Você está na página 1de 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SYOK DISTRIBUTIF

OLEH:
NAMA: MUHAMMAD SAID ARDANI
NPM: 1614901110139

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN PROFESI NERS
2017
I. Konsep Syok Distributif
1.1 Definisi Syok Distributif
Syok adalah salah satu kondisi klinis yang paling sering didiagnosis, tetap saja
kompleksitasnya masih sulit dipahami hingga saat ini. Bahkan definisi yang paling
memadai untuk menjelaskannya masih kontroversial terutama karena presentasi variabel
dan etiologinya yang memang sangat multifaktorial (Cheatham, 2003).
Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena adanya
vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak
memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006). Seperti halnya tipe kolaps
kardiovaskular lainnya, syok distributif juga dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang
inadekuat, dengan manifestasi klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi,
hipotensi, maupun oliguria (Weil, 2007).
Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan perubahan
resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan permeabilitasnya, dimana faktor
inilah yang mencetuskan terjadinya hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan tersebut
langsung mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk
kebutuhan jaringan tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul hipotensi, diikuti
dengan gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel. Meskipun efek hipoksik dan
metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya hanya menyebabkan jejas sel secara
reversibel, syok yang terus terjadi pada akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan
secara ireversibel dan dapat berpuncak pada kematian pasien (Robbins dkk, 2007).
Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya adalah sepsis,
SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis. Syok septik adalah bentuk
paling umum dari syok distributif dengan angka kematian yang cukup besar. Sama
halnya dengan sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang merupakan
kondisi inflamasi sistemik, juga menjadi penyebab kematian tersering di negara barat
khususnya Amerika Serikat (Sudoyo et al, 2009). Anafilaksis dan kegagalan tonus
vasomotor adalah pencetus lain dari syok distributif. Namun demikian, semua faktor di
atas cukup adekuat untuk memicu berbagai reaksi berantai dalam tubuh yang bila
dibiarkan berlanjut tanpa terapi, akan menimbulkan konsekuensi yang sifatnya fatal bagi
pasien (Duane, 2008).

1.2 Etiologi Syok Distributif


Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer): (a) Syok neurogenik;
(b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e)
Syok septik; serta (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia,
dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.
Karena syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat, maka setiap
keadaan yang menurunkan curah jantung jauh di bawah normal akan sangat mungkin
menyebabkan syok (Guyton & Hall, 2008). Namun demikian, faktor tersebut tidak
selamanya berlaku mengingat dalam mekanismenya, syok distributif mencakup dinamika
yang lebih kompleks.
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh
pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel, karena itu, kondisi-kondisi yang menempatkan
pasien pada resiko-resiko di atas tergolong sebagai etiologi dari syok distributif itu
sendiri (Robbins dkk, 2007).

Tabel 1.1. Etiologi Syok Distributif Berdasarkan Bentuk-Bentuknya


Variasi Syok Distributif Etiologi Pencetus
SIRS dan sepsis  Infeksius (sepsis) : Bakteremia,
Secara umum, penyebab viremia, fungemia, mycobacteria,
dari SIRS dapat dibagi infeksi protozoa, infeksi organ solid, dll
kedalam 2 golongan, yakni  Non-infeksius (SIRS) : Trauma, luka
infeksius dan noninfeksius bakar masif, luka pasca operasi,
pankreatitis, kanker, overdosis obat,
suntikan sitokin, sindrom aspirasi,
iskemia visceral (Sudoyo et al, 2009)
Toxic shock syndrome  Staphylococcus aureus
TSS dapat dipicu oleh  Streptococcus pyogenes (Sharma,
eksotoksin/enterotoksin 2006).
yang dihasilkan oleh bakteri
Insufisiensi adrenal  Autoimun (kurang lebih 70-90 kasus)
 Infeksi (TBC, histoplasmosis, HIV,
syphilis)
 Keganasan, seperti metastase dari paru-
paru, mamae, carcinoma colon,
melanoma, dan limfoma
 Terapi glukokortikoid jangka lama
(mensupresi CRH)
 Tumor pituitari/hipotalamus
 Penyakit infeksi dan infiltrasi dari
kelenjar pituitari (sarkoid, histiositosis,
TB, dll)
 Radiasi pituitari (Corrigan, 2006).
Heat Stroke Suhu tubuh yang meningkat melebihi
suhu kritis, dalam rentang 105o sampai
108oF (Guyton & Hall, 2006).
Syok neurogenik Trauma/cedera ataupun karena
penggunaan zat anestesi pada medula
spinalis di segmen toraks bagian atas
(Cheatham, 2003).
semua ini mengakibatkan kurangnya pengiriman zat makanan ke jaringan-organ kritis,
dan juga mengakibatkan kurangnya pembuangan produk sisa metabolisme sel dari
jaringan.

