Você está na página 1de 15

Kejayaan leluhur terdahulu bukan berarti harus menimbulkan sebuah era

pengkotakan/ society class dimasa sekarang ini,….. Banyak diantara saudara

kita sekarang ini menjadi kelompok elit dikarenakan berasal dari soroh yang

dahulu leluhurnya menjadi seorang yang sangat begitu terkenal, berwibawa dan

mempunyai jabatan semisal seperti patih atau raja, purohita, bhagawana,

penasehat raja dsbnya.

Jaman dahulu, Beliau para leluhur kita juga sama seperti kita menjadi manusia

yang memiliki indra normal sama seperti kita semua, namun mereka mempunyai

perbedaan, bedanya apa? bedanya Beliau dahulu berhasil mengukir sejarah

sehingga nilai sejarah yang telah di ukir diingat sampai keturunannya yang

sekarang.

Nah apakah dengan ukiran sejarah terdahulu membuat kita semua tenggelam

didalam bayangan masa lalu ataukah kita semua mengambil sisi positif dan nilai

dari apa yang telah dilakukan oleh para leluhur kita dan kita sendiri sekarang

berusaha mengukir sebuah sejarah baru yang berguna untuk orang banyak

dimana sejarah yang kita buat akan di kenang oleh keturunan kita kelak?!…..

Ada sebuah ilustrasi yang bisa menggambarkan keadaan ini:

Ada cerita tentang i dongkang ajak i lutung….

Pada suatu ketika, i dongkang melihat i lutung berjalan dengan tegap namun

pelan, karena begitu terburu-buru i dongkang lalu berusaha untuk mendahului i

lutung..namun i dongkang terkejut karena i dongkang tahu ada yang ingin

mendahului langkahnya……
“Hei dongkang, beraninya engkau mendahului langkahku…tidak tahukah engkau

dahulu leluhurku adalah Sang Hanoman yang gagah perkasa dan sakti

mandraguna?? bentak i lutung….”

“Hei lutung, maafkan aku juga terburu-buru, karena harus pergi ke kolam….Aku

tahu leluhurmu itu dahulu adalah Sang Hanoman….namun apakah dengan hal

itu engkau sekarang menjadi sombong dan arogan? aku mau

tanya….pekerjaanmu sekarang apa? jawab i dongkang”

“A….a….ku be…..bekerja di ppp…pasar be…be…bersama majikanku…jj…jadi

topp…eng mo…nyet…jawab i lutung dengan lirih…sambil tertunduk malu…”

“Makanya tung…kamu jangan sombong walau dahulu leluhurmu seorang yang

sakti dan perkasa…karena itu adalah bagian dari masa lalu dan sudah menjadi

sejarah…sejarah untuk diambil intisari dan filosofinya untuk kamu gunakan di

masa sekarang…supaya kamu sekarang ini bisa membuat sejarah bagi anak

dan cucumu kelak tung…”

“Iya kang…aku terlalu tenggelam didalam perasaan kebanggaan yang terlalu

dalam dan rasa fanatik terhadap masa lalu keluargaku….padahal aku sekarang

bukan apa-apa di kehidupan ini….aku berjanji aku akan berusaha untuk

membuktikan bahwa aku bisa memberikan yang terbaik bagi orang banyak dan

aku ingin mengukir sejarah yang akan di ingat selalu nanti oleh keturunanku

kelak….”
Semoga kita semua bisa mengambil makna dan intisari dari cerita di atas dan

berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya…

PENJELASAN KASTA

Kata “kasta” sendiri berasal dari bahasa portugis, artinya perbedaan kelas

berdasarkan keturunan. Di Negara manapun itu berada di dalam setiap bangsa

apapun itu akan ada kelas bangsawan dan kelas rakyat biasa. Di dalam agama

Hindu tidak ada kasta, yang ada justru adalah “warna” tentang pengelompokan

orang yang berdasarkan dari bakat dan kemampuannya. Misalnya mereka

mempunyai bakat atau kemampuan di bidang ke agamaan disebut kaum

brahmana, yang mempunyai bakat dan kemampuan di bidang pemerintahan dan

militer disebut ksatriya, yang mempunyai bakat di bidang usaha dan pertanian

disebut waisya, yang mempunyai kemampuan hanya di bidang pelayanan di

sebut sudra.

Anak seorang pelayan (sudra), bisa menjadi ahli dan bahkan guru Weda seperti

didalam kisah dari Satyakama. Ia adalah anak Jabala, seorang perempuan

pelayan warung. Tetapi karena tekad dan ketekunan-nya, Satyakama menjadi

ahli Weda, bisa menjadi professor, bisa juga menjadi jenderal atau pengusaha

atau pendeta. Demikian pula sebaliknya anak seorang pendeta juga akan bisa

menjadi apapun sesuai keinginannya sendiri seperti : pedagang, bisa jadi

petani, pejabat, yang lainnya.

