi 10. EGC, Jakarta.
North American Nursing Diagnosis (NANDA) 2014, Panduan Penyusunan Auhan
Keperawatan.
Nursing Out Comes (NOC), Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa
Indonesia, 2016.

Nursing Intervention Classification (NIC), Pengukuran Outcomes Kesehatan Edisi


Bahasa Indonesia, 2016.
Price, A. Sylvia & Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Alih Bahasa : Brahm. U. Pendit. Jakarta : EGC
Banjarmasin, Juli 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik

( ) ( )

Você também pode gostar