1.3 Tanda Gejala Syok Distributif


a. Sistem Kardiovaskuler
1) Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena
perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
2) Nadi cepat dan halus.
3) Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya
mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi
darah.
4) Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
5) CVP rendah.
b. Sistem Respirasi
Pernapasan cepat dan dangkal.
c. Sistem saraf pusat
Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai
menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif
dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang
karena kesakitan.
d. Sistem Saluran Cerna
Bisa terjadi mual dan muntah.
e. Sistem Saluran Kencing
Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60
ml/jam (1/5–1 ml/kg/jam).

1.4 Patofisiologi Syok Distributif


Upaya untuk menjelaskan patofisiologi dari syok telah mencapai perkembangan yang
signifikan setelah beberapa dekade terakhir (Cheatham, 2003). Melalui serangkaian
pengamatan, telah diketahui bahwa semua tipe syok dikarakterisasi oleh gangguan
perfusi, dan karena sifat-sifat khasnya cenderung dapat berubah pada berbagai derajat
keseriusan, mekanisme syok kemudian dibagi lagi menjadi 3 tahapan utama yaitu :
a. Tahap awal nonprogresif
Selama tahap ini, mekanisme kompensasi refleks akan diaktifkan dan perfusi organ
vital dipertahankan sehingga pada akhirnya menimbulkan pemulihan sempurna
tanpa dibantu terapi dari luar
b. Tahap progresif
Merupakan tahap yang ditandai hipoperfusi jaringan serta manifestasi awal dari
memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan metabolik
c. Tahap ireversibel
Muncul setelah syok telah jauh berkembang sedemikian rupa, yakni ketika tubuh
mengalami jejas sel dan jaringan yang sangat berat sehingga meskipun semua
bentuk terapi yang diketahui dilakukan untuk memperbaiki gangguan
hemodinamika pasien, pada kebanyakan kasus tidak mungkin tertolong lagi
(Guyton & Hall, 2008).

Tahapan di atas paling jelas dikenali pada syok hipovolemik, tetapi lazim pula untuk
bentuk syok lainnya. Namun demikian, meskipun tahapan dari berbagai macam syok
pada teorinya sama, di sisi lain mekanisme yang terlibat dapat bervariasi tergantung pada
penyebabnya.
Dalam syok distributif, perfusi jaringan yang inadekuat disebabkan oleh
meningkatnya tahanan vaskular sistemik dengan peningkatan curah jantung sebagai
hasilnya (mekanisme kompensasi). Mula-mula perubahan-perubahan ini dikarakterisasi
oleh dinamika kontraktilitas, dilatasi dari pembuluh darah perifer, serta dampak dari
upaya resususitasi yang dilakukan tubuh.
Sebagai contoh, di stadium awal syok septik terjadi penurunan darah diastol,
melebarnya tekanan pulsasi, akral hangat, dan berbagai efek lain seperti terisinya kapiler
dengan cepat karena vasodilatasi perifer. Tubuh akan berusaha mengkompensasi kondisi
ini dengan meningkatkan curah jantung (cardiac output) sehingga pada stadium akhir
syok septik, kombinasi dari kurangnya kontraktilitas myokard yang bergabung dengan
hilangnya tonus (paralisis) pembuluh darah perifer akan menginduksi penurunan perfusi
organ. Sebagai hasilnya, terjadilah hipoperfusi dari berbagai organ vital seperti otak,
hepar, dan bahkan jantung.
Mengingat dalam syok distributif terdapat berbagai variasi (syok septik, anafilaksis,
neurogenik, TSS, dan SIRS) dan reaksi-reaksi yang terlibat pun berbeda sesuai dengan
kasusnya.
Konsekuensi akhir dari malperfusi dalam berbagai bentuk syok distributif dapat
berbeda pada tiap pasien, tergantung dari derajat dan durasi hipoperfusi, jumlah sistem
organ yang terkena, serta ada tidaknya disfungsi organ utama. Harap ditekankan bahwa
apapun tipenya, sekali syok terjadi, cenderung memburuk secara progresif. Sekali syok
sirkulasi mencapai suatu keadaan berat yang kritis, tidak peduli apa penyebabnya, syok
itu sendiri akan menyebabkan syok menjadi lebih berat. Artinya, aliran darah yang tidak
adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai mengalami kerusakan, termasuk jantung dan
sistem sirkulasi itu sendiri, seperti dinding pembuluh darah, sistem vasomotor, dan
bagian-bagian sirkulasi lainnya (Guyton & Hall, 2008).