Seperti contohnya di India pada jaman yang modern ini seorang keturunan dalit,

bisa menjadi perdana menteri atau presiden. Di dalam masyarakat Hindu kita di
Indonesia, contoh lainnya seperti itu bukanlah satu pengecualian, artinya

contohnya sudah tidak terhitung lagi. Sebetulnya profesi / pekerjaan karena

keturunan banyak segi positifnya. Contohnya di Bali saja sekarang bisa

diperintah oleh Gubernur dari wangsa warna sudra dan Pendetanya pun

sekarang bukan didominasi oleh salah satu klan atau warna tetapi karena

kemampuannya serta ditunjuk dari leluhurnya masing-masing. Ini sebuah fakta

tetapi riak-riak kecil itu wajar saja karena adanya oknum dan dimana-mana pun

pasti ada kastanisasi !!….

Seorang tukang arloji yang mewarisi profesi atau bisnis keluarga yang telah

dijalankan dari sejak turun temurun, merupakan jaminan mutu, karena

merupakan akumulasi dari keahlian. Itu sebabnya perusahaan-perusahaan

keluarga sering mengiklankan pendiri- nya yang sudah hidup lebih dahulu. Tetapi

untuk sebuah jabatan publik dan sejenisnya itu memang tidak baik.Karena kalau

itu perusahaan keluarga, resikonya juga hanya ditanggung oleh keluarga itu

sendiri. Sedangkan jabatan publik, resikonya ditanggung oleh masyarakat

banyak.

Tuntunan kasta itu ada sebenarnya diambil dari Catur Warna menurut kitab suci

weda, dan marilah kita merenung bahwa warna yang ada dalam dirimu itu tidak

anda bawa semenjak lahir, tetapi akan berbanding lurus sejalan dengan apa

yang anda lakoni di kehidupan ini, yang disebut dengan swadharma dan swagina

anda selama menjalani hidup.


Semua orang di dunia ini yang baru di lahirkan adalah sudra, dan semua orang

bisa menjadi Brahmana asal dia bisa menganggap semua orang di bumi ini

adalah Brahman, kita semua terlahir dari percikan sinar suci Brahman, ( atman

itu adalah percikan sinar suci dari Brahman / atman ini ada dari Brahman ).

Setiap orang itu akan menempuh ke Brahmanaannya sesuai kemampuannya

sesuai dengan tuntunan ajaran Catur Asrama: Brahmacari, Grehasta,

Wanaprasta, dan Biksuka / Sanyasin. Setiap orang pun bisa jadi Ksatriya apabila

dia bisa dan mampu membela kebenaran dan bisa memimpin dirinya untuk

mempertahankan dharma itu, dan setiap orangpun bisa dikatakan Weisya

disaat dia mencari uang untuk bisa menghidupi dirinya sendiri atau keluarganya,

catur warna itu melekat akan di setiap orang dan di saat mana yang paling

dominan menonjol di kehidupannya saat ini, itulah yang akan menjadi

penghargaan sebutan-sebutan tertentu di masyarakat.

Catur Warna

Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna

berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata “Catur” berarti empat dan

kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur

Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan

berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta

kualitas kerja yang dimilikinya sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat

yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya

dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal

dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan

fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pada

pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional

di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pada pengabdian

dalam swa-dharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan

keamanan negara.

Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional

di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di

bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di

dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pada pengabdiannya

di bidang ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat ini dari masa ke masa pelaksanaan

sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup

yang disebut Catur Wangsa atau dari Turunan darah. Padahal Catur Warna

menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa

menunjukkan Turunan darah.

Semoga kita semua bisa mengambil makna dan intisari dari cerita di atas dan

berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya dan

mengerti apa kasta itu yang diambil dari intisari warna. Janganlah saudaraku

sedharma terlalu membanggakan kastanya sendiri dan merendahkan kasta

orang lain, tetapi berusahalah untuk melakoni swadharmanya yang terbaik

sesuai dengan warna yang dilakoni agar bisa menembus moksa (kebebasan).
Warna apapun yang menjadi lakon anda sekarang ini semasa hidup itulah yang

terbaik,… hayatilah dan syukurilah dan itulah hasil dari karma wasana anda

terdahulu,…….