1.5 Pemeriksaan Penunjang Syok Distributif


Faktor-faktor pencetus test diagnostik antara lain :
a. Electrocardiogram (ECG)
b. Sonogram
c. Scan jantung
d. Kateterisasi jantung
e. Roentgen dada
f. Enzim hepar
g. Elektrolit oksimetri nadi
h. AGD
i. Kreatinin
j. Albumin / transforin serum
k. HSD

1.6 Komplikasi Syok Distributif


Gambaran klinis syok distributif bergantung pada gangguan yang ditimbulkan oleh
pencetus, dan hal ini tidak hanya berlaku untuk syok distributif melainkan juga untuk
syok tipe lain. Pada kebanyakan kasus, gambaran klinis dari syok distributif mencakup
tanda-tanda berikut ini:

a. Perubahan pada status mental, mengacu pada tingkat kesadaran pasien (apatis
ataupun somnolen). Biasanya, tingkat kesadaran dapat bervariasi menurut
progresifitas syok saat itu juga. Seringkali saat syok semakin berat, maka semakin
buruk pula tingkat kesadarannya
b. Frekuensi jantung yang lebih dari 90 kali/menit (perlu dicatat bahwa elevasi pada
frekuensi jantung bukanlah pertanda adanya syok bila pasien sedang dalam terapi
beta-blocker
c. Hipotensi, dengan tekanan sistol yang kurang dari 90 mmHg atau mengalami
penurunan sebesar 40 mmHg dari standar normalnya
d. Meningkatnya frekuensi pernafasan hingga melebihi 20 kali/menit (takipnea). Pada
keadaan yang lebih berat, akan terlihat nafas cepat dan dangkal akibat asidosis
e. Ekstremitas teraba hangat (akral hangat) dengan tekanan pulsasi (tekanan sistol
dikurangi diastol) yang meningkat, khususnya pada tahap awal syok distributif
f. Hipertermia, jika suhu tubuh > 38,3oC atau 101oF
g. Hipotermia, dapat pula ditemukan jika temperatur turun hingga di bawah 36oC atau
96,8oF
h. Hipoksia dan hipoksemia relatif yang dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi
i. Oliguria, yakni berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi urin dewasa
adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)

1.7 Penatalaksanaan Syok Distributif


Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok lainnya.
Karena termasuk kondisi gawat darurat, maka yang pertama kali dilakukan adalah
tatalaksana suportif untuk mencegah syok berkembang ke tahap yang lebih buruk.
Selanjutnya, tatalaksana akan lebih diberatkan ke arah eliminasi etiologi, dimana
tentunya akan cenderung disesuaikan dengan faktor pencetus syok distributif itu
sendiri.
1.7.1 Tatalaksana suportif
Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari SIRS, sepsis,
maupun bentuk syok distributif lainnya, yakni kegagalan organ. Seiring
berjalannya waktu, pasien SIRS/sepsis akan menerima konsekuensi yang fatal
apabila tidak mendapat terapi penunjang yang tepat.
1) Oksigenasi
Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien
mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana hipoksemia dan
hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan
penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan
hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan kesadaran atau kerja
ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan.
2) Terapi cairan
Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun koloid.
Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena mudah didapatkan, tetapi
perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan
albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit
diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin
rendah pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB yang
dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun
pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata,
melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan
dan kerugian pemberian transfusi.
3) Vasopresor dan Inotropik
Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih ditemukan
kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara
titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) 60 mmHg, atau tekanan
darah sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan
dosis >8 mikrogram (mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit.
Sebagai inotropik yang dapat digunakan dobutamin dengan dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit
atau inhibitor fosfodiesterase.
4) Bikarbonat
Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya gangguan
transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi penurunan pH sel
ke tingkat yang sangat rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila
pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya untuk
memperbaiki keadaan hemodinamik.
5) Disfungsi renal
Gangguan fungsi renal pada syok distributif terjadi sebagai akibat buruknya
perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3 mcg/kg/menit) terbukti
tidak menurunkan mortalitas, untuk itu sebagai terapi pengganti dilakukan
hemodialisis dan hemofiltrasi kontinu.
6) Nutrisi
Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian
secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral.
Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh karena berbagai
penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan
mortalitas.
7) Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan pemberian
kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan perbaikan syok dan disfungsi
organ (Bone, 1992).

1.7.2 Kontrol Kausa


Hal terpenting dalam tatalaksana Syok distributif adalah menghilangkan faktor
presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi (khususnya sepsis).
1) Antibiotik
Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan maksimal,
termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan aspirasi
perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit
infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan
infeksi sekunder serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden
MODS.
2) Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh trauma.
Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-kadang diperlukan
pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi berasal dari
intra-abdomen.
3) Kontrol kausa lainnya
Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai fraktur dapat
memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi patah tulang yang lebih
dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati
serta pengasatan pus perlu dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS
(Bone, 1992).

1.7.3 Terapi inovatif


1) Modulasi imun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal serta obat-
obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem imun menunjukkan
tidak adanya penurunan presentasi mortalitas pasien-pasien Sepsis.

2) Inhibitor NO
Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan meningkatkan
mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor yang selektif terhadap
iNOS mempunyai peranan dalam tatalaksana MODS
3) Filtrasi darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat menyaring
sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan mengeluarkannya dari
jaringan.
4) Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien sebesar
6% (Bone, 1992).

1.8 Pathway Syok Distributif

II. Rencana Asuhan Keperawatan Klien dengan Syok Distributif


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
2.1.1.1 Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian: panas.
2.1.1.2 Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah sakit, sejak
kapan timbul demam, sifat demam, gejala lain yang menyertai demam
(misalnya mual, muntah, nafsu makan, eliminasi, nyeri otot dan sendi,
dll), apakah menggigil, dan gelisah.
2.1.1.3 Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
pasien,
2.1.1.4 Riwayat kesahatan keluarga
Riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau tidak.
2.1.2 Pemerisaan fisik : Data Fokus
2.1.2.1 Inspeksi
a. Pasien tampak sesak
b. Kesadaran menurun
c. Sianosis
d. Kulit tampak dalam betuk semburat merah
e. Pucat
2.1.2.2 Auskultasi
a. Penurunan tekanan darah
b. Takikardi
c. Bradikardi
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
a. Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun
b. Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.

Radiologi
a. X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
b. EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa I : Penurunan Curah Jantung 00029
2.2.1 Definisi
Rentan terhadap ketidak adekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan merabolisme tubuh, yang dapat mengganggu kesehatan
2.2.2 Batasan Karakteristik
Perubahan Afterload
a. Dispnea
b. Kulit lembab
c. Oliguria
d. Pengisian kapiler memanjang
e. Peningkatan PVR
f. Peningkatan SVR
g. Penurunan nadi perifer
h. Penurunan resistansi vascular paru (Pulmonary vascular resistance, PVR)
i. Penurunan resistansi vascular sistemik (systemic vascular resistance, SVR)
j. Perubahan tekanan darah
k. Perubahan warna kulit (mis., pucat, abu-abu, sianosis)
2.2.3 Faktor yang berhubungan
a. Perubahan afterload
Diagnosa II : Ketidak Efektifan Bersihan Jalan Nafas 00031
2.2.4 Definisi
Ketidakmampuan membersihakan sekresi atau obstruksi daria saluaran napas
untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
2.2.5 Batasan Karakteristik
a. Batuk yang tidak efektif
b. Dispnea
c. Gelisah
d. Kesulitan verbalisasi
e. Mata terbuka lebar
f. Ortopnea
g. Penurunan bunyi napas
h. Perubahan frekuensi napas
i. Perubahan pola napas
j. Sianosis
k. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
l. Suara napas tambahan
m. Tidak ada batuk
2.2.6 Faktor yang berhubungan
a. Lingkungan : Perokok, Perokok pasif, Terpajan asap
b. Obstruksi Jalan napas : Adanya jalan napas buatan, Benda asing dalam
jalan napas, Eksudat dalam alveoli ,Hiperplasia pada dinding brokus,
Mukus berlebihan, Penyakit paru obstruktikronis, sekresi yang tertahan,
spasme jalan napas.
c. Fisiologis
Asma, Disfungsi neuromuscular, Infeksi, Jalan napas alergik
2.3 Perencaan
Diagnosa I : Penurunan Curah Jantung 00029
2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria) : Berdasarkan NOC
a. Tingkat Keparahan Kehilangan Darah : Tingkat keparahan pedarahan /
hemoragi internal atau eksternal
b. Efektifitas Pompa Jantung : Keadekuatan volume darah yang diejeksikan dari
ventrikel kiri untuk mendukung tekanan perfusi sistemik
c. Status Sirkulasi : Tingkat pengaliran darah yang tidak terhambar, satu arah,
dan pada tekanan yang sesuai melalui pembuluh darah besar aliran sistemik
dan pulmonal
d. Perfusi Jaringan : Organ Abdomen : Keadekuatan aliran darah melewati
pembuluh darah kecil visera abdomen untuk mempertahankan fungsi organ
e. Perfusi Jaringan : Jantung : Keadekuatan aliran darah yang melewati
vaskulatur coroner untuk mempertahankan fungsi organ jantung
f. Perfusi Jaringan : Serebral : Keadekuatan aliran darah yang melewati
vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak
g. Perfusi Jaringan : Perifer : Keadakuatan aliran darah yang melalui pembuluh
darah kecil ekstermitas untuk mempertahankan fungsi jaringan
h. Perfusi jaringan : Pulmonal : Keadekuatan aliran darah yang melewati
vasculartur pulmonal untuk memerfusi unit alveoli /kapiler
i. Status Tanda Vital : Tingakat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah
dalam rentang normal
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional : Berdasarkan NIC
a. Intervensi : Perawatan Jantung
Rasional : Membatasi komplikasi akibat ketidakseimbangan antara suplay
dan kebutuhan oksigen miokard pada pasien yang mengalami gejala
kerusakan fungsi jantung.
b. Intervensi : Perawatan Jantung, Akut :
Rasioenal : Membatasi komplikasi untuk pasien yang sedang mengalami
episode ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard
yang mengakibatkan kerusakan fungsi jantung
c. Intervensi : Perawatan Sirkulasi : INsufisiensi arteri :
Rasional : Meningkatkan sirkulasi arteri
d. Intervensi : Perawatan Embolus : Perifer
Rasional : Membatasi komplikasi untuk pasien yang mengalami, atau
berisiko mengalami sumbatan sirkulasi perifer