WARNA, WANGSA, KASTA, DAN FENOMENANYA

Membahas fenomena benang kusut yang sudah terjadi dari jaman dahulu

sampai saat ini yang sudah membaur dan terjadi diantara kita dan sudah

semakin ruwet menjadi berlarut-larut maka mari kita renungkan dengan hati yang

jernih seringnya terjadi pertanyaan seperti ini di masyarakat sebagai contoh

sebagai berikut :

Ada orang bertanya seperti ini “tiang metaken akidik puniki tiang mangkin dados

jero, petaken tiang kenapa tidak boleh ngaturang bakti disanggah tiang waktu

bajang karena itu jadi pertanyaan anak-anak tiang trus kalau paridan (lungsuran

di bhetare hyang tak boleh dimakan) tapi di tugu karang boleh. Punapi niki

patutne suksma ? “

Jawabannya :…..“Kalau kita beragama sudah masuk ke dalam ranah

kewangsaan dalam bentuk sebuah dinasti, akan ada sebuah keyakinan bahwa

salah satu soroh maka akan kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Padahal

jika kita memutuskan sujud bhakti kepada leluhurnya, kita akan mepiutang

sembah terhadap leluhur selamanya. Banyak orang yang gengsi tidak mau lagi

menyembah bhakti ke tempat asalnya di saat dia sudah berubah status jero atau

kawin ke level yang dianggap mereka lebih tinggi. Mari kita pikirkan masak-

masak dengan pikiran jernih karena hal ini bisa menjadi masalah yang sangat
besar di kemudian hari. Kenapa kita beragama Hindu yang mengakui “tat twam

asi,” (kamu adalah aku, dan aku adalah kamu) vaisudewa kutumbakam (kita

semua sesungguhnya bersudara) tapi dalam praktik nyata,

kontradiktif/berlawananan sangat-sangat nol besar tidak sesuai dengan teori dan

prakteknya. Saya tidak berani terlalu menghakimi. Tapi hal ini tanyakan saja

kepada suami dan keluarga besarnya kenapa bisa melarang?” Apa dasar

pemikirannya?” Apa mesti mengharuskan mendidik orang seperti itu, dengan

harus melupakan akan adanya leluhurnya ?”..

Ada pula pertanyaan yang kedua, “saya seorang cowok menikah dengan istri

saya yang wangsanya dianggap lebih tinggi dan setelah proses pernikahan

berjalan mulus dan kami sudah mempunyai anak maka dari pihak keluarga kami

berniat mepejati untuk memohon bahwa istri kami masuk klan kami dan mohon

ijin untuk mepejati, tetapi dengan alasan apapun itu kami tetap ditolak karena

tidak ada dalam tradisi mereka seperti itu? Yang tertera di dalam pawiwahan

bahwa sakralisasi upacara pawiwahan adalah mapa- warangan dengan mepejati

bukanlah mepamit yang sering ditulis oleh para Sulinggih tetapi kenapa dalam

praktek nyatanya sangat-sangatlahbegitu jauh sekali menyimpang seolah-olah

mereka menganggap klan soroh orang lain lebih rendah dari dirinya dan tidak

mau mapawarangan, menganggap mereka semua sudra (rendah) sangatlah

tidak layak sebanding untuk masuk ke merajan untuk sembah bhakti ke

leluhurnya padahal mulia niatnya keluarga kami untuk memohon maaf dan

memberi tahu pada leluhurnya bahwa istri yang kami ambil sudah masuk

keluarga kami, akan dijaga baik-baik dan mohon restunya agar ikut juga menjaga
anak cucu kami agar tidak kapi- utangan karena status klannya menjadi jelas

bukan masih ngambang???.

Untuk lebih jelasnya mari pahami serta resapi untuk diterapkan bhisama sabha

pandita lembaga keumatan kita telah merumuskan dan memikirkan nasib

umatnya ke depan!!..

Jawabannya itu mari kita pelajari secara rinci dari Lampiran BHISAMA SABHA

PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT Nomor :

03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002 Tentang Pengamalan Catur

Vama PENGAMALAN CATUR VARNA

Latar Belakangnya Sudah merupakan pengertian umum bahwa ajaran Catur

Varna itu yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang sudah

terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) yang

lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi

penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di

Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan

ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama

Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya.

Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya

benar-benar sangat merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan

Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia. Perjuangan untuk

mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh

sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan
maupun lewat berbagai organisas atau lembaga keumatan Hindu. Meskipun

sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan ke- benaran ajaran Catur

Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalam bidang pemerintahan,

politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam

bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan

membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa

pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang

salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan

adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi

sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat

Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat

Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran dari Catur Varna, oleh karena itu

dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September

2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur

Warna ini. Usulan itu didahului juga oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi.

Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Ormas dan

lembaga -lembaga umat Hindu. Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan

untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem

Wangsa.

Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara

bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu

menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar

dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhurnya

dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem


Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar

dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak

dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat-istiadat sehari-hari.

Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat-istiadat. Menurut

pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam

kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam

swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa

seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita

sudah lepas dari ikatan Wangsanya.

228. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab
Brahma Purana 228. 45. Dharma, Artha, Kama Moksanam sarira sadanam,
artinya: badan (Sarira) Sthula, Suksma dan Antakarana Sarira) hanya dapat
dijadikan sebagai sarana untuk mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk
mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap.

Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara

bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup pada Brahmacari diprioritaskan

rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan

Kama, sedangkan dalam tahap hidup pada Vanaprastha dan Sannyasa Asrama

tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa. Untuk mewujudkan empat tujuan

hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis

profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan

bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan

kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk bisa

mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA,


Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra

Yajurveda XXX.11 dinyatakan “Brahmana Varna diciptakan dari kepala

Brahman, Ksatriya dari lenganNya Brahman, Vaisya dari perut-Nya dan Sudra itu

dari kaki-Nya Brahman”. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha

Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan

dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang

Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan

kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau

sudah mentaati swadharma-nya masing-masing.

Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa

untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya.

Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang.

Jadinya yang menentukan “Varna” seseorang adalah profesinya bukan

berdasarkan keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan.

Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan

pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang

dapat disebut ber “varna” Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut

ber “varna” Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang

kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan

bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan

orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga

jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra.


Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan lontar Sarasamuscaya 55 hanya

mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh

menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena

mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga

jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan

rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swa-dharma seorang Dvijati

adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk

mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh

mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan

tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2. Varna seseorang tidak dilihat dari

sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang itu bukan dilihat dari

sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang

tergolong ber “Varna” Brahmana, belum tentu keturunannya bisa menjadi

seorang Brahmana, seperti halnya Rahwana, kakeknya, ayah dan ibunya,

adalah rsi yang terpandang, namun Rahwana bersifat raksasa. Prahlada di

dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa benama

Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat

beragama meskipun ia masih anak-anak. Varna seseorang itu tidak ditentukan

oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII.

CCCXII,108 bahwa ke “Dvijati”an seseorang tidak ditentukan oleh ke

“wangsa”annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur

dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.

1. Menegakkan sistem Catur Varna. Untuk mengembalikan sistem Catur Varna


dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:
2. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-
istiadat keagamaan Hindu yang sangat bertentangan dengan ajaran Catur
Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan
melalui berbagai “metode pembinaan umat Hindu” yang telah ditetapkan dalam
Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar
yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma
Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Shanti.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat mesti diajak untuk tidak membeda-
bedakan panditanya dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat
“muput” (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang
asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-
bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal “Wangsa”nya.
3. Dalam persembahyangan bersama di saat “Nyiratang Tirtha” (memercikkan air
suci) umat diajak untuk bisa membiasakan diri menerima “Siratan Tirtha”
(percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara ini umat
menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya
karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang
menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem
Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu
Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sebuah sistem Wangsa, artinya
jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan
penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada juga pejabat resmi yang patut
mendapatkan penghormatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang
kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan
yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa
pada saat upacara “Matur Piuning” di tempat pemujaan keluarga pihak wanita,
seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk “Muput” upacara
“Pawiwahan”(perkawinan) karena mempelainya berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya “Mepandes” (Potong Gigi), orang tua
sepatutnya tidak lagi membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh
perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati atau di-Abiseka kawin lagi
hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan.
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan dihapusnya
tradisi Asumundung dan Langkahi Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali
Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya
saling bisa harga menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan
terhadap wangsa lainnya. Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan
tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di
atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap bisa terpelihara
dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu untuk tetap mau
memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut
Satya Dharma.

Ditetapkan di : Mataram, NTB Ditetapkan di : Mataram, NTB Pada Tanggal : 29

Oktober 2002 Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Dharma Adhyaksa dan

Wakil Dharma Adhyaksa; Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, Ida

Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka….

Para pembaca yang budiman… untuk selengkapnya silahkan dibaca bukunya

yang berjudul “Sebuah Fenomena Diantara Kita” Oleh: Ida Rsi Bhagawan

Smerthi Kusuma Wijaya Sebali Griya Kusuma Sebali, Peshraman Sari Mandala

Wangi Jl. Trengguli Gg IV D1, no. 32 Tembawu Kaja-Penatih, Denpasar Timur-

Bali. Tel : (0361) 467284

Você também pode gostar