e. Intervensi : Regulasi Hemodinamik


Rasional : Mengoptimalkan frekuensi jantung, preload, afterload, dan
kontraktilitas
f. Intervensi : Terapi Intravena (IV)
Rasional : Memberi dan memantau cairan dan obat intravena (IV)
g. Intervensi : Pemantauan Neurologis
Rasional : Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mencegah
atau meminimalkan komplikasi neurologis
h. Intervensi : Management Syok : Vasogenik
Rasional : Meningakatkan perfusi jaringan yang adekuat pada pasien yang
mengalami kehilangan berat pada tonus pembuluh darah
i. Intervensi : Pemantauan Tanda Vital
Rasional : Mengumpulkan dan menganalisis data kardio vascular,
pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan dan mencegah komplikasi.

Diagnosa II : Ketidakefektidan Bersihan Jalan Nafas 0031


2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria) : Berdasarkan NOC
a. Pencegahan aspirasi : tindakan personal untuk mencegah masuknya cairan
atau partikel padat kedalam paru
b. Status pernapasan : ventilasi : pergerakan udara yang masuk dan keluar ke
dan dari paru
c. Status pernapasan : kepatenan jalan napas : jalur napas trakoebronkial
bersih dan terbuka untuk pertukaran gas

2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional : Berdasarkan NIC


a. Keefektidan pemberian oksigen dan terapi lain
b. Keefektifan obat resep
c. Kecenderungan pada gas darah arteri jika tersedia
d. Frekuensi kedalam dan upaya pernapasan
e. Factor yang berhubungan seperti nyeri batuk tidak efektif, mucus kental,
dan keletihan.
f. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan
g. Pengisapan jalan napas
h. Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau trakeal
i. Pantau status oksigen pasien dan status hemodinamik dan irama jantung
sebelum selama dan setelah pengisapan
j. Catat jenis dan jumlah sekrat yang dikumpulkan
III. Daftar Pustaka

S. Moorhead, M. Johnson. et al.(Eds) 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC)


Indonesia:Mocomedia
T.H. Herdman, S.Kamitsuru. et al(Eds) 2017, Diagnosis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC)
G.M. Bulechek, H.K.Butcher. et al (Eds) 2013. Nursing Interventions Classification
(NIC).Indonseia : Mocomedia
J.M. Wilkinson, N.R.Ahern (Eds) 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Edisi 9).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC)
https://www.scribd.com/doc/97297223/referat-syok-distributif
https://krisnaerawan.files.wordpress.com/2010/05/syok.pdf
Banjarbaru, Januari 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik

(……….…………..…...) (…….……………………)

Você também pode gostar